This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Kamis, 29 September 2022

Melontar Jumrah Pada Hari Tasyriq

Melontar Jumrah Pada Hari Tasyriq Melontar Jumrah Pada Hari Tasyriq Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ    “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]    Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.    Jawaban  Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :    رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]    Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.    كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا    “Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]    Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.    Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.  TIDAK SAH MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada waktu haji saya melontar jumrah seperempat jam sebelum adzan dzuhur. Apakah demikian itu berarti melontar setelah matahari condong ke barat ? Apakah saya wajib membayar kifarat jika melontar tersebut sebelum masuk waktunya ?    Jawaban  Anda wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah pada hari tasyriq harus setelah matahari condong ke barat dan tidak sah jika dilakukan sebelumnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar pada hari tasyriq ketika matahari telah condong ke barat dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka kaum muslimin wajib mengikutinya dalam hal tersebut. Dan anda juga harus bertaubat kepada Allah karena melanggar syari’at. Semoga Allah mengampuni kami dan anda serta kepada semua kaum Muslimin.    WAKTU MELONTAR JUMRAH AQABAH, BAIK DALAM MENUNAIKAN ATAU KARENA MENGQADHA’    Oleh  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin    Pertanyaan  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapa akhir waktu melontar Jumrah ‘Aqabah, baik dalam menunaikan maupun karena mengqadha ?    Jawaban  Melontar Jumrah untuk hari Id berakhir dengan terbitnya fajar malam ke-11 Dzulhijjah dan dimulai dari separuh kedua malam Idul Adha bagi orang-orang yang lemah dan lain-lain, seperti orang yang tidak mampu berdesak-desakan dengan manusia. Adapun melontar Jumrah Aqabah pada hari-hari tasyriq adalah seperti melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha. Yaitu mulai dari tergelincirnya matahari ke barat (setelah dzuhur) sampai terbitnya fajar malam berikutnya. Kecuali pada hari akhir tasyriq, maka akhir melontar sampai matahari terbenam.    Meskipun melontar jumrah pada hari-hari tasyriq lebih baik dilakukan pada siang hari, tapi karena pada waktu-waktu tersebut terdapat kepadatan jamaah haji yang melontar dan tidak adanya kepedulian sebagian mereka atas sebagian yang lain, jika menghawatirkan kebinasaan, mudharat atau kesulitan berat, maka boleh melontar pada waktu malam dan tidak berdosa. Sebagaimana juga diperbolehkan melontar pada malam hari dan tidak berdosa karenanya meskipun bukan karena mengkhawatirkan dari kebinasaan dan yang sepertinya. Tapi yang utama adalah memperhatikan dengan seksama dalam masalah ini, sehingga seseorang tidak memilih melontar pada malam hari kecuali karena kondisi yang mendesak. Adapun waktu mengqadha melontar jumrah aqabah adalah setelah terbit fajar dari hari berikutnya.    MELONTAR JUMRAH PADA HARI TASYRIQ SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT (SEBELUM DZHUHUR)  Oleh  Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta    Pertanyaan  Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang jamaah haji dari luar Saudi tidak mengetahui seluk beluk dalam bepergian, urusan ticket dan pesawat terbang. Ia bertanya, apakah memungkinkan menunda pemberangkatan kepulangan pada jam 4 sore (13-12-1405H). Maka dijawab, memungkinkan yang demikian itu. Kemudian dia menunda pemberangkatan pada waktu tersebut, dan dia mabit di Mina pada malam ke 13 Dzulhijjah. Pertanyaannya, apakah dia boleh melontar pada pagi hari (13 Dzhulhijjah) kemudian meninggalkan Mina ? Sebab jika dia terlewatkan setelah matahari condong ke barat maka dia terlambat pulang ke negaranya dan akan mengalami kesulitan besar serta berurusan dengan pemerinrtah.    Jawaban  Ia tidak boleh melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi melontar gugur darinya karena keadaan darurat seperti itu. Namun dia wajib menyembelih kurban di Mina atau di Mekkah atau diwakilkan kepada orang yang akan menyembelihnya, dan dibagikan kepada orang-orang miskin, kemudian dia thawaf wada’ dan pulang ke negaranya.    Adapun pendapat yang mengatakan boleh melontar sebelum matahari condong ke barat, maka pendapat yang demikian itu tidak benar. Tapi yang benar, bahwa melontar setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melontar melainkan setelah matahari condong ke barat adalah hanya pebuatan, sedangkan perbuatan tidak menunjukkan wajib, maka pernyataan itu benar. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melontar setelah matahari condong ke barat dan juga tidak melarang melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melontar setelah matahari condong ke barat menunjukkan wajib melontar seperti itu. Alasannya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan melontar hingga matahari condong ke barat (telah datang waktu dzhuhur). Sebab jika melontar sebelum dzhuhur diperbolehkan niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Sebab demikian itu lebih mudah bagi manusia. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberikan pilihan pada dua hal melainkan beliau memilih yang termudah di antara keduanya selama bukan perbuatan dosa. Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih yang termudah dalam melontar, yaitu melontar sebelum dzuhur, maka demikian itu menunjukkan bahwa melontar sebelum dzuhur adalah perbuatan dosa. Ini yang pertama.    Alasan kedua yang menunjukkan bahwa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan wajib adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat sebelum shalat dzhuur. Seakan akan beliau menunggu waktu matahari condong ke barat dengan penuh sabar untuk dapat segera melontar. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur. Pada hal yang utama melakukan shalat pada awal waktu. Semua itu adalah karena waktu untuk melontar adalah setelah matahari condong ke barat.

