This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Ada Masalah dengan Mertua? Begini Nasihat dan Agama Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ada Masalah dengan Mertua? Begini Nasihat dan Agama Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2022

Ada Masalah dengan Mertua? Begini Nasihat dan Agama Islam

Pernikahan tak sekadar mempertemukan antara dua sejoli dalam satu ikatan suci. Lebih dari itu, menikah berarti menyatukan dua keluarga besar dengan berbagai latar belakang. Tak jarang saling berseberangan. Tidak sedikit yang berhasil menjalin relasi yang harmonis antara kedua entitas tersebut.   Tapi, banyak pula yang gagal membina hubungan manis antarkedua belah pihak. Menurut Dr Lathifah Binti Abdullah al-Jal'ud dalam bukunya yang berjudulal-Mar'atu wa 'Alaqatuha bi Umm Zaujiha wa Akhawatihi fi Dhilli Ahadits Shillat ar-Rahm, harmonisasi antara istri dan keluarga suami memang bukan perkara mudah.   Berdasarkan riset sederhana dengan melibatkan tak kurang dari 270 responden yang pernah ia lakukan, muncul kesimpulan bahwa fenomena konflik ternyata dipicu hal-hal sepele, baik dari kubu istri ataupun keluarga besar suami.     Beberapa faktor pemicu yang disepakati oleh mayoritas responden itu, antara lain, tidak adanya rasa hormat, perbedaan prinsip, perkataan yang pedas dan menyakitkan, sikap meremehkan atau sering tidak dianggap, juga anggapan dari sang ibu bahwa istri akan “menyetir” anaknya, begitupula sebaliknya sang istri menganggap ibu mertua masih mengatur-atur suaminya.  Persoalan privasi saat masih menumpang tempat tinggal di rumah mertua juga kadang rentan bermasalah. Demikian juga soal manajemen uang keluarga, sering kali ibu mertua mengintervensi atau bisa jadi memang istri yang bersangkutan dinilai tidak lihai mengelola pendapatan suami.  Bila benih-benih tersebut tidak segera diobati, ungkap Lathifah, bisa mengarah ke konflik yang lebih besar dan berkepanjangan, tak terkecuali dapat mengancam kelanggengan tali silaturahim.  Padahal, merajut silaturahim adalah tuntunan agama yang utama. Ini seperti ditegaskan di hadis riwayat Abu Bakrah RA yang dinukilkan Imam at-Turmudzi bahwa tak ada dosa yang sanksinya pantas diberlakukan di dunia dan akhirat kecuali dosa memutus tali silaturahim.    Maka, Lathifah pun berbagi nasihat dan tips sederhana, tetapi cukup mengena sasaran agar dalam hidup berumah tangga tercipta harmoni antara elemen yang satu dan lainnya. Entah istri dengan keluarga suami ataupun suami dengan keluarga sang istri.  Saling berkasih sayang dan menebar kebaikan. Ingatlah, rahmat Allah SWT bersama orang-orang yang berbuat baik. “Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-A'raf [7]: 56). Jika ingin rahmat Allah menghampiri, hendaknya kedua belah pihak saling berbagi kebaikan dan kasih sayang.  Bentuk berbagi kebaikan itu bermacam-macam. Dari segi suami, berusalah mengunjungi kedua orang tua. Tradisikan memberi hadiah untuk keduanya dan biasakan memberitahukan kepada mereka bahwa hadiah tersebut adalah “titipan” atau permintaan istri Anda.   Alokasikan pendapatan Anda, bila mampu untuk kedua orang tua. Berterimakasihlah pada istri Anda atas pengertiannya untuk orang tua Anda. Laksanakan ketentuan ini juga pada orang tua dan keluarga istri Anda.  Sedangkan, bagi istri, bersikap dan berinteraksilah kepada kedua orang tua suami Anda, seperti orang tua sendiri. Bersegeralah membantu mereka bila diperlukan. Tetap menjaga etika dan lemah lembut.  Sementara, bagi ibu atau bapak mertua, bersikap dewasa penuh pengayoman. Bila muncul keburukan dari menantu, bukan dibalas dengan kejelekan serupa atau lebih besar. Tetapi, hadapilah dengan hikmah dan kebijaksanaan. Bersikap alami dan sewajarnya, tidak perlu formalitas yang mengesankan kaku. Biarlah komunikasi dan interaksi itu mengalir. Dan, bagi mertua berlakulah adil. Jangan membedakan antara menantu satu dan lainnya.   Jika niatan, sikap, dan perbuatan baik yang Anda lakukan untuk meruta dan keluarga mereka tidak berbalas kebaikan atau bahkan acap kali responsnya negatif, bersabarlah. Kebaikan apa pun yang Anda persembahkan, selama niat tersebut baik untuk Allah SWT semata, tak satupun pahala kebajikan itu akan terkurangi.  “Sesunggunya, mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.” (QS al-Kahfi [18]: 30).  Jika tak ada ucapan terima kasih teruntai dari lisan mereka, biarlah amal Anda membekas di hati mereka. Sekalipun tak ada bekas di hati, ketahuilah kebaikan Anda tercatat sebagai amal saleh di akhirat. Seandainya kematian menjemput mereka lebih dulu daripada Anda, setidaknya Anda telah berbuat baik dan mengabdi selama mereka hidup. Bila Anda meninggal terlebih dahulu, kebaikan Anda akan dikenang.  Perlakuan buruk yang muncul di antara dua keluarga itu, imbau Lathifah, selesaikanlah dengan arif dan bijaksana. Saling memaafkan kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Berat memang, tetapi kata maaf itu, seperti ditegaskan di surah an-Nur ayat 21, menjadi salah satu kunci pengampunan dosa Anda.   Ayat tersebut turun, menjadi nasihat bagi Abu Bakar, kala ia bersumpah dan memutuskan tidak akan pernah memberi nafkah sepupunya, Masthah bin Atsatsah yang diduga terlibat ikut menyebarkan isu keji yang ditudingkan kepada Aisyah RA Abu Bakar pun akhirnya memaafkan Masthah dan kembali membiayai hidup sepupunya tersebut.
Pernikahan tak sekadar mempertemukan antara dua sejoli dalam satu ikatan suci. Lebih dari itu, menikah berarti menyatukan dua keluarga besar dengan berbagai latar belakang. Tak jarang saling berseberangan. Tidak sedikit yang berhasil menjalin relasi yang harmonis antara kedua entitas tersebut. 

