This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi & Istilah Berpekara dalam Pengadilan Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi & Istilah Berpekara dalam Pengadilan Agama. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Agustus 2022

Jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi & Istilah Berpekara dalam Pengadilan Agama

Jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi. Keputusan untuk rujuk atau kembali bersama harus diambil kedua belah pihak dan tidak ada paksaan. Jadi, jawaban dari pertanyaan jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi adalah bisa, tapi harus melakukan akad nikah baru.Beberapa hari yang lalu, dahi saya tiba-tiba mengernyit ketika saya membaca sebuah gugatan cerai talak yang berisi tuntutan pemenuhan nafkah iddah oleh sang istri kepada suami yang “hanya” berjumlah Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Bagaimana mungkin nafkah iddah selama 3 bulan itu hanya “dihargai” dengan jumlah seratus ribu rupiah? Bukankah nafkah iddah itu mencakup maskan (tempat tinggal), ith’am (makanan) dan kiswah (pakaian) yang diberikan suami kepada istri selama masa iddah?Jangankan untuk sebulan, untuk hidup sehari saja di Kota Serui dengan uang seratus ribu belum tentu cukup?  Tidak bisa dipungkiri, setelah terbitnya surat Badilag Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 tentang “Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian” tertanggal 24 Mei 2021, tidak sedikit dari masyarakat pencari keadilan menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang istilah-istilah “baru” yang terdapat dalam blanko gugatan maupun permohonan yang mereka terima dari petugas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Tidak seperti biasanya, istilah-istilah hukum seperti mut’ah, iddah, nafkah madhiyah, nafkah anak/hadhanah, menjadi asing di telinga masyarakat pencari keadilan. Selama ini, istilah yang mereka dengar pada umumnya di lembaga peradilan agama hanya seputar talak, akta cerai, persidangan, sumpah, hingga saksi-saksi.  Istilah-istilah penting tersebut akan muncul dan menjadi bagian dari substansi pokok perkara. Maka dengan ini penulis berinisiatif untuk menjelaskan tentang beberapa istilah penting yang akan ditemukan oleh para pencari keadilan, baik istilah hukum tersebut muncul ketika yang berperkara itu adalah pihak istri, maupun istilah hukum tersebut muncul ketika yang berperkara dari pihak suami, khususnya pada perkara perceraian. Tulisan ini disusun guna membantu para pihak khususnya para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Serui untuk memahami istilah-istilah tertentu yang digunakan atau yang sering dijumpai dalam praktik di lapangan khususnya yang berkaitan dengan perkara perceraian.  Penulis berusaha menyusun artikel ini dengan menghindari penggunaan bahasa asing. Sehingga bahasa dan kalimat dapat dicerna dengan mudah, dipahami dengan baik oleh para pihak berperkara. Adapun jika terdapat kata yang sekiranya dapat menyulitkan para pihak atau sulit untuk dipahami, maka penulis tidak lupa untuk menambahkan catatan kaki atau penjelasan lebih lanjut yang lebih sederhana lagi agar mudah dicerna dengan baik oleh masyarakat pencari keadilan. Istilah-istilah yang penulis paparkan tidak berdasarkan abjad, melainkan akan dijelaskan dan diurut secara kronologis sebagaimana alur pendaftaran dan penyelesaian perkara perceraian. Mulai dari awal pendaftaran hingga putusan dianggap berkekuatan hukum tetap.  Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengetengahkan sebuah pepatah Arab yang berbunyi: من عرف لغة قوم سلم من مكرمهم “Barangsiapa menguasai bahasa suatu kaum, maka ia selamat dari tipu daya mereka.” Dengan mengetahui makna atau maksud istilah-istilah hukum tersebut, diharapkan pada jalannya proses berperkara, mulai dari pendaftaran hingga status putusan berkekuatan hukum tetap, tidak ada lagi kekeliruan atau kekaburan makna, yang seringkali membuat masyarakat pencari keadilan menjawab/mengisi secara “ngasal/ngawur”.  Tak jarang pula, Petugas Informasi dan Pengaduan yang diposisikan di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) kewalahan dalam menyampaikan informasi dan penjelasan soal istilah hukum tersebut. Hal ini juga tidak lepas dari adanya faktor sosiologis, yaitu banyaknya pihak berperkara di Pengadilan Agama Serui yang memiliki pendidikan di bawah rata-rata, sehingga komunikasi menjadi terkendala dan membutuhkan waktu yang lebih lapang. Akibatnya, efisiensi waktu menjadi terkikis hanya karena menjelaskan istilah-istilah hukum yang baru mereka jumpai. Begitu pula dengan peran Majelis Hakim di persidangan, guna memberi dan melengkapi pemahaman istilah-istilah tersebut kepada para pihak berperkara, tak jarang waktu persidangan menjadi semakin lama, dan memakan waktu lebih banyak dari biasanya.  Maka dari itu, untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan untuk menghemat waktu, maka istilah-istilah hukum yang sekiranya dijumpai oleh para masyarakat pencari keadilan, harus diberikan pemahaman terlebih dahulu sebelum mereka mengajukan perkaranya. Demikian, perkara perceraian dapat terselenggara secara maksimal serta lebih berbobot. Untuk melengkapi dan lebih memaksimalkan bobot tulisan ini, maka berikut penulis jelaskan beberapa istilah-istilah penting yang sering dijumpai oleh para pencari keadilan, khususnya dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Serui.  Perkara Apa yang dimaksud dengan perkara? Selama persengketaan rumah tangga belum diserahkan ke pengadilan, maka sepanjang itu pula sengketa tersebut tetaplah disebut sebagai sengketa, belum menjadi perkara. Setelah sengketa tersebut dituangkan dalam surat gugatan, dan para pihak membayar panjar biaya perkara, , barulah sengketa, prahara, perselisihan, atau apapun yang semacamnya itu, menjelma menjadi perkara. Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perceraian, salah satu pasangan suami istri harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Apabila salah satu pihak mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan dalam rumah tangga menjelma menjadi “perkara” di sidang pengadilan. Selama sengketa tidak diperkarakan, maka pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa, karena pengadilan dilarang mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan pasal 55 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Menurut pasal tersebut tiap pemeriksaan perkara di pengadilan, dimulai sesudah diajukan suatu “permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasar permohonan atau gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri persidangan di pengadilan.   M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 185.  Tak heran, jika masyarakat pencari keadilan ditanya oleh petugas pengadilan dengan kalimat tanya “Nomor perkaranya berapa Bu/Pak?” bukan mengatakan “Nomor sengketnya berapa, Bu/Pak?”. Jadi, tolok ukur dijadikannya sengketa itu menjadi perkara adalah saat sengketa tersebut didftarkan di pengadilan dan panjar biaya perkara  telah dilunasi oleh para pihak. Sepanjang persengketaan itu belum didaftarkan di pengadilan dan panjar biaya perkaranya belum dilunasi, maka sepanjang itu pula persengketaan tersebut belum layak disebut sebagai perkara.  Relaas Jika anda ditanya oleh Majelis Hakim dalam persidangan tentang Relaas, maka yang dimaksud adalah surat panggilan persidangan. Surat panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.  Yang dimaksud dengan “resmi” pada pengertian tersebut adalah relaas yang disampaikan oleh seorang Pejabat tertentu yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan melalui Panitera untuk menyampaikannya kepada para pihak, dalam hal ini adalah Jurusita. Jadi, jika anda menerima relaas tapi tidak disampaikan oleh Jurusita Pengadilan Agama Serui, maka relaas yang anda terima dinyatakan tidak resmi, dan anda berhak untuk menolak relaas tersebut.  Adapun yang dimaksud dengan “patut” adalah relaas yang disampaikan kepada pihak berperkara sebagaimana alamat yang tertera dalam surat gugatan/permohonan, dan dilakukan pada hari-hari kerja sebelum jam 6 sore waktu setempat, serta disampaikan paling lambat 3 hari kerja sebelum persidangan dilaksanakan. Jadi, jika persidangan dilaksanakan hari senin, dan ternyata relaas yang anda terima ternyata adalah di hari minggu jam 7 malam, meskipun disampaikan oleh Jurusita, maka relaas tersebut dianggap tidak patut, dan anda berhak untuk menolak atau menyampaikan secara langsung di hadapan majelis hakim pada persidangan. Dalam memulai persidangan, tentu Majelis Hakim terlebih dahulu memeriksa relaas, apakah telah telah disampaikan dengan resmi dan patut oleh.   M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-12 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 213.  Pasal 1 Rv (Reglement op de Rechtsvordering); Tiap-tiap proses perkara perdata sepanjang tidak dikecualikan secara khusus, dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan yang dilakukan oleh seorang Jurusita yang mempunyai wewenang di tempat pemberitahuan itu, wajib menyampaikan turunan surat pemberitahuan itu kepada orang yang digugat atau menyampaikannya di tempat tinggal orang yang digugat itu. Turunan itu berlaku bagi orang yang menerimanya sebagai surat gugatan asli.  Jurusita pada Pengadilan Agama Serui saat ini hanya berjumlah dua orang, yakni Sumitro Wally, dan Harmia, A.Md.  Jurusita atau tidak. Jika para pihak menghadiri persidangan tanpa didahului dengan panggilan Relaas, maka perkara dinyatakan batal demi hukum. Atau jika didahului dengan relaas tetapi tidak memenuhi ketentuan resmi dan patut, maka Jurusita dapat dibebankan untuk mengganti biaya perkara pada relaas yang bersangkutan sebagai konsekuensi atas kesalahan atau ketidakprofesionalitasnya.   Kini, dengan  sistem beracara di pengadilan telah mengalami akselerasi perubahan yang signifikan dan lebih modern, sehingga panggilan persidangan kepada para pihak pun dilakukan secara elektronik, atau yang biasa disebut secara e-court. Praktiknya, panggilan pertama dilakukan secara elektronik (via email) kepada pihak Penggugat/Pemohon, sedangkan bagi Tergugat/Termohon dilakukan secara manual, atau melalui Jurusita dari Pengadilan Agama Serui, sepanjang alamat yang tertera pada surat gugatan masih dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui.  Jika pihak Tergugat atau Termohon berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui, maka pihak Pengadilan Agama Serui akan mengirimkan surat bantuan delegasi kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili Tergugat/Termohon untuk menyampaikan relaas yang dilaksanakan oleh Jurusita.  Selanjutnya, jika ternyata pihak Tergugat/Termohon pada agenda sidang pertama menyepakati persidangan berikutnya dilaksanakan secara elektronik, barulah kemudian relaas disampaikan kepada Tergugat/Termohon dilakukan secara elektronik, atau via email.    Lihat pasal 21 Rv (Reglement op de Rechtsvordering); Jika suatu surat panggilan dinyatakan batal karena jurusita te;ah melakukan sesuatu yang menyebabkan batalnya surat penggilan itu, maka ia dapat dihukum untukmengganti biaya panggilan itu danbiaya acara yang batal, demikian pula untuk mengganti segala kerugian dan bunga pihak yang dirugikan dengan memperhatikan keadaaan; semua itu tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam pasal 60 (KUHPerd.1243, 1365, Rv, 8,20, 93, 98) Wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui meliputi dua Kabupaten, yakni Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Waropen. Perma Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik  pada Pasal 15 angka (1) berbunyi; Panggilan/pemberitahuan secara elektronik disampaikan kepada: a. Penggugat yang melakukan pendaftaran secara elektronik; dan b.  