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ


“Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]


Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.


Jawaban

Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :


رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]


Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.


كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا


“Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]


Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.


Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.

TIDAK SAH MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada waktu haji saya melontar jumrah seperempat jam sebelum adzan dzuhur. Apakah demikian itu berarti melontar setelah matahari condong ke barat ? Apakah saya wajib membayar kifarat jika melontar tersebut sebelum masuk waktunya ?


Jawaban

Anda wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah pada hari tasyriq harus setelah matahari condong ke barat dan tidak sah jika dilakukan sebelumnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar pada hari tasyriq ketika matahari telah condong ke barat dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka kaum muslimin wajib mengikutinya dalam hal tersebut. Dan anda juga harus bertaubat kepada Allah karena melanggar syari’at. Semoga Allah mengampuni kami dan anda serta kepada semua kaum Muslimin.


WAKTU MELONTAR JUMRAH AQABAH, BAIK DALAM MENUNAIKAN ATAU KARENA MENGQADHA’


Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapa akhir waktu melontar Jumrah ‘Aqabah, baik dalam menunaikan maupun karena mengqadha ?


Jawaban

Melontar Jumrah untuk hari Id berakhir dengan terbitnya fajar malam ke-11 Dzulhijjah dan dimulai dari separuh kedua malam Idul Adha bagi orang-orang yang lemah dan lain-lain, seperti orang yang tidak mampu berdesak-desakan dengan manusia. Adapun melontar Jumrah Aqabah pada hari-hari tasyriq adalah seperti melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha. Yaitu mulai dari tergelincirnya matahari ke barat (setelah dzuhur) sampai terbitnya fajar malam berikutnya. Kecuali pada hari akhir tasyriq, maka akhir melontar sampai matahari terbenam.


Meskipun melontar jumrah pada hari-hari tasyriq lebih baik dilakukan pada siang hari, tapi karena pada waktu-waktu tersebut terdapat kepadatan jamaah haji yang melontar dan tidak adanya kepedulian sebagian mereka atas sebagian yang lain, jika menghawatirkan kebinasaan, mudharat atau kesulitan berat, maka boleh melontar pada waktu malam dan tidak berdosa. Sebagaimana juga diperbolehkan melontar pada malam hari dan tidak berdosa karenanya meskipun bukan karena mengkhawatirkan dari kebinasaan dan yang sepertinya. Tapi yang utama adalah memperhatikan dengan seksama dalam masalah ini, sehingga seseorang tidak memilih melontar pada malam hari kecuali karena kondisi yang mendesak. Adapun waktu mengqadha melontar jumrah aqabah adalah setelah terbit fajar dari hari berikutnya.


MELONTAR JUMRAH PADA HARI TASYRIQ SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT (SEBELUM DZHUHUR)

Oleh

Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta


Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang jamaah haji dari luar Saudi tidak mengetahui seluk beluk dalam bepergian, urusan ticket dan pesawat terbang. Ia bertanya, apakah memungkinkan menunda pemberangkatan kepulangan pada jam 4 sore (13-12-1405H). Maka dijawab, memungkinkan yang demikian itu. Kemudian dia menunda pemberangkatan pada waktu tersebut, dan dia mabit di Mina pada malam ke 13 Dzulhijjah. Pertanyaannya, apakah dia boleh melontar pada pagi hari (13 Dzhulhijjah) kemudian meninggalkan Mina ? Sebab jika dia terlewatkan setelah matahari condong ke barat maka dia terlambat pulang ke negaranya dan akan mengalami kesulitan besar serta berurusan dengan pemerinrtah.