Tapi, banyak pula yang gagal membina hubungan manis antarkedua belah pihak. Menurut Dr Lathifah Binti Abdullah al-Jal'ud dalam bukunya yang berjudulal-Mar'atu wa 'Alaqatuha bi Umm Zaujiha wa Akhawatihi fi Dhilli Ahadits Shillat ar-Rahm, harmonisasi antara istri dan keluarga suami memang bukan perkara mudah. 

Berdasarkan riset sederhana dengan melibatkan tak kurang dari 270 responden yang pernah ia lakukan, muncul kesimpulan bahwa fenomena konflik ternyata dipicu hal-hal sepele, baik dari kubu istri ataupun keluarga besar suami.   

Beberapa faktor pemicu yang disepakati oleh mayoritas responden itu, antara lain, tidak adanya rasa hormat, perbedaan prinsip, perkataan yang pedas dan menyakitkan, sikap meremehkan atau sering tidak dianggap, juga anggapan dari sang ibu bahwa istri akan “menyetir” anaknya, begitupula sebaliknya sang istri menganggap ibu mertua masih mengatur-atur suaminya.

Persoalan privasi saat masih menumpang tempat tinggal di rumah mertua juga kadang rentan bermasalah. Demikian juga soal manajemen uang keluarga, sering kali ibu mertua mengintervensi atau bisa jadi memang istri yang bersangkutan dinilai tidak lihai mengelola pendapatan suami.

Bila benih-benih tersebut tidak segera diobati, ungkap Lathifah, bisa mengarah ke konflik yang lebih besar dan berkepanjangan, tak terkecuali dapat mengancam kelanggengan tali silaturahim.

