Menangis Hingga Dosa ini Terkikis. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan segala nikmat kepada setiap makhlukNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan untuk Nabi kita, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah kepada seluruh umat agar dapat mengelola setiap nikmat yang telah Allah beri.
Salah satu nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada manusia dibanding dengan hewan maupun tumbuhan adalah kemampuan manusia untuk merasa dan mengungkapkan perasaan. Manusia begitu bebas berekspresi dalam menggambarkan suasana hati yang tengah mereka rasakan.
Misalnya saja, seorang anak yang melompat-lompat kegirangan karena mendapatkan hadiah dari kedua orangtuanya, seorang bayi yang sedang rewel karena kehausan, seseorang yang tertawa karena suatu hal yang lucu, seorang pedagang keliling yang kecewa karena hingga larut malam dagangannya belum juga habis, dan masih banyak lagi yang lain.
Tak sedikit pula yang mengungkapkan suatu perasaan dengan menangis. Menangis adalah respon fisiologis yang terkait dengan emosi. Seseorang dapat menangis ketika ia sedang sedih, bahagia, atau bahkan untuk sekedar tangisan pura-pura.
Menangis bukanlah sebuah aktivitas yang tidak boleh dilakukan, karena tak dapat dipungkiri bahwa menangis adalah fitrah setiap manusia.
وَأَنَّهُ هُوَأَضْحَكَ وَأَبْكَى
“dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”. (QS. An Najm: 43)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Al Qurthubi berkata,
“Yaitu Allah menetapkan sebab-sebab tertawa dan menangis. Berkata Atha’ bin Abi Muslim, “Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tertawa dan kesedihan bisa membuat menangis.”
Ada begitu banyak alasan yang mendasari tangisan seseorang. Tangisan itu bermacam-macam. Ibnul Qayyim sendiri membagi tangisan menjadi 10 macam dalam bukunya, Za’adul Ma’ad. Tangisan seseorang menyimpan berjuta makna, dan diantara tangisan itu ada tangisan yang mengantarkan seseorang menuju surga.
لاَيَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِى الضَّرْعِ وَلاَيَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِى سَبِيل ِاللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ
“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, hingga air susu dapat kembali kepada kambingnya (kantong kelenjar susu binatang ternak), dan tidak akan berkumpul antara debu medan jihad fii sabiilillaah dengan asap Neraka Jahannam.” (HR Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)
Mata orang-orang yang menangis karena takut kepada Allah akan dijauhkan dari api neraka.
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Dua mata yang tidak akan disentuh api Neraka, yakni mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga karena siaga (saat berjihad) di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani)
Air mata yang membasahi pipi seorang hamba karena takut kepada penciptaNya merupakan air mata yang mulia. Ia bermakna tinggi dihadapan Allah, ia akan mendapatkan kasih sayang Allah.
لَيْسَ شَىْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فِى خَشْيَةِ اللَّهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ. وَأَمَّا الأَثَرَانِ فَأَثَرٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَثَرٌ فِى فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah selain dua tetesan dan dua bekas. Yaitu, tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang mengalir (saat jihad) di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas dari berjihad di jalan Allah dan bekas dari menunaikan salah satu kewajiban yang telah Allah tetapkan.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani)
Jadi, tangisan yang mengantarkan seseorang kepada surga dan menjauhkan seseorang dari api neraka adalah tangisan karena takut kepada Allah. Air mata tersebut merupakan lambang ketakutan karena takut akan dosa-dosa yang telah ia perbuat, atau takut membayangkan kehidupan akhirat, takut karena kerasnya hati, dsb.
Air mata itu merupakan tameng bagi dirinya dari api neraka. Karena dengannya, ia akan sadar atas hakikat kehidupan. Pemilik air mata itu akan selalu berusaha menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
Begitu juga dengan teladan-teladan kita pada zaman dahulu. Hati mereka begitu lembut hingga mudah menumpahkan air mata karena ketakutan-ketakutan atas azab Allah. Ketundukan dan ketakutan yang dalam kepada Allah menjadikan mereka tak enggan bercucuran air mata. Yang mereka tangisi bukanlah tendensi dunia dan materi, melainkan tangisan yang lebih hanya terfokus pada kehidupan setelah kematian.
Dan yang paling banyak menangis adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiallahu ’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (Nabi) berkata,
ياعائشة ذريني أتعبد الليلة لربي
‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’
Kata Aisyah,” Aku sampaikan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang. ’Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat. ’Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’.
Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’.
Lalu Nabi pun menjawab,
أفلا أكون عبدا شكورا لقد نزلت علي الليلة آية ويل لمن قرأها ولم يتفكرفيها { إن في خلق السموات والأرض }
‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani).
Dalam Al Quran, Allah juga mengisahkan kondisi orang-orang shalih yang menangis karenaNya.
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُ رِّيَّةِ آَدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Yakub), dan dari orang yang telah Kami beri petunjuk dan Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis.” (QS Maryam 19:58)
Begitu pula dengan Abu Hurairah radhiallahu anhu yang tiba-tiba saja menangis pada saat sakitnya menjelang sakaratul maut. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Apa yang membuatmu menangis?”. Beliau pun menjawab, “Aku bukan menangis karena dunia yang akan aku tinggalkan ini. Tapi aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan kemana kah digiring diriku nanti?”.
Bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang? Bagaimana dengan kita, wahai saudariku? Menangis memang bukanlah suatu kewajiban, tetapi menangis karena takut kepada Allah menjadi tolok ukur kelembutan hati seorang hamba. Menjadi indikator penyeselan seorang hamba atas dosa-dosa yang telah ia perbuat.
Begitu keraskah hati kita hingga tidak dapat menyesali perbuatan dosa yang telah kita lakukan? Begitu keraskah hati kita hingga tak mampu menyadari bahwa azab Allah sangat mengerikan? Begitu keraskah hati kita hingga tak mampu menghadirkan secuil saja rasa takut karena Allah di dalamnya?
Saudariku, sungguh hendaknya kita selalu memohon ampun kepada Allah. Mintalah pertolongan Allah dimanapun dan kapanpun, termasuk pertolongan agar dijauhkan dari kerasnya hati.
Menangislah…. Menangislah, saudariku…
Menangislah dengan syahdu.
Tangisi segala noktah-noktah hitam yang telah kita torehkan dalam dada ini. Tangisi begitu besar dosa yang telah kita timbun sementara kantung pahala kita belumlah terisi. Tangisi akan kehidupan akhirat kita yang telah menanti, keselamatan ataukah kejerumusan yang akan menghampiri.
Menangislah karena takut kepada Allah…
Jangan pernah sekalipun membiarkan mata ini berhenti menangis. Sesungguhnya dalam jasad ini terdapat banyak dosa. Dan anggota tubuh ini berhak untuk mendapatkan hukuman atas kesalahan yang telah ia lakukan.
Sesuai dengan makna dasarnya, qalb (hati) adalah sesuatu yang bolak-balik. Ia tidak berpendirian tetap, tetapi selalu berubah-ubah. Pagi dalam keadaan taat, sore kembali berbuat maksiat. Kemarin sudah bertaubat, hari ini kembali berdosa.
Dan, akhirnya bukanlah hal yang aneh, jika kemudian hati menjadi gelisah. Tanda kegelisahan hati adalah hidup yang terasa hambar. Segala sesuatu dijalani dengan hampa. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Oleh karena itu, saatnya kita kenali, mengapa hati selalu gelisah.
Pertama, karena banyaknya dosa. Disadari atau tidak, ketika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan diliputi oleh rasa bersalah. Dengan demikian, hati pun menjadi gelisah. Hidupnya dalam keterasingan. Ibnu Qayyim berkata, ''Jika kamu menemukan keterasingan karena perbuatan dosa, maka segera tinggalkan dan jauhi dosa dan maksiat. Hati tidak akan tenang dengan perbuatan dosa.''
Kedua, kurang bersyukur. Padahal, Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk semua yang ada di langit dan yang ada di bumi, dengan penuh kasih sayang dan hanya untuk manusia. ''Dan tidak ada binatang melata pun yang hidup di muka bumi ini melainkan Allah yang memberinya rezeki ...'' (QS Hud 11: 6).
Ketiga, banyak menuntut. Bisa dipastikan hati akan selalu gelisah jika seseorang berpikir harus memiliki segala sesuatu, sementara ia tidak mempunyai kemampuan dan daya tunjang yang memadai untuk meraihnya.
Keempat, cinta dunia. Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya yang mencintai dunia secara berlebihan. ''Yang paling aku takutkan dari umat sepeninggalanku adalah jika kesenangan dunia dan hiasannya dibuka untuk kalian.'' (Muttafaq 'Alaih).