Jawaban

Ia tidak boleh melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi melontar gugur darinya karena keadaan darurat seperti itu. Namun dia wajib menyembelih kurban di Mina atau di Mekkah atau diwakilkan kepada orang yang akan menyembelihnya, dan dibagikan kepada orang-orang miskin, kemudian dia thawaf wada’ dan pulang ke negaranya.


Adapun pendapat yang mengatakan boleh melontar sebelum matahari condong ke barat, maka pendapat yang demikian itu tidak benar. Tapi yang benar, bahwa melontar setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melontar melainkan setelah matahari condong ke barat adalah hanya pebuatan, sedangkan perbuatan tidak menunjukkan wajib, maka pernyataan itu benar. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melontar setelah matahari condong ke barat dan juga tidak melarang melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melontar setelah matahari condong ke barat menunjukkan wajib melontar seperti itu. Alasannya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan melontar hingga matahari condong ke barat (telah datang waktu dzhuhur). Sebab jika melontar sebelum dzhuhur diperbolehkan niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Sebab demikian itu lebih mudah bagi manusia. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberikan pilihan pada dua hal melainkan beliau memilih yang termudah di antara keduanya selama bukan perbuatan dosa. Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih yang termudah dalam melontar, yaitu melontar sebelum dzuhur, maka demikian itu menunjukkan bahwa melontar sebelum dzuhur adalah perbuatan dosa. Ini yang pertama.


Alasan kedua yang menunjukkan bahwa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan wajib adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat sebelum shalat dzhuur. Seakan akan beliau menunggu waktu matahari condong ke barat dengan penuh sabar untuk dapat segera melontar. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur. Pada hal yang utama melakukan shalat pada awal waktu. Semua itu adalah karena waktu untuk melontar adalah setelah matahari condong ke barat.



