This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label SENGKETA WALI NIKAH ANTARA SEORANG GADIS DENGAN AYAH KANDUNGNYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SENGKETA WALI NIKAH ANTARA SEORANG GADIS DENGAN AYAH KANDUNGNYA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2022

SENGKETA WALI NIKAH ANTARA SEORANG GADIS DENGAN AYAH KANDUNGNYA

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mendefinisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”, atau menurut bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah “rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi”.  Pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan rukun dan syarat yang diatur dalam fikih munakahat. Rukun dalam akad pernikahan ada 5, yaitu Calon Suami, Calon Isteri, Wali nikah, Dua orang saksi dan Akad (Ijab dan Kabul).  Tentang sahnya pernikahan, ada hadits Nabi yang berbunyi: “La nikaaha illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, tidak sah suatu pernikahan kecuali akad nikah itu dilakukan oleh walinya dan disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7558). Wali nikah secara umum diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah ada 2 macam. Wali Nasab dan Wali Hakim. Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali nasab yaitu, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dst, yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.  Begitu pentingnya wali dan saksi dalam akad nikah sehingga wali dan saksi menjadi rukun dalam acara akad nikah. Tidak ada wali atau saksi, atau ada wali dan saksi tetapi tidak memenuhi syarat maka pernikahannya tidak sah. Ada hadits Nabi yang berbunyi: ”Ayyuma imroatin nakahat bi ghoiri idzni waliyyiha fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal." (HR. Tirmidzi, no. 1021).  Akad nikah merupakan sesuatu yang sangat sakral ditengah ummat Islam, oleh karena itu biasanya dilaksanakan dengan penuh rasa ihlas dari wali nikah dan calon penganten perempuan. Wali nikah ihlas menyerahkan anak perempuannya menjadi isteri calon pengantin laki-laki. Anak perempuan ihlas dinikahkan oleh ayah kandungnya menjadi isteri calon penganten laki-laki. Begitu sakralnya sehingga akad nikah dilaksanakan dengan penuh hikmad dan setelah akad nikah biasanya diadakan resepsi dengan dihadiri oleh seluruh sanak kerabat dan para tetangga.  Anak gadis yang sudah dewasa mempunyai hak wali nikah dari ayah kandungnya ketika ia akan menikah dan menjadi kewajiban bagi ayah kandung untuk menjadi wali nikah bagi anak gadisnya yang sudah dewasa. Idealnya akad nikah dilaksanakan dengan penuh suka cita, tetapi adakalanya seorang anak gadis bersengketa dengan orang tuanya karena tidak mendapatkan restu untuk menikah dengan calon suami pilihannya. Orang tuanya terutama ayah kandungnya tidak setuju dengan pilihan anak gadisnya sehingga ia tidak mau menjadi wali nikah dalam pernikahan anak gadisnya. Dalam keadaan seperti ini ketika anak gadis mendafkatarkan pernikahannya di KUA mendapatkan surat penolakan untuk menikah dari KUA dimana ia mendaftar untuk menikah karena wali nikahnya tidak mau menjadi wali nikah (adlal).  Dalam kondisi seperti ini maka anak gadis tersebut ketika tetap akan menikah maka ia harus mengajukan permohonan wali adlal kepada Pengadilan Agama dimana ia bertempat tinggal untuk mendapatkan penetapan tentang wali nikahnya (ayahnya) sebagai wali yang adlal (enggan) untuk menikahkannya dan pernikahannya akan menggunakan wali hakim.  Dalam perkara ini ada sengketa, yaitu sengketa antara seorang anak gadis dengan ayah kandungnya. Yang disengketakan adalah wali nikah. Anak gadis membutuhkan ayah kandung sebagai wali nikah dan ayah si gadis menolak untuk menjadi wali nikah. Karena ada sengketa seharusnya perkara wali adlal berbentuk kontentius tidak berbentuk volunter sebagaimana terjadi selama ini.  Perkara volunter atau permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani Pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon. Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan Pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan Pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikking, decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).  Perkara kontentius atau gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan dimana salah satu pihak sebagai Penggugat/Pemohon untuk menggugat pihak lain sebagai Tergugat/Termohon. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir), yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada Tergugat/Termohon untuk membantah dalil-dalil Penggugat/Pemohon dan sebaliknya Penggugat/Pemohon juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat/Termohon. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan/vonis atas gugatan tersebut.  