This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Agustus 2022

Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah

Ilustrasi : Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah

Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah. seorang nenek berusia sekitar 70 tahun mengalami patah tulang dan terpaksa menginap di rumah sakit. Ia ditemani seorang anaknya dan seorang cucu di ruang ber-setting VIP. Seorang dokter lalu menyapanya dan memberikan bimbingan sebagaimana mestinya hingga pada perkataan, “alhamdulillah ibu masih patah tulang.” Si nenek terkaget-kaget mendengar ucapan sang dokter, “kok alhamdulillah, sih?!” Katanya sembari menghadapkan wajahnya ke anak perempuannya yang hendak menyuapinya.

Sikap nenek tersebut menggugah nurani kita. Betapa banyak ujian mendera kita yang acapkali dianggap malapetaka terbesar. Nenek tadi mungkin lupa atau justru bisa jadi terfokus dengan penyakitnya saja, lantas ia mengesampingkan berbagai nikmat Tuhan yang telah mengalir selama hidupnya. Orang semacam ini adakalanya membutuhkan bantuan orang lain untuk disadarkan bahwa alhamdulillah ia masih memiliki anak yang setia menemani dan menyuapinya. Alhamdulillah hanya kaki kiri yang patah bukan kaki kanan apalagi kedua-duanya atau mungkin seluruh tubuhnya, dan alhamdulillah masih fisiknya yang sakit bukan hatinya.

Ucapan alhamdulillah rupanya dalam sangkaan si nenek, sang dokter mensyukuri penyakitnya. Begitulah, banyak di antara kita salah kaprah memaknai hakikat syukur. Rasa syukur terkadang menghilang di kala seseorang sedang dilanda cobaan atau ditimpa musibah. Padahal bersyukur di saat gundah gulana bisa mengurangi beratnya penderitaan. Akan tetapi, perasaan syukur hanya berlabuh di hati orang yang benar-benar membutuhkan rasa syukur atau menunggu ada sebuah teguran terlebih dahulu, barulah ia bersyukur.

Sekadar permisalan. Seseorang yang memiliki uang tiga juta lebih tiga ratus ribu rupiah, lalu karena suatu hal ia kehilangan tiga ratus ribu dan masih tersisa tiga juta. Perhatian orang yang bersyukur akan tertuju pada jumlah yang tersisa, sehingga ia akan bersyukur, “alhamdulillah, cuma tiga ratus ribu yang hilang, bukan yang tiga juta.” Hatinya terhibur, lisan pun mengujarkan syukur.

Sebaliknya orang yang kufur nikmat hanya terpaku pada uang tiga ratus ribu yang hilang, lalu melupakan tiga juta yang masih tersisa. Hatinya sangat menyesal, lisan pun mengumpat tidak karuan. Musibah terasa amat berat, sedikit pahala pun tidak didapat, bahkan hanya dosa yang tercatat. Karena itulah, ketika seseorang datang kepada tabi’in Yunus ibn ‘Ubaid rahimahullah mengeluhkan kondisinya yang banyak kebutuhan dan sulitnya mencari pendapatan. Seakan tidak ada yang dirasakan di dunia ini selain kesengsaraan.

Kepada orang tadi, Yunus mengatakan, “Bagaimana jika sebelah matamu saya ganti dengan seratus ribu dirham, relakah anda?”

Dia menjawab, “Tentu saja tidak.” Tanya Yunus, “Bagaimana dengan sebelah tanganmu?” Jawabnya: “Tidak Juga.” Yunus melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana dengan sebelah kakimu?” Dia menjawab: “Aku tidak mau.” Yunus lalu menanyakan satu persatu anggota badan orang itu dan dijawab dengan jawaban yang sama. Hingga Yunus berkata, “Saya lihat anda memiliki jutaan dirham, tetapi anda mengeluh dan merasa tidak mempunyai apa-apa.”

AL-KINDI dalam kitabnya Daf ‘Al-Ahzan (Menyingkirkan Kesedihan) mengatakan, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, lalu merenungkan kesedihannya secara filosofis, kemudian dia mengerti penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia. Dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami dan bahwa orang yang bersedih hati serta menimpakan kejadian ini pada dirinya pasti dia akan gembira dan kembali pada kondisi alaminya.”

