Beriman kepada takdir Allah. Dalam pembahasan rukun iman yang keenam ini, juga diurai tentang perbedaan antara kehendak Allah dan perintah Allah, izin Allah dan ridha Allah. Al Hafizh Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Orang-orang Musyrikin Quraisy mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menentang Rasulullah dalam masalah qadar (takdir).
Kemudian turunlah ayat-ayat yang kami baca di atas yang maknanya: “Sesungguhnya orang-orang kafir berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): “Rasakanlah sentuhan api neraka!” Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar (yang telah ditetapkan)” (QS al-Qamar: 47-49)
Salah satu prinsip keyakinan kaum Muslimin adalah beriman kepada qadar (takdir) Allah subhanahu wata’ala. Ketika ditanya tentang iman, jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya adalah: وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (رواه مسلم)
Makna hadits ini, engkau beriman bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam keberadaan (seluruh makhluk yang diciptakan Allah), yang baik dan yang buruk, semuanya terjadi dengan takdir Allah yang azali (tidak bermula). Jadi, ketaatan dan kemaksiatan yang muncul dari makhluk dan dilakukannya, masing-masing terjadi karena diciptakan, diwujudkan, diketahui dan dikehendaki oleh Allah. Ini tidak berarti bahwa Allah meridhai keburukan. Juga tidak berarti bahwa Allah memerintahkan perbuatan maksiat. Melainkan perbuatan hamba yang baik itu terjadi dengan takdir, cinta, dan ridha Allah. Sedangkan perbuatan hamba yang buruk terjadi dengan takdir Allah, tapi tidak Ia cintai dan tidak Ia ridhai. Imam Abu Hanifah radliyallahu ‘anhu yang merupakan salah seorang ulama salaf menegaskan dalam al-Fiqh al-Akbar:
وَالطَّاعَةُ كُلُّهَا مَا كَانَتْ وَاجِبَةً بِأَمْرِ اللهِ تَعَالَى وَمَحَبَّتِهِ وَبِرِضَائِهِ وَعِلْمِهِ وَمَشِيْئَتِهِ وَقَضَائِهِ وَتَقْدِيْرِهِ وَالْمَعَاصِي كُلُّهَا بِعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَتَقْدِيْرِهِ وَمَشِيْئَتِهِ لَا بِمَحَبَّتِهِ وَلَا بِرِضَائِهِ وَلَا بِأَمْرِهِ
“Kewajiban-kewajiban seluruhnya terjadi dengan perintah Allah, cinta, ridha, ilmu, kehendak, qadla’ dan takdir-Nya, sedangkan maksiat-maksiat seluruhnya terjadi dengan ilmu, qadla’, takdir dan kehendak Allah, bukan dengan kecintaan Allah, bukan dengan ridha Allah dan bukan dengan perintah-Nya.”
perbedaan antara kehendak dan perintah Allah. Allah tidak pernah memerintahkan kekufuran dan perbuatan-perbuatan maksiat, akan tetapi kekufuran orang-orang kafir dan kemaksiatan para pelaku maksiat tidak mungkin satu pun terjadi seandainya Allah tidak menghendaki terjadinya. Seandainya terjadi sesuatu yang tidak Allah kehendaki, hal itu menunjukkan bahwa Allah lemah dan kalah. Padahal sifat lemah bagi Allah adalah mustahil. Karena Allah ta’ala Mahakuasa dan Maha Berkehendak, maka kehendak-Nya pasti terjadi.
Oleh karena itu, keimanan, ketaatan, kekufuran dan perbuatan-perbuatan maksiat, semua itu terjadi dengan kehendak Allah dan takdir-Nya. Seandainya Allah tidak menghendaki terjadinya kemaksiatan para pelaku maksiat, kekufuran orang-orang yang kafir, keimanan orang-orang yang beriman dan ketaatan orang-orang yang taat, niscaya Allah tidak akan menciptakan surga dan neraka. Seseorang tidak boleh mengatakan, jika perbuatan maksiat terjadi dengan kehendak Allah lalu kenapa Allah menyiksa hamba yang melakukan maksiat. Karena Allah ta’ala tidak dipertanyakan kepada-Nya tentang apa yang diperbuat-Nya (QS al-Anbiya’: 23).
Jika Allah ta’ala menyiksa pelaku maksiat, maka itu terjadi dengan keadilan-Nya tanpa kezaliman. Dan jika Allah memberi pahala kepada orang yang taat, maka hal itu dengan kemurahan-Nya, bukan kewajiban bagi-Nya. Yang demikian itu dikarenakan kezaliman hanya mungkin terjadi dari seseorang yang memiliki “atasan” yang berhak memerintah dan melarangnya. Padahal tidak ada sesuatu apapun yang menjadi atasan yang memerintah dan melarang Allah. Maka Allah berhak berbuat terhadap apa yang dikuasai-Nya sesuai dengan kehendak-Nya karena Allah-lah pencipta dan pemilik segala sesuatu. Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنَّ اللهَ لَوْ عَذَّبَ أَهْلَ أرْضِهِ وسَموَاتِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيْلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وتَعْلَمَ أنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَلَوْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ النَّارَ (رواه أبو دود وابن حبان وغيرهما)
Maknanya: “Sungguh, seandainya Allah menyiksa penduduk langit dan penduduk bumi, niscaya Allah akan menyiksa mereka tanpa Ia berlaku zalim kepada mereka (dengan penyiksaan tersebut), dan seandainya Allah merahmati mereka (tidak menyiksa mereka), maka sungguh rahmat Allah itu lebih baik bagi mereka dari amal perbuatan mereka. Dan seandainya engkau berinfak emas seberat gunung Uhud di jalan Allah, maka Allah tidak menerimanya darimu sampai engkau beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan pernah meleset darimu, dan apa yang (ditakdirkan) tidak menimpamu maka ia tidak akan pernah menimpamu, dan jika engkau mati tidak dalam keyakinan ini, maka engkau akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan lain-lain)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang terjadi di alam ini kecuali dengan kehendak Allah. Seorang hamba tidak akan mengalami atau ditimpa kebaikan, keburukan, kesehatan, sakit, kefakiran, kekayaan dan lainnya kecuali dengan kehendak Allah ta’ala. Demikian pula apapun yang Allah takdirkan dan Allah kehendaki pada diri hamba, maka hal itu tidak akan pernah meleset darinya. Abu Dawud dalam Sunannya meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada salah seorang putrinya:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ (رواه أبو دود)
Maknanya: “Apapun yang Allah kehendaki ada atau terjadi, pasti akan ada dan terjadi, dan apapun yang tidak Allah kehendaki ada atau terjadi, pasti tidak akan ada dan tidak akan terjadi” (HR Abu Dawud).
