This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Mempertahankan Pernikahan demi Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mempertahankan Pernikahan demi Anak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 September 2022

Mempertahankan Pernikahan demi Anak

Perceraian merupakan hal terburuk yang dapat dialami oleh sepasang suami dan istri dalam menjalani rumah tangga. Bukan hanya keduanya yang akan mengalami dampak perceraian itu, tetapi juga anak-anak mereka. Anak-anak, apalagi yang masih di bawah umur, tidak pernah mengetahui masalah sebenarnya yang terjadi antara ayah dan ibunya. Perceraian bagi mereka hanya meninggalkan satu pertanyaan besar yang hanya akan terjawab ketika ia dewasa. "Kenapa ayah dan ibu tidak bisa saya temui di rumah yang sama?" "Kenapa di saat bangun tidur, sekarang ayah/ibu tidak ada, dia di mana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan keluar dari pikiran seorang anak yang masih polos.   Oleh karena itu, anak kerap kali menjadi faktor penting yang dipertimbangkan sepasang suami istri ketika ingin cerai. Bertahan tetapi sudah tidak nyaman, tapi bagaimana nasib anak ke depan jika terjadi perceraian? Menurut konselor hubungan asal Australia, Fiona Bennett, pasangan yang sudah memiliki anak lebih banyak mempertahankan keutuhan rumah tangganya, dibanding pasangan yang belum dikaruniai anak.   Banyak pasangan yang pada akhirnya mempertahankan pernikahan yang telah hancur atas nama sang anak. Mereka ingin mempersembahkan sosok orangtua yang utuh, meski cinta di antara keduanya sudah rapuh. Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya.   Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya. Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Harga yang harus dibayar Perceraian memang tidak hanya mengorbankan sebuah hubungan, tetapi juga perasaan dan batin anak-anak. Anak akan sangat terpukul dengan perceraian yang dialami kedua orangtuanya, meskipun dilakukan secara baik-baik. Mereka pasti menginginkan orangtuanya untuk bisa bersatu kembali dan hidup bahagia bersama mereka. O’Brien menyebut, fase ini adalah yang paling menyedihkan bagi seorang anak.  Kenyataan miris inilah yang harus dibayar oleh orangtua yang memutuskan untuk bercerai. Meski begitu, jika keputusan berpisah tidak diambil, mereka juga harus membayar harga yang tak kalah mahal, yakni kebahagiaan mereka sendiri. Hubungan yang dijalani tanpa adanya cinta dan kerelaan tidak lain hanya akan meninggalkan keterpaksaan dan beban. "Ada kasus sepasang suami istri yang mengorbankan kebahagiaannya selama bertahun-tahun untuk tetap hidup bersama, tapi apakah anak akan bersyukur karena hal itu?” ujar O’Brien.  Apa kata anak? Seorang pengacara perceraian, Kasey Fox, tidak merekomendasikan orangtua untuk bertahan dalam pernikahan demi anak, tapi dia bersyukur orangtuanya melakukan itu untuknya dulu. Orangtuanya bercerai saat ia tamat bangku SMA, kakak perempuannya sudah tidak satu rumah, dan adik laki-lakinya sudah berusia 15 tahun. “Aku dan kakakku sebenarnya sudah paham bahwa mereka memang tidak bahagia selama hidup bersama,” kata Kasey. Warga Canberra berusia 34 tahun ini mengatakan tidak pernah ada adu argumen antara ayah dan ibunya di rumah. Akan tetapi, sangat jelas tidak ada perhatian yang tercipta di antara keduanya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak tercipta untuk satu sama lain.  Orangtuanya tidak mengakui bahwa mereka mempertahankan rumah tangga yang sudah berantakan selama 25 tahun. Hingga pada akhirnya anak-anaknya mengetahui, dan mereka mengakui dengan penjelasan yang panjang. “Kenapa kalian saling menyiksa diri dengan bertahan dalam hubungan itu, kenapa tidak bercerai saja dan hidup bahagia sejak saat itu?” ujarnya. Dari pengalamannya menagani banyak kasus perceraian, banyak orangtua yang menganggap tidak masalah bertahan beberapa tahun dalam hubungan yang hancur, demi menjaga anak-anaknya.  Berpisah Konselor, Fionna Bennet, menganjurkan suami-istri yang sudah tidak bisa bertahan untuk segera berpisah saja. “Kamu hanya hidup sekali, apakah akan dihabiskan dalam kesedihan?” ujar Bennett. Mempertahankan pernikahan demi anak, menurut Bennet tidak sehat untuk dilakukan. “Jika anak adalah satu-satunya alasan sepasang suami istri mempertahankan pernikahan, kami menyatakan sebaiknya hal itu tidak menjadi faktor pengambil keputusan,” ucap Bennett.    