Bahagia itu ada di hati. Ada yang beranggapan kalau memiliki rumah mewah, pakaian indah, kendaraan serba “wah”, wah cantiknya, wah mahalnya, wah enaknya, maka hidupnya pasti bahagia. Tetapi tidak! Ternyata semuanya itu hanya fatamorgana. Semuanya hanyalah kebahagiaan semu. Karena, orang yang selalu mengejar dan menghimpun harta dunia, sejatinya adalah orang yang miskin jiwanya dan sengsara hatinya. Kebahagian yang dia damba, ternyata jauh panggang dari api. Bahagia itu tidak terletak pada harta, tetapi terletak di hati dan jiwa setiap manusia. Bahkan, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.
Dalam sejarah ummat manusia, dikenal seorang kaya bernama Abu Lahab, harta kekayaannya dibelanjakan untuk menghambat laju dakwah yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ternyata, hartanya tidak sanggup mengantarkannya pada kebahagian hidup, tidak di dunia apalagi di akhirat. Dia menderita dengan setumpukan hartanya. Dia mendulang dosa dan murka Allah SWT, justeru dengan fasilitas harta yang sudah didapatkannya. Bahagia itu, ketika harta dan segala fasilitas kemudahan hidup yang sudah didapat, dibelanjakan di jalan kebaikan yang mengundang cinta dan ridha dari Allah SWT.
Keluarga teladan selalu mendidik semua anggotanya termasuk dirinya untuk meletakkan status harta, jabatan, anak-anak, isteri, suami, dan segala fasilitas kemudahan hidup duniawi, termasuk kemudahan bejalan-jalan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sebagai fasilitas pinjaman semata dari Allah SWT.
Statusnya tidak lebih sebagai alat uji. Kemudian, apakah keluarga tersebut teruji sebagai keluarga yang bersyukur dengan nikmat yang sudah didapat. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan mengundang ridha Allah SWT. Bisa jadi, justeru mereka menjadi keluarga yang gagal ujian, karena menjadi keluarga yang kufur atas segala nikmat yang sudah diperoleh. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan menentang Allah SWT dan para pendakwah-Nya, bahkan bersekutu dengan orang-orang yang selalu menentang Allah SWT dan para juru dakwah-Nya.
Alkisah, ada seorang pemuda yang mendapati warisan harta melimpah-ruah, peninggalan kedua orang tuanya. Dia berfoya-foya dengan hartanya sampai habis semuanya. Sekarang, dia menjadi orang miskin dan dijauhi teman-temannya. Pemuda tersebut mendatangi Nasrudin yang bijaksana. “Tuan tolong ramalkan nasib saya kedepannya seperti apa?” “Baiklah, kamu tidak perlu cemas akan nasibmu, karena tidak lama lagi kamu akan mendapatkan kebahagian melebihi dari yang sudah pernah kamu dapati,” jawab sang bijak. “Apakah saya akan menjadi orang kaya dalam waktu dekat?” tanya pemuda penasaran. “Tidak begitu, tetapi kamu akan bahagia dan terbiasa menjadi orang miskin serta jauh dari teman-teman, dengan syarat kamu menerima keadaanmu dengan hati yang lapang. Karena, kebahagian itu letaknya di hati, bukan pada harta benda duniawi.”
Referensi sebagai Berikut ini ;