dikatakan golongan Jabriyyah. Jabriyyah mengatakan bahwa hamba itu seperti bulu di udara yang tidak memiliki ikhtiar sama sekali. Keyakinan seperti ini adalah pendustaan terhadap agama. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ (التكوير: ٢٩)
Maknanya: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS at-Takwir: 29).
Artinya, Allah menetapkan adanya kehendak pada diri hamba akan tetapi kehendak hamba itu di bawah kehendak Allah ta’ala. Bukan kehendak hamba mengalahkan kehendak Allah seperti yang dikatakan oleh golongan Qadariyyah. Mereka mengatakan bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk semua hamba, akan tetapi sebagian hamba berbuat maksiat dan mengalahkan kehendak Allah secara paksa. Dengan keyakinan ini, mereka telah menjadikan Allah kalah dan lemah. Keyakinan yang benar tiada lain adalah bahwa para hamba memiliki kehendak dan ikhtiar, akan tetapi kehendak mereka di bawah kehendak Allah.
Ayat tersebut membantah golongan Jabriyyah yang menafikan kehendak dan ikhtiar dari para hamba sama sekali. Ayat tersebut juga membantah golongan Qadariyyah yang mengatakan bahwa Allah menghendaki seluruh hamba untuk menjadi Mukmin yang bertakwa, termasuk Iblis dan Fir’aun. Akan tetapi Iblis, Fir’aun dan orang-orang kafir itu membatalkan kehendak Allah dan mengalahkannya. Dengan keyakinan ini, mereka telah menjadikan Allah kalah. Padahal Allah ta’ala adalah Dzat yang selalu mengalahkan tanpa terkalahkan sebagaimana firman-Nya:
وَاللّٰهُ غَالِبٌ عَلٰٓى اَمْرِهٖ (يوسف: 21)
Maknanya: “ .... dan Allah berkuasa mewujudkan kehendak-Nya.... ” (QS Yusuf: 21) Juga sebagaimana firman Allah yang lain:
وَلَوْ شِئْنَا لَاٰتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدٰىهَا وَلٰكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ (السجدة: 13)
Maknanya: “Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah menjadi ketetapan-Ku: Sesungguhnya akan aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS as Sajdah: 13).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah memberitakan tentang golongan Qadariyyah ini sebelum kemunculan mereka dan memperingatkan kaum Muslimin agar tidak mengikuti keyakinan mereka serta menjelaskan bahwa mereka bukanlah bagian dari umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ لَيْسَ لَهُمَا نَصِيْبٌ فِي اْلإِسْلَامِ الْقَدَرِيَّةُ وَالْـمُرْجِئَةُ (رواه البَيْهَقِيُّ في كِتَابِ الْقَدَرِ)
Maknanya: “Ada dua golongan di antara umatku yang tidak mempunyai bagian dari Islam sama sekali, yaitu golongan Qadariyyah dan Murji’ah” (HR al-Baihaqi dalam kitab al-Qadar) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوْسٌ وَمَجُوْسُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ لَا قَدَرَ (رواه أبو داودَ في سُنَنِهِ)
Maknanya: “Bagi setiap ummat ada majusinya dan majusi ummat ini adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir” (HR Abu Dawud) Imam an-Nawawi dalam karyanya Raudhah ath-Thalibin, bab ar-Riddah, menegaskan bahwa orang yang mengatakan dirinya berbuat sesuatu tanpa takdir Allah maka ia telah kafir kepada Allah. Terakhir, kami sampaikan apa yang ditegaskan oleh Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu wakarrama wajhahu sebagaimana diriwayatkan Imam al-Baihaqi:
إنَّ أحَدَكُمْ لَنْ يَخْلُصَ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ يَقِينًا غَيْرَ شَكٍّ أنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخطِئَهُ وَمَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ، ويُقِرَّ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ (رواه البَيْهَقِيُّ في كِتَابِ الْقَدَرِ)
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian, iman tidak akan masuk ke hatinya (dan bersih dari syirik), hingga ia meyakini dengan keyakinan tanpa keraguan sedikit pun bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpanya tidak akan meleset darinya dan apa yang tidak (ditakdirkan) menimpanya tidak akan pernah bisa menimpanya, dan menetapkan takdir keseluruhannya.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam kitab al-Qadar).
Referensi : Beriman kepada Takdir Allah Swt