Rabu, 27 Juli 2022

Mengapa Hati Gelisah (Banyak Dosa Besar/Kecil)

Sesuai dengan makna dasarnya, qalb (hati) adalah sesuatu yang bolak-balik. Ia tidak berpendirian tetap, tetapi selalu berubah-ubah. Pagi dalam keadaan taat, sore kembali berbuat maksiat. Kemarin sudah bertaubat, hari ini kembali berdosa.

Dan, akhirnya bukanlah hal yang aneh, jika kemudian hati menjadi gelisah. Tanda kegelisahan hati adalah hidup yang terasa hambar. Segala sesuatu dijalani dengan hampa. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Oleh karena itu, saatnya kita kenali, mengapa hati selalu gelisah.

Pertama, karena banyaknya dosa. Disadari atau tidak, ketika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan diliputi oleh rasa bersalah. Dengan demikian, hati pun menjadi gelisah. Hidupnya dalam keterasingan. Ibnu Qayyim berkata, ''Jika kamu menemukan keterasingan karena perbuatan dosa, maka segera tinggalkan dan jauhi dosa dan maksiat. Hati tidak akan tenang dengan perbuatan dosa.''

Kedua, kurang bersyukur. Padahal, Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk semua yang ada di langit dan yang ada di bumi, dengan penuh kasih sayang dan hanya untuk manusia. ''Dan tidak ada binatang melata pun yang hidup di muka bumi ini melainkan Allah yang memberinya rezeki ...'' (QS Hud 11: 6).

Ketiga, banyak menuntut. Bisa dipastikan hati akan selalu gelisah jika seseorang berpikir harus memiliki segala sesuatu, sementara ia tidak mempunyai kemampuan dan daya tunjang yang memadai untuk meraihnya.

Keempat, cinta dunia. Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya yang mencintai dunia secara berlebihan. ''Yang paling aku takutkan dari umat sepeninggalanku adalah jika kesenangan dunia dan hiasannya dibuka untuk kalian.'' (Muttafaq 'Alaih).

Kelima, terlalu berharap pada manusia. Seseorang yang bergantung pada selain Allah, hanya akan kecewa.

Keenam, berbuat zalim. Menzalimi orang, itu artinya meninggalkan perasaan tidak enak. Karena itu, segeralah meminta maaf. Karena, meminta maaf dekat dengan ketakwaan yang pada akhirnya menimbulkan ketenangan. (QS Al-Baqarah 2: 237).

Ketujuh, lemah iman. Seseorang yang lemah iman akan mudah mengeluh dan menyalahkan keadaan. Bahkan, orang yang lemah iman tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah. Padahal, hidup dan mati, rezeki dan jodoh manusia, semua sudah diatur dan ada dalam kekuasaan Allah SWT.

Kedelapan, tidak sungguh-sungguh menaati syariat Allah, malas beribadah, dan enggan bertaubat kepada-Nya. Itu tampak pada banyaknya tindakan maksiat yang dikerjakan setiap harinya.

Bahagia itu ada di hati. Ada yang beranggapan kalau memiliki rumah mewah, pakaian indah, kendaraan serba “wah”, wah cantiknya, wah mahalnya, wah enaknya, maka hidupnya pasti bahagia. Tetapi tidak! Ternyata semuanya itu hanya fatamorgana. Semuanya hanyalah kebahagiaan semu. Karena, orang yang selalu mengejar dan menghimpun harta dunia, sejatinya adalah orang yang miskin jiwanya dan sengsara hatinya. Kebahagian yang dia damba, ternyata jauh panggang dari api. Bahagia itu tidak terletak pada harta, tetapi terletak di hati dan jiwa setiap manusia. Bahkan, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa. 

Dalam sejarah ummat manusia, dikenal seorang kaya bernama Abu Lahab, harta kekayaannya dibelanjakan untuk menghambat laju dakwah yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ternyata, hartanya tidak sanggup mengantarkannya pada kebahagian hidup, tidak di dunia apalagi di akhirat. Dia menderita dengan setumpukan hartanya. Dia mendulang dosa dan murka Allah SWT, justeru dengan fasilitas harta yang sudah didapatkannya. Bahagia itu, ketika harta dan segala fasilitas kemudahan hidup yang sudah didapat, dibelanjakan di jalan kebaikan yang mengundang cinta dan ridha dari Allah SWT.

Keluarga teladan selalu mendidik semua anggotanya termasuk dirinya untuk meletakkan status harta, jabatan, anak-anak, isteri, suami, dan segala fasilitas kemudahan hidup duniawi, termasuk kemudahan bejalan-jalan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sebagai fasilitas pinjaman semata dari Allah SWT.

Statusnya tidak lebih sebagai alat uji. Kemudian, apakah keluarga tersebut teruji sebagai keluarga yang bersyukur dengan nikmat yang sudah didapat. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan mengundang ridha Allah SWT. Bisa jadi, justeru mereka menjadi keluarga yang gagal ujian, karena menjadi keluarga yang kufur atas segala nikmat yang sudah diperoleh. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan menentang Allah SWT dan para pendakwah-Nya, bahkan bersekutu dengan orang-orang yang selalu menentang Allah SWT dan para juru dakwah-Nya.

Alkisah, ada seorang pemuda yang mendapati warisan harta melimpah-ruah, peninggalan kedua orang tuanya. Dia berfoya-foya dengan hartanya sampai habis semuanya. Sekarang, dia menjadi orang miskin dan dijauhi teman-temannya. Pemuda tersebut mendatangi Nasrudin yang bijaksana. “Tuan tolong ramalkan nasib saya kedepannya seperti apa?” “Baiklah, kamu tidak perlu cemas akan nasibmu, karena tidak lama lagi kamu akan mendapatkan kebahagian melebihi dari yang sudah pernah kamu dapati,” jawab sang bijak. “Apakah saya akan menjadi orang kaya dalam waktu dekat?” tanya pemuda penasaran. “Tidak begitu, tetapi kamu akan bahagia dan terbiasa menjadi orang miskin serta jauh dari teman-teman, dengan syarat kamu menerima keadaanmu dengan hati yang lapang. Karena, kebahagian itu letaknya di hati, bukan pada harta benda duniawi.”

Referensi sebagai Berikut ini ;