Tergugat atau pihak lain yang telah menyatakan persetujuannya untuk dipanggil secara elektronik. Para Pihak Berperkara Ada perbedaan penyebutan antara yang mengajukan perkara perceraian dari pihak suami, dengan yang mengajukan perkara perceraian dari pihak isteri. Orang atau subjek hukum yang mengajukan perkara perceraian di pengadilan disebut sebagai para pihak atau pihak berperkara. Dalam hal perkara perceraian, jika yang mengajukan perceraian adalah pihak suami, maka sang suami selanjutnya disebutnya sebagai pihak “Pemohon”, sedangkan sang istri disebut sebagai “Termohon”. Sebaliknya, bila yang mengajukan perkara perceraian adalah dari pihak Istri, maka sang istri disebut sebagai “Penggugat”, sedangkan suami disebut sebagai pihak “Tergugat”. Kadang kala, subjek hukum yang berperkara di lembaga peradilan, secara umum disebut sebagai para pencari keadilan, atau biasa juga disebut sebagai para pihak berperkara, atau lebih singkat lagi, para pihak.  Cerai Gugat dan Cerai Talak Selain subjek hukum yang mengalami perbedaan yang signifikan antara yang mengajukan dari pihak istri dengan yang mengajukan dari pihak suami, maka jenis perkara perceraian yang diajukan pun mengalami perbedaan penyebutan. Perkara perceraian, jika perceraian diajukan oleh pihak istri (Penggugat) maka perkara itu disebutnya sebagai perkara “Cerai Gugat” atau yang disingkat CG.  Sedangkan jika ternyata perkara perceraian itu diajukan oleh pihak Suami (Pemohon), maka perkara demikian disebut sebagai permohonan “Cerai Talak” atau yang biasa disingkat menjadi CT. Jadi, bagi istri yang berstatus sebagai Penggugat, maka surat yang diajukan disebut dengan surat gugatan cerai talak, sebaliknya sang suami yang menyandang status sebagai Pemohon, maka surat yang diajukan disebut sebagai surat permohonan cerai talak.  Mediasi Sebagaimana Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, jika anda mengajukan perkara cerai di pengadilan, dan pasangan anda hadir pada sidang pertama, maka dapat dipastikan anda melewati mediasi terlebih dahulu sebelum melangkah ke pemeriksaan pokok perkara. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.  Perlu adanya kesamaan persepsi mengenai pengertian perdamaian dan mediasi. Perdamaian adalah usaha penyelesaian sengketa melalui hakim, sedang mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara, yang dibantu oleh mediator yang berkedudukan sebagai pihak ketiga yang netral yang tidak memihak atau cenderung kepada salah satu pihak berperkara. Mediator dalam hal ini berfungsi sebagai pembantu atau penolong (helper) dalam mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak.   Jadi, mediasi dapat dikatakan sebagai perundingan antara para pihak berperkara yang ditengahi oleh seorang Mediator untuk mencapai perdamaian atau kesepakatan-kesepakatan tertentu.  Iddah Iddah adalah masa tunggu yang harus dilalui oleh sang istri untuk menahan diri agar tidak menerima pinangan orang lain atau tidak menikah dengan orang lain setelah terjadinya perceraian, atau setelah wafatnya sang suami. Iddah menurut Imam Syafi’i adalah sebuah masa atau waktu bagi perempuan untuk menahan diri/menunggu untuk mengetahui bebas atau bersihnya rahimnya ia dari mantan suaminya, atau masa yang digunakan oleh istri yang ditalak untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah swt karena kesedihan yang dirundungnya. Dalam Pasal 151 KHI disebutkan bahwa; bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 153 KHI sebagai berikut;  Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al- dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 154  Apabila isteri bertalak raj`’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Jadi, dapat dipahami dalam beberapa poin pasal di atas bahwa masa tunggu atau masa iddah itu bermacam-macam. Jika para pihak hendak mengisi kolom nafkah iddah dalam format yang telah disediakan oleh petugas kami, maka seyogyanya yang diisi adalah jumlah nafkah iddah yang meliputi biaya makan, biaya pakaian, hingga biaya sewa/kontrak tempat tinggal yang diperuntukkan selama masa iddah itu; 90 hari ke depan bila pasangan telah berhubungan badan/punya anak, atau hingga lahirnya sang anak yang dikandung jika ternyata sang istri diceraikan dalam keadaan hamil.  Setidak-tidaknya terdapat 3 poin penting dalam pemenuhan nafkah iddah ini;pertama biaya makan untuk sehari di Serui berapa selama masa iddah, atau berapa biaya makan sehari di Waropen jika Penggugat berdomisili di Waropen. Kedua, biaya pakaian istri dalam masa iddah berapa? Ketiga, biaya sewa rumah/indekos di Serui (tempat kediaman sang istri) selama masa iddah berapa, atau jika ternyata Penggugat berdomisili di Waropen, maka yang dihitung adalah berapa sewa indekos di Waropen.  Total dari ketiga poin tersebut merupakan nafkah iddah yang dituangkan oleh sang istri melalui surat gugatan atau dapat dituntut secara lisan di hadapan majelis hakim di persidangan. Nafkah iddah inilah yang harus dibayarkan oleh sang suami sebelum Akta Cerai yang tertahan miliknya dapat diterima. Maka sangat tidak wajar, jika kemudian nafkah iddah hanya diisi dengan angka 100 ribu rupiah saja, jumlah tersebut tidak sesuai dengan substansi pokok iddah sebagaimana yang dimaksud oleh syariat.  Mut’ah Mut’ah dapat diistilahkan sebagai “kenang-kenangan” yang diserahkan oleh suami saat menceraikan istrinya. Dalam al-Qur’an ayat 236 surat al-Baqarah, Allah menjelaskan tentang mut’ah yang berbunyi;  وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ  Terjemahnya;  Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.  Tidak ada patokan yang terperinci tentang besaran atau jumlah mut’ah yang diberikan oleh sang suami kepada sang istri yang telah diceraikannya. Begitu pula bila seandainya mut’ah yang akan diberikan ternyata dalam bentuk barang seperti emas, kendaraan, bangunan, atau yang semacamnya. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa mut’ah itu dibebankan “bagi yang mampu menurut kemampuannya”, tetapi kemudian penggalan ayat tersebut dilengkapi dengan kata bil ma’ru>f,  atau dengan cara yang layak/patut. Artinya, hendaknya pemberian mut’ah itu disesuaikan dengan kemampuan, tanpa harus menciderai rasa patut atau kelayakan. Kemampuan dan kepatutan adalah dua indikator penakar yang tidak bisa dipisahkan.  Sebuah misal, jika pernikahan suami isteri telah berumur 15 tahun, lalu keduanya bercerai dan ternyata sang suami diketahui bekerja sebagai pelaut yang berpenghasilan dengan rata-rata 10 juta perbulan, maka sangat tidak layak jika mut’ah nya “hanya” sejumlah 100 ribu rupiah saja. Bagaimana mungkin pernikahan yang dibina selama 15 tahun kemudian “dihargai” dengan angka 100 ribu yang didukung dengan gaji 10 juta perbulan? Demikian sama halnya setiap tahun pernikahan “dihargai” dengan angka yang kurang dari 7 ribu rupiah setiap tahunnya. Sungguh tidak layak, atau jauh dari kepatutan. Tapi sekali lagi, di sini penulis tidak ingin membuat sebuah “patron” dalam menentukan jumlah besaran mut’ah, karena bagaimana pun juga, besaran mut’ah itu bukan hanya bergantung pada kekuatan finansial sang suami, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh nusyuz (membangkang) atau tidaknya sang istri selama perkawinan.  Nafkah Madhiyah (Lampau) Jika anda menemukan kolom kosong dalam format surat gugatan cerai talak yang harus diisi dengan jumlah nafkah madhiyah, maka yang dimaksud adalah seberapa lama suami anda tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Kepala Rumah Tangga dalam hal memberi nafkah. Jika ternyata suami anda tidak menafkahi anda selama 10 bulan, maka yang anda hitung adalah nafkah yang seharusnya anda terima dari suami anda selama 10 bulan itu. Sebuah misal, jika nafkah anda selama hidup di Serui dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah, dan anda tidak dinafkahi selama 10 bulan, maka anda dapat menuntut sang suami untuk membayar nafkah terutang sebesar 20 juta rupiah.  Jika nafkah hidup anda di Waropen sebesar 4 juta rupiah perbulan, dan anda ditinggal pergi oleh suami anda tanpa adanya nafkah selama 10 bulan itu, maka anda dapat mengisi kolom tersebut untuk dijadikan sebagai tuntutan nafkah madhiyah kepada Tergugat sebesar 40 juta rupiah, dan seterusnya! Nafkah inilah yang dimaksud dengan madhiyah, atau lampau. Nafkah lampau tersebut dapat dituntut oleh sang istri di muka persidangan, yang jumlahnya dapat dituangkan  terlebih dahulu dalam surat gugatan cerai talak, atau berupa lisan di muka persidangan.  HADHANAH Hadhanah dapat diartikan sebagai pengasuhan anak. Dalam format gugatan yang ditetapkan oleh Badilag, dalam kaitannya dengan hadhanah, maka terdapat dua tuntutan, pertama; pihak berperkara meminta kepada Majelis Hakim untuk menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak hadhanah. Kedua; meminta Majelis Hakim agar Tergugat memenuhi nafkah terkait pengasuhan anak. Anak yang dapat dimintakan Hak Asuh terhadapnya adalah anak yang dibawah umur 21 tahun atau belum menikah.  Sedangkan pemenuhan terhadap nafkah anak adalah biaya hidup sang anak yang dimintakan hak asuh anak.  Jadi, jika penggugat memiliki dua anak yang masih di bawah umur, dan kedua-duanya dimintakan nafkah anak, maka yang dituntut oleh sang Penggugat adalah berapa biaya hidup sang anak yang harus dibayarkan oleh Tergugat hingga anak tersebut menikah atau mencapai usia 21 tahun. Andai kata kedua anak tersebut memerlukan biaya sebesar 3 juta rupiah dalam sebulan di Kota Serui, maka anda dapat menuntut sang suami untuk membayarkan nafkah anak sejumlah 3 juta rupiah perbulan, dengan kenaikan 10 hingga 20% pertahunnya, hingga kedua anak tersebut menikah atau berusia 21 tahun. Biaya tersebut boleh anda tuntut di luar biaya pendidikan dan kesehatan, atau dapat pula biaya tersebut sudah termasuk biaya pendidikan dan kesehatan.  Verstek Istilah verstek sering dijumpai dalam putusan manakala salah satu pihak berperkara tidak pernah hadir sepanjang proses persidangan dilaksanakan. Jadi, bila anda menemukan kalimat dalam diktum putusan, atau anda dengar oembacaan putusan yang dibacakanoleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan yang berbunyi “Mengabulkan gugatan Penggugat/Pemohon seluruhnya/sebagiannya dengan verstek”, berarti suami/istri anda tidak pernah hadir di persidangan, meski telah dipanggil secara resmi dan patut.  Talak satu Raj’i Jika anda adalah seorang suami yang mengajukan perkara cerai di Pengadilan Agama, maka anda dapat menemukan kalimat tuntutan yang berbunyi “menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon (Nama anda) kepada Termohon (Nama Istri Anda)” pada surat permohonan cerai talak yang anda sodorkan di pengadilan. Yang dimaksud “satu” dalam kalimat tersebut, adalah perceraian yang terjadi untuk pertama kalinya dengan istri anda. Jika ternyata sebelumnya anda telah bercerai dengan istri anda, kemudian rujuk, lalu anda mengajukan perceraian yang kedua kalinya, maka kalimat yang sebelumnya “talak satu raj’i” tersebut berubah menjadi “talak dua raj’i”.  Adapun kata “raj’i” adalah kata untuk menunjukkan bahwa anda dapat rujuk/kembali dengan istri anda walau tanpa dengan akad nikah yang baru dengan 3 syarat berikut ini, pertama; istri anda masih dalam masa iddah. Kedua; jumlah istri anda tidak melebihi dari 4 orang, Ketiga; talak itu belum melebihi dua kali, atau belum dijatuhkan untuk ketiga kalinya. Firman Allah swt dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 229 menjelaskan;  ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ  Terjemahnya;  Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.  