Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Karena setiap nafas yang berhembus, setiap detik yang berdetak, terlalu berharga untuk disia-siakan dan berlalu begitu saja tanpa ada kemanfaatan yang diperbuat.
Dalam Al-Qur’an, kata waqt (waktu) ditemukan sebanyak tiga kali, hanya saja konteks penggunaan dan makna yang dikandungnya tidak sama dengan apa yang disampaikan di atas. Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini (QS 7:187, 15:38, dan 38:81). Dari sini dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata lain yang mengakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk bekerja.
Waktu, menurut Syekh Yahya bin Hubairah adalah sesuatu yang paling berharga untuk dimiliki sekaligus sesuatu yang paling mudah untuk disia-saikan. Orang yang menyia-nyiakan waktunya, sama artinya ia telah menyia-nyiakan hidupnya. Dan jika hidupnya telah tersia-siakan maka tak ada arti apapun bagi hidupnya di dunia ini. Dan jika hidupnya sudah tidak memiliki arti, maka tak ada bedanya antara kehidupan dan kematiannya. Karena keduanya sama-sama tak berguna.
Setiap orang memiliki jatah waktu 24 jam sehari semalam untuk melakukan aktivitas. Walaupun jatah waktunya sama, tetapi hasil yang diperoleh berbeda-beda. Setiap orang juga berbeda dalam mamaknai dan merasakan jalannya jarum jam dari menit ke menit. Ada yang merasa waktu berlalu dengan cepat, ada juga yang merasa lambat, dengan demikian, rentang waktu ternyata bukan sekedar jumlah dan akumulasi hitungan menit, melainkan sangat berkaitan dengan suasana kejiwaan seseorang. Bagi orang yang sibuk dan bergairah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari, waktu pasti akan terasa pendek dan bahkan kurang.
Bagaimana Mengatur Waktu?
Dalam kitab Qimatuz Zaman dijelaskan ada beberapa poin-poin penting yang bisa kita ambil agar waktu yang kita miliki berkualitas, merujuk kepada cara para ulama yang produktif dalam menghasilkan karya dan dari buah karya (kitab dan buku) mereka yang banyak memberi manfaat dari masa ke masa.
Pertama, hendaknya kita memanfaatkan waktu yang kita miliki sesuai dengan bidang-bidang ilmu yang kita pelajari berdasarkan tingkat penting dan kesulitannya. Sebab, sebagian ilmu ada yang mudah dibaca dan difahami dalam berbagai kondisi dan kapanpun, tetapi ada juga ilmu-ilmu tertentu yang sulit untuk dipahami sehingga memerlukan waktu khusus dan tempat yang khusus untuk bisa menyelami dan memahaminya.
Kedua, setelah kita petakan tingkatan ilmu berdasarkan tingakat kesulitannya, dalam arti setelah kita ketahui ilmu-ilmu mana yang sulit dan memerlukan waktu khusus, maka waktu terbaik untuk memahami ilmu-ilmu yang rumit agar bisa memahaminya dengan baik adalah waktu-waktu menjelang subuh, waktu subuh dan pagi hari. Selain itu, waktu malam juga disebut sebagai waktu yang baik untuk belajar, karena pada malam hari situasi dan kondisi kita tenang, sehingga bisa menyiapkan diri dengan sempurna untuk sepenuhnya berkhidmah kepada ilmu dengan mempelajari dan memahaminya.
Ketiga, tempat yang terbaik untuk belajar dan muthalaah adalah kamar yang tidak bising dan jauh dari hiruk pikuk keramaian. Karena itu para ulama ketika mencari ilmu lebih suka berkhalwah (menyendiri) dari keramaian orang, karena khalwah bisa membantu menjernihkan pikiran. Jika pikiran sudah jernih, maka ia bisa masuk pada tema-tema yang penting dan berat, sehingga bisa memecahkan persoalan-persoalan yang sulit, serta bisa menemukan inspirasi-inspirasi yang cemerlang.
Keempat, terkadang di sebagian waktu yang dimiliki, seseorang yang sedang muthalaah (mengkaji/ belajar) merasa bosan dan kurang semangat, sehingga pada saat kondisi dalam keadaan seperti ini ia perlu mensiasati dan segera mencari cara agar mood-nya bisa segera kembali dan semangat lagi dalam muthalaah. Di antara hal yang direkomendasikan para ulama untuk menghilangkan rasa jenuh adalah dengan membaca kitab-kitab sejarah (sirah) para tokoh, dengan membaca biografi para tokoh akan memotivasi dan membangkitakan semangat kita dalam mencotoh apa yang mereka tempuh dalam mencapai puncak kesuksesan.