Aakah Umrah Sama Dengan Haji

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ  “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]  Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.  Jawaban Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :  رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]  Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.  كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا  “Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]  Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.  Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam. Pertanyaan. Assalamu’alaikum Ustad! Saya mau Tanya. Manakah yang lebih dulu di kerjakan, haji dulu atau umrah? Bagaimanakah hukum melaksanakan ibadah umrah bagi kaum Muslimin ? Bolehkah umrah tanpa haji ?  Jawaban. Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh memberikan taufik kepada Bapak untuk rajin beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah wajib bagi muslim yang mampu, bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Sedangkan kewajiban umrah diperselisihkan Ulama, dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mewajibkan umrah. Hal itu berdasarkan beberapa hadits, antara lain hadits berikut:  الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ  Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allâh dan bahwa Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan umrah, mandi junub, menyempurnakan wudhu dan puasa Ramadhan  Dalam hadits ini umrah disebutkan bersama kewajiban-kewajiban Islam yang lain, bahkan fondasi-fondasi Islam. Hal itu menunjukkan kewajibannya.  Jadi haji dan umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu. Namun keduanya bisa dilakukan secara beriringan atau bersama-sama. Orang yang saat haji memilih cara tamattu’, dia akan memulai perjalanan hajinya dengan umrah, baru setelah itu menunaikan ibadah haji. Adapun yang memilih cara qiran, ia akan menggabungkan haji dan umrah sekaligus dalam satu ibadah.  Haji lebih tegas kewajibannya daripada umrah, namun tidak ada aturan harus mendahulukan haji sebelum umrah. Bahkan orang yang berhaji  dengan cara tamattu’ pun akan memulai rangkaian amalah hajinya dengan umrah dulu. Maka boleh saja mendahulukan umrah, apalagi jika bekalnya hanya cukup untuk umrah saja dan tidak cukup untuk haji, atau antrian haji harus menunggu belasan atau puluhan tahun.  Boleh juga umrah tanpa haji, namun itu hanya menggugurkan kewajiban umrah saja atas dirinya. Kewajiban haji masih melekat padanya sampai dia menunaikannya suatu  saat nanti, karena keduanya adalah kewajiban yang berbeda.  Wallahu A’lam.  [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]  APAKAH UMRAH SAMA DENGAN HAJI?  Pertanyaan Ustadz mohon penjelasan tentang 1. Bagaimana hukum umroh, apakah sama dengan haji. 2. Apakah sah umrah yang dilakukan seseorang sebelum dia menunaikan ibadah haji? Apakah dengan menunaikan ibadah umrah sudah dapat menggugurkan kewajiban haji? mengingat pelaksanaan haji menunggu daftar tunggu sampai 8 tahun bahkan lebih, sementara ajal ditangan Allah Azza wa Jalla ?    Terima kasih. Penjelasan ustad sangat kami tunggu.  A.Chamdani Purwodadi Grobogan.  Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu    Jawaban  1. Haji dan umrah tentu tidak sama, karena haji merupakan salah satu rukun Islam sementara umrah bukan. Para Ulama sepakat tentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, sedangkan mengenai hukum Umrah, para Ulama berbeda pendapat, apakah Umrah itu wajib atau tidak ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tentang hukum wajibnya Umrah, para Ulama memiliki dua pendapat. Dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat, (namun) yang masyhur adalah Umrah itu wajib. Sementara pendapat kedua adalah Umrah tidak wajib. Ini adalah madzhab imam Malik rahimahullah dan Abu Hanifah rahimahullah. Pendapat ini lebih kuat karena Allah Azza wa Jalla yang mewajibkan haji dengan firman-Nya.    وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا    Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran/3:97]    Tidak mewajibkan umrah. Hanya saja Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menyempurnakan kedua ibadah tersebut [1]. Jadi Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang yang melaksanakan keduanya untuk menyempurnakannya. Awalnya, Allah Azza wa Jalla mewajibkan haji begitu dengan hadits-hadits shahih yang mewajibkan haji. [Majmu Fatawa 26/5] [2]    Penjelasan tentang perbedaan pendapat para Ulama tentang Umrah juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti, 7/6-8, hanya saja beliau rahimahullah berbeda pilihan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Apa yang diyakini oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah sejalan dengan pendapat yang dianut oleh para Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta [Fatawa Lajnah Daimah, 11/317]    2. Tentang bolehkah ibadah Umrah dilakukan oleh seseorang yang belum melaksanakan ibadah haji?  Pertanyaan ini pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Inilah jawaban mereka, “ Seseorang boleh melaksanakan umrah sebelum ia melakukan ibadah haji, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berumrah sebelum melakukan ibadah haji yang wajib (lihat Fatawa Lajnah Daimah jilid 11/318). Dan menurut Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah bahwa ini merupakan kesepakatan para ulama. Beliau rahimahullah mengutip pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya oleh Ikrimah bin Khalid Radhiyallahu anhu tentang umrah sebelum haji. Beliau Radhiyallahu anhuma menjawab : Tidak apa-apa karena Nabi umrah dan beliau belum melaksanakan haji. (syarh al-Muwatho). Namun umrah tidak menggantikan kewajiban haji, karena banyak rukun dan wajib haji tidak terdapat didalam umrah dan yang paling utama yaitu wukuf Arafah karena inilah puncak dari haji (alhajju arafah) dan ini tidak ada dalam rangkaian ibadah umrah. Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:  كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ  “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa“. [Hadits Riwayat Bukhari]  Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.  Jawaban Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :  رَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْ النَّحْرِ ضُحَى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]  Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.  كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا  “Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]  Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.  Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.

Pertanyaan.
Assalamu’alaikum Ustad! Saya mau Tanya. Manakah yang lebih dulu di kerjakan, haji dulu atau umrah? Bagaimanakah hukum melaksanakan ibadah umrah bagi kaum Muslimin ? Bolehkah umrah tanpa haji ?

Jawaban.
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allâh memberikan taufik kepada Bapak untuk rajin beribadah sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah wajib bagi muslim yang mampu, bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Sedangkan kewajiban umrah diperselisihkan Ulama, dan yang lebih kuat adalah pendapat yang mewajibkan umrah. Hal itu berdasarkan beberapa hadits, antara lain hadits berikut:

الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ

Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allâh dan bahwa Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan umrah, mandi junub, menyempurnakan wudhu dan puasa Ramadhan

Dalam hadits ini umrah disebutkan bersama kewajiban-kewajiban Islam yang lain, bahkan fondasi-fondasi Islam. Hal itu menunjukkan kewajibannya.

Jadi haji dan umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu. Namun keduanya bisa dilakukan secara beriringan atau bersama-sama. Orang yang saat haji memilih cara tamattu’, dia akan memulai perjalanan hajinya dengan umrah, baru setelah itu menunaikan ibadah haji. Adapun yang memilih cara qiran, ia akan menggabungkan haji dan umrah sekaligus dalam satu ibadah.