Dalam perkara permohonan wali adlal, ayah si gadis tidak didudukkan sebagai Tergugat/Termohon. Dalam permohonannya si gadis menerangkan bahwa ayahnya enggan atau tidak mau menjadi wali nikahnya. Ayah si gadis dipanggil oleh Pengadilan berdasarkan permohonan si gadis untuk ditanyai tentang benar tidaknya bahwa ia enggan atau tidak mau menjadi wali nikah dalam pernikahan anak gadisnya. Ayah si gadis tidak mempunyai kapasitas untuk membela diri terhadap keengganannya atau ketidak mauannya menjadi wali nikah. Setelah membenarkan bahwa ia tidak mau menjadi wali nikah atau enggan menjadi wali nikah maka Pengadilan akan membuat penetapan (beschikking) yang berisi wali nikah enggan atau adlal menjadi wali nikah. Terhadap penetapan Pengadilan tersebut wali tidak mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Alasannya karena ia (wali) tidak berkedudukan sebagai pihak dalam perkara permohonan tersebut.  Kalaulah perkara permohonan wali adlal dibuat dalam bentuk gugatan dengan menempatkan ayah kandung sebagai pihak Tergugat/Termohon, maka ayah kandung mempunyai hak jawab terhadap gugatan anak gadis dan ketika diputuskan ayah kandung sebagai wali yang adlal (enggan), maka ayah kandung mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi, yang kemungkinan perkara gugatan wali adlal akan menjadi perkara yang sangat panjang dan memakan waktu yang lama.  Ayah kandung tidak mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi terhadap penetapan wali adlal. Oleh karena itu ketika ia tidak setuju terhadap pernikahan anak gadisnya dengan menggunakan wali hakim, maka ia ada hak untuk menghalangi terjadinya akad nikah anak gadisnya tersebut. Kalau akad nikah itu belum dilaksanakan maka ia dapat mengajukan permohonan pencegahan nikah. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan anak gadisnya akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Setelah ada permohonan pencegahan pernikahan tersebut Pengadilan Agama juga akan memberitahukan kepada KUA dimana pernikahan akan dilaksanakan dan selama pecegahan perkawinan itu belum diputuskan atau dicabut maka pernikahan tidak bisa dilaksanakan. Tetapi kalau akad nikah sudah dilakukan oleh anak gadisnya dengan menggunakan wali hakim, maka ayah dapat mengajukan gugatan pembatalan nikah di Pengadilan Agama dimana akad nikah itu dilaksanakan.  Dalam pasal 13 UUP diatur bahwa “perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Yang dimaksud “ada pihak” dalam pasal diatas adalah calon suami, calon isteri wali nikah dan saksi. Dalam permohonan pencegahan perkawinan ini ayah kandung harus membuktikan bahwa perkawinan anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan. Kalau tidak bisa membuktikan tentu perkaranya akan ditolak. Sudah barangtentu ayah kandung akan berdalil bahwa pernikahan anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan, yaitu ayah kandung sebagai wali nikah tidak setuju atas pernikahan tersebut. Anak gadisnya tentu akan berdalil bahwa pernikahan dengan calon suaminya telah memenuhi syarat pernikahan, karena ayah kandungnya sebagai wali nikah tidak mau menikahkannya, maka ia telah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama untuk menikah dengan wali hakim.  Dalam sengketa pencegahan perkawinan antara wali nikah ayah kandung dengan calon pengantin anak gadisnya ini dengan keadaan sebagaimana diuraikan diatas kiranya dapat dipersepsikan bahwa sengketa itu akan dimenangkan oleh sang anak gadis.  Ketika anak gadis sudah menikah dengan menggunakan wali hakim, maka sang ayah mempunyai hak untuk membatalkan pernikahan anak gadisnya. Dalam Pasal 22 UUP diatur “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Yang dimaksud “para pihak” dalam pasal ini adalah calon suami, calon isteri wali nikah dan saksi. Dalam perkara pembatalan nikah ini ayah kandung harus membuktikan bahwa dalam perkawinan anak gadisnya ada pihak yang tidak memenuhi syarat pernikahan, kalau tidak bisa membuktikan tentu perkaranya akan ditolak. Sudah barangtentu ayah kandung berdalil bahwa pihak anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan, karena anak gadisnya tidak mendapat restu dari ayah kandungnya sehingga ayah kandungnya tidak mau menjadi wali nikah. Anak gadisnya tentu akan berdalil bahwa pernikahan dengan calon suaminya telah memenuhi syarat pernikahan, karena ayah kandungnya sebagai wali nasab tidak mau menikahkannya, maka ia sebagai pihak dalam pernikahan tersebut telah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama untuk menikah dengan wali hakim.  Dalam sengketa pembatalan perkawinan antara ayah kandung dengan anak gadisnya ini dengan keadaan sebagaimana diuraikan diatas kiranya dapat dipersepsikan bahwa sengketa pembatalan nikah itu akan dimenangkan oleh sang anak gadis.  Bahwa bagaimanapun juga wali nikah merupakan hak anak gadis yang seyogiyanya diberikan oleh ayah kandung, apalagi anak gadisnya sudah dewasa. Kalau ayah kandung tidak memberikan wali nikah terhadap anak gadisnya tentu anak gadis akan meminta haknya itu kepada pengadilan, agar wali nikahnya dipindahkan dari wali nasab menjadi wali hakim.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mendefinisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”, atau menurut bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) ialah “rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi”.

Pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan rukun dan syarat yang diatur dalam fikih munakahat. Rukun dalam akad pernikahan ada 5, yaitu Calon Suami, Calon Isteri, Wali nikah, Dua orang saksi dan Akad (Ijab dan Kabul).

Tentang sahnya pernikahan, ada hadits Nabi yang berbunyi: “La nikaaha illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, tidak sah suatu pernikahan kecuali akad nikah itu dilakukan oleh walinya dan disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7558). Wali nikah secara umum diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah ada 2 macam. Wali Nasab dan Wali Hakim. Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali nasab yaitu, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dst, yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

Begitu pentingnya wali dan saksi dalam akad nikah sehingga wali dan saksi menjadi rukun dalam acara akad nikah. Tidak ada wali atau saksi, atau ada wali dan saksi tetapi tidak memenuhi syarat maka pernikahannya tidak sah. Ada hadits Nabi yang berbunyi: ”Ayyuma imroatin nakahat bi ghoiri idzni waliyyiha fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal." (HR. Tirmidzi, no. 1021).

Akad nikah merupakan sesuatu yang sangat sakral ditengah ummat Islam, oleh karena itu biasanya dilaksanakan dengan penuh rasa ihlas dari wali nikah dan calon penganten perempuan. Wali nikah ihlas menyerahkan anak perempuannya menjadi isteri calon pengantin laki-laki. Anak perempuan ihlas dinikahkan oleh ayah kandungnya menjadi isteri calon penganten laki-laki. Begitu sakralnya sehingga akad nikah dilaksanakan dengan penuh hikmad dan setelah akad nikah biasanya diadakan resepsi dengan dihadiri oleh seluruh sanak kerabat dan para tetangga.

