This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Melihat Trauma Anak Berdasarkan Usia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Melihat Trauma Anak Berdasarkan Usia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Agustus 2022

Melihat Trauma Anak Berdasarkan Usia, Pasca-perceraian Orangtua

Ilustrasi : Melihat Trauma Anak Berdasarkan Usia, Pasca-perceraian Orangtua

Perceraian tentu menjadi masa-masa sulit yang harus dialami oleh anak. Pada sebagian anak, mereka bisa kembali bangkit dan menjalani rutinitas seperti biasa setelah kedua orangtuanya bercerai. Namun tak sedikit pula anak yang lalu mengalami masalah menyusul perceraian orangtua mereka. Anak -seperti, tak bisa menjalani hidup normal seperti masa sebelumnya.  Berdasarkan temuan dari penelitian para ahli, masa-masa terburuk bagi seorang anak terkait perceraian kedua orangtua akan terjadi saat anak itu

Menurut psikolog anak Dr Scott Carroll, jika perceraian terjadi ketika anak masih bayi, kemungkinan trauma perceraian akan kecil. "Sepertinya usia di mana kita mengatakan perceraian tidak memiliki dampak berarti adalah saat anak di bawah dua tahun," kata dia. Hal itu terkait dengan kemampuan kognitif anak yang sedang berkembang sebelum berusia tiga tahun. "Bahkan anak usia dua tahun memiliki memori tentang perceraian, jadi mereka lebih sadar akan perubahan pada tingkat emosi daripada tingkat kognitif." "Hanya saja tidak ada keterikatan," kata Carroll. 

Setelah anak berusia tiga tahun, potensi trauma emosional mulai terlihat dan akan memuncak pada usia 11 tahun. Pada titik tersebut, anak-anak sudah memahami pentingnya hubungan antara kedua orangtua. Anak mengembangkan keterikatan mendalam dengan orangtua dan keluarga sebagai satu kesatuan. Namun di saat yang sama, anak menjadi kurang mandiri dan egosentris.

"Perceraian itu bukanlah bagian tersulit. Bagian tersulit adalah konfliknya," ungkap Carroll. Konflik orangtua akan sangat merugikan jika terjadi di depan anak-anak. Lebih buruk lagi, ketika kedua orangtua berkomunikasi lewat anak sebagai perantara. Dalam keadaan yang paling ekstrem, kata Carroll, perceraian bisa memberikan manfaat. "Jika terjadi banyak konflik, terkadang perceraian terasa melegakan." Sebelum masa pubertas, trauma akibat perceraian juga bisa diperburuk oleh orangtua yang berhenti melakukan tugasnya sebagai orangtua. 

Perceraian menyebabkan anak jarang bertemu salah satu orangtua, entah itu ayah atau ibunya, sehingga anak merasa kehilangan sebagian dari dirinya. "Hal terburuk bagi seorang anak adalah jika setelah perceraian, orangtua tidak ada," kata Carroll. "Jika ingin melihat anak depresi, lihat apa yang terjadi jika orangtuanya tidak muncul." Dia menambahkan, wajar jika seorang anak yang tidak diperhatikan orangtua akan bertanya, "apa yang salah dengan saya sehingga kamu tidak mencintai saya?" "Begitu seorang anak melewati masa pubertas, ada lebih banyak potensi untuk menerima dan memahami perceraian orangtua," ungkap Carroll. "Saya memiliki remaja yang menengahi perceraian orangtua mereka. 

Terkadang anak adalah yang paling pintar dalam hal ini." Carroll menekankan, anak memiliki ketangguhan, terutama jika anak tersebut sehat secara psikologis sebelum perceraian orangtua. Bagi kebanyakan anak, butuh waktu satu tahun atau lebih untuk menyembuhkan luka akibat orangtuanya bercerai. Namun pada akhirnya anak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Sedangkan bagi kedua orangtua, ada kesulitan dalam menjaga konflik dari anak mengenai siapa yang memiliki hak asuh.

Sebaiknya orangtua memahami, jika masing-masing dapat berkomunikasi dengan baik antara satu sama lain, kondisi anak juga akan membaik. "Belajarlah untuk bekerja sama, karena kita adalah orangtua. Kita harus bekerja sama," kata Carroll.

Referensi : Melihat Trauma Anak Berdasarkan Usia, Pasca-perceraian Orangtua