This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Balasan Sesuai Dengan Perbuatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Balasan Sesuai Dengan Perbuatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Oktober 2022

Balasan Sesuai Dengan Perbuatan

Suatu kaidah yang sangat agung di dalam agama Islam yang ditunjukkan dengan begitu banyak dalil. Kaidah tersebut berbunyi,  الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ  “Balasan sesuai dengan perbuatan.”  Terlalu banyak dalil untuk menyebutkan tentang kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi ﷺ. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata,  قَالُوا وَقَدْ دَلَّ الْكِتَاب وَالسُّنَّة فِي أَكْثَر مِنْ مِائَة مَوْضِع عَلَى أَنَّ الْجَزَاء مِنْ جِنْس الْعَمَل فِي الْخَيْر وَالشَّرّ كَمَا قَالَ تَعَالَى (جَزَاء وِفَاقًا) أَيْ وَفْق أَعْمَالهمْ وَهَذَا ثَابِت شَرْعًا وَقَدْرًا  “Mereka (para ulama) berkata bahwasanya Al-Quran dan As-Sunah telah menunjukkan lebih dari seratus dalil yang menerangkan bahwa balasan sesuai dengan perbuatan di dalam perkara kebaikan maupun dalam perkara keburukan. Sebagaimana firman Allah, ‘Sebagai pembalasan yang setimpal’, maksudnya sesuai dengan amal perbuatan mereka. Dan ini valid berdasarkan syariat maupun takdir (kenyataan).” ([1])  Di samping itu, sudah menjadi kenyataan yang terjadi, di mana membuktikan betapa seringnya Allah ﷻ menunjukkan kaidah ini di realitas kehidupan manusia.  Di antara tujuan penyebutan kaidah ini adalah untuk membuat kita yakin bahwa kaidah tersebut adalah aturan Allah ﷻ yang berlaku. Kaidah yang menjadi hukum sebab akibat, di mana Allah ﷻ tidak menyelisihi aturan-Nya tersebut sekaligus tidak akan mengubah aturan tersebut.  Apabila seseorang yakin dengan kaidah ini, maka dia akan terpacu untuk melakukan amalan saleh. Karena dia mengetahui adanya kaidah yang berlaku bahwa الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’. Begitu pun sebaliknya, apabila dia ingin melakukan kezaliman dan perbuatan kemaksiatan, maka dia akan berhenti dari perbuatannya, sebab dia tahu kaidah ini akan berlaku.  Kaidah ini tidaklah sekedar omong kosong, namun kaidah yang sesuai dengan Al-Quran, As-Sunah dan sesuai dengan realitas atau kenyataan yang sudah terjadi, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya, seseorang yang meyakini kaidah ini, maka dia akan lebih waspada dan semangat dalam beramal saleh dan merasa khawatir untuk melakukan kemaksiatan.  Kaidah ini tidak sama dengan hukum karma. Hukum karma berbeda dengan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’. Hukum karma yang dikenal oleh sebagian orang adalah apabila seseorang telah melakukan suatu pelanggaran, maka anak keturunannya akan terkena balasannya. Bisa saja seorang lelaki yang berzina dengan istri orang lain, maka anaknya nanti akan memiliki suami yang berzina dengan istri orang lain. Kejadian-kejadian semacam ini bukanlah termasuk kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’, karena pada hakikatnya kaidah syar’i ini berkaitan dengan diri sendiri atau pelakunya, bukan kepada anaknya atau saudaranya.  Hukum karma tidak sama dengan kaidah ini. Apabila maksud dari hukum karma adalah tatkala seseorang di dunia melakukan sesuatu, maka dia akan dibalas pada kehidupan berikutnya atau jika dia meninggal dunia, maka suatu saat akan terjadi reinkarnasi([2]). Dia akan dihidupkan kembali pada kehidupan setelahnya, namun sebagai bentuk yang lain. Jika dia dahulu melakukan suatu kejahatan, dia akan menjadi hewan yang hina atau jika dia dahulu melakukan kebaikan, maka dia akan menjadi orang yang beruntung. ([3])  Tentu saja, kita tidak boleh meyakini keyakinan yang seperti ini, karena ini disebut termasuk ke dalam khurafat. Selain itu juga, hal ini bukanlah termasuk kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’, sebab balasan dari kaidah ini adalah di dunia dan di akhirat, berupa kehidupan yang selama-lamanya. Bukan seperti kepercayaan reinkarnasi, di mana balasan bagi pelakunya adalah pada saat dia terlahir kembali pada kehidupan setelah dia meninggal dunia dengan wujud yang lain, sedangkan reinkarnasi sendiri tidak ada di dalam agama Islam.  Kaidah ini merupakan konsekuensi dari sifat maha adil Allah, yaitu Allah ﷻ akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan. Berdasarkan firman Allah ﷻ,  جَزَاءً وِفَاقًا  “Sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba’: 26)  Allah ﷻ juga berfirman,  هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ  “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)  Selain itu, Allah ﷻ telah menjelaskan kaidah ini di dalam Al-Quran dengan sangat tegas dan terang benderang, seperti firman Allah ﷻ,    وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُون    “Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml: 50)    إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا . وَأَكِيدُ كَيْدًا    “Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat. Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu.” (QS. Ath-Thariq: 15-16)    نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ    “Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula).” (QS. At-Taubah: 67)    فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ    “Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka.” (QS. At-Taubah: 79)    إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ    “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7)    وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ    “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)    Ayat-ayat yang menerangkan tentang ini banyak sekali dan tidak butuh pengamatan lebih dalam, karena mudah untuk memahaminya. Tipuan dibalas dengan tipuan, makar dibalas dengan makar dan pertolongan dibalas dengan pertolongan pula, sehingga semuanya bisa dipahami dengan mudah.    Ayat-ayat lain yang semakna dengan ini banyak ditemukan di dalam Al-Quran. Demikian juga di dalam hadis-hadis Nabi ﷺ, dari Sahl bin Sa’d t, bahwa Jibril u datang dan berkata kepada Rasulullah ﷺ,    وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ    “Lakukanlah sesuai yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalas dengan perbuatanmu tersebut.”([4])    Begitu juga hadis riwayat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,    احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ    “Jagalah Allah ﷻ, niscaya Dia akan menjagamu.” ([5])    Demikianlah beberapa dalil tentang kaidah ini,    الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ    “Balasan sesuai dengan perbuatan.”    Oleh karenanya, terdapat riwayat dari seorang tabi’in murid dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu Sa’id bin Jubair. Ketika dia akan dibunuh oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, maka Al-Hajjaj berkata kepadanya,    اخْتَرْ أَيَّ قِتْلَةٍ تُرِيْدُ أَنْ أَقْتُلَكَ؟    “(Wahai Sa’id), pilihlah bentuk kematian yang kau inginkan agar aku membunuhmu dengan caraku tersebut?”    Al-Hajjaj mengancamnya, hingga Sa’id bin Jubair menjawab dengan jawaban yang menunjukkan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’ dengan berkata,    اخْتَرْ لِنَفْسِكَ يَا حَجَّاجُ، فَوَاللهِ مَا تَقْتُلُنِي قِتْلَةً، إلَّا قَتَلْتُكَ قَتْلَةً فِي الآخِرَة    “Justru pilihlah (cara kematian) untuk dirimu wahai Hajjaj. Demi Allah, engkau tidak akan membunuhku dengan satu cara kematian yang engkau inginkan, melainkan aku juga akan membunuhmu dengan satu cara kematian di akhirat.”([6])    Artinya ‘dengan cara apa pun engkau membunuhku, maka kelak pada hari kiamat Allah ﷻ akan membalas dengan cara pembunuhan tersebut’. Ini adalah penerapan dari kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.    Selain itu, di antara bukti dari kaidah ini adalah realitas kehidupan manusia. Banyak sekali contohnya di dunia ini, baik berupa balasan kebaikan maupun keburukan.    Kaidah ini diklasifikasi menjadi dua bagian, sesuai dengan contoh-contohnya yang bersumber dari nas-nas yang ada, tetapi perlu pengamatan lebih dalam. Di antaranya adalah :    Pertama, Balasan sesuai dengan perbuatan (الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ)    Kedua, Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik (مَنْ تَرَكَ لِلَّهِ شَيْئًا عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ)      Balasan sesuai dengan perbuatan (الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ). Dipandang dari balasan yang didapatkan, kaidah ini dibagi menjadi dua, yaitu:       Balasan keburukan.  Contohnya sangat banyak, di mana Allah ﷻ membalas keburukan yang sesuai dengan jenis perbuatan buruk yang dilakukan, di antaranya adalah :    Kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet.  Allah ﷻ berfirman,    وَسْئَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كانَتْ حاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذلِكَ نَبْلُوهُمْ بِما كانُوا يَفْسُقُونَ    “Dan anganlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu , (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS. Al-A’raf: 163)    Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,    وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ    “Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu , lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!.” (QS. Al-Baqarah: 65)    Ketika orang-orang Yahudi bangga dengan nenek moyang mereka, maka Allah ﷻ menurunkan ayat tersebut kepada Nabi ﷺ, lalu beliau ﷺ bercerita bagaimana kisah sebagian nenek moyang mereka. Mereka saling berbangga diri dengan orang-orang sebelum mereka, bahkan mereka mengatakan bahwa mereka adalah penghuni surga. Akan tetapi, di balik semua itu, ternyata ada di antara mereka yang Allah ﷻ telah mengubahnya menjadi monyet. Balasan itu disebabkan kesalahan yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran.    Sebagaimana dikisahkan oleh Allah di dalam Al-Quran, ketika Allah ﷻ melarang mereka untuk mengambil ikan pada hari Sabtu , di mana pada hari itu, jumlah ikan sangat banyak sekali. Akan tetapi, Allah ﷻ membolehkan mereka untuk mencari ikan pada selain hari itu, sedangkan selain pada hari Sabtu tidak ada ikan sama sekali. Jika pun ada, jumlahnya pun sedikit. Allah ﷻ menguji mereka untuk tidak menangkap ikan pada hari Sabtu , padahal hari itu ikan sangat banyak sekali. Mereka berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan ikan, tetapi dengan cara tidak melanggar perintah Allah ﷻ. Mereka berpikir dan melakukan حِيْلَة ‘tipuan’ agar mereka bisa mengambil dan mendapatkan ikan tersebut pada hari Sabtu .    Cara yang mereka lakukan adalah dengan memasang perangkap atau galian di pinggir pantai pada hari Jumat. Pada saat air laut pasang dan banyak ikan di laut, ikan-ikan tersebut akan masuk ke dalam galian. Ketika saat air laut surut, mereka dapat mengambil ikan-ikan itu dengan mudah. Mereka memasang perangkap pada hari Jumat, lalu pada hari Sabtu mereka beristirahat, lalu pada hari berikutnya mereka mengambil ikan-ikan tersebut. Sejatinya, apa yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran, namun sejatinya adalah pelanggaran.    Bisa saja mereka berdalih bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Mereka dilarang mencari ikan pada hari Sabtu , sedangkan mereka memasang perangkap ikan pada hari Jumat, lalu mengambil hasil perangkap tersebut pada hari ahad. Di mana letak kesalahan tersebut?    Namun, Allah ﷻ Maha Mengetahui. Akibat dari perbuatan mereka itu, Allah ﷻ mengubah mereka menjadi monyet. Hal itu disebabkan karena kesalahan yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran. Sebagaimana hewan yang paling mirip dengan manusia adalah monyet, namun bukan manusia. Begitu juga dengan apa yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran.    Di antara hikmahnya adalah karena monyet adalah hewan yang paling mirip dengan manusia, tetapi bukan manusia. Begitu juga dengan dosa yang paling mirip dengan kebenaran, tetapi pada hakikatnya bukan kebenaran. Inilah bahayanya bagi orang yang memiliki trik-trik menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan, mungkin secara lahirnya tidak haram tapi Allah ﷻ Maha Mengetahui niat orang-orang yang hendak melanggar perintah Allah, sedangkan Allah ﷻ Maha Mengetahui akan hal tersebut. ([7])    Balasan terhadap kaum Nabi Luth u.  Allah ﷻ berfirman,    فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ    “Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar.” (QS. Hud: 82)    Allah ﷻ menyebutkan bagaimana siksaan kaum Nabi Luth u. Mereka diangkat dari bawah, lalu dibalik, setelah dibalik dijatuhkan, kemudian ditimpakan dengan hujan batu. Mereka melakukan kemaksiatan berupa perubahan fitrah. Fitrah manusia yang suci adalah menyukai lawan jenisnya, seorang lelaki menyukai perempuan. Akan tetapi, mereka mengubah fitrah mereka, sehingga mereka melakukan praktik homoseksual, di mana dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Allah ﷻ berfirman,    وَلُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ. إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ    “Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 80-81)    Karena fitrah mereka sudah terbalik, akibatnya Allah ﷻ pun menghukum mereka dengan siksaan yang terbalik. Allah ﷻ membalikkan mereka karena fitrah mereka terbalik. Allah ﷻ juga mengirimkan kepada mereka hujan batu, alasannya adalah sebagaimana perkataan para ulama bahwa termasuk hikmah orang yang berzina dihukum dengan rajam adalah karena ketika mereka melakukan maksiat, maka sekujur tubuhnya akan merasakan kelezatan dan kenikmatan, maka dengan rajam tersebut sekujur tubuhnya harus merasakan azab.([8])    Balasan bagi para pelaku riba.  Allah ﷻ berfirman,    الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ    “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.” (Al-Baqarah: 275)    Para ulama menjelaskan bahwa para pelaku riba kelak dibangkitkan seperti orang gila, karena mereka nekat mengatakan bahwa riba sama dengan jual beli([9]). Perkataan ini adalah suatu bentuk kegilaan, karena menyamakan riba dengan jual beli, artinya dua hal tersebut sama-sama halal. Balasan dari perbuatan mereka adalah dihukum pada hari kiamat kelak seperti orang yang gila. Inilah contoh dalam ayat-ayat yang menunjukkan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.    Pada zaman sekarang pun orang-orang nekat dan tidak mempermasalahkan riba. Bahkan, mereka menyamakannya dengan jual beli, karena sejatinya dua hal itu sama-sama mencari untung dan saling memberikan keuntungan bagi yang lain. Satu pihak merasa untung karena jasa orang lain meminjamkan uang kepadanya, sebagaimana dengan pihak lain yang merasa untung karena mendapatkan upah dari meminjamkan uangnya.    Secara logika, akad riba memang saling menguntungkan. Namun, Allah ﷻ telah mensyariatkan bahwa tidak bolehnya akad tersebut. Akad jual beli memang dibangun untuk saling mencari untung antara pihak penjual dan pihak pembeli. Adapun pinjam meminjam adalah akad yang dibangun di atas tolong menolong dan tidak boleh mengambil untung pada akad tersebut. Akan tetapi, mereka nekat dan mengatakan bahwa tidak ada bedanya sama sekali antara riba dan jual beli. Karena perkataan mereka yang gila tersebut, akibatnya pada hari kiamat kelak mereka akan dibangkitkan seperti orang gila.    Balasan bagi orang yang sombong.  Hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat, Allah ﷻ berfirman,    وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ    “Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir: 5)    Bayangkan, hewan-hewan dikumpulkan dan seluruh manusia pun dikumpulkan. Allah ﷻ berfirman,    خُشَّعاً أَبْصارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْداثِ كَأَنَّهُمْ جَرادٌ مُنْتَشِرٌ    “Pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qamar: 7)    Pada hari itu, orang-orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk yang sangat kecil dan hampir terinjak oleh hewan-hewan ataupun manusia. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,    يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُورَةِ الرِّجَالِ، يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ    “Orang-orang yang sombong pada hari kiamat akan dibangkitkan seukuran semut dalam wujud manusia, kehinaan meliputi mereka dari segala arah.”([10])    Mereka dibangkitkan dalam bentuk kecil, disebabkan dahulu di dunia dia merasa besar, sok dengan ilmunya, sok dengan jabatannya, bangga dengan pangkatnya dan begitu memakai pakaian kebesarannya dia merasa tinggi ataupun besar. Pada hari kiamat Allah ﷻ membalasnya dengan dibangkitkan dalam bentuk yang sangat kecil. الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.    Balasan bagi seorang suami yang tidak adil, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan miring salah satu anggota tubuhnya.  Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah t berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,    مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيلُ مَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ سَاقِطٌ    “Barang siapa yang memiliki dua istri, lalu dia condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring salah satu sisi tubuhnya.”([11])    Merenungkan sabda Nabi ﷺ tersebut, bagi orang yang memiliki istri dua, hendaknya berhati-hati dengan peringatan Nabi ﷺ. Yang memiliki istri satu saja perlu waspada, apalagi bagi orang yang memiliki istri dua. Hendaknya dia selalu berhati-hati, jangan sampai menzalimi istri atau bersikap tidak adil.    