Referensi : Mempertahankan Pernikahan demi Anak Perceraian merupakan hal terburuk yang dapat dialami oleh sepasang suami dan istri dalam menjalani rumah tangga. Bukan hanya keduanya yang akan mengalami dampak perceraian itu, tetapi juga anak-anak mereka. Anak-anak, apalagi yang masih di bawah umur, tidak pernah mengetahui masalah sebenarnya yang terjadi antara ayah dan ibunya. Perceraian bagi mereka hanya meninggalkan satu pertanyaan besar yang hanya akan terjawab ketika ia dewasa. "Kenapa ayah dan ibu tidak bisa saya temui di rumah yang sama?" "Kenapa di saat bangun tidur, sekarang ayah/ibu tidak ada, dia di mana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan keluar dari pikiran seorang anak yang masih polos.  Oleh karena itu, anak kerap kali menjadi faktor penting yang dipertimbangkan sepasang suami istri ketika ingin cerai. Bertahan tetapi sudah tidak nyaman, tapi bagaimana nasib anak ke depan jika terjadi perceraian? Menurut konselor hubungan asal Australia, Fiona Bennett, pasangan yang sudah memiliki anak lebih banyak mempertahankan keutuhan rumah tangganya, dibanding pasangan yang belum dikaruniai anak.   Banyak pasangan yang pada akhirnya mempertahankan pernikahan yang telah hancur atas nama sang anak. Mereka ingin mempersembahkan sosok orangtua yang utuh, meski cinta di antara keduanya sudah rapuh. Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya.   Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya. Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Harga yang harus dibayar Perceraian memang tidak hanya mengorbankan sebuah hubungan, tetapi juga perasaan dan batin anak-anak. Anak akan sangat terpukul dengan perceraian yang dialami kedua orangtuanya, meskipun dilakukan secara baik-baik. Mereka pasti menginginkan orangtuanya untuk bisa bersatu kembali dan hidup bahagia bersama mereka. O’Brien menyebut, fase ini adalah yang paling menyedihkan bagi seorang anak.  Kenyataan miris inilah yang harus dibayar oleh orangtua yang memutuskan untuk bercerai. Meski begitu, jika keputusan berpisah tidak diambil, mereka juga harus membayar harga yang tak kalah mahal, yakni kebahagiaan mereka sendiri. Hubungan yang dijalani tanpa adanya cinta dan kerelaan tidak lain hanya akan meninggalkan keterpaksaan dan beban. "Ada kasus sepasang suami istri yang mengorbankan kebahagiaannya selama bertahun-tahun untuk tetap hidup bersama, tapi apakah anak akan bersyukur karena hal itu?” ujar O’Brien.  Apa kata anak? Seorang pengacara perceraian, Kasey Fox, tidak merekomendasikan orangtua untuk bertahan dalam pernikahan demi anak, tapi dia bersyukur orangtuanya melakukan itu untuknya dulu. Orangtuanya bercerai saat ia tamat bangku SMA, kakak perempuannya sudah tidak satu rumah, dan adik laki-lakinya sudah berusia 15 tahun. “Aku dan kakakku sebenarnya sudah paham bahwa mereka memang tidak bahagia selama hidup bersama,” kata Kasey. Warga Canberra berusia 34 tahun ini mengatakan tidak pernah ada adu argumen antara ayah dan ibunya di rumah. Akan tetapi, sangat jelas tidak ada perhatian yang tercipta di antara keduanya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak tercipta untuk satu sama lain.  Orangtuanya tidak mengakui bahwa mereka mempertahankan rumah tangga yang sudah berantakan selama 25 tahun. Hingga pada akhirnya anak-anaknya mengetahui, dan mereka mengakui dengan penjelasan yang panjang. “Kenapa kalian saling menyiksa diri dengan bertahan dalam hubungan itu, kenapa tidak bercerai saja dan hidup bahagia sejak saat itu?” ujarnya. Dari pengalamannya menagani banyak kasus perceraian, banyak orangtua yang menganggap tidak masalah bertahan beberapa tahun dalam hubungan yang hancur, demi menjaga anak-anaknya.  Berpisah Konselor, Fionna Bennet, menganjurkan suami-istri yang sudah tidak bisa bertahan untuk segera berpisah saja. “Kamu hanya hidup sekali, apakah akan dihabiskan dalam kesedihan?” ujar Bennett. Mempertahankan pernikahan demi anak, menurut Bennet tidak sehat untuk dilakukan. “Jika anak adalah satu-satunya alasan sepasang suami istri mempertahankan pernikahan, kami menyatakan sebaiknya hal itu tidak menjadi faktor pengambil keputusan,” ucap Bennett.    