Haji lebih tegas kewajibannya daripada umrah, namun tidak ada aturan harus mendahulukan haji sebelum umrah. Bahkan orang yang berhaji  dengan cara tamattu’ pun akan memulai rangkaian amalah hajinya dengan umrah dulu. Maka boleh saja mendahulukan umrah, apalagi jika bekalnya hanya cukup untuk umrah saja dan tidak cukup untuk haji, atau antrian haji harus menunggu belasan atau puluhan tahun.

Boleh juga umrah tanpa haji, namun itu hanya menggugurkan kewajiban umrah saja atas dirinya. Kewajiban haji masih melekat padanya sampai dia menunaikannya suatu  saat nanti, karena keduanya adalah kewajiban yang berbeda.

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

APAKAH UMRAH SAMA DENGAN HAJI?

Pertanyaan
Ustadz mohon penjelasan tentang
1. Bagaimana hukum umroh, apakah sama dengan haji.
2. Apakah sah umrah yang dilakukan seseorang sebelum dia menunaikan ibadah haji? Apakah dengan menunaikan ibadah umrah sudah dapat menggugurkan kewajiban haji? mengingat pelaksanaan haji menunggu daftar tunggu sampai 8 tahun bahkan lebih, sementara ajal ditangan Allah Azza wa Jalla ?


Terima kasih. Penjelasan ustad sangat kami tunggu.

A.Chamdani Purwodadi Grobogan.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu


Jawaban

1. Haji dan umrah tentu tidak sama, karena haji merupakan salah satu rukun Islam sementara umrah bukan. Para Ulama sepakat tentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, sedangkan mengenai hukum Umrah, para Ulama berbeda pendapat, apakah Umrah itu wajib atau tidak ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tentang hukum wajibnya Umrah, para Ulama memiliki dua pendapat. Dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat, (namun) yang masyhur adalah Umrah itu wajib. Sementara pendapat kedua adalah Umrah tidak wajib. Ini adalah madzhab imam Malik rahimahullah dan Abu Hanifah rahimahullah. Pendapat ini lebih kuat karena Allah Azza wa Jalla yang mewajibkan haji dengan firman-Nya.


وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا


Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran/3:97]


Tidak mewajibkan umrah. Hanya saja Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menyempurnakan kedua ibadah tersebut [1]. Jadi Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang yang melaksanakan keduanya untuk menyempurnakannya. Awalnya, Allah Azza wa Jalla mewajibkan haji begitu dengan hadits-hadits shahih yang mewajibkan haji. [Majmu Fatawa 26/5] [2]


Penjelasan tentang perbedaan pendapat para Ulama tentang Umrah juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti, 7/6-8, hanya saja beliau rahimahullah berbeda pilihan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Apa yang diyakini oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah sejalan dengan pendapat yang dianut oleh para Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta [Fatawa Lajnah Daimah, 11/317]


2. Tentang bolehkah ibadah Umrah dilakukan oleh seseorang yang belum melaksanakan ibadah haji?

Pertanyaan ini pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Inilah jawaban mereka, “ Seseorang boleh melaksanakan umrah sebelum ia melakukan ibadah haji, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berumrah sebelum melakukan ibadah haji yang wajib (lihat Fatawa Lajnah Daimah jilid 11/318). Dan menurut Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah bahwa ini merupakan kesepakatan para ulama. Beliau rahimahullah mengutip pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya oleh Ikrimah bin Khalid Radhiyallahu anhu tentang umrah sebelum haji. Beliau Radhiyallahu anhuma menjawab : Tidak apa-apa karena Nabi umrah dan beliau belum melaksanakan haji. (syarh al-Muwatho). Namun umrah tidak menggantikan kewajiban haji, karena banyak rukun dan wajib haji tidak terdapat didalam umrah dan yang paling utama yaitu wukuf Arafah karena inilah puncak dari haji (alhajju arafah) dan ini tidak ada dalam rangkaian ibadah umrah.

