Kewajiban kepala keluarga adalah menafkahi keluarga. Seorang kepala tangga diwajibkan mencari nafkah yang halal agar keluarganya tidak memakan sesuatu yang haram. Sedangkan di era pandemik, mencari pekerjaan bukan perbuatan mudah. Tidak sedikit seseorang yang mengambil jalan pintas untuk menghidupi keluarganya. Lantas, bagaimana hukum memberni nafkah keluarga dengan penghasilan yang bersifat haram?
Seperti dilansir dari laman resminya, Darul Ifta menerima pertanyaan serupa dari seorang ibu muda. Dia sudah berpisah dari suaminya karena tahu dia meraup penghasilan dari perbuatan haram. Sedangkan ibu ini tidak memiliki penghasilan lain untuk menafkahi anak-anaknya, maka apakah salah jika dia menggunakan uang yang dikirim oleh suaminya?
Syeikh Mahmud Syalbi, Aminul Fatwa dari Darul Ifta Mesir menjawab, si ibu tidak berdosa. Meski status orang tua sudah pisah ranjang, kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya tidak hilang. Alhamdulillah jika memang dia mencari nafkah dari pekerjaan yang halal, tetapi jika ternyata dia memberi nafkah anak-anaknya dari pekerjaan yang haram, hanya dia sendiri yang menangung dosa.
Syeikh Salbi juga menjelaskan, dalam kasus ini, selama si ibu belum memiliki penghasilan lain, boleh menggunakan uang yang dikirim dari mantan suaminya. Dia dan anak-anak tidak bakal berdosa lantaran memakan uang haram, tetapi dengan syarat si ibu sebagai orang tua tunggal berusaha sedemikian mungkin untuk tetap mencari penghasilan lain dan tidak bergantung kepada tunjangan dari mantan suaminya.
Dalam fatwa lain tentang kewajikan seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya, Dr. Ali Jum’ah, mantan mufti Republik Mesir dan anggota Dewan Kibarul Ulama, menjelaskan bahwa kewajiban nafkah tersebut tetap ada. Kewajiban tersebut tidak hilang, meski dia sudah bercerai dan hak asuh anak ditanggung oleh sang istri. Selama anak-anaknya masih hidup, maka sang ayah juga tetap wajib menafkahinya.
Allah SWT berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233). Maksud dari ayat di atas adalah, al-maulud lahu (ayah) wajib memberi nafkah kepada istri atau mantan istrinya agar istri atau mantan istrinya bisa memberi nafkah anak-anak mereka. Terlebih jika hak asuh anak jatuh ke pangkuan sang ibu.
Beliau juga mengutip dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ra. dan hadits lain dari Aisyah ra. dengan sanad yang berbeda,
خُذِي ما يَكفِيكِ ووَلَدَكِ بالمَعرُوف
“Ambil apa yang cukup untukmu dan (berikanlah kepada) anak-anakmu dengan baik.” Syeikh Ali Jum’ah juga menambahkan, Nabi SAW pernah menjelaskan, jika bukan karena kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya, maka kita tidak diperbolehkan untuk mengambil sedikit pun dari hartanya. Harta setiap Muslim bersifat suci, artinya tidak boleh mengambil harta sesame Muslim kecuali dengan hak atau izin.
Kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya juga bersyarat. Yang pertama, sang ayah harus mampu memiliki penghasilan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan pribadi. Kewajiban nafkah ini juga tidak hilang kecuali dalam keadaan sang ayah adalah seorang tunanetra yang lemah fisik dan akalnya, sehingga tidak ada kemungkinan untuk mencari pendapatan kecuali dengan bergantung kepada orang lain.
Syeikh berkata, “Jika dia berada dalam kondisi pailit dan tidak memiliki suatu pekerjaan, maka nafkah anak jatuh kepada sang kakek atau saudara-saudara ayahnya.” Beliau juga menjelaskan, nafkah anak menjadi wajib terutama jika si anak belum memiliki pekerjaan atau disibukkan dengan suatu hal tertentu untuk mempersiapkan masa depannya, contohnya saat si anak sedang menempuh masa pendidikan.
Referensi Sebagai berikut ini ;