Kata Kindi lagi “... Jika kita bersedih hati di setiap kali kita kehilangan niscaya kita akan selamanya bersedih hati. Oleh karena itu, seseorang yang berakal hendaknya tidak memikirkan hal-hal yang mudharat dan memedihkan serta karena hilangnya harta menyebabkan kesedihan hati, maka dia hendaknya memilikinya sesedikit mungkin. Suatu ketika Socrates ditanya orang, apa yang menyebabkan selalu bersemangat dan jarang sedih. Socrates pun menjawab: “Karena saya tidak mencari hal-hal yang kalau hilang akan membuat saya sedih.” (Tahdzib Al-Akhlaq: Abu Ali Ahmad Ibn Miskawaih).

Kita dalam hidup ini sering menerima dua hal, yaitu anugerah dan musibah. Biasanya kita akan sangat mengharapkan selalu mendapatkan anugerah, lalu dengan mudah kita mensyukuri atas anugerah itu. Kita merasakan hidup ini indah mempesona manakala kita menerima anugerah dan dengan sangat mudah pula kita akan mengucapkan “alhamdulillah” atas keindahan hidup tersebut.

Bagaimana tatkala kita menerima suatu musibah. Apakah kita masih bisa bersyukur? Adalah sesuatu yang berat bila kita bersyukur saat kita menerima musibah. Umumnya kita lebih banyak mengeluh dan merasa tidak siap atas datangnya musibah. Mungkin kita sempat berpikir Tuhan tidak adil ketika kita menerima musibah. Tak jarang pula kita menyalahkan hidup, menyalahkan Tuhan, dan seterusnya.

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tasyakur terdiri atas tiga komponen: ilmu, hal dan amal. Ilmu, menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Kita tahu bahwa rahman Allah jualah yang menyebabkan kita masih hidup sampai saat ini. Kita tahu bahwa rahim Allah jualah yang menyebabkan kita masih sanggup berpuasa, bertakbir dan menyampaikan syukur kita kepada-Nya.

Komponen tasyakur kedua adalah hal. Menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah SWT. Kita bahagia karena diberi kesempatan menunaikan ibadah puasa. Kita senang karena Allah senantiasa menolong kita pada saat-saat yang diperlukan. Hati kita penuh dengan rasa terima kasih kepada-Nya, karena Dia telah membawa kita pada keadaan seperti sekarang ini.

Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu (berbahagia) bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berzikir dan isteri (suami) mukminin (at) yang membantunya dalam urusan akhirat.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).  

Komponen tasyakur yang ketiga adalah amal. Amal diwujudkan dalam seluruh anggota badan kita. Bersyukur, kata Al-Ghazali, ialah “Menggunakan nikmat-nikmat Allah SWT untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya.” (Renungan-renungan Sufistik; Jalaluddin Rakhmat).

Walhasil, ungkapan syukur dari seorang hamba adalah sebuah tindakan pengagungan yang mencegah terjadinya sebutan, “mengingkari Dzat yang memberi kebaikan kepadanya.” Ungkapan syukur dapat dilakukan dengan menyebut-nyebut kebaikan yang memberi nikmat dan kebaikan prilaku orang yang bersyukur. Sekaligus menunjukkan buruknya orang yang melakukan pengingkaran terhadap nikmat.

Dengan demikian, hakikatnya kewajiban bersyukur yang sebenarnya bagi seorang hamba adalah melakukan pengagungan kepada Allah SWT, di mana pengagungan itu dapat menghalang-halangi antara dia dengan maksiat sesuai dengan ingatannya kepada nikmat-Nya itu.

Kemudian, kata Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, mengimbangi pengagungan itu dengan rajin, taat dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada-Nya. Karena rajin, taat dan berkhidmat kepada Allah SWT termasuk di antara hak nikmat. Maka, menjaga diri dari kemaksiatan menjadi sebuah keharusan bagi setiap hamba-Nya.

Penderitaan dunia itu termasuk perkara yang wajib disyukuri oleh seorang hamba Allah SWT. Sebabnya, semuanya akan mendatangkan manfaat yang besar, pahala berlimpah dan akan memperoleh ganti yang lebih baik di kemudian hari sesuai firman-Nya: “.. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS 3:145).   

Kebaikan yang menyertainya kemudian, jika dibandingkan dengan penderitaan-penderitaan itu sangatlah tidak seimbang. Kenikmatan dan kebaikan terjadi pasca musibah jauh lebih besar daripada musibah itu sendiri.