Kelima, terlalu berharap pada manusia. Seseorang yang bergantung pada selain Allah, hanya akan kecewa.
Keenam, berbuat zalim. Menzalimi orang, itu artinya meninggalkan perasaan tidak enak. Karena itu, segeralah meminta maaf. Karena, meminta maaf dekat dengan ketakwaan yang pada akhirnya menimbulkan ketenangan. (QS Al-Baqarah [2]: 237).
Ketujuh, lemah iman. Seseorang yang lemah iman akan mudah mengeluh dan menyalahkan keadaan. Bahkan, orang yang lemah iman tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah. Padahal, hidup dan mati, rezeki dan jodoh manusia, semua sudah diatur dan ada dalam kekuasaan Allah SWT.
Kedelapan, tidak sungguh-sungguh menaati syariat Allah, malas beribadah, dan enggan bertaubat kepada-Nya. Itu tampak pada banyaknya tindakan maksiat yang dikerjakan setiap harinya.
Bahagia itu ada di hati. Ada yang beranggapan kalau memiliki rumah mewah, pakaian indah, kendaraan serba “wah”, wah cantiknya, wah mahalnya, wah enaknya, maka hidupnya pasti bahagia. Tetapi tidak! Ternyata semuanya itu hanya fatamorgana. Semuanya hanyalah kebahagiaan semu. Karena, orang yang selalu mengejar dan menghimpun harta dunia, sejatinya adalah orang yang miskin jiwanya dan sengsara hatinya. Kebahagian yang dia damba, ternyata jauh panggang dari api. Bahagia itu tidak terletak pada harta, tetapi terletak di hati dan jiwa setiap manusia. Bahkan, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa. INNAMAL GHINA, GHINAN NAFS.
Dalam sejarah ummat manusia, dikenal seorang kaya bernama Abu Lahab, harta kekayaannya dibelanjakan untuk menghambat laju dakwah yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ternyata, hartanya tidak sanggup mengantarkannya pada kebahagian hidup, tidak di dunia apalagi di akhirat. Dia menderita dengan setumpukan hartanya. Dia mendulang dosa dan murka Allah SWT, justeru dengan fasilitas harta yang sudah didapatkannya. Bahagia itu, ketika harta dan segala fasilitas kemudahan hidup yang sudah didapat, dibelanjakan di jalan kebaikan yang mengundang cinta dan ridha dari Allah SWT.
Keluarga teladan selalu mendidik semua anggotanya termasuk dirinya untuk meletakkan status harta, jabatan, anak-anak, isteri, suami, dan segala fasilitas kemudahan hidup duniawi, termasuk kemudahan bejalan-jalan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, sebagai fasilitas pinjaman semata dari Allah SWT.
Statusnya tidak lebih sebagai alat uji. Kemudian, apakah keluarga tersebut teruji sebagai keluarga yang bersyukur dengan nikmat yang sudah didapat. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan mengundang ridha Allah SWT. Bisa jadi, justeru mereka menjadi keluarga yang gagal ujian, karena menjadi keluarga yang kufur atas segala nikmat yang sudah diperoleh. Mereka berjalan di dunia nyata maupun dunia maya dengan menentang Allah SWT dan para pendakwah-Nya, bahkan bersekutu dengan orang-orang yang selalu menentang Allah SWT dan para juru dakwah-Nya.
Alkisah, ada seorang pemuda yang mendapati warisan harta melimpah-ruah, peninggalan kedua orang tuanya. Dia berfoya-foya dengan hartanya sampai habis semuanya. Sekarang, dia menjadi orang miskin dan dijauhi teman-temannya. Pemuda tersebut mendatangi Nasrudin yang bijaksana. “Tuan tolong ramalkan nasib saya kedepannya seperti apa?” “Baiklah, kamu tidak perlu cemas akan nasibmu, karena tidak lama lagi kamu akan mendapatkan kebahagian melebihi dari yang sudah pernah kamu dapati,” jawab sang bijak. “Apakah saya akan menjadi orang kaya dalam waktu dekat?” tanya pemuda penasaran. “Tidak begitu, tetapi kamu akan bahagia dan terbiasa menjadi orang miskin serta jauh dari teman-teman, dengan syarat kamu menerima keadaanmu dengan hati yang lapang. Karena, kebahagian itu letaknya di hati, bukan pada harta benda duniawi.”
Referensi sebagai Berikut ini ;