Referensi : Mempertahankan Pernikahan demi Anak-Perceraian merupakan hal terburuk yang dapat dialami oleh sepasang suami dan istri dalam menjalani rumah tangga. Bukan hanya keduanya yang akan mengalami dampak perceraian itu, tetapi juga anak-anak mereka. Anak-anak, apalagi yang masih di bawah umur, tidak pernah mengetahui masalah sebenarnya yang terjadi antara ayah dan ibunya. Perceraian bagi mereka hanya meninggalkan satu pertanyaan besar yang hanya akan terjawab ketika ia dewasa. "Kenapa ayah dan ibu tidak bisa saya temui di rumah yang sama?" "Kenapa di saat bangun tidur, sekarang ayah/ibu tidak ada, dia di mana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan keluar dari pikiran seorang anak yang masih polos.   Oleh karena itu, anak kerap kali menjadi faktor penting yang dipertimbangkan sepasang suami istri ketika ingin cerai. Bertahan tetapi sudah tidak nyaman, tapi bagaimana nasib anak ke depan jika terjadi perceraian? Menurut konselor hubungan asal Australia, Fiona Bennett, pasangan yang sudah memiliki anak lebih banyak mempertahankan keutuhan rumah tangganya, dibanding pasangan yang belum dikaruniai anak.   Banyak pasangan yang pada akhirnya mempertahankan pernikahan yang telah hancur atas nama sang anak. Mereka ingin mempersembahkan sosok orangtua yang utuh, meski cinta di antara keduanya sudah rapuh. Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya.   Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya. Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.  Harga yang harus dibayar Perceraian memang tidak hanya mengorbankan sebuah hubungan, tetapi juga perasaan dan batin anak-anak. Anak akan sangat terpukul dengan perceraian yang dialami kedua orangtuanya, meskipun dilakukan secara baik-baik. Mereka pasti menginginkan orangtuanya untuk bisa bersatu kembali dan hidup bahagia bersama mereka. O’Brien menyebut, fase ini adalah yang paling menyedihkan bagi seorang anak.  Kenyataan miris inilah yang harus dibayar oleh orangtua yang memutuskan untuk bercerai. Meski begitu, jika keputusan berpisah tidak diambil, mereka juga harus membayar harga yang tak kalah mahal, yakni kebahagiaan mereka sendiri. Hubungan yang dijalani tanpa adanya cinta dan kerelaan tidak lain hanya akan meninggalkan keterpaksaan dan beban. "Ada kasus sepasang suami istri yang mengorbankan kebahagiaannya selama bertahun-tahun untuk tetap hidup bersama, tapi apakah anak akan bersyukur karena hal itu?” ujar O’Brien.  Apa kata anak? Seorang pengacara perceraian, Kasey Fox, tidak merekomendasikan orangtua untuk bertahan dalam pernikahan demi anak, tapi dia bersyukur orangtuanya melakukan itu untuknya dulu. Orangtuanya bercerai saat ia tamat bangku SMA, kakak perempuannya sudah tidak satu rumah, dan adik laki-lakinya sudah berusia 15 tahun. “Aku dan kakakku sebenarnya sudah paham bahwa mereka memang tidak bahagia selama hidup bersama,” kata Kasey. Warga Canberra berusia 34 tahun ini mengatakan tidak pernah ada adu argumen antara ayah dan ibunya di rumah. Akan tetapi, sangat jelas tidak ada perhatian yang tercipta di antara keduanya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak tercipta untuk satu sama lain.  Orangtuanya tidak mengakui bahwa mereka mempertahankan rumah tangga yang sudah berantakan selama 25 tahun. Hingga pada akhirnya anak-anaknya mengetahui, dan mereka mengakui dengan penjelasan yang panjang. “Kenapa kalian saling menyiksa diri dengan bertahan dalam hubungan itu, kenapa tidak bercerai saja dan hidup bahagia sejak saat itu?” ujarnya. Dari pengalamannya menagani banyak kasus perceraian, banyak orangtua yang menganggap tidak masalah bertahan beberapa tahun dalam hubungan yang hancur, demi menjaga anak-anaknya.  Berpisah Konselor, Fionna Bennet, menganjurkan suami-istri yang sudah tidak bisa bertahan untuk segera berpisah saja. “Kamu hanya hidup sekali, apakah akan dihabiskan dalam kesedihan?” ujar Bennett. Mempertahankan pernikahan demi anak, menurut Bennet tidak sehat untuk dilakukan. “Jika anak adalah satu-satunya alasan sepasang suami istri mempertahankan pernikahan, kami menyatakan sebaiknya hal itu tidak menjadi faktor pengambil keputusan,” ucap Bennett.    Referensi : Mempertahankan Pernikahan demi Anak