Tidak Bermalam Di Mina Pada Hari Tasyriq Tanpa Alasan Syar’i

Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?    Jawaban  Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar’i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama’ah haji.    BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama’ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?    Jawaban  Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar’i wajib menyembelih kurban.    Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.    TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR’I    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.    Jawaban  Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar’i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar’i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.    “Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]  Tapi cukup bagi seseorang kurban seekor kambing karena meninggalkan mabit selama hari-jari tasyriq. Wallahu ‘alam.    TIDAK MABIT DI MINA KARENA SAKIT    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah karena sakit dan dia melontar jumrah pada siang harinya setelah matahari condong ke barat lalu mabit di Mina pada kari ke-12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.    Jawaban  Selama dia meninggalkan mabit di Mina satu malam tersebut karena sakit maka dia tidak wajib membayar kifarat. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.    فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ    “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu” [At-Thagabun/64 : 16]    Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk tidak mabit di Mina kepada jama’ah yang bertugas memberikan minum air zamzam dan para penggembala karena memberikan minum zamzam kepada orang-orang yang haji dan mengembalakan ternaknya. Wallahu ‘alam.    HARI ‘ID BUKAN TERMASUK HARI TASYRIQ    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia berada di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah dan melontar pada hari ke-11 dan dianggapnya sebagai melontar hari kedua karena mengira telah berada di Mina dua hari. Lalu mereka meninggalkan Mina dengan berfedoman pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.    فَمَنۡ تَعَجَّلَ فِىۡ يَوۡمَيۡنِ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَيۡهِ    “Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya” [Al-Baqarah/2 : 203]    Sehingga dengan itu mereka meninggalkan mabit pada malam ke-12. Apakah hal tersebut boleh menurut syari’at? Dan apakah sah bila seseorang menganggap hari ‘Id termasuk dua hari yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ? Ataukah mereka melontar hari ke-12 pada hari ke-11, kemudian mereka meninggalkan Mina ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.    Jawaban  Yang dimaksudkan dua hari yang diperbolehkan Allah bila orang yang haji ingin mempercepat pulang dari Mina setelah melalui keduanya ketika di Mina adalah hari kedua dan hari ketiga setalah Idul Adha (11 dan 12 Dzulhijjah), bukan hari Idul Adha dan hari setelahnya (11 Dzulhijjah). Sebab Idul Adha sebagai hari haji akbar, sedangkan hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Id, yaitu hari-hari pelaksanaan melontar tiga jumrah. Dimana Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang ingin mempercepat pulang, maka dia boleh pulang sebelum terbenamnya matahari kedua, yakni hari ke-2 dari hari tasyriq (12 Dzulhijjah). Dan barangsiapa yang masih di Mina ketika terbenamnya matahari hari itu (malam ke-13) maka dia wajib mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari ke-3 (13-Dzulhijjah). Dan demikian ini adalah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Maka orang yang pulang pada hari ke-11 Dzulhijjah berarti dia mengurangi jumlah melontar pada hari ke-12 yang wajib dia lakukan. Karena itu dia wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin. Sedangkan karena tidak mabit di Mina pada malam ke-12, maka dia wajib sedekah yang mampu dilakukan disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah dari kekurangan yang dilakukan karena mempercepat pulang dari Mina sebelum waktunya.

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?


Jawaban

Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar’i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama’ah haji.


BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama’ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?


Jawaban

Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar’i wajib menyembelih kurban.


Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.


TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR’I


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.


Jawaban

Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar’i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar’i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.


“Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik]

Tapi cukup bagi seseorang kurban seekor kambing karena meninggalkan mabit selama hari-jari tasyriq. Wallahu ‘alam.


TIDAK MABIT DI MINA KARENA SAKIT


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah karena sakit dan dia melontar jumrah pada siang harinya setelah matahari condong ke barat lalu mabit di Mina pada kari ke-12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.


Jawaban

Selama dia meninggalkan mabit di Mina satu malam tersebut karena sakit maka dia tidak wajib membayar kifarat. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu” [At-Thagabun/64 : 16]


Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk tidak mabit di Mina kepada jama’ah yang bertugas memberikan minum air zamzam dan para penggembala karena memberikan minum zamzam kepada orang-orang yang haji dan mengembalakan ternaknya. Wallahu ‘alam.


HARI ‘ID BUKAN TERMASUK HARI TASYRIQ


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia berada di Mina satu malam, yaitu malam ke-11 Dzulhijjah dan melontar pada hari ke-11 dan dianggapnya sebagai melontar hari kedua karena mengira telah berada di Mina dua hari. Lalu mereka meninggalkan Mina dengan berfedoman pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.


فَمَنۡ تَعَجَّلَ فِىۡ يَوۡمَيۡنِ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَيۡهِ


“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya” [Al-Baqarah/2 : 203]


Sehingga dengan itu mereka meninggalkan mabit pada malam ke-12. Apakah hal tersebut boleh menurut syari’at? Dan apakah sah bila seseorang menganggap hari ‘Id termasuk dua hari yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ? Ataukah mereka melontar hari ke-12 pada hari ke-11, kemudian mereka meninggalkan Mina ? Mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.


