Jawaban, “Bekerja sebagai petugas yang mendata nasabah yang mengajukan permohonan transaksi riba, menjadi akuntan riba, menulis berbagai surat yang diperlukan untuk berjalannya transaksi riba, atau pun pekerjaan sejenis yang mendukung transaksi riba adalah pekerjaan yang terlarang karena termasuk dalam tindakan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
قال الله تعالى: ( ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْبِرِّ ÙˆَالتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ùˆَلا تَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الأِØ«ْÙ…ِ ÙˆَالْعُدْÙˆَانِ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ الْعِÙ‚َابِ ) المائدة/2 ،
Allah berfirman, yang artinya, ‘Dan hendaknya kalian tolong-menolong untuk melakukan kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya, Allah adalah Dzat yang keras siksaan-Nya.‘ (Q.S. Al-Maidah:2)
Nabi melaknat orang yang memakan harta riba, nasabah riba, juru tulis transaksi riba dan kedua orang saksinya. Nabi katakan, ‘Mereka semua sama saja.’ (H.R. Muslim, no. 1598; riwayat dari Jabir)
Merupakan sebuah keniscayaan untuk meninggalkan pekerjaan di bidang ini dan mencukupkan diri dengan bekerja di bidang-bidang yang halal. Siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka pasti akan Allah ganti dengan yang lebih baik darinya.
Siapa saja yang mendapatkan uang melalui jalan yang haram, semisal uang upah manggung sebagai penyanyi, uang suap, upah yang didapatkan oleh dukun, upah karena memberikan persaksian palsu, gaji karena mencatat transaksi riba, dan profesi haram lainnya, kemudian dia bertobat dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan maka status uang yang didapatkan dengan cara semacam ini bisa dirinci menjadi dua rincian.
Pertama, jika uang tersebut telah dia belanjakan untuk berbagai keperluan hidupnya maka tidak ada kewajiban apa pun atas orang tersebut terkait dengan uang tersebut.
Kedua, jika uang tersebut masing ada di tangannya maka dia berkewajiban untuk membebaskan diri dari uang tersebut dengan membelanjakannya untuk kepentingan sosial. Jika dia membutuhkan uang tersebut maka dia boleh menyisihkan sebagian darinya, sekadar memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhannya. Adapun sisanya, wajib dia pergunakan untuk kepentingan sosial.
Ibnul Qayyim mengatakan, ‘Jika seseorang itu mengadakan transaksi yang haram dengan seseorang, dan dia telah menerima upah dari transaksi tersebut, semisal pelacur, penyanyi, penjual minuman keras, saksi palsu, kemudian dia bertobat, sedangkan uang upah tersebut masih ada di tangannya maka sejumlah ulama mengatakan bahwa uang upah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya karena uang tersebut bukanlah miliknya, dia tidaklah menerima uang tersebut melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat, dan pemilik uang yang asli tidaklah mendapatkan manfaat mubah dengan membayarkan sejumlah uang tersebut.
Adapun sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa bukti tobat orang tersebut adalah dengan menyedekahkan uang tersebut dan tidak menyerahkannya kepada pemilik uang yang asli. Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan itulah pendapat yang tepat dari dua pendapat di atas.’ (Madarijus Salikin, 1:389)
Ibnul Qayyim menguraikan permasalahan ini secara panjang lebar di Zadul Ma’ad, 5:778. Kesimpulannya adalah: cara membebaskan diri dari harta ini dan itulah bukti tobat adalah dengan menyedekahkan harta tersebut. Jika dia membutuhkannya maka dia boleh mengambil sekadar bagian yang menjadi kebutuhannya, sedangkan sisanya disedekahkan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Jika seorang pelacur atau penjual minuman keras bertobat dari profesinya, sedangkan mereka itu miskin (baca: tidak memiliki sumber pendapatan yang lain) maka boleh bagi mereka untuk memanfaatkan sebagian harta tersebut sekadar kebutuhannya. Jika dia mampu berdagang atau memiliki keterampilan tangan, misalnya: menenun atau memintal, maka modal diberikan kepadanya untuk usaha tersebut, dari harta haram tadi.’ (Majmu’ Fatawa, 29:308)
Penjelasan detail mengenail permasalahan ini bisa dibaca di buku Ar-Riba fi Al-Muamalah Al-Mashrafiyyah Al-Muashirah, karya Dr. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, 2:779–874.
Bisa disimpulkan dari penjelasan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim di atas bahwa orang yang telah bertobat dari profesi yang haram, jika membutuhkan sebagian harta tersebut, dia boleh mengambilnya sekadar kebutuhannya. Sebagian darinya boleh dia pergunakan sebagai modal investasi yang bisa dia lakukan, baik berupa berdagang atau pun keterampilan dengan tangan.
Menimbang bahwa sebagian pekerjaan akuntan itu halal, sedangkan sebagian yang lain adalah haram, maka hendaknya Anda bersungguh-sungguh untuk menentukan persentase harta haram yang ada dalam harta Anda, lalu uang senilai persentase tadi disedekahkan oleh Anda.
Jika Anda kesulitan untuk menentukan besarnya persentase maka sedekahkanlah setengah dari harta haram yang Anda miliki. Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Jika harta halal bercampur dengan harta haram, dan orang yang memegang harta bercampur tersebut tidak mengetahui kadar dari masing-masing jenis harta, maka tetapkanlah bahwa setengah dari total harta itu halal, sedangkan setengah sisanya adalah harta haram.’ (Majmu’ Fatawa, 29:307)
Hukum Zakat Atas Harta yang Haram. Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi.
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 188).
Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).
Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).
Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.
Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris–jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan harta haram tersebut dan tidak boleh sebagian saja.
Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.