Adapun jika setelah dua kali rujuk ternyata sang suami kembali ingin bercerai yang ketiga kalinya, maka pada saat itulah talak ketiganya dijatuhkan oleh Majelis Hakim di persidangan dengan amar yang berbunyi  “Menjatuhkan talak bain kubra Pemohon (nama suami) terhadap Termohon (nama istri)”. Yang artinya, talak sang suami telah dijatuhkan oleh pengadilan untuk yang ketiga kalinya, dengan ini tidak ada lagi peluang bagi keduanya untuk rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi, kecuali bila sang istri yang telah ditalak tiga tadi telah menikah dengan seorang lelaki lain dan ba’da dukhul kemudian bercerai, setelah masa iddahnya habis kembali menikah dengan suami pertamanya. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi;  فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ  Terjemahnya;  Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.  Sekiranya, penjelasan singkat ini dapat mencerahkan salah satu mantan suami yang pernah berperkara di Pengadilan Agama Serui yang ternyata keheranan dan bertanya-tanya setelah mendengar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis di persidangan “Menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon kepada Termohon”. Setelah putusan tersebut dibacakan, Pemohon kemudian bingung seraya bertanya;  “Kok bukan talak 3 sekalian ya, pak? saya kan tidak mau rujuk lagi dengan istri saya” Tanya sang Pemohon kebingungan.  Talak Satu Bain Sughra Jika anda adalah seorang istri yang hendak mengajukan perceraian di pengadilan agama, maka anda dapat menemukan dalam surat gugatan atau mendengar Majelis Hakim yang membacakan putusan yang berbunyi “menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (nama suami anda) kepada Penggugat (nama anda)”. Sama dengan penjelasan sebelumnya pada talak satu raj’i di atas, bahwa yang dimaksud “satu” dalam kalimat tersebut, adalah perceraian anda yang terjadi untuk pertama kalinya dengan suami anda. Jika ternyata sebelumnya anda telah bercerai dengan suami anda, kemudian anda sepakat rujuk, lalu terjadi konflik (lagi) dan anda mengajukan gugatan perceraian yang kedua kalinya, maka kalimat yang sebelumnya “talak satu bain sughra” tersebut berubah menjadi “talak dua bain sughra”.  Perbedaan yang mencolok antara antara talak satu bain sughra dengan talak satu raj’i selain dari pihak siapa yang mengajukan, adalah jika talak satu raj’i dapat rujuk kepada istri selama istri masih berada dalam masa iddah meskipun tanpa akad nikah yang baru, tetapi talak satu bain sughra ini, meskipun sang istri masih dalam masa iddah, bila sang suami ingin rujuk maka harus dinikahkan lagi dengan akad yang baru. Hal ini dipertegas dalam Pasal 119 KHI yang berbunyi; Pasal 119; talak Ba`in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.  Bagi pasangan yang hendak rujuk atau kembali menjadi pasangan suami istri yang sah setelah adanya perceraian, dapat memedomani isi Pasal 167 KHI yang berbunyi sebagai berikut;  Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi  syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk. Berkekuatan Hukum Tetap Istilah “Berkekuatan Hukum Tetap” atau yang disebut sebagai  inkracht sering disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim di persidangan untuk menjelaskan kepada para pihak berperkara, bahwa ketika putusan telah dibacakan dan dihadiri oleh para pihak berperkara di persidangan, maka dibutuhkan waktu sebanyak 14 hari setelah putusan itu dibacakan agar putusan dapat berstatus berkekuatan hukum tetap, dengan syarat sepanjang lawan anda tidak melakukan upaya hukum apapun seperti banding atau verzet,maka dengan ini putusan dapat dikatakan “Berkeuatan Hukum tetap” dan Akta Cerai dapat diterbitkan oleh pihak pengadilan.   Adapun jika pada persidangan ternyata salah satu pasangan/lawan tidak hadir, maka yang dihitung adalah 14 hari setelah putusan itu disampaikan kepada pihak lawan, baik lawan anda berada dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui (Kabupaten Kepualauan Yapen dan Kabupaten Waropen), maupun yang berada di luar wilayah yursdiksi tersebut, seperti pulau Jawa, Sulawesi, dan seterusnya. Apabila putusan tersebut setelah disampaikan kepada Tergugat/Termohon telah melewati 14 hari dan tidak ada upaya hukum, maka Akta Cerai Penggugat atau Termohon, telah dapat diambil pada petugas yang bersangkutan di Ruang PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu).    Untuk Akta Cerai Pemohon, baru dapat diserahkan oleh pihak pengadilan ketika Pemohon telah mengucapkan “Ikrar Talak” di muka persidangan, dan kewajiban yang dibebankan kepada Pemohon sebagaimana yang termuat dalam diktum putusan telah dilunasi/diselesaikan.    IKRAR TALAK Ikrar talak hanya terdapat pada perkara cerai talak yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap,yang ditujukan kepada Pemohon yang harus mengucapkan kalimat talak di hadapan majelis hakim di muka sidang. Dalam praktiknya, maka terlebih dahulu Pemohon berdiri di hadapan Majelis Hakim, lalu mengucapkan basmalah, disusul dengan kalimat istighfar sebanyak 3x, kemudian Pemohon melafadzkan ikrar talak di hadapan Majelis Hakim yang berbunyi; Saya (nama Pemohon) pada hari ini, (hari pengucapan ikrar talak, tanggal, dan tahun disebutkan) menjatuhkan talak satu raj’i terhadap istri saya (Nama termohon).  Apabila Pemohon telah dipanggil ke muka sidang untuk mengucapkan ikara talak, maka Pemohon hanya diberi waktu dan kesempatan paling banyak selama 6 bulan untuk mengikrarkan talak di muka sidang, apabila ternyata Pemohon telah dipanggil untuk menghadap ke persidangan untuk mengucapkan ikrar talak dan Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut setelah 6 bulan lamanya, maka perkara permohonan cerai talak dinyatakan gugur dan pernikahan Pemohon dan Termohon tetap dianggap sebagai suami istri yang sah di mata negara dan agama.  Demikian, sederet istilah-istilah tertentu yang sering dijumpai dalam proses berperkara di pengadilan agama, khususnya pada perkara perceraian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi amal kebajikan, serta dapat mencerahkan bagi masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.

Jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi. Keputusan untuk rujuk atau kembali bersama harus diambil kedua belah pihak dan tidak ada paksaan. Jadi, jawaban dari pertanyaan jika istri yang menggugat cerai bolehkah rujuk lagi adalah bisa, tapi harus melakukan akad nikah baru

Beberapa hari yang lalu, dahi saya tiba-tiba mengernyit ketika saya membaca sebuah gugatan cerai talak yang berisi tuntutan pemenuhan nafkah iddah oleh sang istri kepada suami yang “hanya” berjumlah Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Bagaimana mungkin nafkah iddah selama 3 bulan itu hanya “dihargai” dengan jumlah seratus ribu rupiah? Bukankah nafkah iddah itu mencakup maskan (tempat tinggal), ith’am (makanan) dan kiswah (pakaian) yang diberikan suami kepada istri selama masa iddah?Jangankan untuk sebulan, untuk hidup sehari saja di Kota Serui dengan uang seratus ribu belum tentu cukup?

Tidak bisa dipungkiri, setelah terbitnya surat Badilag Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 tentang “Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian” tertanggal 24 Mei 2021, tidak sedikit dari masyarakat pencari keadilan menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang istilah-istilah “baru” yang terdapat dalam blanko gugatan maupun permohonan yang mereka terima dari petugas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Tidak seperti biasanya, istilah-istilah hukum seperti mut’ah, iddah, nafkah madhiyah, nafkah anak/hadhanah, menjadi asing di telinga masyarakat pencari keadilan. Selama ini, istilah yang mereka dengar pada umumnya di lembaga peradilan agama hanya seputar talak, akta cerai, persidangan, sumpah, hingga saksi-saksi.