Sebagian orang berpoligami, tetapi bersikap tidak adil atau lebih cinta kepada istri keduanya. Apabila dia datang kepada istri pertamanya, maka dia menyuruhnya layaknya seorang pembantu. Akan tetapi, apabila datang kepada istri keduanya, maka dia pergaulinya layaknya seorang ratu. Jika demikian, maka pada hari kiamat Allah ﷻ menunjukkan kemiringan anggota badannya sebagaimana hadis Nabi ﷺ.    Balasan bagi orang yang meminta-minta.  Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar t, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang balasan orang yang meminta-minta dalam keadaan yang tidak mendesak.    لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ، وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ    “Salah seorang dari kalian senantiasa meminta-minta sehingga dia bertemu menghadap Allah dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya.”([12])    Hadis ini menjelaskan bahwasanya orang yang selama di dunia suka meminta-minta sejatinya tidak memiliki rasa malu, sehingga wajahnya tidak memiliki rasa malu sedikit pun. Akibatnya dia meminta-minta kepada siapa pun yang ditemuinya, hingga orang lain merasa risih dan enggan untuk tidak memberi. Adapun balasannya pada hari kiamat adalah dia akan datang dalam keadaan wajahnya tidak memiliki daging sama sekali. Dia mendapatkan balasan itu, karena dia tidak menghargai kemuliaan wajahnya serta tidak memiliki rasa malu.    Balasan bagi orang yang riya’.  Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Jundub t berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,    مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ    “Barang siapa yang memperdengarkan, maka Allah akan memperdengarkan tentangnya. Barang siapa yang memperlihatkan (riya’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia” ([13])    Barang siapa yang selama di dunia beramal saleh dalam rangka ingin disebut-sebut orang dan dilihat orang, maka pada hari kiamat kelak Allah ﷻ akan mempermalukannya di hadapan manusia.    Menurut penafsiran para ulama, di antaranya disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari bahwa balasan yang dia terima disebabkan karena selama itu dia berbohong kepada orang-orang dan menunjukkan kepada mereka bahwa dia ikhlas dan tulus, tetapi pada hakikatnya dia tidak tulus ataupun ikhlas. Di dunia dia melakukan amalan saleh, karena riya’ dan ingin dipuji dan didengar oleh orang lain. Adapun balasannya pada hari kiamat kelak adalah Allah ﷻ akan mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk. ([14])    Pahala-pahala dari ibadah shalat dan sedekah akan tampak di hadapannya, sehingga dia merasa senang melihat hal itu. Akan tetapi Allah ﷻ menjadikannya,    فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا    “Lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)    Balasan bagi orang-orang munafik.  Allah ﷻ berfirman,    إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ    “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa’: 142)    Orang-orang munafik menipu Allah ﷻ, karena ketika masuk kepada agama Islam, hati mereka tetap kufur kepada Allah ﷻ. Mereka lebih berbahaya dari pada orang-orang kafir yang sesungguhnya. Allah ﷻ berfirman,    هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ    “Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka.” (Al-Munafiqun: 4)    Ketika mereka masuk agama Islam, hatinya tetap benci terhadap Islam, benci terhadap wanita-wanita yang memakai jilbab, benci dengan syariat Islam, benci kepada orang yang memakai baju muslim, dia tidak suka, merasa risih dan gelisah melihat orang-orang Islam yang menjalankan syariat Allah ﷻ, benci melihat orang melaksanakan salat berjamaah, benci dengan majelis yang dibacakan hadis-hadis Nabi ﷺ, bahkan mengejeknya, mereka tampak seperti orang Islam yang baik, akan tetapi sejatinya mereka munafik. Mereka menipu manusia dan menipu Allah ﷻ. Akibat perbuatan mereka inilah, maka pada hari kiamat dia ditipu oleh Allah ﷻ.    Adapun balasan bagi mereka pada hari kiamat, ketika manusia berjuang melewati sirat, terjadilah kegelapan di padang mahsyar. Mereka melewati sirat yang gelap, yang akibatnya mereka bisa tergelincir di sirat tersebut dan terjatuh ke dalam neraka Jahanam. Mereka membutuhkan cahaya untuk melewati sirat tersebut.    Orang-orang yang beriman diberikan cahaya, orang-orang munafik juga diberikan cahaya. Allah ﷻ memberikan cahaya untuk mempermainkan mereka, karena selama ini mereka mempermainkan agama Islam dan orang-orang Islam. Mereka merasa senang karena telah diberikan cahaya. Namun, tiba-tiba Allah ﷻ meredupkan cahaya mereka, sedangkan cahaya orang-orang yang beriman tetap menyala.    Ketika orang-orang beriman melihat cahaya orang-orang munafik mereka berdoa,    يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ    “Sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim: 8)    Akhirnya, orang-orang beriman maju dan melewati sirat tersebut, sedangkan orang-orang munafik tidak berani untuk maju melewatinya, seketika itu mereka berkata,    يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ    “Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.” (Kepada mereka) dikatakan, “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab. Orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin, “Bukankah kami dahulu bersama kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri, dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Al-Hadid: 13-14)    Orang-orang munafik dahulu selalu bersama-sama dengan orang-orang beriman, bertetangga, bersama pergi ke masjid, bermuamalah dan lain sebagainya. Apalagi pada zaman Nabi ﷺ, orang-orang munafik melaksanakan salat, membayar zakat dan beribadah bersama beliau ﷺ dan para sahabat, tetapi hati mereka benci kepada kaum muslimin. Bisa juga hal itu terjadi kepada kita, sama-sama satu bangsa dan Islam. Namun, mereka masih merasa ragu kepada agama Islam dan kaum muslimin dan menunggu-nunggu kemunduran kaum muslimin.    وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ    “Dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Al-Hadid: 14)    Akhirnya pada hari kiamat, Allah ﷻ membalas tipuan mereka. Allah ﷻ memberikan cahaya kepada mereka, hingga mereka merasa senang. Akan tetapi, setelah itu Allah ﷻ meredupkan cahaya itu seperti sedia kala. Inilah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.    Balasan bagi orang yang bunuh diri.  Balasan bagi orang yang bunuh diri adalah sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, Nabi ﷺ bersabda,    مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا    “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan pisau atau besi tajam, maka kelak dia akan menikamkan besi tersebut kepada perutnya di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang membunuh dirinya dengan minum racun, maka dia akan melakukan hal yang sama di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang membunuh dirinya dengan menjatuhkan dirinya dari gunung (tempat yang tinggi), maka dia akan menjatuhkan dirinya di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya.”([15])    Seseorang membunuh dirinya karena tidak sabar. Seperti misalnya dalam kasus harakiri([16]), maka di akhirat kelak Allah ﷻ akan memberikan balasan kepada dirinya. Begitu juga halnya, seperti orang munafik di zaman Nabi ﷺ, di mana dia terluka di dalam perang Uhud, lalu dia tidak sabar, maka dia berdiri di atas pedang atau besi tajam yang sudah dia berdirikan, lalu menjatuhkan diri pada pedang tersebut hingga menusuk tubuhnya dan membunuh dirinya sendiri. Dia melakukan hal itu, lantaran tidak sanggup menahan sakit yang dia rasakan. Balasannya, pada hari kiamat adalah dia menikamkan besi tajam itu kepada perutnya terus menerus dan selama-lamanya di neraka Jahanam.    Balasan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa yang meninggal dunia karena menenggak racun, apa pun jenis racun tersebut, hingga meninggal dunia disebabkan racun tersebut. Balasannya pada di akhirat kelak adalah dia akan dibalas dengan menenggak racun tersebut secara terus menerus. Oleh karenanya, hendaknya seseorang waspada dengan amalan-amalan keburukan, di mana Allah ﷻ membalas keburukan yang setimpal.    Balasan orang yang memberikan mudarat/kesulitan bagi orang lain.  Sebagaimana sabda Nabi ﷺ    مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ    “Barang siapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barang siapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.”([17])    Allah ﷻ akan memberikan mudarat di dunia, sebelum di akhirat. Demikian juga di dalam hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar Rasulullah ﷺ berdoa,    اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِه    “Ya Allah, barang siapa yang mengurus suatu urusan umatku, lalu mempersulit mereka, maka persulitkanlah baginya dan barang siapa yang mengurus suatu urusan umatku, lalu berlemah lembut kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” ([18])    Kita dapati dalam berbagai macam urusan, baik di bandara atau di kantor atau di mana pun tempatnya, hampir semuanya dipersulit. Terutama di dalam perusahaan-perusahaan atau instansi masyarakat, mereka berusaha berbuat sulit kepada kaum muslimin, segala urusan dipersulit, tidak dipermudah. Apalagi ada kaidah mengatakan kalau bisa mudah, kenapa harus dipersulit? Bagi mereka, urusan tersebut bisa saja dipermudah dengan syarat adanya ‘pelicin’, supaya urusan menjadi licin dan mudah, yaitu dengan menggunakan semacam uang suap. Sebagai balasannya, Allah ﷻ akan mempersulit urusannya, baik di dunia maupun di akhirat.    Maka dari itu, di antara hadis dari Khaulah Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,    إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ    “Sesungguhnya orang-orang mencampuradukkan harta Allah tidak pada tempatnya, maka bagi mereka neraka pada hari kiamat.”([19])    Sebagian pegawai-pegawai pemerintah yang mengurusi urusan kaum muslimin, mereka menggunakan harta Allah ﷻ (harta negara) tidak pada tempatnya, maka balasan bagi mereka adalah neraka jahanam. Kenapa? Karena selama itu mereka mengambil harta rakyat, menipu masyarakat, korupsi, menggunakan harta pajak tidak pada tempatnya. Mereka merebut kebahagiaan orang banyak untuk kebahagiaannya diri sendiri. Mereka tidak amanah dalam mengurusi harta negara/ masyarakat. Sejatinya mereka inilah orang-orang yang menggunakan dan mengelola harta Allah ﷻ dengan cara yang tidak benar.    Sejatinya di dalam urusan tersebut yang didapatkan hanyalah sedikit. Mereka ingin meraih kebahagiaan, baik untuk dirinya, anaknya, istrinya maupun keluarganya, dengan cara mengorbankan harta-harta dan kebahagiaan orang-orang. Oleh karenanya, pada hari kiamat kelak Allah ﷻ akan mencabut kebahagiaannya dan melemparkannya ke neraka Jahanam.    Balasan bagi orang yang enggan membayarkan zakat.  Berdasarkan firman Allah ﷻ,    يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ    “(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 35)    Kenapa orang yang enggan membayar zakat dan tidak menahan hartanya dari fakir miskin diberikan siksa terhadap dahinya, lambung dan punggung mereka? Kenapa Allah ﷻ tidak menyebutkan siksa mereka terhadap kakinya, dadanya atau tangannya? Para ulama menjelaskan bahwa alasannya adalah karena anggota tubuh itu mewakili arah depan dan belakangnya, sisi kanan dan kirinya saat mereka berinfak. Ketika seseorang berinfak, seharusnya melihat orang-orang fakir/miskin yang membutuhkan yang berada di depan-belakangnya atau kanan-kirinya. Tatkala dia enggan untuk melihat orang-orang fakir/miskin di sekitarnya dan menghalangi dirinya untuk berinfak kepada mereka, maka dia pun diazab dari arah anggota tubuhnya tersebut([20]).    Balasan bagi orang-orang kafir di neraka Jahanam.  Berdasarkan firman Allah ﷻ,    كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا    “Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (QS. Al-Hajj: 22)    Ketika di neraka Jahanam, orang-orang kafir dipermainkan oleh Allah ﷻ. Pintu neraka dibukakan kepada mereka, seakan-akan mereka bisa keluar darinya. Ketika mereka sudah semangat untuk keluar dari neraka tersebut, akhirnya mereka dikembalikan lagi. Begitu seterusnya mereka disiksa di dalam neraka Jahanam.    Kenapa demikian? Para ulama menjelaskan bahwa karena itu adalah balasan dari perbuatan yang mereka lakukan selama di dunia. Kebanyakan mereka terjebak di dalam kemaksiatan. Mereka telah mengetahui kebenaran di depan mata mereka, tetapi mereka tidak mau menerima kebenaran tersebut. Ada kekufuran, kemaksiatan yang mereka rasakan. Setiap kali ada hidayah yang menyapa mereka, mereka enggan untuk menyambut hidayah tersebut. Setiap kali ada penjelasan yang benar, mereka tidak menyambut penjelasan tersebut. Setiap kali ada seruan-seruan yang mengandung kebenaran, mereka enggan untuk mendengarkannya, apalagi menerimanya. ([21])    Banyak orang yang tidak mau untuk memeluk agama Islam, karena mereka memandang jika sudah masuk Islam akan menemukan banyak kesulitan. Mereka tidak bisa lagi menikmati khamar. Setiap kali melakukan kesalahan, maka mereka harus dihukum dengan dosa-dosa besar. Mereka tidak bisa lagi berzina. Mereka diharuskan untuk menutup aurat dan berjilbab dan berbagai alasan lainnya. Akhirnya, mereka enggan untuk memeluk agama Islam. Padahal, mereka tahu itu adalah kebenaran.    Ada hawa nafsu di dalam diri mereka yang menawan jiwa mereka. Mereka tahu tentang kebenaran, tetapi mereka meninggalkannya. Allah menampakkan kebenaran kepada mereka tidak hanya sekali, bahkan sering kali Allah ﷻ menampakkan kebenaran kepada mereka dan berulang-ulang.    Mereka telah melihat kebenaran, tetapi karena besarnya hawa nafsu yang ada pada diri mereka, membuat mereka terhalangi untuk melakukan kebenaran-kebenaran tersebut. Maka, balasannya di akhirat adalah setiap kali Allah ﷻ membuka pintu neraka bagi mereka, lalu mereka hendak keluar darinya, maka Allah ﷻ menutup kembali pintu tersebut. Allah ﷻ mempermainkan mereka terus-menerus.    Orang-orang kafir dahulu ketika di dunia pun seperti itu. Setiap kali mereka mendengar tentang kebenaran dan hendak memasukinya, maka mereka mundur dan tidak jadi menerima kebenaran tersebut. Saat ini banyak orang-orang kafir yang seperti itu dan mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal di akhirat kelak. Berdasarkan firman Allah ﷻ,    جَزَاءً وِفَاقًا    “Sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba’: 26)         Balasan kebaikan.  Di antara contoh-contoh balasan kebaikan adalah:    Balasan bagi orang-orang yang mengerjakan salat malam.  Berdasarkan firman Allah ﷻ tentang mereka,    تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ    “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)    Di tengah kegelapan dia bangun seorang diri. Begitu juga riwayat dari Abdullah bin Salam t, Rasulullah ﷺ bersabda,    أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ    “Ucapkanlah salam, berikanlah makanan, dirikanlah salat di waktu malam saat orang-orang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” ([22])    Sebagaimana mereka menyembunyikan amalan saleh mereka di hadapan manusia, maka Allah ﷻ menyembunyikan pahala yang luar biasa, di mana Allah ﷻ menyiapkannya bagi mereka pada hari kiamat kelak. Tidak ada satu jiwa pun yang tahu pahala yang Allah ﷻ siapkan kepada mereka, sebagai balasan apa yang telah mereka kerjakan.    Inilah contoh bagaimana dia menyembunyikan amal salehnya, kemudian Allah ﷻ membalasnya dengan menyembunyikan pahala yang besar baginya.    Di dalam ayat yang lain, Allah ﷻ berfirman,    وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا . إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا    “Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) itu mencintai kehidupan (dunia) dan meninggalkan hari yang berat (hari akhirat) di belakangnya.” (QS. Al-Insan: 26-27)    Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata,    فَمَنْ سَبَّحَ اللَّهَ لَيْلًا طَوِيلًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الْيَوْمُ ثَقِيلًا عَلَيْهِ بَلْ كَانَ أَخَفَّ شَيْءٍ عَلَيْهِ    “Barang siapa yang pada malam hari banyak bertasbih kepada Allah ﷻ, maka tidak ada kesulitan baginya pada hari kiamat kelak, bahkan akan menjadi ringan baginya.” ([23])    Barang siapa yang lama berdiri di malam hari untuk beribadah kepada Allah ﷻ, merasakan beratnya shalat malam, maka pada hari kiamat kelak dia akan merasa ringan. Barang siapa yang kurang shalat malamnya, kurang sabar berdiri di hadapan Allah ﷻ di dalam shalat, maka di akhirat kelak dia akan merasa berat. Balasan sesuai dengan perbuatan.    Pada hari kiamat, di mana pada saat itu adalah يَوْمًا ثَقِيلًا ‘hari yang berat di akhirat’, semua orang akan dituntut oleh Allah ﷻ dan semua orang juga akan menuntutnya. Allah ﷻ berfirman,    فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ . يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ . وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ . وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ    “Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu dan bapaknya. Dan dari istri dan anak-anaknya.” (QS. ‘Abasa: 33-36)    Para ulama ahli tafsir mengemukakan alasan setiap manusia pada saat itu tidak ingin bertemu dengan istrinya, tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya ataupun orang tuanya, yaitu karena dia takut akan dituntut oleh mereka.    