This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Kata Gus Baha Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak Bukan Sebaliknya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kata Gus Baha Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak Bukan Sebaliknya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 September 2022

Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya

“Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.” Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya. “Saya memang berbeda dengan kebanyakan orang, bagi mereka: Anak kecil bisa kualat kalau melawan orang tua. Saya punya pendapat sebaliknya, orang tua bisa kualat kalau sembarangan kepada anak kecil. Sebagai orang alim, saya pertanggungjawabkan pendapat ini di depan Allah. Dan saya punya referensi banyak kitab soal ini. Sayang, pendapat seperti saya ini tidak populer di (negeri) ini…”  Hakul yakin, tidak usah saya sebut siapa yang mengatakan hal tersebut di atas, Anda pasti tahu. Siapa lagi kalau bukan Gus Baha’. Semalam, saya mendengarkannya dengan agak merinding. Apalagi, saya sedang punya sedikit masalah dengan Kali.  Sebulan lalu, ibu Kali bilang kalau Kali sudah hapal juz 30. Itu tentu bukan barang sepele bagi saya. Saya punya kelemahan dalam hal mengingat, dan saya mencoba ‘berkawan’ dengan kelemahan saya itu. Nomor mobil saya pun, saya tidak ingat. Padahal saya berusaha mengingatnya.  Seminggu lalu, saya sendiri yang langsung menguji Kali. Dan saya mengucurkan airmata ketika Kali menuntaskan semua surah di juz 30. Saya berjanji untuk mengajaknya makan malam di salah satu rumah makan favoritnya. Tapi selalu saya tunda karena pas ada acara terus.  “Anak itu kan belum punya dosa, bagaimana bisa kualat? Yang bisa kualat ya yang sudah besar. Sehingga orang tualah yang bisa kualat.”  “Kanjeng Nabi itu hormat sekali dengan anak kecil. Masyhur itu ada banyak peristiwa menunjukkan soal itu, termasuk ketika Hasan dan Husein (cucu Nabi) dibiarkan main anjing di kamarnya. Makanya, ketika istri saya menegur anak saya waktu mereka kecil, soalnya mengajak ayam dan kambing masuk ke dalam rumah, saya memberitahu istri saya: Gak apa-apa, Dik, wong cuma ayam sama kambing, Nabi saja ketika cucu-cucunya main anjing di rumah gak menegur mereka…”  Tidak terlalu sulit bagi saya membayangkan Narukan, tempat tinggal sekaligus pondok pesantren Gus Baha’. Jaraknya dari rumah saya sekira 25 km. Gak terlalu jauh. Terlalu mudah juga bagi saya membayangkan ayam atau kambing masuk ke dalam rumah.  “Akan ada wali yang akan terus menjadi wali karena longgar kepada keluarga. Misalnya kita sebagai orang tua sudah mengajari anak salat, padahal kita tahu bahwa salat itu sesuatu yang sangat spesial, maka kamu penting membuatnya bergembira. Kegembiraan itu didirikan di atas kesadaran ketauhidan, bahwa anak kita sudah melakukan sesuatu yang spesial dalam laku ketauhidan.  “Jangan sampai anak itu punya kenangan buruk kepada orang tua. Nonton teve, haram. Bermain, haram. Apa-apa dikit haram. Sehingga kenangan anak kepada bapaknya atau orang tuanya itu kenangan buruk. Kenangan traumatik. Dengan begitu, mereka justru mengidolakan orang lain. Maka itu, gembirakanlah mereka, dengan konteks memberi mereka hadiah atas hal baik yang sudah mereka lakukan.”  Saya merasa tersindir, atau lebih tepatnya ditegur sama Gus Baha’. Mestinya saya memprioritaskan menraktir Kali atau membelikan mainan sebagai hadiah karena dia sudah hapal juz 30 di usia 7 tahun.  “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.” “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.”Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya. “Saya memang berbeda dengan kebanyakan orang, bagi mereka: Anak kecil bisa kualat kalau melawan orang tua. Saya punya pendapat sebaliknya, orang tua bisa kualat kalau sembarangan kepada anak kecil. Sebagai orang alim, saya pertanggungjawabkan pendapat ini di depan Allah. Dan saya punya referensi banyak kitab soal ini. Sayang, pendapat seperti saya ini tidak populer di (negeri) ini…” Hakul yakin, tidak usah saya sebut siapa yang mengatakan hal tersebut di atas, Anda pasti tahu. Siapa lagi kalau bukan Gus Baha’. Semalam, saya mendengarkannya dengan agak merinding. Apalagi, saya sedang punya sedikit masalah dengan Kali.  Sebulan lalu, ibu Kali bilang kalau Kali sudah hapal juz 30. Itu tentu bukan barang sepele bagi saya. Saya punya kelemahan dalam hal mengingat, dan saya mencoba ‘berkawan’ dengan kelemahan saya itu. Nomor mobil saya pun, saya tidak ingat. Padahal saya berusaha mengingatnya.  Seminggu lalu, saya sendiri yang langsung menguji Kali. Dan saya mengucurkan airmata ketika Kali menuntaskan semua surah di juz 30. Saya berjanji untuk mengajaknya makan malam di salah satu rumah makan favoritnya. Tapi selalu saya tunda karena pas ada acara terus.  “Anak itu kan belum punya dosa, bagaimana bisa kualat? Yang bisa kualat ya yang sudah besar. Sehingga orang tualah yang bisa kualat.”  “Kanjeng Nabi itu hormat sekali dengan anak kecil. Masyhur itu ada banyak peristiwa menunjukkan soal itu, termasuk ketika Hasan dan Husein (cucu Nabi) dibiarkan main anjing di kamarnya. Makanya, ketika istri saya menegur anak saya waktu mereka kecil, soalnya mengajak ayam dan kambing masuk ke dalam rumah, saya memberitahu istri saya: Gak apa-apa, Dik, wong cuma ayam sama kambing, Nabi saja ketika cucu-cucunya main anjing di rumah gak menegur mereka…”  Tidak terlalu sulit bagi saya membayangkan Narukan, tempat tinggal sekaligus pondok pesantren Gus Baha’. Jaraknya dari rumah saya sekira 25 km. Gak terlalu jauh. Terlalu mudah juga bagi saya membayangkan ayam atau kambing masuk ke dalam rumah.  “Akan ada wali yang akan terus menjadi wali karena longgar kepada keluarga. Misalnya kita sebagai orang tua sudah mengajari anak salat, padahal kita tahu bahwa salat itu sesuatu yang sangat spesial, maka kamu penting membuatnya bergembira. Kegembiraan itu didirikan di atas kesadaran ketauhidan, bahwa anak kita sudah melakukan sesuatu yang spesial dalam laku ketauhidan.  “Jangan sampai anak itu punya kenangan buruk kepada orang tua. Nonton teve, haram. Bermain, haram. Apa-apa dikit haram. Sehingga kenangan anak kepada bapaknya atau orang tuanya itu kenangan buruk. Kenangan traumatik. Dengan begitu, mereka justru mengidolakan orang lain. Maka itu, gembirakanlah mereka, dengan konteks memberi mereka hadiah atas hal baik yang sudah mereka lakukan.”  Saya merasa tersindir, atau lebih tepatnya ditegur sama Gus Baha’. Mestinya saya memprioritaskan menraktir Kali atau membelikan mainan sebagai hadiah karena dia sudah hapal juz 30 di usia 7 tahun.  “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.”  Referensi : Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.” Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya. “Saya memang berbeda dengan kebanyakan orang, bagi mereka: Anak kecil bisa kualat kalau melawan orang tua. Saya punya pendapat sebaliknya, orang tua bisa kualat kalau sembarangan kepada anak kecil. Sebagai orang alim, saya pertanggungjawabkan pendapat ini di depan Allah. Dan saya punya referensi banyak kitab soal ini. Sayang, pendapat seperti saya ini tidak populer di (negeri) ini…”  Hakul yakin, tidak usah saya sebut siapa yang mengatakan hal tersebut di atas, Anda pasti tahu. Siapa lagi kalau bukan Gus Baha’. Semalam, saya mendengarkannya dengan agak merinding. Apalagi, saya sedang punya sedikit masalah dengan Kali.  Sebulan lalu, ibu Kali bilang kalau Kali sudah hapal juz 30. Itu tentu bukan barang sepele bagi saya. Saya punya kelemahan dalam hal mengingat, dan saya mencoba ‘berkawan’ dengan kelemahan saya itu. Nomor mobil saya pun, saya tidak ingat. Padahal saya berusaha mengingatnya.  Seminggu lalu, saya sendiri yang langsung menguji Kali. Dan saya mengucurkan airmata ketika Kali menuntaskan semua surah di juz 30. Saya berjanji untuk mengajaknya makan malam di salah satu rumah makan favoritnya. Tapi selalu saya tunda karena pas ada acara terus.  “Anak itu kan belum punya dosa, bagaimana bisa kualat? Yang bisa kualat ya yang sudah besar. Sehingga orang tualah yang bisa kualat.”  “Kanjeng Nabi itu hormat sekali dengan anak kecil. Masyhur itu ada banyak peristiwa menunjukkan soal itu, termasuk ketika Hasan dan Husein (cucu Nabi) dibiarkan main anjing di kamarnya. Makanya, ketika istri saya menegur anak saya waktu mereka kecil, soalnya mengajak ayam dan kambing masuk ke dalam rumah, saya memberitahu istri saya: Gak apa-apa, Dik, wong cuma ayam sama kambing, Nabi saja ketika cucu-cucunya main anjing di rumah gak menegur mereka…”  Tidak terlalu sulit bagi saya membayangkan Narukan, tempat tinggal sekaligus pondok pesantren Gus Baha’. Jaraknya dari rumah saya sekira 25 km. Gak terlalu jauh. Terlalu mudah juga bagi saya membayangkan ayam atau kambing masuk ke dalam rumah.  “Akan ada wali yang akan terus menjadi wali karena longgar kepada keluarga. Misalnya kita sebagai orang tua sudah mengajari anak salat, padahal kita tahu bahwa salat itu sesuatu yang sangat spesial, maka kamu penting membuatnya bergembira. Kegembiraan itu didirikan di atas kesadaran ketauhidan, bahwa anak kita sudah melakukan sesuatu yang spesial dalam laku ketauhidan.  “Jangan sampai anak itu punya kenangan buruk kepada orang tua. Nonton teve, haram. Bermain, haram. Apa-apa dikit haram. Sehingga kenangan anak kepada bapaknya atau orang tuanya itu kenangan buruk. Kenangan traumatik. Dengan begitu, mereka justru mengidolakan orang lain. Maka itu, gembirakanlah mereka, dengan konteks memberi mereka hadiah atas hal baik yang sudah mereka lakukan.”  Saya merasa tersindir, atau lebih tepatnya ditegur sama Gus Baha’. Mestinya saya memprioritaskan menraktir Kali atau membelikan mainan sebagai hadiah karena dia sudah hapal juz 30 di usia 7 tahun.  “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.” “Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.  “Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”  Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…  “Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.”
Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya. “Saya memang berbeda dengan kebanyakan orang, bagi mereka: Anak kecil bisa kualat kalau melawan orang tua. Saya punya pendapat sebaliknya, orang tua bisa kualat kalau sembarangan kepada anak kecil. Sebagai orang alim, saya pertanggungjawabkan pendapat ini di depan Allah. Dan saya punya referensi banyak kitab soal ini. Sayang, pendapat seperti saya ini tidak populer di (negeri) ini…”