Menurut para ahli hikmah, pada garis besarnya musibah manusia itu ada lima macam. Pertama, sakit di pengasingan, kedua, fakir di hari tua, ketiga, mati pada usia muda, keempat, mengalami kebutaan sesudah dapat melihat, dan kelima adalah melupakan Allah SWT setelah sebelumnya mendapat makrifat.

Tidakkah anda tahu bagaimana Nabi SAW juga memuji dan bersyukur kepada Allah SWT dalam menghadapi penderitaan, sebagaimana beliau memuji dan bersyukur ketika menerima nikmah Allah SWT. Dia pernah bersabda: “Segala puji bagi Allah, atas apa yang menyusahkan dan yang menyenangkan.”

Betapa banyak di antara kita yang sakitnya menjadi lebih parah, mengundang stres dan memancing kekecewaan mendalam gara-gara tidak bisa mensyukuri musibah yang ada. Padahal jika kita ikhlas menjalaninya dengan cara bersyukur, mungkin masalahnya akan terasa lebih mudah dan ringan. Namun jika kita tidak bersyukur saat menerima musibah, masalahnya mungkin akan terus membengkak dan membuat hidup kita semakin terpuruk.

Saatnya kita untuk melatih rasa bersyukur lebih banyak agar kita tidak menjadi orang-orang yang kufur akan nikmat yang begitu banyak kita terima. Barangkali kita baru merasa nikmatnya sesuatu tatkala kita kehilangannaya. Dengan kekuatan syukur, memiliki dan kehilangan bukanlah masalah yang besar.

Bersyukur bagi kita sangatlah penting karena beberapa alasan antara lain dengan bersyukur membuat hati dan pikiran kita terbuka menerima karunia dalam kehidupan, selalu mengingatkan semua karunia saat menerima anugerah, dan dengan bersyukur akan mampu menghadapi masalah secara proporsional. Sebabnya, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya dan di balik masalah terdapat hikmah yang tersembunyi.

Dengan bersyukur juga bisa menjadi alat kontrol diri kita agar tidak bersikap berlebihan saat menerima anugerah atau musibah. Rasa syukur merupakan kekuatan luar biasa yang bisa menghilangkan dan mengatasi masalah dalam setiap keadaan.

Tak heran jika Allah SWT menjadikan orang yang bersyukur sebagai manusia pilihan yang teristimewa. Hal ini bisa kita seksamai dari firman-Nya yang telah memuji Nabi Nuh Alaihissalam: “Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang banyak bersyukur.” (QS Al-Isra’ 3).   

Kehidupan kita akan bahagia atau menderita, itu tergantung pada cara pandang dan pikiran kita. Melalui cara bersyukur kita akan menemukan apa yang kita cari. Apabila pikiran kita selalu mencari apa yang indah dari setiap musibah lalu mensyukurinya maka keindahan yang akan kita dapati. Itu sebabnya, rasa syukur dibutuhkan untuk menerima dan memandang indah setiap peristiwa dalam perjalanan hidup kita. Syukur-syukur dengan bersyukur kita dapat mengubah musibah menjadi anugerah.

Memang tidak gampang menghadirkan rasa syukur saat mendapatkan musibah. Untuk itu, ada baiknya kita merenungi petuah Syuraih al-Qadhi. Kata beliau, bagi kita yang mendapatkan suatu musibah hendaknya membandingkan dengan musibah orang lain yang lebih berat. Juga membandingkan antara sedikitnya sesuatu yang hilang dari kita (seperti kesehatan, harta, jabatan, keturunan dan lain sebagainya) dengan banyaknya nikmat yang masih Allah SWT sisakan buat kita.

Ketika ditanya rahasia sikapnya yang selalu bersyukur meski tertimpa musibah, al-Qadhi berujar, “Saat musibah menimpaku, aku bersyukur kepada Allah empat kali: aku bersyukur karena musibah yang lebih besar tidak menimpaku, aku bersyukur karena Allah masih memberiku kesabaran menghadapinya, aku bersyukur karena Allah memberiku petunjuk untuk mengucapkan istirja’ (inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun), dengannya aku mengharapkan pahala, dan aku bersyukur karena musibah tidak menimpa agamaku.”

Referensi : Menghadirkan Rasa Syukur dalam Musibah