Jawaban

Yang dimaksudkan dua hari yang diperbolehkan Allah bila orang yang haji ingin mempercepat pulang dari Mina setelah melalui keduanya ketika di Mina adalah hari kedua dan hari ketiga setalah Idul Adha (11 dan 12 Dzulhijjah), bukan hari Idul Adha dan hari setelahnya (11 Dzulhijjah). Sebab Idul Adha sebagai hari haji akbar, sedangkan hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Id, yaitu hari-hari pelaksanaan melontar tiga jumrah. Dimana Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang ingin mempercepat pulang, maka dia boleh pulang sebelum terbenamnya matahari kedua, yakni hari ke-2 dari hari tasyriq (12 Dzulhijjah). Dan barangsiapa yang masih di Mina ketika terbenamnya matahari hari itu (malam ke-13) maka dia wajib mabit di Mina dan melontar jumrah pada hari ke-3 (13-Dzulhijjah). Dan demikian ini adalah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Maka orang yang pulang pada hari ke-11 Dzulhijjah berarti dia mengurangi jumlah melontar pada hari ke-12 yang wajib dia lakukan. Karena itu dia wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin. Sedangkan karena tidak mabit di Mina pada malam ke-12, maka dia wajib sedekah yang mampu dilakukan disertai taubat dan mohon ampunan kepada Allah dari kekurangan yang dilakukan karena mempercepat pulang dari Mina sebelum waktunya.



Haji Karena Menggantikan Orang Lain Dengan Upah

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?  Jawaban Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar’i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama’ah haji.  BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama’ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?  Jawaban Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar’i wajib menyembelih kurban.  Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.  TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR’I  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.  Jawaban Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar’i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar’i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.  “Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik] Referensi : https://almanhaj.or.id/1989-tidak-bermalam-di-mina-pada-hari-tasyriq-tanpa-alasan-syari.html Pertanyaan.  Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang mengambil upah untuk haji (3000 riyal tanpa dam), dan dia melaksanakan haji dengan sempurna. Apakah dia mendapatkan pahala haji ? Ataukah pahala haji seperti itu hanya untuk orang yang meninggal yang digantikan dan orang yang membayar ongkos haji tersebut, sedangkan orang yang menggantikan haji dengan upah tidak mendapatkan pahala ?    Sebab ada sebagian orang yang memfatwakan bahwa orang yang haji dengan upah tidak mendapatkan pahala, tapi hanya mendapatkan upah haji yang telah diambilnya. Kami ingin mengetahui yang benar dalam ketidak jelasan ini. Mohon penjelasan.    Jawaban  Jika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah, memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang digantikannya.    MENINGGAL BELUM HAJI DAN TIDAK MEWASIATKAN    Oleh  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz    Pertanyaan  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang meninggal dan tidak mewasiatkan kepada seseorangpun untuk menggantikan hajinya, apakah kewajiban haji dapat gugur darinya jika anaknya haji untuknya .?    Jawaban  Jika anaknya yang Muslim menggantikan haji bapaknya dan ia sendiri telah haji maka kewajiban haji orang tuanya telah gugur darinya. Demikian pula jika yang menggantikan haji selain anaknya dan dia juga telah haji untuk dirinya sendiri. Sebab terdapat hadits dalam shahihain dari Ibnu Abbas :    أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَم  “Bahwa seorang wanita dari suku Khats’am bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya telah berlaku kepada ayahku yang sudah tua yang tidak mampu mengerjakan haji. Apakah aku dapat haji menggantikan dia ?”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam berkata : ” Ya. “. [Muttafaqun ‘alaihi] Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum bagi orang yang karena pekerjaannya tidak dapat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq ?  Jawaban Mabit di Mina gugur bagi orang-orang yang mempunya uzdur (alasan syar’i). Tapi bagi mereka wajib mengambil kesempatan sisa-sisa waktu untuk berdiam di Mina bersama jama’ah haji.  BERMALAM DI LUAR MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum mabit di luar Mina pada hari-hari tasyriq, baik hal tersebut dilakukan dengan sengaja atau karena tiadanya tempat di Mina ? Dan kapan jama’ah haji boleh mulai meninggalkan Mina ?  Jawaban Menurut pendapat yang shahih bahwa mabit di Mina wajib pada malam ke-11 dan malam ke-12 Dzulhijjah. Pendapat ini adalah yang dinyatakan kuat oleh para peneliti hukum, Dan kewajban tersebut sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika tidak mendapatkan tempat di Mina maka gugur kewajiban dari mereka dan tidak wajib membayar kifarat. Namun bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan syar’i wajib menyembelih kurban.  Adapun waktu mulai meninggalkan Mina adalah setelah melontar tiga jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat. Tapi jika seseorang mengakhirkan pulang dari Mina hingga melontar tiga jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah setelah matahari condong ke barat maka hal itu lebih utama.  TIDAK BERMALAM DI MINA PADA HARI-HARI TASYRIQ TANPA ALASAN SYAR’I  Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang meninggalkan mabit di Mina tiga hari, atau dua hari bagi orang yang ingin mempercepat ? Apakah dia wajib membayar kifarat dengen menyembelih satu ekor kambing setiap hari yang terlewatkannya dalam mabit, ataukah hanya wajib menyembelih satu ekor kambing untuk dua atau tiga hari karena tidak mabit di Mina ? Kami mohon penjelasan hal tersebut beserta dalilnya.  Jawaban Orang yang meninggalkan mabit di Mina pada hari-hari tasyriq tanpa alasan syar’i maka dia telah meninggalkan ibadah yang disyariatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan dan perbuatannya serta penjelasannya tentang rukhsah bagi orang-orang yang berhalangan, seperti para pengembala dan orang-orang yang memberikan air minum denga air zamzam. Sedangkan rukshah adalah lawan kata keharusan. Karena itu mabit di Mina pada hari-hari tasyriq dinilai sebagai kewajiban dari beberapa kewajiban dalam haji menurut dua pendapat ulama yang paling shahih. Dan barangsiapa meninggalkan mabit tanpa halangan syar’i maka dia wajib menyembelih kurban. Sebab terdapat riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.  “Barangsiapa yang meninggalkan satu ibadah (dalam haji) atau lupa darinya, maka dia wajib menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malik] Referensi : https://almanhaj.or.id/1989-tidak-bermalam-di-mina-pada-hari-tasyriq-tanpa-alasan-syari.html