Sejatinya setiap orang memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang di sekitarnya yang harus dia tunaikan. Ada hak-hak orang lain yang harus dia tunaikan, di antaranya hak istri, hak anak, hak orang tua saudara dan kerabatnya yang lain.    Hak-hak mereka sering kali dilalaikan, dan bahkan terkadang hak tersebut tidak ditunaikannya, seperti tidak diajak berkomunikasi dengan baik, tidak mengunjunginya atau bahkan memberikan hadiah pun tidak, meskipun hanya sekedar menyenangkan hati mereka.    Hak-hak yang diberikan kepada anak-anak pun kurang diperhatikan. Terkadang dia sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lalai mengajarkan agama dan Al-Quran kepada mereka. Begitu juga dengan hak istri yang tak kalah sering dia lalaikan. Terkadang karena terlalu perhatian dengan kawan-kawan mengobrolnya, membuatnya jarang mengajak mengobrol istrinya, memberikan perhatian dan memberikan sesuatu yang membuat hatinya senang. Sejatinya mereka semua mempunyai hak.    Pada hari kiamat setiap orang akan lari dari ini semua. Bayangkan, dia akan lari dari orang terdekatnya. Kenapa? Karena hari tersebut adalah يَوْمًا ثَقِيلًا ‘hari yang berat di akhirat’. Seharusnya orang-orang terdekat itu diharapkan untuk memberikan pertolongan kepadanya, ternyata dia lari, karena dia tahu bahwa banyak hak-hak mereka yang tidak ditunaikan. ([24])    Oleh karenanya, jika kita ingin diberikan kemudahan pada hari kiamat, hendaknya kita selalu menyisihkan waktu pada malam hari untuk mendirikan shalat malam. Ini merupakan perintah dari Allah ﷻ.    Jika kita bisa melewati beberapa waktu dari sebagian malam kita, tentunya itu adalah sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa. Semakin lama dia berdiri untuk mendirikan shalat malam, maka dia semakin hebat dan mulia. Namun, setidaknya setiap orang meluangkan waktunya untuk mengerjakan shalat malam, meskipun hanya sebentar atau sekedar seperempat jam. Yang penting ada waktu untuk melawan kantuk, bagaimana beratnya melawan nikmat tidur pada malam tersebut. Jika kita bisa melawan beratnya rasa kantuk tersebut, maka rasa berat itu akan Allah ﷻ hilangkan pada hari kiamat kelak.    Balasan bagi orang yang memaafkan.  Sebagaimana firman Allah ﷻ,    وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ    “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur: 22)    Ayat ini turun kepada Abu Bakar t, sebagaimana firman Allah ﷻ,    وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ    “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)    Ayat ini berkaitan dengan kisah tentang Misthah, merupakan kerabat Abu Bakar t. Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh berzina oleh orang-orang munafik, Misthah terlibat pada peristiwa berita bohong ini. Misthah adalah orang yang miskin, di mana Abu Bakar t lah yang memberikan nafkah dan sedekah kepadanya. Dia terjebak dengan tuduhan orang-orang munafik yang menuduh bahwa sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah berzina. Sampai kemudian, turunlah ayat yang membela ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau tidak berzina. Akibatnya adalah Abu Bakar t marah, karena selama itu dia yang telah memberikan nafkah kepada Misthah. Akan tetapi, dia membalas kebaikan dengan keburukan, dengan cara menuduh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina. Oleh karenanya, Allah ﷻ menegur Abu Bakar t dengan ayat tersebut.    Adapun balasannya adalah ampunan dari Allah ﷻ, sebagaimana dalam firman-Nya,    أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ    “Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)    Inilah ayat yang mulia. Di antara hal yang mudah bagi kita agar diampuni dosa-dosa kita oleh Allah ﷻ, adalah memaafkan kesalahan orang lain. Setiap orang memiliki banyak dosa, bisa saja seseorang sudah berusaha berdoa kepada Allah ﷻ agar diampuni dosa-dosanya, atau berdosa karena mengulangi kemaksiatannya lagi, berdosa karena tidak khusyuk dalam beristigfar, berdosa disebabkan terlalu menyepelekan dosa-dosa yang diperbuat, sehingga ada beberapa dosa yang tidak diampuni oleh Allah ﷻ.    Maka dari itu, di antara cara Allah ﷻ menghapuskan dosa-dosanya adalah dengan membuatnya terzalimi. Ketika dia terzalimi, hendaknya dia berintrospeksi diri dan memaafkan orang yang menzaliminya. Apabila dia memaafkan, maka Allah ﷻ akan memaafkannya, karena kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.    Balasan orang yang menolong Allah I.  Sebagaimana firman-Nya,    يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدامَكُمْ    “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)    Di antara cara menolong Allah ﷻ adalah dengan menolong dalam dakwah, harta, kekuatan ataupun yang lainnya, maka Allah ﷻ akan menolong mereka.    Balasan bagi orang yang berinfak.  Berdasarkan hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, bahwa Nabi ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,    يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ    “Wahai Anak Adam! berinfaklah, maka aku akan membalas infakmu.”([25])    Hendaknya setiap orang tidak perlu ragu dalam berinfak. Jika dia tahu bahwa الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’, maka hendaknya dia berinfak karena Allah ﷻ, pasti akan dibalas di dunia, sebelum Allah ﷻ memberikan balasan di dalam akhirat.    Ini sudah menjadi kaidah yang nyata bagi orang yang berinfak. Allah ﷻ akan membalasnya di dunia, sedangkan di akhirat akan dibalas dengan balasan yang berlipat-lipat. Oleh karenanya, seseorang tidak perlu ragu untuk berinfak, karena kaidah yang berlaku adalah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’.    Balasan bagi orang yang tidak marah.  Barang siapa tidak ingin dimurkai oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia tidak murka kepada orang lain. Barang siapa yang tidak murka kepada orang lain, maka Allah ﷻ tidak murka kepadanya.    Kita ini banyak dosa, kita khawatir sebab dosa tersebut berakibat dimurkai oleh Allah ﷻ, maka dari itu janganlah kita suka murka atau marah kepada orang lain. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya    مَاذَا يُبَاعِدُنِي مِنْ غَضَبِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ لَا تَغْضَب    “‘Amalan apa yang dapat menjauhkanku dari murka Allah?’, maka Nabi ﷺ bersabda, ‘jangan marah’.”([26])    Terkadang seseorang tidak mampu menahan diri, sehingga marah kepada istrinya atau suaminya, anaknya, orang bawahannya atau kawannya. Tidak ada pekerjaan yang dilakukannya, kecuali marah.    Apabila kita tidak ingin dimarahi oleh Allah ﷻ, maka hendaknya kita banyak memaafkan orang lain, tidak banyak marah dengan orang lain dan berusaha untuk tetap sabar. Banyak sebab yang menjadikan Allah ﷻ murka kepada kita, tetapi lantaran kita sering memaafkan kesalahan orang lain serta kemurahan kita kepada mereka, maka hal itu menjadikan kita jauh dari murka Allah ﷻ.    Sungguh Allah ﷻ Maha Baik. Seandainya Allah ﷻ marah kepada kita di dunia, maka itu lebih baik. Akan tetapi, seandainya Allah ﷻ marah kepada kita di akhirat kelak, maka perkara akan menjadi lebih besar dan lebih sulit.    Oleh karenanya, Nabi ﷺ bersabda tentang balasan bagi orang yang menyembunyikan kemarahannya,    مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الخَلَائِقِ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ    “Barang siapa yang menahan puncak kemarahannya, sedangkan dia dapat melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan semua makhluk pada hari kiamat hingga diperintahkan untuk memilih bidadari mana saja yang dia inginkan.”([27])    Allah ﷻ memuji orang yang meredam kemarahannya. الْغَيْظ adalah puncak kemarahan. Apabila kemarahan dianalogikan sebagaimana air dalam sebuah wadah, maka puncak kemarahan itu bagaikan air yang hendak meluap dan tumpah dari tempatnya, dan agar tidak meluap secara berlebihan maka hendaknya diikat. Mengikat air yang sudah meluber itu sama dengan menahan amarah yang disebut dengan كَظَمَ غَيْظًا.    Pada saat itu orang tersebut berada di puncak emosinya, sedangkan dia mampu untuk membalasnya dan melampiaskannya. Bisa jadi dia adalah seorang petinggi yang memiliki jabatan, yang memiliki berhak melakukan apa saja, maka semuanya akan terlaksana. Namun, meskipun dia mampu melampiaskan kemarahannya, dia menahan dan meredamnya. Sebagai balasannya adalah Allah ﷻ akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan makhluk-makhluk-Nya dan diperintahkan untuk memilih bidadari yang dia inginkan.    Kepada setiap muslim mana pun, jika engkau marah kepada istri, tahanlah dan sabarlah. Sebagian istri memang membuat masalah, maka hendaknya dia tetap bersabar. Ingatlah, jika engkau menahan kemarahan, maka engkau akan diberikan bidadari yang ada di dalam surga. Sebagian istri memang mudah marah-marah, sedangkan sebagian suami lemah. Setiap hari yang didapatkan di dalam rumah adalah omelan dari istrinya, barang kali disebabkan dari ekonomi atau kedudukan mereka yang tidak baik, sehingga para suami mendapatkan kemarahan dari istri mereka. Oleh karenanya, bagi setiap orang yang tidak ingin dimurkai oleh Allah ﷻ, maka janganlah marah kepada orang lain.    Balasan bagi orang yang tawaduk karena Allah ﷻ.  Allah ﷻ akan mengangkat derajat bagi orang-orang yang tawaduk karena Allah ﷻ. Disebutkan di dalam hadis, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,    مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللهُ دَرَجَةً    “Barang siapa yang bertawaduk karena Allah ﷻ satu derajat, maka Allah ﷻ akan meninggikannya satu derajat.”([28])    Tawaduk dilakukan bukan karena pencitraan. Seseorang bisa bersikap tawaduk dan tidak sombong kepada kawannya atau keluarganya. Disebutkan sebuah kisah Ibnu Rajab oleh Al-Qadhi ‘Alauddin bin Al-Lahham berkata,    ذَكَرَ لَنَا مَرَّةً الشَّيْخُ مَسْأَلَةً فَأَطْنَبَ فِيْهَا، فَعَجِبْتُ مِنْ ذَلِكَ وَمِنْ إِتْقَانِهِ لَهَا، فَوَقَعْتُ بَعْدَ ذَلِكَ بِمَحْضَرٍ مِنْ أَرْبَابِ الْمَذَاهِبِ وَغَيْرِهِمْ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ فِيْهَا الْكَلِمَةَ الْوَاحِدَةَ، فَلَمَّا قَامَ، قُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ تَكَلَّمْتَ فِيْهَا بِذَلِكَ الَكَلَامِ، قَالَ: إِنَّمَا أَتَكَلَّمُ بِمَا أَرْجُوْ ثَوَابَهُ، وَقَدْ خِفْتُ مِنَ الْكَلَامِ فِيْ هَذَا الْمَجْلِس    “Suatu ketika Syaikh (Ibnu Rajab) menerangkan suatu permasalahan kepada kami, maka beliau menjelaskannya dengan panjang lebar, sehingga aku terkagum akan penguasaan dan keterampilan dalamnya ilmu beliau. Setelah itu, aku ikut hadir dalam suatu majelis perkumpulan para ulama besar, namun dalam majelis tersebut beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatkala beliau berdiri, aku bertanya kepada beliau, ‘Bukankah engkau telah menjabarkan permasalahan tersebut?’, lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku hanya ingin berbicara sesuatu yang hanya berharap pahala dari Allah. Sungguh aku takut untuk berbicara di majelis tersebut’.”([29])    Dalam riwayat tersebut mengisahkan bagaimana ketawadukan Ibnu Rajab Al-Hanbali, di mana sebenarnya beliau mampu untuk menjelaskan dengan detail suatu permasalahan, sedangkan saat itu muridnya menunggu gurunya untuk menjabarkan masalah tersebut dengan penjabaran yang hebat, agar para ulama tahu siapa Ibnu Rajab sesungguhnya.    Namun ternyata, pada kesempatan tersebut Ibnu Rajab tidak menjawab. Ketika beliau keluar, para muridnya menemuinya dan bertanya kepadanya, maka beliau menjelaskan bahwa sejatinya beliau mengharapkan pembicaraan yang hanya mengharapkan pahala karena Allah ﷻ. Adapun jika hal itu disampaikan di majelis tersebut, maka itu adalah karena dunia. Itulah sebab ketawadukannya, beliau khawatir terjerumus ke dalam keinginan-keinginan yang bersifat duniawi.    Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah ﷺ bersabda,    وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ    “Tidaklah seseorang memaafkan, kecuali Allah akan menambahkan kemuliaan kepadanya dan tidaklah seseorang bertawaduk karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”([30])    Orang yang memaafkan memang terlihat rendah, bukan karena dia tidak mampu membalas atau kelemahan dirinya, sehingga layak dikasihani, bukan juga karena kalah debat atau apa pun sehingga layak direndahkan. Namun, karena meninggalkan perdebatan karena Allah ﷻ -meskipun sejatinya dia bisa membalas-, maka Allah ﷻ akan mengangkat derajatnya. Meskipun orang mencaci maki dan menghinanya.    Apabila seseorang ingin diangkat oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia banyak memaafkan orang lain. Sebaliknya, bagi orang yang ingin merasa tinggi di mata manusia, maka dia akan selalu menuruti hawa nafsu mereka.    Balasan kebaikan dan sayang karena Allah ﷻ.  Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,    الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ    “Para penyayang disayang oleh Allah yang Maha Penyayang, sayangilah penduduk bumi, maka yang di langit akan sayang kepada kalian.” ([31])    Barang siapa yang menyayangi, maka dia akan disayang. Barang siapa yang menyayangi penduduk bumi, maka Allah ﷻ dan para malaikat akan sayang kepadanya. Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Qurrah, Nabi ﷺ bersabda kepada salah seorang sahabat,    وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللَّهُ    “Kambing, jika kamu mengasihinya, maka Allah ﷻ akan mengasihimu.”([32])    Balasan bagi orang yang mencintai karena Allah ﷻ.  Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, dari Nabi ﷺ bersabda,    أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ، عَلَى مَدْرَجَتِهِ، مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ، قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ، قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ لَا، غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ، بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ    “Sesungguhnya ada seseorang yang menjenguk saudaranya di desa lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk menemuinya di tengah perjalanannya. Ketika malaikat datang kepadanya, berkata, ‘Hendak ke mana tujuanmu?’, dia berkata, ‘Aku ingin pergi menjenguk saudaraku di desa ini’, malaikat berkata, ‘Apakah engkau memiliki satu perkara yang menguntungkan dengannya?’, dia berkata, ‘Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah’, malaikat berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat utusan Allah yang diutus kepadamu untuk memberitahukan bahwa Allah akan senantiasa mencintaimu, sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya’.” ([33])    Diriwayatkan dari Mu’adz t, dari Nabi ﷺ, Allah ﷻ berfirman,    وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ    “Kecintaanku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling berteman karena-Ku, saling mengunjungi karena-Ku dan saling berkorban karena-Ku.”([34])  Barang siapa saling mencintai karena Allah ﷻ , maka dia akan mendapatkan cinta Allah ﷻ. Barang siapa yang menyebut nama Allah ﷻ, maka Allah pun mengingatnya,  فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ  “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)  Barang siapa ingin disebut-sebut oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia mengingat Allah ﷻ. Dari Abu Hurairah t, dari Nabi ﷺ, Allah ﷻ berfirman,  مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ مِنَ النَّاسِ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَطْيَبَ    “Barang siapa yang mengingatku di dalam dirinya, maka aku akan mengingatnya dalam jiwaku. Barang siapa yang mengingatku di depan banyak orang, maka aku akan menyebutnya di hadapan makhluk yang lebih banyak dan lebih baik dari mereka.”([35]) (yakni: para malaikat)  Balasan bagi orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid.  Diriwayatkan dari Buraidah Al-Aslami t, dari Rasulullah ﷺ bersabda,  بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ  “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid-masjid, bahwa mereka akan diberikan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.”([36])  Barang siapa yang berusaha berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid hendak melaksanakan shalat subuh atau isya -khususnya pada zaman dahulu ketika sedikit sekali lampu penerang jalan-, maka Allah ﷻ akan memberikan kepadanya cahaya penerang pada hari kiamat kelak tatkala melewati sirat.  Balasan bagi orang membela harga diri saudara seiman.  Dari Abu Ad-Darda’ t, dari Nabi ﷺ,  مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ  “Barang siapa yang membela harga diri saudaranya, maka Allah akan membelanya dari api neraka.”([37])  Barang siapa yang mendapati orang lain menjatuhkan harga diri saudaranya, maka hendaknya dia membelanya. Apabila dia membelanya, hendaknya dia membela karena Allah ﷻ, bukan karena mencari kedudukan duniawi darinya, bukan karena emosi, pengakuan atau apapun, meskipun resikonya berupa celaan manusia, maka hendaknya dia tetap membelanya.  Oleh karenanya, banyak ulama yang membela ulama-ulama sebelum mereka yang telah meninggal dunia. Mereka tidaklah membela para ulama, melainkan hanya berharap karena Allah ﷻ. Karenanya, sebagai balasannya adalah Allah ﷻ akan membela wajah mereka dari neraka jahanam.  Balasan bagi orang yang tulus, maka Allah ﷻ akan memudahkan urusannya.  