Perceraian merupakan hal terburuk yang dapat dialami oleh sepasang suami dan istri dalam menjalani rumah tangga. Bukan hanya keduanya yang akan mengalami dampak perceraian itu, tetapi juga anak-anak mereka. Anak-anak, apalagi yang masih di bawah umur, tidak pernah mengetahui masalah sebenarnya yang terjadi antara ayah dan ibunya. Perceraian bagi mereka hanya meninggalkan satu pertanyaan besar yang hanya akan terjawab ketika ia dewasa. "Kenapa ayah dan ibu tidak bisa saya temui di rumah yang sama?" "Kenapa di saat bangun tidur, sekarang ayah/ibu tidak ada, dia di mana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan keluar dari pikiran seorang anak yang masih polos. 

Oleh karena itu, anak kerap kali menjadi faktor penting yang dipertimbangkan sepasang suami istri ketika ingin cerai. Bertahan tetapi sudah tidak nyaman, tapi bagaimana nasib anak ke depan jika terjadi perceraian? Menurut konselor hubungan asal Australia, Fiona Bennett, pasangan yang sudah memiliki anak lebih banyak mempertahankan keutuhan rumah tangganya, dibanding pasangan yang belum dikaruniai anak. 

Banyak pasangan yang pada akhirnya mempertahankan pernikahan yang telah hancur atas nama sang anak. Mereka ingin mempersembahkan sosok orangtua yang utuh, meski cinta di antara keduanya sudah rapuh. Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya. 

Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.

