This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Agustus 2022

Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar


Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan kala Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, beliau ditemui oleh para amir kota-kota wilayah Syam, Abu Ubaidah dan para sahabatnya. Mereka mengabarkan bahwa wabah tha’un sedang melanda Syam.

Umar berkata, “Kumpulkan kepadaku sahabat muhajirin yang pertama!”

Umar memberitahu mereka bahwa wabah tha’un telah berjangkit di Syam lalu meminta pendapat mereka. Ternyata sahabat Muhajirin berselisih pendapat.

Sebagian mereka berkata, “Engkau pergi untuk suatu urusan dan kami tidak sepakat jika engkau kembali.” Sebagian lain berkata, “Bersamamu masih banyak rakyat dan para sahabat. Kami tidak sepakat jika engkau membawa mereka menuju wabah tha’un.”

Umar berkata, “Tinggalkanlah aku. Tolong panggilkan sahabat-sahabat Anshar!”

Aku pun memanggil mereka. Ketika dimintai pertimbangan, mereka berbeda pendapat seperti halnya orang-orang Muhajirin.

Umar berkata, “Tinggalkanlah aku!” Lalu ia berkata, “Panggilkan sesepuh Quraisy yang dahulu hijrah pada waktu penaklukan (Fathu Makkah) dan sekarang berada di sini!”

Aku pun memanggil mereka. Mereka ternyata tidak berselisih. Mereka semua berkata, “Menurut kami, sebaiknya engkau kembali bersama orang-orang dan tidak mengajak mereka mendatangi wabah ini.”

(Setelah mendengar berbagai pendapat) Umar berseru di tengah-tengah manusia (berijtihad memutuskan apa yang beliau anggap mendekati kebenaran), “Sungguh, aku akan mengendarai tungganganku untuk pulang esok pagi. Hendaknya kalian mengikuti!”

Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?”

Usaha, Doa, Sebab, dan Takdir

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tiba-tiba datanglah Abdurrahman bin Auf, yang sebelumnya tidak hadir karena keperluannya. Ia berkata, ‘Sungguh, aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ

‘Jika engkau mendengar wabah tha’un di sebuah negeri, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah tha’un terjadi di negeri yang engkau tinggali, janganlah engkau meninggalkan negerimu karena lari dari tha’un’.”

Ibnu Abbas berkata, “(Begitu mendengar hadits tersebut), Umar memuji Allah lalu meninggalkan majelis.”

 
Takhrij Hadits
Riwayat Abdullah bin Abas radhiyallahu ‘anhuma dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab ath-Thib (Pengobatan), “Bab Tentang Penyakit Tha’un” (10/178 no. 5729 dengan Fathul Bari). Lihat pula no. 5730 dan 6973.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, Kitab As-Salam (4/1740 no. 2219), Abu Dawud dalam as-Sunan, Kitab Jenazah, “Bab Keluar dari Penyakit Tha’un” (no. 3103), al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/194), Malik dalam al-Muwaththa’, dan Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra.
 
Penjelasan Hadits
Abdullah bin Abas radhiallahu ‘anhuma mengabarkan kepada kita perjalanan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju Syam bersama rombongan sahabat pada masa kekhilafahan beliau.

Badruddin Mahmud bin Ahmad al-Aini (wafat 855 H) rahimahullah berkata, “Perjalanan tersebut terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun 18 H. Adapun Khalifah bin Khayath (wafat 240 H) menyebutkan bahwa perjalanan Umar menuju Syam kali itu terjadi pada 17 H untuk melihat keadaan rakyat dan para gubernur. Sebelumnya, pada 16 H, Umar juga pernah pergi ke Syam, yaitu ketika Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu mengepung Baitulmaqdis (hingga dikuasai oleh kaum muslimin). Penduduk Baitulmaqdis menginginkan shulh (perjanjian damai) dilakukan oleh Umar sendiri. Oleh karena itu, pergilah beliau (menuju Syam) untuk tujuan tersebut.” (Umdatul Qari, 21/283)

Di tengah perjalanan, datang berita bahwa tha’un tengah melanda Syam. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat bermusyawarah merumuskan kebijakan menyikapi berita tersebut. Terjadi perbedaan pandangan di antara sahabat. Masing-masing memiliki ijtihad, apakah tetap melanjutkan perjalanan masuk ke Syam atau kembali ke Madinah.