Anak gadis yang sudah dewasa mempunyai hak wali nikah dari ayah kandungnya ketika ia akan menikah dan menjadi kewajiban bagi ayah kandung untuk menjadi wali nikah bagi anak gadisnya yang sudah dewasa. Idealnya akad nikah dilaksanakan dengan penuh suka cita, tetapi adakalanya seorang anak gadis bersengketa dengan orang tuanya karena tidak mendapatkan restu untuk menikah dengan calon suami pilihannya. Orang tuanya terutama ayah kandungnya tidak setuju dengan pilihan anak gadisnya sehingga ia tidak mau menjadi wali nikah dalam pernikahan anak gadisnya. Dalam keadaan seperti ini ketika anak gadis mendafkatarkan pernikahannya di KUA mendapatkan surat penolakan untuk menikah dari KUA dimana ia mendaftar untuk menikah karena wali nikahnya tidak mau menjadi wali nikah (adlal).

Dalam kondisi seperti ini maka anak gadis tersebut ketika tetap akan menikah maka ia harus mengajukan permohonan wali adlal kepada Pengadilan Agama dimana ia bertempat tinggal untuk mendapatkan penetapan tentang wali nikahnya (ayahnya) sebagai wali yang adlal (enggan) untuk menikahkannya dan pernikahannya akan menggunakan wali hakim.

Dalam perkara ini ada sengketa, yaitu sengketa antara seorang anak gadis dengan ayah kandungnya. Yang disengketakan adalah wali nikah. Anak gadis membutuhkan ayah kandung sebagai wali nikah dan ayah si gadis menolak untuk menjadi wali nikah. Karena ada sengketa seharusnya perkara wali adlal berbentuk kontentius tidak berbentuk volunter sebagaimana terjadi selama ini.

Perkara volunter atau permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani Pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon. Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan Pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan Pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikkingdecree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).

Perkara kontentius atau gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan dimana salah satu pihak sebagai Penggugat/Pemohon untuk menggugat pihak lain sebagai Tergugat/Termohon. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir), yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada Tergugat/Termohon untuk membantah dalil-dalil Penggugat/Pemohon dan sebaliknya Penggugat/Pemohon juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat/Termohon. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan/vonis atas gugatan tersebut.

Dalam perkara permohonan wali adlal, ayah si gadis tidak didudukkan sebagai Tergugat/Termohon. Dalam permohonannya si gadis menerangkan bahwa ayahnya enggan atau tidak mau menjadi wali nikahnya. Ayah si gadis dipanggil oleh Pengadilan berdasarkan permohonan si gadis untuk ditanyai tentang benar tidaknya bahwa ia enggan atau tidak mau menjadi wali nikah dalam pernikahan anak gadisnya. Ayah si gadis tidak mempunyai kapasitas untuk membela diri terhadap keengganannya atau ketidak mauannya menjadi wali nikah. Setelah membenarkan bahwa ia tidak mau menjadi wali nikah atau enggan menjadi wali nikah maka Pengadilan akan membuat penetapan (beschikking) yang berisi wali nikah enggan atau adlal menjadi wali nikah. Terhadap penetapan Pengadilan tersebut wali tidak mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Alasannya karena ia (wali) tidak berkedudukan sebagai pihak dalam perkara permohonan tersebut.

Kalaulah perkara permohonan wali adlal dibuat dalam bentuk gugatan dengan menempatkan ayah kandung sebagai pihak Tergugat/Termohon, maka ayah kandung mempunyai hak jawab terhadap gugatan anak gadis dan ketika diputuskan ayah kandung sebagai wali yang adlal (enggan), maka ayah kandung mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi, yang kemungkinan perkara gugatan wali adlal akan menjadi perkara yang sangat panjang dan memakan waktu yang lama.