Istilah-istilah penting tersebut akan muncul dan menjadi bagian dari substansi pokok perkara. Maka dengan ini penulis berinisiatif untuk menjelaskan tentang beberapa istilah penting yang akan ditemukan oleh para pencari keadilan, baik istilah hukum tersebut muncul ketika yang berperkara itu adalah pihak istri, maupun istilah hukum tersebut muncul ketika yang berperkara dari pihak suami, khususnya pada perkara perceraian. Tulisan ini disusun guna membantu para pihak khususnya para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Serui untuk memahami istilah-istilah tertentu yang digunakan atau yang sering dijumpai dalam praktik di lapangan khususnya yang berkaitan dengan perkara perceraian.

Penulis berusaha menyusun artikel ini dengan menghindari penggunaan bahasa asing. Sehingga bahasa dan kalimat dapat dicerna dengan mudah, dipahami dengan baik oleh para pihak berperkara. Adapun jika terdapat kata yang sekiranya dapat menyulitkan para pihak atau sulit untuk dipahami, maka penulis tidak lupa untuk menambahkan catatan kaki atau penjelasan lebih lanjut yang lebih sederhana lagi agar mudah dicerna dengan baik oleh masyarakat pencari keadilan. Istilah-istilah yang penulis paparkan tidak berdasarkan abjad, melainkan akan dijelaskan dan diurut secara kronologis sebagaimana alur pendaftaran dan penyelesaian perkara perceraian. Mulai dari awal pendaftaran hingga putusan dianggap berkekuatan hukum tetap.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengetengahkan sebuah pepatah Arab yang berbunyi: من عرف لغة قوم سلم من مكرمهم “Barangsiapa menguasai bahasa suatu kaum, maka ia selamat dari tipu daya mereka.” Dengan mengetahui makna atau maksud istilah-istilah hukum tersebut, diharapkan pada jalannya proses berperkara, mulai dari pendaftaran hingga status putusan berkekuatan hukum tetap, tidak ada lagi kekeliruan atau kekaburan makna, yang seringkali membuat masyarakat pencari keadilan menjawab/mengisi secara “ngasal/ngawur”.