Dari musyawarah yang cukup panjang dan dengan segenap pertimbangan, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berijtihad memutuskan kembali ke Madinah bersama sahabat. Beliau radhiyallahu ‘anhu merajihkan pendapat kebanyakan sahabat yang ternyata mencocoki sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu.

Saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda. Tha’un adalah penyakit yang mewabah secara merata, menimpa wilayah tertentu, dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Tha’un memakan korban yang sangat banyak.

Tha’un yang terjadi di zaman Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang dikisahkan dalam riwayat Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai tha’un Amwas. Amwas adalah nama sebuah kota di wilayah Palestina yang berjarak lebih kurang enam mil dari kota Ramallah.

Menurut pendapat jumhur, tha’un Amwas terjadi pada 18 H. Akibat wabah tersebut, sekitar 25 hingga 30 ribu muslimin meninggal. Termasuk di antara mereka adalah sahabat Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan janah (masuk surga) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tha’un ‘Amwas termasuk salah satu tanda kiamat yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

اعْدَدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِي، ثُمَّ فَتْحَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ مَوْتَانِ يَأْخُذُ فِيْكُمْ كَقُعَاصِ الْغَنَمِ …

“Nantikan enam perkara sebelum hari kiamat: Kematianku, kemudian penaklukan Baitulmaqdis, lalu kematian besar menimpa kalian seperti penyakit Qu’ash[7] pada kambing ….” (HR. al-Bukhari dalam ash-Shahih, Kitab Jizyah, no. 3176 dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tanda kiamat yang disebut dalam hadits ini terwujud pada tha’un Amwas pada masa kekhalifahan Umar, sesudah direbutnya Baitulmaqdis.” (Fathul Bari 6/278)

Iman kepada Takdir, Pokok Keimanan
Kisah perjalanan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu kita fokuskan dalam pembahasan ini untuk menunjukkan bagaimana sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beriman kepada takdir. Mereka memahami bahwa iman kepada takdir tidak bermakna putus asa dan lari dari usaha.

Perhatikan kisah di atas. Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Umar, “Apakah engkau akan lari dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala dengan kembali ke Madinah?”

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjawab dengan sebuah permisalan yang indah tentang seorang penggembala yang selalu berusaha mencari tempat yang paling banyak rumputnya untuk hewan gembalaannya. Jika ia dapatkan dua lahan, yang satu gersang dan yang lain subur, tentu ia akan mengarahkan unta atau kambingnya menuju lahan yang subur. Semua itu tidak luput dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

Iman kepada takdir adalah salah satu pokok keimanan yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (al-Qamar: 49)

Hakikat iman kepada takdir adalah mengimani ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang Mahasempurna. Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi segala sesuatu yang belum terjadi, yang sedang terjadi, yang telah terjadi, dan yang tidak terjadi. Seandainya sesuatu yang tidak terjadi itu terjadi, Allah Maha Mengetahui bagaimana terjadinya.

Dengarlah firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang penduduk neraka yang kekal di dalamnya ketika mengharapkan kembali ke alam dunia. Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan seandainya dikembalikan ke dunia,

وَلَوۡ تَرَىٰٓ إِذۡ وُقِفُواْ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُواْ يَٰلَيۡتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِ‍َٔايَٰتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٧ بَلۡ بَدَا لَهُم مَّا كَانُواْ يُخۡفُونَ مِن قَبۡلُۖ وَلَوۡ رُدُّواْ لَعَادُواْ لِمَا نُهُواْ عَنۡهُ وَإِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ٢٨

Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Rabb kami, serta menjadi orang-orang yang beriman,” (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Namun, (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka.” (al-An’am: 27-28)