Ayah kandung tidak mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi terhadap penetapan wali adlal. Oleh karena itu ketika ia tidak setuju terhadap pernikahan anak gadisnya dengan menggunakan wali hakim, maka ia ada hak untuk menghalangi terjadinya akad nikah anak gadisnya tersebut. Kalau akad nikah itu belum dilaksanakan maka ia dapat mengajukan permohonan pencegahan nikah. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan anak gadisnya akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Setelah ada permohonan pencegahan pernikahan tersebut Pengadilan Agama juga akan memberitahukan kepada KUA dimana pernikahan akan dilaksanakan dan selama pecegahan perkawinan itu belum diputuskan atau dicabut maka pernikahan tidak bisa dilaksanakan. Tetapi kalau akad nikah sudah dilakukan oleh anak gadisnya dengan menggunakan wali hakim, maka ayah dapat mengajukan gugatan pembatalan nikah di Pengadilan Agama dimana akad nikah itu dilaksanakan.

Dalam pasal 13 UUP diatur bahwa “perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Yang dimaksud “ada pihak” dalam pasal diatas adalah calon suami, calon isteri wali nikah dan saksi. Dalam permohonan pencegahan perkawinan ini ayah kandung harus membuktikan bahwa perkawinan anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan. Kalau tidak bisa membuktikan tentu perkaranya akan ditolak. Sudah barangtentu ayah kandung akan berdalil bahwa pernikahan anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan, yaitu ayah kandung sebagai wali nikah tidak setuju atas pernikahan tersebut. Anak gadisnya tentu akan berdalil bahwa pernikahan dengan calon suaminya telah memenuhi syarat pernikahan, karena ayah kandungnya sebagai wali nikah tidak mau menikahkannya, maka ia telah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama untuk menikah dengan wali hakim.

Dalam sengketa pencegahan perkawinan antara wali nikah ayah kandung dengan calon pengantin anak gadisnya ini dengan keadaan sebagaimana diuraikan diatas kiranya dapat dipersepsikan bahwa sengketa itu akan dimenangkan oleh sang anak gadis.

Ketika anak gadis sudah menikah dengan menggunakan wali hakim, maka sang ayah mempunyai hak untuk membatalkan pernikahan anak gadisnya. Dalam Pasal 22 UUP diatur “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Yang dimaksud “para pihak” dalam pasal ini adalah calon suami, calon isteri wali nikah dan saksi. Dalam perkara pembatalan nikah ini ayah kandung harus membuktikan bahwa dalam perkawinan anak gadisnya ada pihak yang tidak memenuhi syarat pernikahan, kalau tidak bisa membuktikan tentu perkaranya akan ditolak. Sudah barangtentu ayah kandung berdalil bahwa pihak anak gadisnya tidak memenuhi syarat pernikahan, karena anak gadisnya tidak mendapat restu dari ayah kandungnya sehingga ayah kandungnya tidak mau menjadi wali nikah. Anak gadisnya tentu akan berdalil bahwa pernikahan dengan calon suaminya telah memenuhi syarat pernikahan, karena ayah kandungnya sebagai wali nasab tidak mau menikahkannya, maka ia sebagai pihak dalam pernikahan tersebut telah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama untuk menikah dengan wali hakim.

Dalam sengketa pembatalan perkawinan antara ayah kandung dengan anak gadisnya ini dengan keadaan sebagaimana diuraikan diatas kiranya dapat dipersepsikan bahwa sengketa pembatalan nikah itu akan dimenangkan oleh sang anak gadis.

Bahwa bagaimanapun juga wali nikah merupakan hak anak gadis yang seyogiyanya diberikan oleh ayah kandung, apalagi anak gadisnya sudah dewasa. Kalau ayah kandung tidak memberikan wali nikah terhadap anak gadisnya tentu anak gadis akan meminta haknya itu kepada pengadilan, agar wali nikahnya dipindahkan dari wali nasab menjadi wali hakim.


Referensi : SENGKETA WALI NIKAH ANTARA SEORANG GADIS DENGAN AYAH KANDUNGNYA