Hakul yakin, tidak usah saya sebut siapa yang mengatakan hal tersebut di atas, Anda pasti tahu. Siapa lagi kalau bukan Gus Baha’. Semalam, saya mendengarkannya dengan agak merinding. Apalagi, saya sedang punya sedikit masalah dengan Kali.

Sebulan lalu, ibu Kali bilang kalau Kali sudah hapal juz 30. Itu tentu bukan barang sepele bagi saya. Saya punya kelemahan dalam hal mengingat, dan saya mencoba ‘berkawan’ dengan kelemahan saya itu. Nomor mobil saya pun, saya tidak ingat. Padahal saya berusaha mengingatnya.

Seminggu lalu, saya sendiri yang langsung menguji Kali. Dan saya mengucurkan airmata ketika Kali menuntaskan semua surah di juz 30. Saya berjanji untuk mengajaknya makan malam di salah satu rumah makan favoritnya. Tapi selalu saya tunda karena pas ada acara terus.

“Anak itu kan belum punya dosa, bagaimana bisa kualat? Yang bisa kualat ya yang sudah besar. Sehingga orang tualah yang bisa kualat.”

“Kanjeng Nabi itu hormat sekali dengan anak kecil. Masyhur itu ada banyak peristiwa menunjukkan soal itu, termasuk ketika Hasan dan Husein (cucu Nabi) dibiarkan main anjing di kamarnya. Makanya, ketika istri saya menegur anak saya waktu mereka kecil, soalnya mengajak ayam dan kambing masuk ke dalam rumah, saya memberitahu istri saya: Gak apa-apa, Dik, wong cuma ayam sama kambing, Nabi saja ketika cucu-cucunya main anjing di rumah gak menegur mereka…”

Tidak terlalu sulit bagi saya membayangkan Narukan, tempat tinggal sekaligus pondok pesantren Gus Baha’. Jaraknya dari rumah saya sekira 25 km. Gak terlalu jauh. Terlalu mudah juga bagi saya membayangkan ayam atau kambing masuk ke dalam rumah.

“Akan ada wali yang akan terus menjadi wali karena longgar kepada keluarga. Misalnya kita sebagai orang tua sudah mengajari anak salat, padahal kita tahu bahwa salat itu sesuatu yang sangat spesial, maka kamu penting membuatnya bergembira. Kegembiraan itu didirikan di atas kesadaran ketauhidan, bahwa anak kita sudah melakukan sesuatu yang spesial dalam laku ketauhidan.

“Jangan sampai anak itu punya kenangan buruk kepada orang tua. Nonton teve, haram. Bermain, haram. Apa-apa dikit haram. Sehingga kenangan anak kepada bapaknya atau orang tuanya itu kenangan buruk. Kenangan traumatik. Dengan begitu, mereka justru mengidolakan orang lain. Maka itu, gembirakanlah mereka, dengan konteks memberi mereka hadiah atas hal baik yang sudah mereka lakukan.”

Saya merasa tersindir, atau lebih tepatnya ditegur sama Gus Baha’. Mestinya saya memprioritaskan menraktir Kali atau membelikan mainan sebagai hadiah karena dia sudah hapal juz 30 di usia 7 tahun.

“Itu yang menjelaskan kenapa semua nabi punya hubungan yang baik sama anak. Semua nabi itu punya adab memuliakan anak karena punya kesadaran bahwa yang meneruskan ketauhidan di bumi ini adalah anak. Mereka lebih lama hidup dibanding kita.

“Saya ini biasa ditegur saudara karena dianggap terlalu memanjakan anak. Saya tidak memanjakan, karena saya memang hormat pada anak saya. Kalau perlu, saya yang berbahasa halus (krama) kepada anak-anak saya sekalipun misalnya mereka tidak berbahasa halus kepada saya. Tapi pendapat seperti ini tidak populer di sini.”

Saya tercenung. Mestinya orang seperti saya, yang punya kelemahan dalam menghapal, dikaruniai anak yang punya kelebihan dalam menghapal, harus banyak bersyukur. Ini karunia luarbiasa…

“Jadi jangan sembarangan sama anak, kamu bisa kuwalat. Anak-anak itu belum punya dosa, sementara dosa kalian itu sudah banyak. Sekali lagi ini bukan aliran sesat. Jadi kita ini jika menggembirakan anak dengan niat mengawal ketauhidan mereka, termasuk diajak ke mal, ditraktir makan, dibelikan mainan, dll, semua itu merupakan ibadah.”

Referensi : Kata Gus Baha’ Orang Tua yang Bisa Kualat Pada Anak, Bukan Sebaliknya