Tidak jujur Dilansir dari laman ABC, pernikahan yang dipertahankan hanya demi anak mencerminkan keluarga yang tidak menjunjung asas ketidakjujuran. Mereka lebih memilih untuk menutup masalah yang ada di hadapan anak-anaknya. Menurut psikolog anak, Kimberley O’Brien, orangtua yang menutupi masalah dari anaknya bisa dikatakan mereka sedan membodohi diri sendiri. "Ini bukan dinamika keluarga yang jujur, dan membuat anak-anaknya mempertanyakan banyak hal suatu hari nanti," ujar O’Brien. Orangtua diminta untuk menjelaskan secara jujur kepada anak tentang keadaan pernikahannya yang sudah tidak dapat tertolong. Namun, ini tetap harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat kedewasaan anak tersebut.

Harga yang harus dibayar Perceraian memang tidak hanya mengorbankan sebuah hubungan, tetapi juga perasaan dan batin anak-anak. Anak akan sangat terpukul dengan perceraian yang dialami kedua orangtuanya, meskipun dilakukan secara baik-baik. Mereka pasti menginginkan orangtuanya untuk bisa bersatu kembali dan hidup bahagia bersama mereka. O’Brien menyebut, fase ini adalah yang paling menyedihkan bagi seorang anak.

Kenyataan miris inilah yang harus dibayar oleh orangtua yang memutuskan untuk bercerai. Meski begitu, jika keputusan berpisah tidak diambil, mereka juga harus membayar harga yang tak kalah mahal, yakni kebahagiaan mereka sendiri. Hubungan yang dijalani tanpa adanya cinta dan kerelaan tidak lain hanya akan meninggalkan keterpaksaan dan beban. "Ada kasus sepasang suami istri yang mengorbankan kebahagiaannya selama bertahun-tahun untuk tetap hidup bersama, tapi apakah anak akan bersyukur karena hal itu?” ujar O’Brien.

Apa kata anak? Seorang pengacara perceraian, Kasey Fox, tidak merekomendasikan orangtua untuk bertahan dalam pernikahan demi anak, tapi dia bersyukur orangtuanya melakukan itu untuknya dulu. Orangtuanya bercerai saat ia tamat bangku SMA, kakak perempuannya sudah tidak satu rumah, dan adik laki-lakinya sudah berusia 15 tahun. “Aku dan kakakku sebenarnya sudah paham bahwa mereka memang tidak bahagia selama hidup bersama,” kata Kasey. Warga Canberra berusia 34 tahun ini mengatakan tidak pernah ada adu argumen antara ayah dan ibunya di rumah. Akan tetapi, sangat jelas tidak ada perhatian yang tercipta di antara keduanya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak tercipta untuk satu sama lain.

Orangtuanya tidak mengakui bahwa mereka mempertahankan rumah tangga yang sudah berantakan selama 25 tahun. Hingga pada akhirnya anak-anaknya mengetahui, dan mereka mengakui dengan penjelasan yang panjang. “Kenapa kalian saling menyiksa diri dengan bertahan dalam hubungan itu, kenapa tidak bercerai saja dan hidup bahagia sejak saat itu?” ujarnya. Dari pengalamannya menagani banyak kasus perceraian, banyak orangtua yang menganggap tidak masalah bertahan beberapa tahun dalam hubungan yang hancur, demi menjaga anak-anaknya.

Berpisah Konselor, Fionna Bennet, menganjurkan suami-istri yang sudah tidak bisa bertahan untuk segera berpisah saja. “Kamu hanya hidup sekali, apakah akan dihabiskan dalam kesedihan?” ujar Bennett. Mempertahankan pernikahan demi anak, menurut Bennet tidak sehat untuk dilakukan. “Jika anak adalah satu-satunya alasan sepasang suami istri mempertahankan pernikahan, kami menyatakan sebaiknya hal itu tidak menjadi faktor pengambil keputusan,” ucap Bennett.


Referensi : Mempertahankan Pernikahan demi Anak