Dari Syaddad bin Al-Had bercerita,  أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ آمَنَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: أُهَاجِرُ مَعَكَ فَأَوْصَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ بِهِ، فَلَمَّا كَانَتْ غَزْوَةُ خَيْبَرَ أَوْ حُنَيْنٍ غَنِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَقَسَمَ وَقَسَمَ لَهُ، فَأَعْطَى أَصْحَابَهُ مَا قَسَمَ لَهُ، وَكَانَ يَرْعَى ظَهْرَهُمْ، فَلَمَّا جَاءَ دَفَعُوهُ إِلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ قَالُوا: قَسَمَهُ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَهُ فَجَاءَهُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مَا عَلَى هَذَا اتَّبَعْتُكَ، وَلَكِنِّي اتَّبَعْتُكَ عَلَى أَنْ أُرْمَى هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى حَلْقِهِ بِسَهْمٍ فَأَمُوتَ وَأَدْخُلَ الْجَنَّةَ، فَقَالَ إِنْ تَصْدُقِ اللَّهَ يَصْدُقْكَ فَلَبِثُوا قَلِيلًا، ثُمَّ دَحَضُوا فِي قِتَالِ الْعَدُوِّ فَأُتِيَ بِهِ يُحْمَلُ وَقَدْ أَصَابَهُ سَهْمٌ حَيْثُ أَشَارَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهُوَ هُوَ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ صَدَقَ اللَّهُ فَصَدَقَهُ  “Sesungguhnya ada seorang Arab badui beriman kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Aku akan berhijrah bersama engkau’, maka Nabi ﷺ berwasiat kepada para sahabat beliau untuk memperhatikannya. Ketika tiba perang Khaibar atau Hunain, Rasulullah mendapatkan harta ghanimah, lalu beliau membaginya dan membagi juga untuknya, lalu beliau memberikannya kepada para sahabat untuk memberikan bagian kepadanya. Orang tersebut bertugas menjaga bagian belakang pasukan. Ketika dia datang, para sahabat pun menyerahkan bagiannya, lalu dia berkata, ‘Apa ini?’ mereka berkata, ‘Rasulullah ﷺ memberikan bagian untukmu’, lalu dia pun mengambilnya dan mendatangi beliau ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Muhammad! Bukan untuk ini aku mengikutimu, tetapi aku mengikutimu agar aku terkena anak panah disini -dengan menunjuk ke lehernya- lalu aku mati dan masuk ke dalam surga’. Setelah itu beliau ﷺ bersabda, ‘Jika kau tulus kepada Allah, maka Allah akan membenarkan (niat)mu’, setelah beberapa saat, kemudian mereka bangkit memerangi musuh. Setelah itu, orang tersebut didatangkan, mayatnya dipikul dalam keadaan anak panah menembus ke dalam leher yang telah dia tunjuk, lalu Nabi ﷺ bersabda, ‘Apakah mayat ini adalah orang tersebut?’, mereka berkata, ‘Benar’, maka beliau ﷺ bersabda, ‘Dia telah jujur kepada Allah dengan tulus, maka Allah pun mengabulkan keinginannya’.”([38])  Balasan bagi orang yang memudahkan urusan orang lain.  Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,  مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،  “Barang siapa yang meringankan penderitaan seorang muslim dari penderitaan-penderitaan di dunia, maka Allah akan meringankannya dari penderitaannya pada hari kiamat.”([39])  نَفَّسَ ‘meringankan (beban)’ artinya tidak harus menghilangkan beban secara keseluruhan. Meringankan beban/penderitaan orang lain saja, sudah mendapatkan pahala di sisi Allah. Contohnya jika ada saudara kita yang sedang sakit, maka kita berusaha mengurangi rasa sakit yang dia derita.  Selama kita mengurangi penderitaan seorang muslim, dan tidak mesti harus hilang penderitaannya di dunia, maka Allah akan meringankan penderitaan kita pada hari kiamat. Balasan sesuai dengan perbuatan.  Penderitaan dunia tidak ada bandingannya dengan penderitaan di akhirat. Penderitaan akhirat sangat mengerikan. Sejak dari alam barzakh, lalu dibangkitkan pada saat hari kiamat dalam kondisi telanjang, lalu dikumpulkan di bawah terik matahari dengan jarak satu mil dan dihisab oleh Allah, kemudian mizan hingga melewati sirath adalah perkara-perkara yang mengerikan pada hari kiamat.  Oleh karenanya, penderitaan dunia tidak sebanding dengan penderitaan akhirat. Maka, Allah membalas perbuatan seseorang yang berusaha meringankan penderitaan saudaranya di dunia dengan balasan diringankan penderitaannya di akhirat.  Rasulullah ﷺ bersabda,  وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،  “Barang siapa yang memudahkan seorang yang berhutang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat”([40])  Di antara contoh lain dalam memberikan kemudahan kepada orang lain adalah seseorang yang berhutang kepada kita, maka kita bisa menangguhkan waktu pembayaran hutangnya, atau mengurangi hutangnya, sehingga dia merasa ringan dalam membayarkan sisa hutangnya kepada kita. Barang siapa yang memiliki hutang kepada kita, maka ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan, yaitu:  Menunda waktu pelunasan hutang. Allah ﷻ berfirman,  وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ  “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)  Jika ada seseorang yang ternyata kesusahan untuk melunasi hutangnya, maka kita bisa menangguhkannya waktunya. Apalagi, jika kita tahu dia adalah orang yang berkepribadian yang baik, amanah, sungguh-sungguh dalam bekerja dan menepati janjinya, hanya saja karena dia tidak mampu.  Merelakan hutang tersebut. Allah ﷻ berfirman,  وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُون  “Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)  Merelakan hutangnya bisa dengan dua bentuk. Pertama, merelakan sebagian hutangnya. Jika dia memiliki hutang sebanyak Rp 100.000,00, maka kita bisa berbuat baik kepadanya cukup dengan melunasi hutangnya sebesar Rp 70.000,00, sedangkan sisanya tidak perlu dibayarkan. Kedua, merelakan seluruhnya. Kita bisa saja berbuat baik kepadanya dengan membebaskan dan merelakan seluruh hutangnya yang sebesar Rp 100.000,00 tersebut. ([41])  Barang siapa yang meringankan atau memudahkan beban orang lain di dunia, maka Allah ﷻ akan memberikan keringanan atau kemudahan di dunia dan akhirat kelak. Inilah pentingnya bermuamalah yang baik dengan orang yang memiliki hutang dengan kita. Pahalanya sangat luar biasa, Allah ﷻ memberikan keringanan kepadanya di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Balasan sesuai dengan perbuatan.  Diriwayatkan dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,  حُوسِبَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مِنَ الْخَيْرِ شَيْءٌ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخَالِطُ النَّاسَ، وَكَانَ مُوسِرًا، فَكَانَ يَأْمُرُ غِلْمَانَهُ أَنْ يَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُعْسِرِ، قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْهُ، تَجَاوَزُوا عَنْهُ  “Ada seseorang sebelum kalian yang tertahan pada hari kiamat, tidak ada satu pun kebaikan dari dirinya, hanya saja dia sering berbaur dengan orang-orang dan dia adalah seorang kaya raya, lalu memerintahkan budaknya untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang yang kesusahan. Maka, Allah berfirman, ‘Kami lebih berhak untuk meringankan dari pada dia, maka maafkanlah dia’.”([42])  Allah ﷻ mengampuninya, karena dia sering memberikan maaf kepada orang-orang saat di dunia. Ketika ada orang yang berhutang kepadanya dan kesusahan di dalam melunasinya, maka dia pun merelakannya dan membebaskannya dari hutang tersebut.  Tentu saja, ini merupakan perkara yang berat. Apalagi pada zaman sekarang. Kenyataannya adalah ada orang yang berhutang kepadanya, lalu dia sungguh-sungguh untuk menagih hutang tersebut.  Demikianlah kemurahan Allah ﷻ, barang siapa yang orang lain memiliki hutang kepadanya, lalu meringankannya, atau bahkan memaafkannya dan membebaskannya, maka Allah ﷻ akan memberikan keringanan kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.  Balasan bagi orang yang menutupi aib saudaranya muslim  Rasulullah ﷺ bersabda,  وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ  “Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia, maupun di akhirat.” ([43])  Jika kita mampu untuk tidak mengetahui aib orang lain, maka itulah sejatinya yang terbaik. Tidak perlu tahu aib orang lain, apalagi mencari-cari aibnya. Namun, jika Allah ﷻ menakdirkan kita melihat aib orang lain, maka hendaknya kita berusaha menutupinya. Karena kita tahu bahwa Allah ﷻ Maha Mengetahui betapa banyak aib yang ada pada diri kita sendiri.  Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,  يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ  “Wahai orang-orang yang lisannya sudah beriman, tetapi imannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggibahi orang-orang muslim dan jangan mencari-cari aib-aib mereka. Sungguh, barang siapa yang mencari aib orang lain, maka Allah ﷻ akan mencari aibnya. Barang siapa yang dicari aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar aibnya meskipun dia sembunyi di rumahnya.” ([44])  Bukan kita yang hebat, tetapi karena Allah ﷻ yang memudahkan segalanya kepada kita. Bukan kita yang mulia dengan amal saleh kita, tetapi karena Allah ﷻ yang telah menutup aib-aib kita. Kita mulia di sisi orang bukan karena amal saleh kita, tetapi karena aib kita ditutup oleh Allah ﷻ. Jika ada orang saleh yang dibuka satu aibnya saja, maka akan hilang kemuliaannya.  Oleh karenanya, kesempatan bagi kita tatkala melihat aib orang lain, maka kita berusaha menutupinya agar aib kita ditutup oleh Allah ﷻ di dunia, terutama di akhirat.  Sungguh memalukan jika aib kita dibongkar di akhirat. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan sebelumnya tentang balasan yang didapatkan bagi orang yang berpoligami, tetapi tidak bisa adil terhadap istri-istrinya. Pada hari kiamat dia datang dalam keadaan badannya miring. Sungguh memalukan, jika kelak dilihat oleh seluruh manusia.  Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik (مَنْ تَرَكَ لِلَّهِ شَيْئًا عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ).  Kaidah ini disebutkan berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafal,  إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ  “Sesungguhnya engkau tidaklah meninggalkan sesuatu pun karena Allah, melainkan Allah akan memberikan ganti kepadamu sesuatu yang lebih baik darinya.”([45])  Apabila seseorang meninggalkan perbuatan maksiatnya karena Allah ﷻ, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari apa yang telah ditinggalkannya. Di antara contohnya adalah:  Balasan kebaikan bagi Nabi Yusuf u.  Nabi Yusuf n lebih memilih penjara dari pada menuruti rayuan para wanita. Oleh karenanya, Allah ﷻ menggantinya dengan balasan yang sangat baik, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah ﷻ,  قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ  “Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka.” (QS. Yusuf: 33)  Beliau meninggalkan segala kenikmatan dan merasa lebih nyaman di dalam penjara. Maka dari itu, Allah ﷻ menggantikannya dengan kekuasaan yang luas. Allah ﷻ berfirman,  وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ  “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56)  Dahulu beliau berada di dalam keadaan kesempitan dan kesulitan, sejak saat berada di dalam sumur hingga ujian-ujian yang mengantarkannya ke dalam penjara. Namun, Allah ﷻ memberikan balasan yang luar biasa, berupa kerajaan yang lebih luas dari pada penjara, tentunya dengan banyak kenikmatan di dalamnya.  Balasan kebaikan bagi Nabi Sulaiman u.  Di antara kebiasaan beliau adalah berzikir hingga matahari terbenam. Namun, suatu ketika beliau lupa berzikir kepada Allah ﷻ hingga matahari terbenam, sebagaimana firman Allah ﷻ,  فَقالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوارَتْ بِالْحِجابِ  “Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.” (QS. Sad: 31)  Beliau u memerintahkan untuk mendatangkan kuda-kudanya yang indah nan membuat orang terpesona hingga lupa berzikir,  رُدُّوها عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحاً بِالسُّوقِ وَالْأَعْناقِ  “Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku.” Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu.” (QS. Sad: 32)  Karena beliau u tahu bahwa kuda-kudanya itu membuatnya lupa untuk berzikir kepada Allah, akhirnya beliau pun memenggal kuda-kuda tersebut. Setelah itu, Allah ﷻ menggantikan dengan balasan yang lebih baik, Allah ﷻ berfirman,  وَلِسُلَيْمانَ الرِّيحَ غُدُوُّها شَهْرٌ وَرَواحُها شَهْرٌ وَأَسَلْنا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنا نُذِقْهُ مِنْ عَذابِ السَّعِيرِ  “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya pada waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya pada waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (QS. Saba’: 12)  Nabi Sulaiman u meninggalkan kuda-kuda pilihannya dan Allah ﷻ menggantikannya dengan angin yang berhembus kencang dan berhembus sesuai dengan keinginannya. Itu adalah balasan Allah ﷻ di dunia, belum lagi balasan di akhirat.  Balasan kebaikan bagi Nabi Ibrahim u.  Ketika beliau dibakar, beliau meninggalkan bajunya. Allah ﷻ memberikan balasan di akhirat kelak sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,  إِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ القِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ  “Orang yang pertama kali diberikan pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim.”([46])  Kita tahu bahwa kita dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam kondisi telanjang, tidak memakai baju. Setelah itu, Allah ﷻ memberikan kepada kita pakaian, sedangkan manusia pertama yang diberikan baju pada hari kiamat adalah Nabi Ibrahim u, karena beliaulah orang pertama yang meninggalkan bajunya karena Allah ﷻ saat dibakar oleh kaumnya. Allah ﷻ menggantikannya di akhirat kelak sebagai bentuk kehormatan.  Selain itu, beliau juga meninggalkan negerinya, ayahnya dan keluarganya karena Allah ﷻ. Sebagai gantinya Allah memberikan balasan kebaikan bagi beliau. Allah ﷻ berfirman,  فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَما يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنا لَهُ إِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلاًّ جَعَلْنا نَبِيًّا  “Maka ketika dia (Ibrahim) sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak dan Yakub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi.” (QS. Maryam: 49)  Allah ﷻ menggantikannya dengan keluarga, anak cucu yang beriman.  Balasan kebaikan bagi orang yang tawaduk.  Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Anas Al-Juhani t, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,  مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا  “Barang siapa yang meninggalkan pakaian-pakaian kemewahan karena Allah, padahal dia mampu untuk melakukannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan makhluk sehingga diperintahkan untuk memilih pakaian-pakaian surga yang diinginkan.”([47])  Hadis ini menjelaskan bagi seseorang yang meninggalkan kemegahan pakaian-pakaian karena tawaduk, padahal dia mampu untuk melakukannya, maka Allah ﷻ akan memanggilnya pada hari kiamat di depan makhluk-makhluk-Nya dan memerintahkannya untuk memilih bidadari yang dia inginkan.  Barang siapa yang meninggalkan segala pakaian atau perhiasan yang dipakai karena takut merasa sombong atau dia mampu membeli barang mewah, namun dia meninggalkan karena Allah ﷻ. Pada hari kiamat Allah ﷻ akan memanggilnya di depan khalayak manusia, membuatnya terkenal, lalu Allah ﷻ memerintahkannya untuk memakai baju keimanan atau baju surga yang dia sukai. Sebagai balasan kebaikan baginya, karena di dunia dia meninggalkan sesuatu karena Allah ﷻ, sebagai bentuk tawaduk kepada Allah ﷻ.  Balasan kebaikan bagi para syuhada.  Orang-orang yang telah mati syahid merelakan ruhnya karena Allah ﷻ, maka di dalam barzakh mereka mendapatkan nikmat dari Allah ﷻ. Ruh mereka terbang di surga seperti seekor burung. Mereka telah mendapatkan nikmat sejak di alam kubur, sebelum kenikmatan yang abadi di dalam surga.  Demikian juga dengan Jakfar bin Abu Thalib Ath-Thayyar, saat terjadi perang Mu’tah, tangan kanannya memegang bendera hingga terpotong, lalu bendera tersebut beralih kepada tangan kirinya, hingga kedua tangannya terpotong, maka Allah ﷻ menggantikannya dengan kedua sayap, di mana dia terbang dengannya di surga kelak. Oleh karenanya, dia disebut dengan Jakfar Ath-Thayyar ‘Jakfar Yang Terbang’.  Inilah di antara contoh-contoh dari kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’. Apabila kita menyebutkan ayat-ayat Allah ﷻ, maka kita akan mengetahui bahwa contoh-contohnya sangat banyak.  ([1]) ‘Aun Al-Ma’bud wa Hasyiyah Ibnu Al-Qayyim, (12/176).  ([2]) Suatu kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain dan yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat sebelumnya.  ([3]) Oleh karenanya, mereka berkeyakinan bahwa manusia dibagi ke dalam 4 kasta, yaitu: Kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Orang-orang yang ditakdirkan dari kasta Sudra -yaitu kasta yang ditakdirkan sebagai pelayan dari tiga kasta di atasnya- jika mereka ingin mendapatkan balasan yang setimpal pada kehidupan berikutnya, maka di kehidupan dunianya harus melayani kasta Brahmana. Sehingga ketika dia melayani kasta Brahmana dengan baik, dia akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya berada pada kasta yang ada di atasnya. Sebaliknya, jika mereka di dunia melakukan perbuatan yang buruk dan tidak menjalankan tugasnya sebagai kasta Sudra, maka dia akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya dengan keadaan yang lebih parah dari keadaannya yang sebelumnya, mungkin menjadi kambing, monyet dan hewan-hewan lainnya sesuai keyakinan mereka. Sebenarnya ini merupakan metode untuk merendahkan kasta Sudra yang dilakukan oleh kasta-kasta yang di atasnya bahwa jika mereka tidak berbuat sebagaimana kastanya, maka mereka akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya, sebagaimana kehidupan sebelumnya atau lebih rendah daripada itu.