Demikianlah ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada sedikit pun yang luput dari ilmu-Nya. Berdasarkan ilmu yang sempurna itu, Allah subhanahu wa ta’ala menulis segala sesuatu yang akan terjadi di Lauhul Mahfuzh, 50 ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah mencatat takdir-takdir makhluk-makhluk-Nya 50 tibu tahun sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim, Kitab al-Qadar, no. 2653 dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Apa yang telah tercatat dalam Lauhul Mahfuzh terjadi dengan rinci, satu per satu. Semua dengan penciptaan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan di bawah kehendak-Nya. Tidak ada satu pun yang terlepas dari ilmu, kehendak, dan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Allahu akbar.

Tidak Beriman, Orang yang Mengingkari Takdir
Pengingkar takdir bukanlah golongan orang yang beriman. Amalan mereka sia-sia dan tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, ketika sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mendengar berita munculnya Qadariyah—yaitu kaum yang mengingkari takdir, yang ditokohi oleh Ma’bad al-Juhani—di Bashrah, dengan tegas beliau berkata,

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ، مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Jika engkau berjumpa dengan mereka (Qadariyah), kabarkanlah bahwasanya aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud lalu diinfakkan, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir.”

Di atas keyakinan inilah para sahabat berpijak. Di atas akidah inilah salafus shalih bersandar. Al-Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan kisah Ibnu Dailami rahimahullah saat ia mengadukan kegelisahan hatinya mengenai takdir kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum hingga mendapatkan jawaban yang sangat menyejukkan.

Ibnu Dailami rahimahullah berkata, “Ada sesuatu yang tidak baik dalam diriku tentang takdir. Aku sangat khawatir hal ini merusak agama dan urusanku. Aku pun datang kepada Ubai bin Kaab radhiyallahu ‘anhu dan bertanya, ‘Wahai Abul Mundzir, sungguh dalam diriku ada bisikan yang kurang baik tentang takdir. Aku mengkhawatirkan agamaku dan urusanku. Nasihati aku tentang hal itu, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan manfaat kepadaku dengannya.’

Ubai radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘(Wahai Ibnu Dailami, janganlah engkau bimbang dengan takdir). Seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit dan bumi-Nya, sungguh Dia tidak menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka (memasukkan mereka ke dalam janah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka.[9]

Seandainya engkau memiliki emas sejumlah Gunung Uhud yang engkau infakkan fisabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir. Hingga engkau yakin bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan menimpamu.

Sungguh, seandainya engkau mati dalam keadaan tidak beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka. (Wahai Ibnu Dailami), kalau engkau mau, pergilah kepada saudaraku, Abdullah bin Mas’ud dan bertanyalah.’

Aku pun mendatangi Ibnu Mas’ud dan bertanya kepadanya. Ternyata, ia menjawab seperti jawaban Ubai. Lalu Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Coba engkau datangi Hudzaifah!’

Aku pun mendatangi beliau. Aku tanyakan masalahku. Beliau menjawab seperti jawaban Ibnu Mas’ud. Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Cobalah engkau datangi Zaid bin Tsabit, tanyakan kepadanya!’

Aku pun bertanya kepada Zaid, lalu beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ. وَلَوْ كَانَ لَكَ مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا أَوْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ تُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ. فَتَعَلَّمْ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ. وَأَنَّكَ إِنْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ النَّارَ

“Sungguh, seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit-Nya dan bumi-Nya sungguh Dia mengazab tanpa menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah merahmati mereka (memasukkan mereka ke jannah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka. Seandainya engkau memiliki emas sebesar Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir seluruhnya dan engkau meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan mengenaimu. Sungguh, seandainya engkau mati tanpa beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka.” (Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, Bab al-Qadar, no. 77, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah)

Renungilah jawaban para sahabat yang mulia saat Ibnu Dailami bertanya tentang takdir! Semua memiliki keyakinan yang sama tentang takdir. Sebuah keyakinan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara hadits yang menunjukkan takdir Allah subhanahu wa ta’ala adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya, setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.