Kelima, manfaatkanlah waktu-waktu berharga yang kita miliki untuk mempelajari dan memahami ilmu-ilmu yang penting dan abaikan saja ilmu-ilmu yang kurang penting bagi diri kita, baik yang berkaitan dengan kehidupan agama, dunia dan akhirat kita. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Al-Khatib Al-Bahgdadi, ilmu-ilmu itu sangat luas seluas lautan yang tak bertepi, sangat dalam seperti lautan yang paling dalam, seperti tambang yang tidak akan habis untuk ditambang, karena itu raihlah hal-hal yang terpenting dari ilmu-ilmu itu, karena ilmu-ilmu itu tidak terbatas, sedangkan waktu dan umur yang kita miliki sangat terbatas.
Maka dari itu, ada tiga hal yang menjadi kebiasaan para ulama dalam hal berpacu dengan waktu mereka, yaitu1). Membaca dengan cepat 2). Menulis dengan cepat dan 3). Berjalan dengan cepat. Para ulama yang haus ilmu biasanya jalannya sangat cepat agar mereka bisa menyerap banyak ilmu dari banyak guru-guru yang mereka datangi. Bahkan, lebih dari itu, ada ulama yang makan dengan cepat, agar tidak menyita banyak waktu sehingga bisa langsung kembali menikmati sajian-sajian yang tertuang dalam kitab-kitab yang mereka pelajari.
Betapa mereka sangat menghargai waktu lebih mahal dari apapun yang ada di dunia ini, karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa waktu yang mereka miliki adalah hanya saat ini, sedangkan yang sudah berlalu tak mungkin kembali lagi, dan waktu yang akan datang tidak dijamin masih dipersiapkan untuk mereka.
Seberapa Mahal Waktu bagi Ulama?
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat senior Nabi Muhammad Saw. adalah salah seorang sahabat yang sangat menghargai waktu, diantara statement yang beliau sampaikan adalah” Tak ada penyesalan yang lebih mendalam dibandingkan penyesalanku atas hari yang mataharinya telah terbenam, dan umurku menjadi berkurang, namun amal yang aku lakukan tidak bertambah”.
Imam Hasan Al-Bashri seorang tabi’in terkemuka menyampaikan,” Wahai anak Adam, engkau adalah hari-hari. Jika sebagian hari telah hilang, maka hilang pula sebagian dari dirimu”.
Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar Alamin Nubala menceritakan tentang profil seorang ahli Hadis, Ubaid bin Ya’isy, salah seoran guru Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Bahwa Ammar bin Raja’ mengatakan:”Aku mendengar Ubaid bin Ya’isy berkata: “Selama tiga puluh tahun, aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri. Saudariku yang menyuapi aku makan malam, sedangkan aku menulis Hadis”.
Di akhir tulisan ini penulis sampaikan sebuah apresiasi seorang ulama terhadap waktu yang luar biasa. Dan barangkali sangat sulit untuk dicari padanannya sampai hari ini, yaitu kisah yang ditempuh oleh kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu Al-Barakat Abdussalam bin Taimiyah Al-Harrani Al-Hanbali (590 -653 H). dalam menghargai waktu dan memanfaatkan waktu yang dimilikinya.
Dalam kitab Dzaili Thabaqatil Hanabilah, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali ketika menulis biografi kakek Ibnu Taimiyah itu mengatakan: “ Kakek Ibnu Taimiyah adalah seorang ahli fikih, qiraah, hadis, usul fiqih dan nahwu, Syaikh Islam dan ahli fikih di zamannya. Syaikh Abu Abdullah bin Qayyim mengatakan, saudara dari guru kami, Abdurrahman bin Abdul Halim bin Taimiyah, berkata: “Jika Syekh Majduddin Abu Al-Barakat masuk ke WC, beliau bilang kepadaku “bacakan kitab ini dengan keras, agar aku bisa mendengarkannya dari dalam WC”.
Ibnu Rajab mengakatan:”Hal itu menunjukkan betapa kuatnya kegemaran beliau kepada ilmu dan betapa hebatnya beliau dalam menjaga dan memanfaatkan waktu dengan baik”.