Suatu kaidah yang sangat agung di dalam agama Islam yang ditunjukkan dengan begitu banyak dalil. Kaidah tersebut berbunyi,

الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ

“Balasan sesuai dengan perbuatan.”

Terlalu banyak dalil untuk menyebutkan tentang kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi ﷺ. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata,

قَالُوا وَقَدْ دَلَّ الْكِتَاب وَالسُّنَّة فِي أَكْثَر مِنْ مِائَة مَوْضِع عَلَى أَنَّ الْجَزَاء مِنْ جِنْس الْعَمَل فِي الْخَيْر وَالشَّرّ كَمَا قَالَ تَعَالَى (جَزَاء وِفَاقًا) أَيْ وَفْق أَعْمَالهمْ وَهَذَا ثَابِت شَرْعًا وَقَدْرًا

“Mereka (para ulama) berkata bahwasanya Al-Quran dan As-Sunah telah menunjukkan lebih dari seratus dalil yang menerangkan bahwa balasan sesuai dengan perbuatan di dalam perkara kebaikan maupun dalam perkara keburukan. Sebagaimana firman Allah, ‘Sebagai pembalasan yang setimpal’, maksudnya sesuai dengan amal perbuatan mereka. Dan ini valid berdasarkan syariat maupun takdir (kenyataan).” ([1])

Di samping itu, sudah menjadi kenyataan yang terjadi, di mana membuktikan betapa seringnya Allah ﷻ menunjukkan kaidah ini di realitas kehidupan manusia.

Di antara tujuan penyebutan kaidah ini adalah untuk membuat kita yakin bahwa kaidah tersebut adalah aturan Allah ﷻ yang berlaku. Kaidah yang menjadi hukum sebab akibat, di mana Allah ﷻ tidak menyelisihi aturan-Nya tersebut sekaligus tidak akan mengubah aturan tersebut.

Apabila seseorang yakin dengan kaidah ini, maka dia akan terpacu untuk melakukan amalan saleh. Karena dia mengetahui adanya kaidah yang berlaku bahwa الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’. Begitu pun sebaliknya, apabila dia ingin melakukan kezaliman dan perbuatan kemaksiatan, maka dia akan berhenti dari perbuatannya, sebab dia tahu kaidah ini akan berlaku.

Kaidah ini tidaklah sekedar omong kosong, namun kaidah yang sesuai dengan Al-Quran, As-Sunah dan sesuai dengan realitas atau kenyataan yang sudah terjadi, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya, seseorang yang meyakini kaidah ini, maka dia akan lebih waspada dan semangat dalam beramal saleh dan merasa khawatir untuk melakukan kemaksiatan.

Kaidah ini tidak sama dengan hukum karma. Hukum karma berbeda dengan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’. Hukum karma yang dikenal oleh sebagian orang adalah apabila seseorang telah melakukan suatu pelanggaran, maka anak keturunannya akan terkena balasannya. Bisa saja seorang lelaki yang berzina dengan istri orang lain, maka anaknya nanti akan memiliki suami yang berzina dengan istri orang lain. Kejadian-kejadian semacam ini bukanlah termasuk kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’, karena pada hakikatnya kaidah syar’i ini berkaitan dengan diri sendiri atau pelakunya, bukan kepada anaknya atau saudaranya.

Hukum karma tidak sama dengan kaidah ini. Apabila maksud dari hukum karma adalah tatkala seseorang di dunia melakukan sesuatu, maka dia akan dibalas pada kehidupan berikutnya atau jika dia meninggal dunia, maka suatu saat akan terjadi reinkarnasi([2]). Dia akan dihidupkan kembali pada kehidupan setelahnya, namun sebagai bentuk yang lain. Jika dia dahulu melakukan suatu kejahatan, dia akan menjadi hewan yang hina atau jika dia dahulu melakukan kebaikan, maka dia akan menjadi orang yang beruntung. ([3])

Tentu saja, kita tidak boleh meyakini keyakinan yang seperti ini, karena ini disebut termasuk ke dalam khurafat. Selain itu juga, hal ini bukanlah termasuk kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’, sebab balasan dari kaidah ini adalah di dunia dan di akhirat, berupa kehidupan yang selama-lamanya. Bukan seperti kepercayaan reinkarnasi, di mana balasan bagi pelakunya adalah pada saat dia terlahir kembali pada kehidupan setelah dia meninggal dunia dengan wujud yang lain, sedangkan reinkarnasi sendiri tidak ada di dalam agama Islam.

Kaidah ini merupakan konsekuensi dari sifat maha adil Allah, yaitu Allah ﷻ akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan. Berdasarkan firman Allah ﷻ,

جَزَاءً وِفَاقًا

“Sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba’: 26)

Allah ﷻ juga berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

Selain itu, Allah ﷻ telah menjelaskan kaidah ini di dalam Al-Quran dengan sangat tegas dan terang benderang, seperti firman Allah ﷻ,


وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُون


“Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml: 50)


إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا . وَأَكِيدُ كَيْدًا


“Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat. Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu.” (QS. Ath-Thariq: 15-16)


نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ


“Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula).” (QS. At-Taubah: 67)


فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ


“Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka.” (QS. At-Taubah: 79)


إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ


“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad: 7)


وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ


“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)


Ayat-ayat yang menerangkan tentang ini banyak sekali dan tidak butuh pengamatan lebih dalam, karena mudah untuk memahaminya. Tipuan dibalas dengan tipuan, makar dibalas dengan makar dan pertolongan dibalas dengan pertolongan pula, sehingga semuanya bisa dipahami dengan mudah.


Ayat-ayat lain yang semakna dengan ini banyak ditemukan di dalam Al-Quran. Demikian juga di dalam hadis-hadis Nabi ﷺ, dari Sahl bin Sa’d t, bahwa Jibril u datang dan berkata kepada Rasulullah ﷺ,


وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ


“Lakukanlah sesuai yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalas dengan perbuatanmu tersebut.”([4])


Begitu juga hadis riwayat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,


احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ


“Jagalah Allah ﷻ, niscaya Dia akan menjagamu.” ([5])


Demikianlah beberapa dalil tentang kaidah ini,


الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ


“Balasan sesuai dengan perbuatan.”


Oleh karenanya, terdapat riwayat dari seorang tabi’in murid dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu Sa’id bin Jubair. Ketika dia akan dibunuh oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, maka Al-Hajjaj berkata kepadanya,


اخْتَرْ أَيَّ قِتْلَةٍ تُرِيْدُ أَنْ أَقْتُلَكَ؟


“(Wahai Sa’id), pilihlah bentuk kematian yang kau inginkan agar aku membunuhmu dengan caraku tersebut?”


Al-Hajjaj mengancamnya, hingga Sa’id bin Jubair menjawab dengan jawaban yang menunjukkan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’ dengan berkata,


اخْتَرْ لِنَفْسِكَ يَا حَجَّاجُ، فَوَاللهِ مَا تَقْتُلُنِي قِتْلَةً، إلَّا قَتَلْتُكَ قَتْلَةً فِي الآخِرَة


“Justru pilihlah (cara kematian) untuk dirimu wahai Hajjaj. Demi Allah, engkau tidak akan membunuhku dengan satu cara kematian yang engkau inginkan, melainkan aku juga akan membunuhmu dengan satu cara kematian di akhirat.”([6])


Artinya ‘dengan cara apa pun engkau membunuhku, maka kelak pada hari kiamat Allah ﷻ akan membalas dengan cara pembunuhan tersebut’. Ini adalah penerapan dari kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.


Selain itu, di antara bukti dari kaidah ini adalah realitas kehidupan manusia. Banyak sekali contohnya di dunia ini, baik berupa balasan kebaikan maupun keburukan.


Kaidah ini diklasifikasi menjadi dua bagian, sesuai dengan contoh-contohnya yang bersumber dari nas-nas yang ada, tetapi perlu pengamatan lebih dalam. Di antaranya adalah :


Pertama, Balasan sesuai dengan perbuatan (الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ)


Kedua, Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik (مَنْ تَرَكَ لِلَّهِ شَيْئًا عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ)



Balasan sesuai dengan perbuatan (الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ). Dipandang dari balasan yang didapatkan, kaidah ini dibagi menjadi dua, yaitu:

 


Balasan keburukan.

Contohnya sangat banyak, di mana Allah ﷻ membalas keburukan yang sesuai dengan jenis perbuatan buruk yang dilakukan, di antaranya adalah :


Kisah bani Israil yang diubah menjadi monyet.

Allah ﷻ berfirman,


وَسْئَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كانَتْ حاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لا يَسْبِتُونَ لا تَأْتِيهِمْ كَذلِكَ نَبْلُوهُمْ بِما كانُوا يَفْسُقُونَ


“Dan anganlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu , (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS. Al-A’raf: 163)


Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,


وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ


“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu , lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!.” (QS. Al-Baqarah: 65)


Ketika orang-orang Yahudi bangga dengan nenek moyang mereka, maka Allah ﷻ menurunkan ayat tersebut kepada Nabi ﷺ, lalu beliau ﷺ bercerita bagaimana kisah sebagian nenek moyang mereka. Mereka saling berbangga diri dengan orang-orang sebelum mereka, bahkan mereka mengatakan bahwa mereka adalah penghuni surga. Akan tetapi, di balik semua itu, ternyata ada di antara mereka yang Allah ﷻ telah mengubahnya menjadi monyet. Balasan itu disebabkan kesalahan yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran.


Sebagaimana dikisahkan oleh Allah di dalam Al-Quran, ketika Allah ﷻ melarang mereka untuk mengambil ikan pada hari Sabtu , di mana pada hari itu, jumlah ikan sangat banyak sekali. Akan tetapi, Allah ﷻ membolehkan mereka untuk mencari ikan pada selain hari itu, sedangkan selain pada hari Sabtu tidak ada ikan sama sekali. Jika pun ada, jumlahnya pun sedikit. Allah ﷻ menguji mereka untuk tidak menangkap ikan pada hari Sabtu , padahal hari itu ikan sangat banyak sekali. Mereka berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan ikan, tetapi dengan cara tidak melanggar perintah Allah ﷻ. Mereka berpikir dan melakukan حِيْلَة ‘tipuan’ agar mereka bisa mengambil dan mendapatkan ikan tersebut pada hari Sabtu .


Cara yang mereka lakukan adalah dengan memasang perangkap atau galian di pinggir pantai pada hari Jumat. Pada saat air laut pasang dan banyak ikan di laut, ikan-ikan tersebut akan masuk ke dalam galian. Ketika saat air laut surut, mereka dapat mengambil ikan-ikan itu dengan mudah. Mereka memasang perangkap pada hari Jumat, lalu pada hari Sabtu mereka beristirahat, lalu pada hari berikutnya mereka mengambil ikan-ikan tersebut. Sejatinya, apa yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran, namun sejatinya adalah pelanggaran.


Bisa saja mereka berdalih bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Mereka dilarang mencari ikan pada hari Sabtu , sedangkan mereka memasang perangkap ikan pada hari Jumat, lalu mengambil hasil perangkap tersebut pada hari ahad. Di mana letak kesalahan tersebut?


Namun, Allah ﷻ Maha Mengetahui. Akibat dari perbuatan mereka itu, Allah ﷻ mengubah mereka menjadi monyet. Hal itu disebabkan karena kesalahan yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran. Sebagaimana hewan yang paling mirip dengan manusia adalah monyet, namun bukan manusia. Begitu juga dengan apa yang mereka lakukan sangat mirip dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran.


Di antara hikmahnya adalah karena monyet adalah hewan yang paling mirip dengan manusia, tetapi bukan manusia. Begitu juga dengan dosa yang paling mirip dengan kebenaran, tetapi pada hakikatnya bukan kebenaran. Inilah bahayanya bagi orang yang memiliki trik-trik menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan, mungkin secara lahirnya tidak haram tapi Allah ﷻ Maha Mengetahui niat orang-orang yang hendak melanggar perintah Allah, sedangkan Allah ﷻ Maha Mengetahui akan hal tersebut. ([7])


Balasan terhadap kaum Nabi Luth u.

Allah ﷻ berfirman,


فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ


“Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar.” (QS. Hud: 82)


Allah ﷻ menyebutkan bagaimana siksaan kaum Nabi Luth u. Mereka diangkat dari bawah, lalu dibalik, setelah dibalik dijatuhkan, kemudian ditimpakan dengan hujan batu. Mereka melakukan kemaksiatan berupa perubahan fitrah. Fitrah manusia yang suci adalah menyukai lawan jenisnya, seorang lelaki menyukai perempuan. Akan tetapi, mereka mengubah fitrah mereka, sehingga mereka melakukan praktik homoseksual, di mana dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Allah ﷻ berfirman,


وَلُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ. إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ


“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 80-81)


Karena fitrah mereka sudah terbalik, akibatnya Allah ﷻ pun menghukum mereka dengan siksaan yang terbalik. Allah ﷻ membalikkan mereka karena fitrah mereka terbalik. Allah ﷻ juga mengirimkan kepada mereka hujan batu, alasannya adalah sebagaimana perkataan para ulama bahwa termasuk hikmah orang yang berzina dihukum dengan rajam adalah karena ketika mereka melakukan maksiat, maka sekujur tubuhnya akan merasakan kelezatan dan kenikmatan, maka dengan rajam tersebut sekujur tubuhnya harus merasakan azab.([8])


Balasan bagi para pelaku riba.

Allah ﷻ berfirman,


الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ


“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.” (Al-Baqarah: 275)


Para ulama menjelaskan bahwa para pelaku riba kelak dibangkitkan seperti orang gila, karena mereka nekat mengatakan bahwa riba sama dengan jual beli([9]). Perkataan ini adalah suatu bentuk kegilaan, karena menyamakan riba dengan jual beli, artinya dua hal tersebut sama-sama halal. Balasan dari perbuatan mereka adalah dihukum pada hari kiamat kelak seperti orang yang gila. Inilah contoh dalam ayat-ayat yang menunjukkan kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.


Pada zaman sekarang pun orang-orang nekat dan tidak mempermasalahkan riba. Bahkan, mereka menyamakannya dengan jual beli, karena sejatinya dua hal itu sama-sama mencari untung dan saling memberikan keuntungan bagi yang lain. Satu pihak merasa untung karena jasa orang lain meminjamkan uang kepadanya, sebagaimana dengan pihak lain yang merasa untung karena mendapatkan upah dari meminjamkan uangnya.


Secara logika, akad riba memang saling menguntungkan. Namun, Allah ﷻ telah mensyariatkan bahwa tidak bolehnya akad tersebut. Akad jual beli memang dibangun untuk saling mencari untung antara pihak penjual dan pihak pembeli. Adapun pinjam meminjam adalah akad yang dibangun di atas tolong menolong dan tidak boleh mengambil untung pada akad tersebut. Akan tetapi, mereka nekat dan mengatakan bahwa tidak ada bedanya sama sekali antara riba dan jual beli. Karena perkataan mereka yang gila tersebut, akibatnya pada hari kiamat kelak mereka akan dibangkitkan seperti orang gila.


Balasan bagi orang yang sombong.

Hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat, Allah ﷻ berfirman,


وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ


“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir: 5)


Bayangkan, hewan-hewan dikumpulkan dan seluruh manusia pun dikumpulkan. Allah ﷻ berfirman,


خُشَّعاً أَبْصارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْداثِ كَأَنَّهُمْ جَرادٌ مُنْتَشِرٌ


“Pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qamar: 7)


Pada hari itu, orang-orang yang sombong dibangkitkan dalam bentuk yang sangat kecil dan hampir terinjak oleh hewan-hewan ataupun manusia. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,


يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُورَةِ الرِّجَالِ، يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ


“Orang-orang yang sombong pada hari kiamat akan dibangkitkan seukuran semut dalam wujud manusia, kehinaan meliputi mereka dari segala arah.”([10])


Mereka dibangkitkan dalam bentuk kecil, disebabkan dahulu di dunia dia merasa besar, sok dengan ilmunya, sok dengan jabatannya, bangga dengan pangkatnya dan begitu memakai pakaian kebesarannya dia merasa tinggi ataupun besar. Pada hari kiamat Allah ﷻ membalasnya dengan dibangkitkan dalam bentuk yang sangat kecil. الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.


Balasan bagi seorang suami yang tidak adil, dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan miring salah satu anggota tubuhnya.

Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah t berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيلُ مَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ سَاقِطٌ


“Barang siapa yang memiliki dua istri, lalu dia condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring salah satu sisi tubuhnya.”([11])


Merenungkan sabda Nabi ﷺ tersebut, bagi orang yang memiliki istri dua, hendaknya berhati-hati dengan peringatan Nabi ﷺ. Yang memiliki istri satu saja perlu waspada, apalagi bagi orang yang memiliki istri dua. Hendaknya dia selalu berhati-hati, jangan sampai menzalimi istri atau bersikap tidak adil.


Sebagian orang berpoligami, tetapi bersikap tidak adil atau lebih cinta kepada istri keduanya. Apabila dia datang kepada istri pertamanya, maka dia menyuruhnya layaknya seorang pembantu. Akan tetapi, apabila datang kepada istri keduanya, maka dia pergaulinya layaknya seorang ratu. Jika demikian, maka pada hari kiamat Allah ﷻ menunjukkan kemiringan anggota badannya sebagaimana hadis Nabi ﷺ.


Balasan bagi orang yang meminta-minta.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar t, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang balasan orang yang meminta-minta dalam keadaan yang tidak mendesak.


لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ، وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ


“Salah seorang dari kalian senantiasa meminta-minta sehingga dia bertemu menghadap Allah dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya.”([12])


Hadis ini menjelaskan bahwasanya orang yang selama di dunia suka meminta-minta sejatinya tidak memiliki rasa malu, sehingga wajahnya tidak memiliki rasa malu sedikit pun. Akibatnya dia meminta-minta kepada siapa pun yang ditemuinya, hingga orang lain merasa risih dan enggan untuk tidak memberi. Adapun balasannya pada hari kiamat adalah dia akan datang dalam keadaan wajahnya tidak memiliki daging sama sekali. Dia mendapatkan balasan itu, karena dia tidak menghargai kemuliaan wajahnya serta tidak memiliki rasa malu.


Balasan bagi orang yang riya’.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Jundub t berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ


“Barang siapa yang memperdengarkan, maka Allah akan memperdengarkan tentangnya. Barang siapa yang memperlihatkan (riya’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia” ([13])


Barang siapa yang selama di dunia beramal saleh dalam rangka ingin disebut-sebut orang dan dilihat orang, maka pada hari kiamat kelak Allah ﷻ akan mempermalukannya di hadapan manusia.


Menurut penafsiran para ulama, di antaranya disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari bahwa balasan yang dia terima disebabkan karena selama itu dia berbohong kepada orang-orang dan menunjukkan kepada mereka bahwa dia ikhlas dan tulus, tetapi pada hakikatnya dia tidak tulus ataupun ikhlas. Di dunia dia melakukan amalan saleh, karena riya’ dan ingin dipuji dan didengar oleh orang lain. Adapun balasannya pada hari kiamat kelak adalah Allah ﷻ akan mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk. ([14])


Pahala-pahala dari ibadah shalat dan sedekah akan tampak di hadapannya, sehingga dia merasa senang melihat hal itu. Akan tetapi Allah ﷻ menjadikannya,


فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا


“Lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)


Balasan bagi orang-orang munafik.

Allah ﷻ berfirman,


إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ


“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa’: 142)


Orang-orang munafik menipu Allah ﷻ, karena ketika masuk kepada agama Islam, hati mereka tetap kufur kepada Allah ﷻ. Mereka lebih berbahaya dari pada orang-orang kafir yang sesungguhnya. Allah ﷻ berfirman,


هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ


“Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka.” (Al-Munafiqun: 4)


Ketika mereka masuk agama Islam, hatinya tetap benci terhadap Islam, benci terhadap wanita-wanita yang memakai jilbab, benci dengan syariat Islam, benci kepada orang yang memakai baju muslim, dia tidak suka, merasa risih dan gelisah melihat orang-orang Islam yang menjalankan syariat Allah ﷻ, benci melihat orang melaksanakan salat berjamaah, benci dengan majelis yang dibacakan hadis-hadis Nabi ﷺ, bahkan mengejeknya, mereka tampak seperti orang Islam yang baik, akan tetapi sejatinya mereka munafik. Mereka menipu manusia dan menipu Allah ﷻ. Akibat perbuatan mereka inilah, maka pada hari kiamat dia ditipu oleh Allah ﷻ.


Adapun balasan bagi mereka pada hari kiamat, ketika manusia berjuang melewati sirat, terjadilah kegelapan di padang mahsyar. Mereka melewati sirat yang gelap, yang akibatnya mereka bisa tergelincir di sirat tersebut dan terjatuh ke dalam neraka Jahanam. Mereka membutuhkan cahaya untuk melewati sirat tersebut.


Orang-orang yang beriman diberikan cahaya, orang-orang munafik juga diberikan cahaya. Allah ﷻ memberikan cahaya untuk mempermainkan mereka, karena selama ini mereka mempermainkan agama Islam dan orang-orang Islam. Mereka merasa senang karena telah diberikan cahaya. Namun, tiba-tiba Allah ﷻ meredupkan cahaya mereka, sedangkan cahaya orang-orang yang beriman tetap menyala.


Ketika orang-orang beriman melihat cahaya orang-orang munafik mereka berdoa,


يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


“Sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim: 8)


Akhirnya, orang-orang beriman maju dan melewati sirat tersebut, sedangkan orang-orang munafik tidak berani untuk maju melewatinya, seketika itu mereka berkata,


يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ. يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ


“Pada hari orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami! Kami ingin mengambil cahayamu.” (Kepada mereka) dikatakan, “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab. Orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin, “Bukankah kami dahulu bersama kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri, dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Al-Hadid: 13-14)


Orang-orang munafik dahulu selalu bersama-sama dengan orang-orang beriman, bertetangga, bersama pergi ke masjid, bermuamalah dan lain sebagainya. Apalagi pada zaman Nabi ﷺ, orang-orang munafik melaksanakan salat, membayar zakat dan beribadah bersama beliau ﷺ dan para sahabat, tetapi hati mereka benci kepada kaum muslimin. Bisa juga hal itu terjadi kepada kita, sama-sama satu bangsa dan Islam. Namun, mereka masih merasa ragu kepada agama Islam dan kaum muslimin dan menunggu-nunggu kemunduran kaum muslimin.


وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ


“Dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah; dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Al-Hadid: 14)


Akhirnya pada hari kiamat, Allah ﷻ membalas tipuan mereka. Allah ﷻ memberikan cahaya kepada mereka, hingga mereka merasa senang. Akan tetapi, setelah itu Allah ﷻ meredupkan cahaya itu seperti sedia kala. Inilah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.


Balasan bagi orang yang bunuh diri.

Balasan bagi orang yang bunuh diri adalah sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, Nabi ﷺ bersabda,


مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا


“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan pisau atau besi tajam, maka kelak dia akan menikamkan besi tersebut kepada perutnya di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang membunuh dirinya dengan minum racun, maka dia akan melakukan hal yang sama di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya. Barang siapa yang membunuh dirinya dengan menjatuhkan dirinya dari gunung (tempat yang tinggi), maka dia akan menjatuhkan dirinya di neraka Jahanam terus menerus kekal di dalamnya selama-lamanya.”([15])


Seseorang membunuh dirinya karena tidak sabar. Seperti misalnya dalam kasus harakiri([16]), maka di akhirat kelak Allah ﷻ akan memberikan balasan kepada dirinya. Begitu juga halnya, seperti orang munafik di zaman Nabi ﷺ, di mana dia terluka di dalam perang Uhud, lalu dia tidak sabar, maka dia berdiri di atas pedang atau besi tajam yang sudah dia berdirikan, lalu menjatuhkan diri pada pedang tersebut hingga menusuk tubuhnya dan membunuh dirinya sendiri. Dia melakukan hal itu, lantaran tidak sanggup menahan sakit yang dia rasakan. Balasannya, pada hari kiamat adalah dia menikamkan besi tajam itu kepada perutnya terus menerus dan selama-lamanya di neraka Jahanam.


Balasan sesuai dengan perbuatan. Barang siapa yang meninggal dunia karena menenggak racun, apa pun jenis racun tersebut, hingga meninggal dunia disebabkan racun tersebut. Balasannya pada di akhirat kelak adalah dia akan dibalas dengan menenggak racun tersebut secara terus menerus. Oleh karenanya, hendaknya seseorang waspada dengan amalan-amalan keburukan, di mana Allah ﷻ membalas keburukan yang setimpal.


Balasan orang yang memberikan mudarat/kesulitan bagi orang lain.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ


مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ


“Barang siapa yang memberikan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan mudarat kepadanya. Barang siapa yang memberikan kesulitan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kesulitan kepadanya.”([17])


Allah ﷻ akan memberikan mudarat di dunia, sebelum di akhirat. Demikian juga di dalam hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar Rasulullah ﷺ berdoa,


اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِه


“Ya Allah, barang siapa yang mengurus suatu urusan umatku, lalu mempersulit mereka, maka persulitkanlah baginya dan barang siapa yang mengurus suatu urusan umatku, lalu berlemah lembut kepada mereka, maka lembutlah kepadanya.” ([18])


Kita dapati dalam berbagai macam urusan, baik di bandara atau di kantor atau di mana pun tempatnya, hampir semuanya dipersulit. Terutama di dalam perusahaan-perusahaan atau instansi masyarakat, mereka berusaha berbuat sulit kepada kaum muslimin, segala urusan dipersulit, tidak dipermudah. Apalagi ada kaidah mengatakan kalau bisa mudah, kenapa harus dipersulit? Bagi mereka, urusan tersebut bisa saja dipermudah dengan syarat adanya ‘pelicin’, supaya urusan menjadi licin dan mudah, yaitu dengan menggunakan semacam uang suap. Sebagai balasannya, Allah ﷻ akan mempersulit urusannya, baik di dunia maupun di akhirat.


Maka dari itu, di antara hadis dari Khaulah Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,


إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ


“Sesungguhnya orang-orang mencampuradukkan harta Allah tidak pada tempatnya, maka bagi mereka neraka pada hari kiamat.”([19])


Sebagian pegawai-pegawai pemerintah yang mengurusi urusan kaum muslimin, mereka menggunakan harta Allah ﷻ (harta negara) tidak pada tempatnya, maka balasan bagi mereka adalah neraka jahanam. Kenapa? Karena selama itu mereka mengambil harta rakyat, menipu masyarakat, korupsi, menggunakan harta pajak tidak pada tempatnya. Mereka merebut kebahagiaan orang banyak untuk kebahagiaannya diri sendiri. Mereka tidak amanah dalam mengurusi harta negara/ masyarakat. Sejatinya mereka inilah orang-orang yang menggunakan dan mengelola harta Allah ﷻ dengan cara yang tidak benar.


Sejatinya di dalam urusan tersebut yang didapatkan hanyalah sedikit. Mereka ingin meraih kebahagiaan, baik untuk dirinya, anaknya, istrinya maupun keluarganya, dengan cara mengorbankan harta-harta dan kebahagiaan orang-orang. Oleh karenanya, pada hari kiamat kelak Allah ﷻ akan mencabut kebahagiaannya dan melemparkannya ke neraka Jahanam.


Balasan bagi orang yang enggan membayarkan zakat.

Berdasarkan firman Allah ﷻ,


يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ


“(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah: 35)


Kenapa orang yang enggan membayar zakat dan tidak menahan hartanya dari fakir miskin diberikan siksa terhadap dahinya, lambung dan punggung mereka? Kenapa Allah ﷻ tidak menyebutkan siksa mereka terhadap kakinya, dadanya atau tangannya? Para ulama menjelaskan bahwa alasannya adalah karena anggota tubuh itu mewakili arah depan dan belakangnya, sisi kanan dan kirinya saat mereka berinfak. Ketika seseorang berinfak, seharusnya melihat orang-orang fakir/miskin yang membutuhkan yang berada di depan-belakangnya atau kanan-kirinya. Tatkala dia enggan untuk melihat orang-orang fakir/miskin di sekitarnya dan menghalangi dirinya untuk berinfak kepada mereka, maka dia pun diazab dari arah anggota tubuhnya tersebut([20]).


Balasan bagi orang-orang kafir di neraka Jahanam.

Berdasarkan firman Allah ﷻ,


كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا


“Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (QS. Al-Hajj: 22)


Ketika di neraka Jahanam, orang-orang kafir dipermainkan oleh Allah ﷻ. Pintu neraka dibukakan kepada mereka, seakan-akan mereka bisa keluar darinya. Ketika mereka sudah semangat untuk keluar dari neraka tersebut, akhirnya mereka dikembalikan lagi. Begitu seterusnya mereka disiksa di dalam neraka Jahanam.


Kenapa demikian? Para ulama menjelaskan bahwa karena itu adalah balasan dari perbuatan yang mereka lakukan selama di dunia. Kebanyakan mereka terjebak di dalam kemaksiatan. Mereka telah mengetahui kebenaran di depan mata mereka, tetapi mereka tidak mau menerima kebenaran tersebut. Ada kekufuran, kemaksiatan yang mereka rasakan. Setiap kali ada hidayah yang menyapa mereka, mereka enggan untuk menyambut hidayah tersebut. Setiap kali ada penjelasan yang benar, mereka tidak menyambut penjelasan tersebut. Setiap kali ada seruan-seruan yang mengandung kebenaran, mereka enggan untuk mendengarkannya, apalagi menerimanya. ([21])


Banyak orang yang tidak mau untuk memeluk agama Islam, karena mereka memandang jika sudah masuk Islam akan menemukan banyak kesulitan. Mereka tidak bisa lagi menikmati khamar. Setiap kali melakukan kesalahan, maka mereka harus dihukum dengan dosa-dosa besar. Mereka tidak bisa lagi berzina. Mereka diharuskan untuk menutup aurat dan berjilbab dan berbagai alasan lainnya. Akhirnya, mereka enggan untuk memeluk agama Islam. Padahal, mereka tahu itu adalah kebenaran.


Ada hawa nafsu di dalam diri mereka yang menawan jiwa mereka. Mereka tahu tentang kebenaran, tetapi mereka meninggalkannya. Allah menampakkan kebenaran kepada mereka tidak hanya sekali, bahkan sering kali Allah ﷻ menampakkan kebenaran kepada mereka dan berulang-ulang.


Mereka telah melihat kebenaran, tetapi karena besarnya hawa nafsu yang ada pada diri mereka, membuat mereka terhalangi untuk melakukan kebenaran-kebenaran tersebut. Maka, balasannya di akhirat adalah setiap kali Allah ﷻ membuka pintu neraka bagi mereka, lalu mereka hendak keluar darinya, maka Allah ﷻ menutup kembali pintu tersebut. Allah ﷻ mempermainkan mereka terus-menerus.


Orang-orang kafir dahulu ketika di dunia pun seperti itu. Setiap kali mereka mendengar tentang kebenaran dan hendak memasukinya, maka mereka mundur dan tidak jadi menerima kebenaran tersebut. Saat ini banyak orang-orang kafir yang seperti itu dan mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal di akhirat kelak. Berdasarkan firman Allah ﷻ,


جَزَاءً وِفَاقًا


“Sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba’: 26)


 


Balasan kebaikan.

Di antara contoh-contoh balasan kebaikan adalah:


Balasan bagi orang-orang yang mengerjakan salat malam.

Berdasarkan firman Allah ﷻ tentang mereka,


تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ


“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)


Di tengah kegelapan dia bangun seorang diri. Begitu juga riwayat dari Abdullah bin Salam t, Rasulullah ﷺ bersabda,


أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ


“Ucapkanlah salam, berikanlah makanan, dirikanlah salat di waktu malam saat orang-orang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” ([22])


Sebagaimana mereka menyembunyikan amalan saleh mereka di hadapan manusia, maka Allah ﷻ menyembunyikan pahala yang luar biasa, di mana Allah ﷻ menyiapkannya bagi mereka pada hari kiamat kelak. Tidak ada satu jiwa pun yang tahu pahala yang Allah ﷻ siapkan kepada mereka, sebagai balasan apa yang telah mereka kerjakan.


Inilah contoh bagaimana dia menyembunyikan amal salehnya, kemudian Allah ﷻ membalasnya dengan menyembunyikan pahala yang besar baginya.


Di dalam ayat yang lain, Allah ﷻ berfirman,


وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا . إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا


“Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) itu mencintai kehidupan (dunia) dan meninggalkan hari yang berat (hari akhirat) di belakangnya.” (QS. Al-Insan: 26-27)


Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata,


فَمَنْ سَبَّحَ اللَّهَ لَيْلًا طَوِيلًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الْيَوْمُ ثَقِيلًا عَلَيْهِ بَلْ كَانَ أَخَفَّ شَيْءٍ عَلَيْهِ


“Barang siapa yang pada malam hari banyak bertasbih kepada Allah ﷻ, maka tidak ada kesulitan baginya pada hari kiamat kelak, bahkan akan menjadi ringan baginya.” ([23])


Barang siapa yang lama berdiri di malam hari untuk beribadah kepada Allah ﷻ, merasakan beratnya shalat malam, maka pada hari kiamat kelak dia akan merasa ringan. Barang siapa yang kurang shalat malamnya, kurang sabar berdiri di hadapan Allah ﷻ di dalam shalat, maka di akhirat kelak dia akan merasa berat. Balasan sesuai dengan perbuatan.


Pada hari kiamat, di mana pada saat itu adalah يَوْمًا ثَقِيلًا ‘hari yang berat di akhirat’, semua orang akan dituntut oleh Allah ﷻ dan semua orang juga akan menuntutnya. Allah ﷻ berfirman,


فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ . يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ . وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ . وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ


“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu dan bapaknya. Dan dari istri dan anak-anaknya.” (QS. ‘Abasa: 33-36)


Para ulama ahli tafsir mengemukakan alasan setiap manusia pada saat itu tidak ingin bertemu dengan istrinya, tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya ataupun orang tuanya, yaitu karena dia takut akan dituntut oleh mereka.


Sejatinya setiap orang memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang di sekitarnya yang harus dia tunaikan. Ada hak-hak orang lain yang harus dia tunaikan, di antaranya hak istri, hak anak, hak orang tua saudara dan kerabatnya yang lain.


Hak-hak mereka sering kali dilalaikan, dan bahkan terkadang hak tersebut tidak ditunaikannya, seperti tidak diajak berkomunikasi dengan baik, tidak mengunjunginya atau bahkan memberikan hadiah pun tidak, meskipun hanya sekedar menyenangkan hati mereka.