Pertanyaan.

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seseorang mengambil upah untuk haji (3000 riyal tanpa dam), dan dia melaksanakan haji dengan sempurna. Apakah dia mendapatkan pahala haji ? Ataukah pahala haji seperti itu hanya untuk orang yang meninggal yang digantikan dan orang yang membayar ongkos haji tersebut, sedangkan orang yang menggantikan haji dengan upah tidak mendapatkan pahala ?


Sebab ada sebagian orang yang memfatwakan bahwa orang yang haji dengan upah tidak mendapatkan pahala, tapi hanya mendapatkan upah haji yang telah diambilnya. Kami ingin mengetahui yang benar dalam ketidak jelasan ini. Mohon penjelasan.


Jawaban

Jika seseorang mengambil upah untuk menggantikan orang lain karena ingin mendapatkan dunia, maka dia dalam keadaan bahaya besar dan dikhawatirkan tidak diterima hajinya. Sebab dengan itu berarti dia lebih mengutamakan dunia atas akhirat. Tapi jika seseorang mengambil upah badal haji karena ingin mendapatkan apa yang di sisi Allah, memberikan kemanfaatan kepada suadaranya yang muslim dengan menggantikan hajinya, untuk bersama-sama kaum muslimin dalam mensyi’arkan haji, ingin mendapatkan pahala thawaf dan shalat di Masjidil haram, serta menghadiri majelis-majelis ilmu di tanah suci, maka dia mendapatkan keuntungan besar dan diharapakan dia mendapatkan pahala haji seperti pahala orang yang digantikannya.


MENINGGAL BELUM HAJI DAN TIDAK MEWASIATKAN


Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seorang meninggal dan tidak mewasiatkan kepada seseorangpun untuk menggantikan hajinya, apakah kewajiban haji dapat gugur darinya jika anaknya haji untuknya .?


Jawaban

Jika anaknya yang Muslim menggantikan haji bapaknya dan ia sendiri telah haji maka kewajiban haji orang tuanya telah gugur darinya. Demikian pula jika yang menggantikan haji selain anaknya dan dia juga telah haji untuk dirinya sendiri. Sebab terdapat hadits dalam shahihain dari Ibnu Abbas :


أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَم

“Bahwa seorang wanita dari suku Khats’am bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya telah berlaku kepada ayahku yang sudah tua yang tidak mampu mengerjakan haji. Apakah aku dapat haji menggantikan dia ?”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam berkata : ” Ya. “. [Muttafaqun ‘alaihi]