Padahal, merajut silaturahim adalah tuntunan agama yang utama. Ini seperti ditegaskan di hadis riwayat Abu Bakrah RA yang dinukilkan Imam at-Turmudzi bahwa tak ada dosa yang sanksinya pantas diberlakukan di dunia dan akhirat kecuali dosa memutus tali silaturahim.  

Maka, Lathifah pun berbagi nasihat dan tips sederhana, tetapi cukup mengena sasaran agar dalam hidup berumah tangga tercipta harmoni antara elemen yang satu dan lainnya. Entah istri dengan keluarga suami ataupun suami dengan keluarga sang istri.

Saling berkasih sayang dan menebar kebaikan. Ingatlah, rahmat Allah SWT bersama orang-orang yang berbuat baik. “Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-A'raf [7]: 56). Jika ingin rahmat Allah menghampiri, hendaknya kedua belah pihak saling berbagi kebaikan dan kasih sayang.

Bentuk berbagi kebaikan itu bermacam-macam. Dari segi suami, berusalah mengunjungi kedua orang tua. Tradisikan memberi hadiah untuk keduanya dan biasakan memberitahukan kepada mereka bahwa hadiah tersebut adalah “titipan” atau permintaan istri Anda. 

Alokasikan pendapatan Anda, bila mampu untuk kedua orang tua. Berterimakasihlah pada istri Anda atas pengertiannya untuk orang tua Anda. Laksanakan ketentuan ini juga pada orang tua dan keluarga istri Anda.

Sedangkan, bagi istri, bersikap dan berinteraksilah kepada kedua orang tua suami Anda, seperti orang tua sendiri. Bersegeralah membantu mereka bila diperlukan. Tetap menjaga etika dan lemah lembut.

Sementara, bagi ibu atau bapak mertua, bersikap dewasa penuh pengayoman. Bila muncul keburukan dari menantu, bukan dibalas dengan kejelekan serupa atau lebih besar. Tetapi, hadapilah dengan hikmah dan kebijaksanaan. Bersikap alami dan sewajarnya, tidak perlu formalitas yang mengesankan kaku. Biarlah komunikasi dan interaksi itu mengalir. Dan, bagi mertua berlakulah adil. Jangan membedakan antara menantu satu dan lainnya. 

Jika niatan, sikap, dan perbuatan baik yang Anda lakukan untuk meruta dan keluarga mereka tidak berbalas kebaikan atau bahkan acap kali responsnya negatif, bersabarlah. Kebaikan apa pun yang Anda persembahkan, selama niat tersebut baik untuk Allah SWT semata, tak satupun pahala kebajikan itu akan terkurangi.

“Sesunggunya, mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.” (QS al-Kahfi [18]: 30).

Jika tak ada ucapan terima kasih teruntai dari lisan mereka, biarlah amal Anda membekas di hati mereka. Sekalipun tak ada bekas di hati, ketahuilah kebaikan Anda tercatat sebagai amal saleh di akhirat. Seandainya kematian menjemput mereka lebih dulu daripada Anda, setidaknya Anda telah berbuat baik dan mengabdi selama mereka hidup. Bila Anda meninggal terlebih dahulu, kebaikan Anda akan dikenang.

Perlakuan buruk yang muncul di antara dua keluarga itu, imbau Lathifah, selesaikanlah dengan arif dan bijaksana. Saling memaafkan kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Berat memang, tetapi kata maaf itu, seperti ditegaskan di surah an-Nur ayat 21, menjadi salah satu kunci pengampunan dosa Anda.

Ayat tersebut turun, menjadi nasihat bagi Abu Bakar, kala ia bersumpah dan memutuskan tidak akan pernah memberi nafkah sepupunya, Masthah bin Atsatsah yang diduga terlibat ikut menyebarkan isu keji yang ditudingkan kepada Aisyah RA Abu Bakar pun akhirnya memaafkan Masthah dan kembali membiayai hidup sepupunya tersebut.