Hak-hak yang diberikan kepada anak-anak pun kurang diperhatikan. Terkadang dia sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lalai mengajarkan agama dan Al-Quran kepada mereka. Begitu juga dengan hak istri yang tak kalah sering dia lalaikan. Terkadang karena terlalu perhatian dengan kawan-kawan mengobrolnya, membuatnya jarang mengajak mengobrol istrinya, memberikan perhatian dan memberikan sesuatu yang membuat hatinya senang. Sejatinya mereka semua mempunyai hak.


Pada hari kiamat setiap orang akan lari dari ini semua. Bayangkan, dia akan lari dari orang terdekatnya. Kenapa? Karena hari tersebut adalah يَوْمًا ثَقِيلًا ‘hari yang berat di akhirat’. Seharusnya orang-orang terdekat itu diharapkan untuk memberikan pertolongan kepadanya, ternyata dia lari, karena dia tahu bahwa banyak hak-hak mereka yang tidak ditunaikan. ([24])


Oleh karenanya, jika kita ingin diberikan kemudahan pada hari kiamat, hendaknya kita selalu menyisihkan waktu pada malam hari untuk mendirikan shalat malam. Ini merupakan perintah dari Allah ﷻ.


Jika kita bisa melewati beberapa waktu dari sebagian malam kita, tentunya itu adalah sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa. Semakin lama dia berdiri untuk mendirikan shalat malam, maka dia semakin hebat dan mulia. Namun, setidaknya setiap orang meluangkan waktunya untuk mengerjakan shalat malam, meskipun hanya sebentar atau sekedar seperempat jam. Yang penting ada waktu untuk melawan kantuk, bagaimana beratnya melawan nikmat tidur pada malam tersebut. Jika kita bisa melawan beratnya rasa kantuk tersebut, maka rasa berat itu akan Allah ﷻ hilangkan pada hari kiamat kelak.


Balasan bagi orang yang memaafkan.

Sebagaimana firman Allah ﷻ,


وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ


“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur: 22)


Ayat ini turun kepada Abu Bakar t, sebagaimana firman Allah ﷻ,


وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)


Ayat ini berkaitan dengan kisah tentang Misthah, merupakan kerabat Abu Bakar t. Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh berzina oleh orang-orang munafik, Misthah terlibat pada peristiwa berita bohong ini. Misthah adalah orang yang miskin, di mana Abu Bakar t lah yang memberikan nafkah dan sedekah kepadanya. Dia terjebak dengan tuduhan orang-orang munafik yang menuduh bahwa sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah berzina. Sampai kemudian, turunlah ayat yang membela ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau tidak berzina. Akibatnya adalah Abu Bakar t marah, karena selama itu dia yang telah memberikan nafkah kepada Misthah. Akan tetapi, dia membalas kebaikan dengan keburukan, dengan cara menuduh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina. Oleh karenanya, Allah ﷻ menegur Abu Bakar t dengan ayat tersebut.


Adapun balasannya adalah ampunan dari Allah ﷻ, sebagaimana dalam firman-Nya,


أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


“Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)


Inilah ayat yang mulia. Di antara hal yang mudah bagi kita agar diampuni dosa-dosa kita oleh Allah ﷻ, adalah memaafkan kesalahan orang lain. Setiap orang memiliki banyak dosa, bisa saja seseorang sudah berusaha berdoa kepada Allah ﷻ agar diampuni dosa-dosanya, atau berdosa karena mengulangi kemaksiatannya lagi, berdosa karena tidak khusyuk dalam beristigfar, berdosa disebabkan terlalu menyepelekan dosa-dosa yang diperbuat, sehingga ada beberapa dosa yang tidak diampuni oleh Allah ﷻ.


Maka dari itu, di antara cara Allah ﷻ menghapuskan dosa-dosanya adalah dengan membuatnya terzalimi. Ketika dia terzalimi, hendaknya dia berintrospeksi diri dan memaafkan orang yang menzaliminya. Apabila dia memaafkan, maka Allah ﷻ akan memaafkannya, karena kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘Balasan sesuai dengan perbuatan’.


Balasan orang yang menolong Allah I.

Sebagaimana firman-Nya,


يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدامَكُمْ


“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)


Di antara cara menolong Allah ﷻ adalah dengan menolong dalam dakwah, harta, kekuatan ataupun yang lainnya, maka Allah ﷻ akan menolong mereka.


Balasan bagi orang yang berinfak.

Berdasarkan hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, bahwa Nabi ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,


يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ


“Wahai Anak Adam! berinfaklah, maka aku akan membalas infakmu.”([25])


Hendaknya setiap orang tidak perlu ragu dalam berinfak. Jika dia tahu bahwa الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’, maka hendaknya dia berinfak karena Allah ﷻ, pasti akan dibalas di dunia, sebelum Allah ﷻ memberikan balasan di dalam akhirat.


Ini sudah menjadi kaidah yang nyata bagi orang yang berinfak. Allah ﷻ akan membalasnya di dunia, sedangkan di akhirat akan dibalas dengan balasan yang berlipat-lipat. Oleh karenanya, seseorang tidak perlu ragu untuk berinfak, karena kaidah yang berlaku adalah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’.


Balasan bagi orang yang tidak marah.

Barang siapa tidak ingin dimurkai oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia tidak murka kepada orang lain. Barang siapa yang tidak murka kepada orang lain, maka Allah ﷻ tidak murka kepadanya.


Kita ini banyak dosa, kita khawatir sebab dosa tersebut berakibat dimurkai oleh Allah ﷻ, maka dari itu janganlah kita suka murka atau marah kepada orang lain. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya


مَاذَا يُبَاعِدُنِي مِنْ غَضَبِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ لَا تَغْضَب


“‘Amalan apa yang dapat menjauhkanku dari murka Allah?’, maka Nabi ﷺ bersabda, ‘jangan marah’.”([26])


Terkadang seseorang tidak mampu menahan diri, sehingga marah kepada istrinya atau suaminya, anaknya, orang bawahannya atau kawannya. Tidak ada pekerjaan yang dilakukannya, kecuali marah.


Apabila kita tidak ingin dimarahi oleh Allah ﷻ, maka hendaknya kita banyak memaafkan orang lain, tidak banyak marah dengan orang lain dan berusaha untuk tetap sabar. Banyak sebab yang menjadikan Allah ﷻ murka kepada kita, tetapi lantaran kita sering memaafkan kesalahan orang lain serta kemurahan kita kepada mereka, maka hal itu menjadikan kita jauh dari murka Allah ﷻ.


Sungguh Allah ﷻ Maha Baik. Seandainya Allah ﷻ marah kepada kita di dunia, maka itu lebih baik. Akan tetapi, seandainya Allah ﷻ marah kepada kita di akhirat kelak, maka perkara akan menjadi lebih besar dan lebih sulit.


Oleh karenanya, Nabi ﷺ bersabda tentang balasan bagi orang yang menyembunyikan kemarahannya,


مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَلَى رُءُوسِ الخَلَائِقِ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ


“Barang siapa yang menahan puncak kemarahannya, sedangkan dia dapat melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan semua makhluk pada hari kiamat hingga diperintahkan untuk memilih bidadari mana saja yang dia inginkan.”([27])


Allah ﷻ memuji orang yang meredam kemarahannya. الْغَيْظ adalah puncak kemarahan. Apabila kemarahan dianalogikan sebagaimana air dalam sebuah wadah, maka puncak kemarahan itu bagaikan air yang hendak meluap dan tumpah dari tempatnya, dan agar tidak meluap secara berlebihan maka hendaknya diikat. Mengikat air yang sudah meluber itu sama dengan menahan amarah yang disebut dengan كَظَمَ غَيْظًا.


Pada saat itu orang tersebut berada di puncak emosinya, sedangkan dia mampu untuk membalasnya dan melampiaskannya. Bisa jadi dia adalah seorang petinggi yang memiliki jabatan, yang memiliki berhak melakukan apa saja, maka semuanya akan terlaksana. Namun, meskipun dia mampu melampiaskan kemarahannya, dia menahan dan meredamnya. Sebagai balasannya adalah Allah ﷻ akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan makhluk-makhluk-Nya dan diperintahkan untuk memilih bidadari yang dia inginkan.


Kepada setiap muslim mana pun, jika engkau marah kepada istri, tahanlah dan sabarlah. Sebagian istri memang membuat masalah, maka hendaknya dia tetap bersabar. Ingatlah, jika engkau menahan kemarahan, maka engkau akan diberikan bidadari yang ada di dalam surga. Sebagian istri memang mudah marah-marah, sedangkan sebagian suami lemah. Setiap hari yang didapatkan di dalam rumah adalah omelan dari istrinya, barang kali disebabkan dari ekonomi atau kedudukan mereka yang tidak baik, sehingga para suami mendapatkan kemarahan dari istri mereka. Oleh karenanya, bagi setiap orang yang tidak ingin dimurkai oleh Allah ﷻ, maka janganlah marah kepada orang lain.


Balasan bagi orang yang tawaduk karena Allah ﷻ.

Allah ﷻ akan mengangkat derajat bagi orang-orang yang tawaduk karena Allah ﷻ. Disebutkan di dalam hadis, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,


مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللهُ دَرَجَةً


“Barang siapa yang bertawaduk karena Allah ﷻ satu derajat, maka Allah ﷻ akan meninggikannya satu derajat.”([28])


Tawaduk dilakukan bukan karena pencitraan. Seseorang bisa bersikap tawaduk dan tidak sombong kepada kawannya atau keluarganya. Disebutkan sebuah kisah Ibnu Rajab oleh Al-Qadhi ‘Alauddin bin Al-Lahham berkata,


ذَكَرَ لَنَا مَرَّةً الشَّيْخُ مَسْأَلَةً فَأَطْنَبَ فِيْهَا، فَعَجِبْتُ مِنْ ذَلِكَ وَمِنْ إِتْقَانِهِ لَهَا، فَوَقَعْتُ بَعْدَ ذَلِكَ بِمَحْضَرٍ مِنْ أَرْبَابِ الْمَذَاهِبِ وَغَيْرِهِمْ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ فِيْهَا الْكَلِمَةَ الْوَاحِدَةَ، فَلَمَّا قَامَ، قُلْتُ لَهُ: أَلَيْسَ قَدْ تَكَلَّمْتَ فِيْهَا بِذَلِكَ الَكَلَامِ، قَالَ: إِنَّمَا أَتَكَلَّمُ بِمَا أَرْجُوْ ثَوَابَهُ، وَقَدْ خِفْتُ مِنَ الْكَلَامِ فِيْ هَذَا الْمَجْلِس


“Suatu ketika Syaikh (Ibnu Rajab) menerangkan suatu permasalahan kepada kami, maka beliau menjelaskannya dengan panjang lebar, sehingga aku terkagum akan penguasaan dan keterampilan dalamnya ilmu beliau. Setelah itu, aku ikut hadir dalam suatu majelis perkumpulan para ulama besar, namun dalam majelis tersebut beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatkala beliau berdiri, aku bertanya kepada beliau, ‘Bukankah engkau telah menjabarkan permasalahan tersebut?’, lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku hanya ingin berbicara sesuatu yang hanya berharap pahala dari Allah. Sungguh aku takut untuk berbicara di majelis tersebut’.”([29])


Dalam riwayat tersebut mengisahkan bagaimana ketawadukan Ibnu Rajab Al-Hanbali, di mana sebenarnya beliau mampu untuk menjelaskan dengan detail suatu permasalahan, sedangkan saat itu muridnya menunggu gurunya untuk menjabarkan masalah tersebut dengan penjabaran yang hebat, agar para ulama tahu siapa Ibnu Rajab sesungguhnya.


Namun ternyata, pada kesempatan tersebut Ibnu Rajab tidak menjawab. Ketika beliau keluar, para muridnya menemuinya dan bertanya kepadanya, maka beliau menjelaskan bahwa sejatinya beliau mengharapkan pembicaraan yang hanya mengharapkan pahala karena Allah ﷻ. Adapun jika hal itu disampaikan di majelis tersebut, maka itu adalah karena dunia. Itulah sebab ketawadukannya, beliau khawatir terjerumus ke dalam keinginan-keinginan yang bersifat duniawi.


Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah ﷺ bersabda,


وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ


“Tidaklah seseorang memaafkan, kecuali Allah akan menambahkan kemuliaan kepadanya dan tidaklah seseorang bertawaduk karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”([30])


Orang yang memaafkan memang terlihat rendah, bukan karena dia tidak mampu membalas atau kelemahan dirinya, sehingga layak dikasihani, bukan juga karena kalah debat atau apa pun sehingga layak direndahkan. Namun, karena meninggalkan perdebatan karena Allah ﷻ -meskipun sejatinya dia bisa membalas-, maka Allah ﷻ akan mengangkat derajatnya. Meskipun orang mencaci maki dan menghinanya.


Apabila seseorang ingin diangkat oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia banyak memaafkan orang lain. Sebaliknya, bagi orang yang ingin merasa tinggi di mata manusia, maka dia akan selalu menuruti hawa nafsu mereka.


Balasan kebaikan dan sayang karena Allah ﷻ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, Allah ﷻ berfirman,


الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ


“Para penyayang disayang oleh Allah yang Maha Penyayang, sayangilah penduduk bumi, maka yang di langit akan sayang kepada kalian.” ([31])


Barang siapa yang menyayangi, maka dia akan disayang. Barang siapa yang menyayangi penduduk bumi, maka Allah ﷻ dan para malaikat akan sayang kepadanya. Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Qurrah, Nabi ﷺ bersabda kepada salah seorang sahabat,


وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللَّهُ


“Kambing, jika kamu mengasihinya, maka Allah ﷻ akan mengasihimu.”([32])


Balasan bagi orang yang mencintai karena Allah ﷻ.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah t, dari Nabi ﷺ bersabda,


أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ، عَلَى مَدْرَجَتِهِ، مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ، قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ، قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ لَا، غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ، بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ


“Sesungguhnya ada seseorang yang menjenguk saudaranya di desa lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk menemuinya di tengah perjalanannya. Ketika malaikat datang kepadanya, berkata, ‘Hendak ke mana tujuanmu?’, dia berkata, ‘Aku ingin pergi menjenguk saudaraku di desa ini’, malaikat berkata, ‘Apakah engkau memiliki satu perkara yang menguntungkan dengannya?’, dia berkata, ‘Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah’, malaikat berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat utusan Allah yang diutus kepadamu untuk memberitahukan bahwa Allah akan senantiasa mencintaimu, sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya’.” ([33])


Diriwayatkan dari Mu’adz t, dari Nabi ﷺ, Allah ﷻ berfirman,


وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ


“Kecintaanku wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling berteman karena-Ku, saling mengunjungi karena-Ku dan saling berkorban karena-Ku.”([34])

Barang siapa saling mencintai karena Allah ﷻ , maka dia akan mendapatkan cinta Allah ﷻ. Barang siapa yang menyebut nama Allah ﷻ, maka Allah pun mengingatnya,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)

Barang siapa ingin disebut-sebut oleh Allah ﷻ, maka hendaknya dia mengingat Allah ﷻ. Dari Abu Hurairah t, dari Nabi ﷺ, Allah ﷻ berfirman,

مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ مِنَ النَّاسِ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَطْيَبَ


“Barang siapa yang mengingatku di dalam dirinya, maka aku akan mengingatnya dalam jiwaku. Barang siapa yang mengingatku di depan banyak orang, maka aku akan menyebutnya di hadapan makhluk yang lebih banyak dan lebih baik dari mereka.”([35]) (yakni: para malaikat)

Balasan bagi orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid.

Diriwayatkan dari Buraidah Al-Aslami t, dari Rasulullah ﷺ bersabda,

بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid-masjid, bahwa mereka akan diberikan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.”([36])

Barang siapa yang berusaha berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid hendak melaksanakan shalat subuh atau isya -khususnya pada zaman dahulu ketika sedikit sekali lampu penerang jalan-, maka Allah ﷻ akan memberikan kepadanya cahaya penerang pada hari kiamat kelak tatkala melewati sirat.

Balasan bagi orang membela harga diri saudara seiman.

Dari Abu Ad-Darda’ t, dari Nabi ﷺ,

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Barang siapa yang membela harga diri saudaranya, maka Allah akan membelanya dari api neraka.”([37])

Barang siapa yang mendapati orang lain menjatuhkan harga diri saudaranya, maka hendaknya dia membelanya. Apabila dia membelanya, hendaknya dia membela karena Allah ﷻ, bukan karena mencari kedudukan duniawi darinya, bukan karena emosi, pengakuan atau apapun, meskipun resikonya berupa celaan manusia, maka hendaknya dia tetap membelanya.

Oleh karenanya, banyak ulama yang membela ulama-ulama sebelum mereka yang telah meninggal dunia. Mereka tidaklah membela para ulama, melainkan hanya berharap karena Allah ﷻ. Karenanya, sebagai balasannya adalah Allah ﷻ akan membela wajah mereka dari neraka jahanam.

Balasan bagi orang yang tulus, maka Allah ﷻ akan memudahkan urusannya.