Setelah itu, diutuslah seorang malaikat kepadanya, kemudian meniupkan ruh kepadanya. Malaikat itu diperintahkan menulis empat kalimat: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celaka atau keberuntungannya.

Demi Allah, Dzat yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan amalan penduduk surga hingga antara dirinya dan surga tinggal sejarak satu hasta. Namun, karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga masuk ke dalamnya.

Sesungguhnya pula, ada seseorang di antara kalian yang melakukan amalan penduduk neraka, dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta. Namun, karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.”

Iman kepada Takdir Tidak Mengabaikan Ikhtiar
Iman kepada takdir tidak bermakna seseorang malas menempuh ikhtiar. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok yang agung ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ، فَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.

Bersemangatlah kamu menempuh apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali kamu malas. Jika sesuatu menimpamu, janganlah kamu katakan, “Seandainya dahulu aku lakukan ini dan itu, niscaya akan demikian dan demikian.” Namun, katakanlah, “Ini adalah takdir Allah, apa yang Ia kehendaki pasti terjadi.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk bersemangat berikhtiar, menempuh usaha yang bermanfaat dalam urusan dunia dan agama. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya untuk berusaha, beliau gabungkan dengan iman kepada takdir. Ini menunjukkan bahwa iman kepada takdir tidak bertentangan dengan usaha.

Benar, penduduk janah (surga) telah ditetapkan, tidak akan meleset ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula, penduduk neraka telah Dia tentukan dan pasti mereka akan memasukinya. Namun, bersamaan dengan itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk beramal. Sungguh, seorang yang jujur dalam beramal akan Dia mudahkan jalan menuju janah-Nya. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Mahaadil, tidak menzalimi hamba-Nya.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang menggores-gores tanah. Ketika beliau mengangkat wajah ke langit lalu bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian melainkan telah diketahui dalam riwayat Waki’: telah ditentukan tempatnya di neraka dan tempatnya di janah.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah berarti kita bersandar saja (dengan takdir dan tidak beramal)?”

Rasulullah bersabda, “Tidak, beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan kepada apa yang telah ditentukan untuknya.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ١٠

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)

Mengapa Manusia Membedakan Urusan Dunia dan Akhirat?
Orang-orang yang malas beribadah, saat diingatkan tentang surga dan neraka, dengan enteng mengatakan, “Bukankah surga dan neraka sudah ditakdirkan? Apalah artinya beramal? Toh, seandainya aku beramal saleh, tetapi neraka telah ditakdirkan untukku, akan sia-sia semua amalan. Sebaliknya, kalau aku malas beribadah, tetapi surga telah ditakdirkan untukku, niscaya surga tidak akan lari dariku”

Saudaraku, ungkapan di atas sesungguhnya bisikan dan waswas setan. Dalam urusan akhirat, manusia dibujuk untuk meninggalkan amalan dan bersandar kepada takdir. Namun, dalam urusan dunia, setan terus mengembuskan syahwat dunia sehingga seseorang berambisi terhadapnya dan melupakan negeri akhirat. Siang malam keringat diperas, semua kekuatan dicurahkan untuk mengais emas dan perak.

Sungguh, sangat mengherankan! Dalam urusan akhirat, mereka meninggalkan ikhtiar. Namun, dalam urusan dunia, mereka sadar bahwa duduk di rumah dan bersandar kepada takdir tanpa usaha adalah bentuk kebodohan.

Dua sikap yang bertolak belakang ini sungguh mengherankan. Seharusnya manusia tidak membedakan urusan dunia dan akhirat dalam hal beriman terhadap takdir dan menempuh usaha. Sebagaimana ia berusaha mendapatkan rezeki di dunia yang  semuanya telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala—demikian pula seharusnya ia berusaha menempuh amalan yang menyelamatkan dirinya dari neraka dan melakukan amalan saleh demi kebahagiaannya di akhirat, yang semua itu juga telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Referensi : Iman Kepada Takdir Tidak Meniadakan Ikhtiar