Dari Syaddad bin Al-Had bercerita,

أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ آمَنَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: أُهَاجِرُ مَعَكَ فَأَوْصَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ بِهِ، فَلَمَّا كَانَتْ غَزْوَةُ خَيْبَرَ أَوْ حُنَيْنٍ غَنِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَقَسَمَ وَقَسَمَ لَهُ، فَأَعْطَى أَصْحَابَهُ مَا قَسَمَ لَهُ، وَكَانَ يَرْعَى ظَهْرَهُمْ، فَلَمَّا جَاءَ دَفَعُوهُ إِلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ قَالُوا: قَسَمَهُ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَهُ فَجَاءَهُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، مَا عَلَى هَذَا اتَّبَعْتُكَ، وَلَكِنِّي اتَّبَعْتُكَ عَلَى أَنْ أُرْمَى هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى حَلْقِهِ بِسَهْمٍ فَأَمُوتَ وَأَدْخُلَ الْجَنَّةَ، فَقَالَ إِنْ تَصْدُقِ اللَّهَ يَصْدُقْكَ فَلَبِثُوا قَلِيلًا، ثُمَّ دَحَضُوا فِي قِتَالِ الْعَدُوِّ فَأُتِيَ بِهِ يُحْمَلُ وَقَدْ أَصَابَهُ سَهْمٌ حَيْثُ أَشَارَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهُوَ هُوَ؟ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ صَدَقَ اللَّهُ فَصَدَقَهُ

“Sesungguhnya ada seorang Arab badui beriman kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Aku akan berhijrah bersama engkau’, maka Nabi ﷺ berwasiat kepada para sahabat beliau untuk memperhatikannya. Ketika tiba perang Khaibar atau Hunain, Rasulullah mendapatkan harta ghanimah, lalu beliau membaginya dan membagi juga untuknya, lalu beliau memberikannya kepada para sahabat untuk memberikan bagian kepadanya. Orang tersebut bertugas menjaga bagian belakang pasukan. Ketika dia datang, para sahabat pun menyerahkan bagiannya, lalu dia berkata, ‘Apa ini?’ mereka berkata, ‘Rasulullah ﷺ memberikan bagian untukmu’, lalu dia pun mengambilnya dan mendatangi beliau ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Muhammad! Bukan untuk ini aku mengikutimu, tetapi aku mengikutimu agar aku terkena anak panah disini -dengan menunjuk ke lehernya- lalu aku mati dan masuk ke dalam surga’. Setelah itu beliau ﷺ bersabda, ‘Jika kau tulus kepada Allah, maka Allah akan membenarkan (niat)mu’, setelah beberapa saat, kemudian mereka bangkit memerangi musuh. Setelah itu, orang tersebut didatangkan, mayatnya dipikul dalam keadaan anak panah menembus ke dalam leher yang telah dia tunjuk, lalu Nabi ﷺ bersabda, ‘Apakah mayat ini adalah orang tersebut?’, mereka berkata, ‘Benar’, maka beliau ﷺ bersabda, ‘Dia telah jujur kepada Allah dengan tulus, maka Allah pun mengabulkan keinginannya’.”([38])

Balasan bagi orang yang memudahkan urusan orang lain.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،

“Barang siapa yang meringankan penderitaan seorang muslim dari penderitaan-penderitaan di dunia, maka Allah akan meringankannya dari penderitaannya pada hari kiamat.”([39])

نَفَّسَ ‘meringankan (beban)’ artinya tidak harus menghilangkan beban secara keseluruhan. Meringankan beban/penderitaan orang lain saja, sudah mendapatkan pahala di sisi Allah. Contohnya jika ada saudara kita yang sedang sakit, maka kita berusaha mengurangi rasa sakit yang dia derita.

Selama kita mengurangi penderitaan seorang muslim, dan tidak mesti harus hilang penderitaannya di dunia, maka Allah akan meringankan penderitaan kita pada hari kiamat. Balasan sesuai dengan perbuatan.

Penderitaan dunia tidak ada bandingannya dengan penderitaan di akhirat. Penderitaan akhirat sangat mengerikan. Sejak dari alam barzakh, lalu dibangkitkan pada saat hari kiamat dalam kondisi telanjang, lalu dikumpulkan di bawah terik matahari dengan jarak satu mil dan dihisab oleh Allah, kemudian mizan hingga melewati sirath adalah perkara-perkara yang mengerikan pada hari kiamat.

Oleh karenanya, penderitaan dunia tidak sebanding dengan penderitaan akhirat. Maka, Allah membalas perbuatan seseorang yang berusaha meringankan penderitaan saudaranya di dunia dengan balasan diringankan penderitaannya di akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،

“Barang siapa yang memudahkan seorang yang berhutang, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat”([40])

Di antara contoh lain dalam memberikan kemudahan kepada orang lain adalah seseorang yang berhutang kepada kita, maka kita bisa menangguhkan waktu pembayaran hutangnya, atau mengurangi hutangnya, sehingga dia merasa ringan dalam membayarkan sisa hutangnya kepada kita. Barang siapa yang memiliki hutang kepada kita, maka ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan, yaitu:

Menunda waktu pelunasan hutang. Allah ﷻ berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Jika ada seseorang yang ternyata kesusahan untuk melunasi hutangnya, maka kita bisa menangguhkannya waktunya. Apalagi, jika kita tahu dia adalah orang yang berkepribadian yang baik, amanah, sungguh-sungguh dalam bekerja dan menepati janjinya, hanya saja karena dia tidak mampu.

Merelakan hutang tersebut. Allah ﷻ berfirman,

وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُون

“Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Merelakan hutangnya bisa dengan dua bentuk. Pertama, merelakan sebagian hutangnya. Jika dia memiliki hutang sebanyak Rp 100.000,00, maka kita bisa berbuat baik kepadanya cukup dengan melunasi hutangnya sebesar Rp 70.000,00, sedangkan sisanya tidak perlu dibayarkan. Kedua, merelakan seluruhnya. Kita bisa saja berbuat baik kepadanya dengan membebaskan dan merelakan seluruh hutangnya yang sebesar Rp 100.000,00 tersebut. ([41])

Barang siapa yang meringankan atau memudahkan beban orang lain di dunia, maka Allah ﷻ akan memberikan keringanan atau kemudahan di dunia dan akhirat kelak. Inilah pentingnya bermuamalah yang baik dengan orang yang memiliki hutang dengan kita. Pahalanya sangat luar biasa, Allah ﷻ memberikan keringanan kepadanya di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Balasan sesuai dengan perbuatan.

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

حُوسِبَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مِنَ الْخَيْرِ شَيْءٌ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخَالِطُ النَّاسَ، وَكَانَ مُوسِرًا، فَكَانَ يَأْمُرُ غِلْمَانَهُ أَنْ يَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُعْسِرِ، قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: نَحْنُ أَحَقُّ بِذَلِكَ مِنْهُ، تَجَاوَزُوا عَنْهُ

“Ada seseorang sebelum kalian yang tertahan pada hari kiamat, tidak ada satu pun kebaikan dari dirinya, hanya saja dia sering berbaur dengan orang-orang dan dia adalah seorang kaya raya, lalu memerintahkan budaknya untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang yang kesusahan. Maka, Allah berfirman, ‘Kami lebih berhak untuk meringankan dari pada dia, maka maafkanlah dia’.”([42])

Allah ﷻ mengampuninya, karena dia sering memberikan maaf kepada orang-orang saat di dunia. Ketika ada orang yang berhutang kepadanya dan kesusahan di dalam melunasinya, maka dia pun merelakannya dan membebaskannya dari hutang tersebut.

Tentu saja, ini merupakan perkara yang berat. Apalagi pada zaman sekarang. Kenyataannya adalah ada orang yang berhutang kepadanya, lalu dia sungguh-sungguh untuk menagih hutang tersebut.

Demikianlah kemurahan Allah ﷻ, barang siapa yang orang lain memiliki hutang kepadanya, lalu meringankannya, atau bahkan memaafkannya dan membebaskannya, maka Allah ﷻ akan memberikan keringanan kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.

Balasan bagi orang yang menutupi aib saudaranya muslim

Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia, maupun di akhirat.” ([43])

Jika kita mampu untuk tidak mengetahui aib orang lain, maka itulah sejatinya yang terbaik. Tidak perlu tahu aib orang lain, apalagi mencari-cari aibnya. Namun, jika Allah ﷻ menakdirkan kita melihat aib orang lain, maka hendaknya kita berusaha menutupinya. Karena kita tahu bahwa Allah ﷻ Maha Mengetahui betapa banyak aib yang ada pada diri kita sendiri.

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang lisannya sudah beriman, tetapi imannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggibahi orang-orang muslim dan jangan mencari-cari aib-aib mereka. Sungguh, barang siapa yang mencari aib orang lain, maka Allah ﷻ akan mencari aibnya. Barang siapa yang dicari aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar aibnya meskipun dia sembunyi di rumahnya.” ([44])

Bukan kita yang hebat, tetapi karena Allah ﷻ yang memudahkan segalanya kepada kita. Bukan kita yang mulia dengan amal saleh kita, tetapi karena Allah ﷻ yang telah menutup aib-aib kita. Kita mulia di sisi orang bukan karena amal saleh kita, tetapi karena aib kita ditutup oleh Allah ﷻ. Jika ada orang saleh yang dibuka satu aibnya saja, maka akan hilang kemuliaannya.

Oleh karenanya, kesempatan bagi kita tatkala melihat aib orang lain, maka kita berusaha menutupinya agar aib kita ditutup oleh Allah ﷻ di dunia, terutama di akhirat.

Sungguh memalukan jika aib kita dibongkar di akhirat. Sebagaimana hadis yang telah disebutkan sebelumnya tentang balasan yang didapatkan bagi orang yang berpoligami, tetapi tidak bisa adil terhadap istri-istrinya. Pada hari kiamat dia datang dalam keadaan badannya miring. Sungguh memalukan, jika kelak dilihat oleh seluruh manusia.

Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik (مَنْ تَرَكَ لِلَّهِ شَيْئًا عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ).

Kaidah ini disebutkan berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafal,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesungguhnya engkau tidaklah meninggalkan sesuatu pun karena Allah, melainkan Allah akan memberikan ganti kepadamu sesuatu yang lebih baik darinya.”([45])

Apabila seseorang meninggalkan perbuatan maksiatnya karena Allah ﷻ, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari apa yang telah ditinggalkannya. Di antara contohnya adalah:

Balasan kebaikan bagi Nabi Yusuf u.

Nabi Yusuf n lebih memilih penjara dari pada menuruti rayuan para wanita. Oleh karenanya, Allah ﷻ menggantinya dengan balasan yang sangat baik, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah ﷻ,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ

“Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka.” (QS. Yusuf: 33)

Beliau meninggalkan segala kenikmatan dan merasa lebih nyaman di dalam penjara. Maka dari itu, Allah ﷻ menggantikannya dengan kekuasaan yang luas. Allah ﷻ berfirman,

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56)

Dahulu beliau berada di dalam keadaan kesempitan dan kesulitan, sejak saat berada di dalam sumur hingga ujian-ujian yang mengantarkannya ke dalam penjara. Namun, Allah ﷻ memberikan balasan yang luar biasa, berupa kerajaan yang lebih luas dari pada penjara, tentunya dengan banyak kenikmatan di dalamnya.

Balasan kebaikan bagi Nabi Sulaiman u.

Di antara kebiasaan beliau adalah berzikir hingga matahari terbenam. Namun, suatu ketika beliau lupa berzikir kepada Allah ﷻ hingga matahari terbenam, sebagaimana firman Allah ﷻ,

فَقالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوارَتْ بِالْحِجابِ

“Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.” (QS. Sad: 31)

Beliau u memerintahkan untuk mendatangkan kuda-kudanya yang indah nan membuat orang terpesona hingga lupa berzikir,

رُدُّوها عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحاً بِالسُّوقِ وَالْأَعْناقِ

“Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku.” Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu.” (QS. Sad: 32)

Karena beliau u tahu bahwa kuda-kudanya itu membuatnya lupa untuk berzikir kepada Allah, akhirnya beliau pun memenggal kuda-kuda tersebut. Setelah itu, Allah ﷻ menggantikan dengan balasan yang lebih baik, Allah ﷻ berfirman,

وَلِسُلَيْمانَ الرِّيحَ غُدُوُّها شَهْرٌ وَرَواحُها شَهْرٌ وَأَسَلْنا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنا نُذِقْهُ مِنْ عَذابِ السَّعِيرِ

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya pada waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya pada waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (QS. Saba’: 12)

Nabi Sulaiman u meninggalkan kuda-kuda pilihannya dan Allah ﷻ menggantikannya dengan angin yang berhembus kencang dan berhembus sesuai dengan keinginannya. Itu adalah balasan Allah ﷻ di dunia, belum lagi balasan di akhirat.

Balasan kebaikan bagi Nabi Ibrahim u.

Ketika beliau dibakar, beliau meninggalkan bajunya. Allah ﷻ memberikan balasan di akhirat kelak sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ القِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ

“Orang yang pertama kali diberikan pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim.”([46])

Kita tahu bahwa kita dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam kondisi telanjang, tidak memakai baju. Setelah itu, Allah ﷻ memberikan kepada kita pakaian, sedangkan manusia pertama yang diberikan baju pada hari kiamat adalah Nabi Ibrahim u, karena beliaulah orang pertama yang meninggalkan bajunya karena Allah ﷻ saat dibakar oleh kaumnya. Allah ﷻ menggantikannya di akhirat kelak sebagai bentuk kehormatan.

Selain itu, beliau juga meninggalkan negerinya, ayahnya dan keluarganya karena Allah ﷻ. Sebagai gantinya Allah memberikan balasan kebaikan bagi beliau. Allah ﷻ berfirman,

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَما يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنا لَهُ إِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلاًّ جَعَلْنا نَبِيًّا

“Maka ketika dia (Ibrahim) sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak dan Yakub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi.” (QS. Maryam: 49)

Allah ﷻ menggantikannya dengan keluarga, anak cucu yang beriman.

Balasan kebaikan bagi orang yang tawaduk.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Anas Al-Juhani t, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا

“Barang siapa yang meninggalkan pakaian-pakaian kemewahan karena Allah, padahal dia mampu untuk melakukannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan makhluk sehingga diperintahkan untuk memilih pakaian-pakaian surga yang diinginkan.”([47])

Hadis ini menjelaskan bagi seseorang yang meninggalkan kemegahan pakaian-pakaian karena tawaduk, padahal dia mampu untuk melakukannya, maka Allah ﷻ akan memanggilnya pada hari kiamat di depan makhluk-makhluk-Nya dan memerintahkannya untuk memilih bidadari yang dia inginkan.

Barang siapa yang meninggalkan segala pakaian atau perhiasan yang dipakai karena takut merasa sombong atau dia mampu membeli barang mewah, namun dia meninggalkan karena Allah ﷻ. Pada hari kiamat Allah ﷻ akan memanggilnya di depan khalayak manusia, membuatnya terkenal, lalu Allah ﷻ memerintahkannya untuk memakai baju keimanan atau baju surga yang dia sukai. Sebagai balasan kebaikan baginya, karena di dunia dia meninggalkan sesuatu karena Allah ﷻ, sebagai bentuk tawaduk kepada Allah ﷻ.

Balasan kebaikan bagi para syuhada.

Orang-orang yang telah mati syahid merelakan ruhnya karena Allah ﷻ, maka di dalam barzakh mereka mendapatkan nikmat dari Allah ﷻ. Ruh mereka terbang di surga seperti seekor burung. Mereka telah mendapatkan nikmat sejak di alam kubur, sebelum kenikmatan yang abadi di dalam surga.

Demikian juga dengan Jakfar bin Abu Thalib Ath-Thayyar, saat terjadi perang Mu’tah, tangan kanannya memegang bendera hingga terpotong, lalu bendera tersebut beralih kepada tangan kirinya, hingga kedua tangannya terpotong, maka Allah ﷻ menggantikannya dengan kedua sayap, di mana dia terbang dengannya di surga kelak. Oleh karenanya, dia disebut dengan Jakfar Ath-Thayyar ‘Jakfar Yang Terbang’.

Inilah di antara contoh-contoh dari kaidah الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ ‘balasan sesuai dengan perbuatan’. Apabila kita menyebutkan ayat-ayat Allah ﷻ, maka kita akan mengetahui bahwa contoh-contohnya sangat banyak.

([1]) ‘Aun Al-Ma’bud wa Hasyiyah Ibnu Al-Qayyim, (12/176).

([2]) Suatu kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain dan yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat sebelumnya.

([3]) Oleh karenanya, mereka berkeyakinan bahwa manusia dibagi ke dalam 4 kasta, yaitu: Kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Orang-orang yang ditakdirkan dari kasta Sudra -yaitu kasta yang ditakdirkan sebagai pelayan dari tiga kasta di atasnya- jika mereka ingin mendapatkan balasan yang setimpal pada kehidupan berikutnya, maka di kehidupan dunianya harus melayani kasta Brahmana. Sehingga ketika dia melayani kasta Brahmana dengan baik, dia akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya berada pada kasta yang ada di atasnya. Sebaliknya, jika mereka di dunia melakukan perbuatan yang buruk dan tidak menjalankan tugasnya sebagai kasta Sudra, maka dia akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya dengan keadaan yang lebih parah dari keadaannya yang sebelumnya, mungkin menjadi kambing, monyet dan hewan-hewan lainnya sesuai keyakinan mereka. Sebenarnya ini merupakan metode untuk merendahkan kasta Sudra yang dilakukan oleh kasta-kasta yang di atasnya bahwa jika mereka tidak berbuat sebagaimana kastanya, maka mereka akan dibangkitkan pada kehidupan berikutnya, sebagaimana kehidupan sebelumnya atau lebih rendah daripada itu.