Tak jarang pula, Petugas Informasi dan Pengaduan yang diposisikan di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) kewalahan dalam menyampaikan informasi dan penjelasan soal istilah hukum tersebut. Hal ini juga tidak lepas dari adanya faktor sosiologis, yaitu banyaknya pihak berperkara di Pengadilan Agama Serui yang memiliki pendidikan di bawah rata-rata, sehingga komunikasi menjadi terkendala dan membutuhkan waktu yang lebih lapang. Akibatnya, efisiensi waktu menjadi terkikis hanya karena menjelaskan istilah-istilah hukum yang baru mereka jumpai. Begitu pula dengan peran Majelis Hakim di persidangan, guna memberi dan melengkapi pemahaman istilah-istilah tersebut kepada para pihak berperkara, tak jarang waktu persidangan menjadi semakin lama, dan memakan waktu lebih banyak dari biasanya.

Maka dari itu, untuk meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan untuk menghemat waktu, maka istilah-istilah hukum yang sekiranya dijumpai oleh para masyarakat pencari keadilan, harus diberikan pemahaman terlebih dahulu sebelum mereka mengajukan perkaranya. Demikian, perkara perceraian dapat terselenggara secara maksimal serta lebih berbobot. Untuk melengkapi dan lebih memaksimalkan bobot tulisan ini, maka berikut penulis jelaskan beberapa istilah-istilah penting yang sering dijumpai oleh para pencari keadilan, khususnya dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Serui.

  1. Perkara

Apa yang dimaksud dengan perkara? Selama persengketaan rumah tangga belum diserahkan ke pengadilan, maka sepanjang itu pula sengketa tersebut tetaplah disebut sebagai sengketa, belum menjadi perkara. Setelah sengketa tersebut dituangkan dalam surat gugatan, dan para pihak membayar panjar biaya perkara, , barulah sengketa, prahara, perselisihan, atau apapun yang semacamnya itu, menjelma menjadi perkara. Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perceraian, salah satu pasangan suami istri harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Apabila salah satu pihak mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan dalam rumah tangga menjelma menjadi “perkara” di sidang pengadilan. Selama sengketa tidak diperkarakan, maka pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa, karena pengadilan dilarang mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan pasal 55 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Menurut pasal tersebut tiap pemeriksaan perkara di pengadilan, dimulai sesudah diajukan suatu “permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasar permohonan atau gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri persidangan di pengadilan. 

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 185.

Tak heran, jika masyarakat pencari keadilan ditanya oleh petugas pengadilan dengan kalimat tanya “Nomor perkaranya berapa Bu/Pak?” bukan mengatakan “Nomor sengketnya berapa, Bu/Pak?”. Jadi, tolok ukur dijadikannya sengketa itu menjadi perkara adalah saat sengketa tersebut didftarkan di pengadilan dan panjar biaya perkara  telah dilunasi oleh para pihak. Sepanjang persengketaan itu belum didaftarkan di pengadilan dan panjar biaya perkaranya belum dilunasi, maka sepanjang itu pula persengketaan tersebut belum layak disebut sebagai perkara.

  1. Relaas

Jika anda ditanya oleh Majelis Hakim dalam persidangan tentang Relaas, maka yang dimaksud adalah surat panggilan persidangan. Surat panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.  Yang dimaksud dengan “resmi” pada pengertian tersebut adalah relaas yang disampaikan oleh seorang Pejabat tertentu yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan melalui Panitera untuk menyampaikannya kepada para pihak, dalam hal ini adalah Jurusita. Jadi, jika anda menerima relaas tapi tidak disampaikan oleh Jurusita Pengadilan Agama Serui, maka relaas yang anda terima dinyatakan tidak resmi, dan anda berhak untuk menolak relaas tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan “patut” adalah relaas yang disampaikan kepada pihak berperkara sebagaimana alamat yang tertera dalam surat gugatan/permohonan, dan dilakukan pada hari-hari kerja sebelum jam 6 sore waktu setempat, serta disampaikan paling lambat 3 hari kerja sebelum persidangan dilaksanakan. Jadi, jika persidangan dilaksanakan hari senin, dan ternyata relaas yang anda terima ternyata adalah di hari minggu jam 7 malam, meskipun disampaikan oleh Jurusita, maka relaas tersebut dianggap tidak patut, dan anda berhak untuk menolak atau menyampaikan secara langsung di hadapan majelis hakim pada persidangan. Dalam memulai persidangan, tentu Majelis Hakim terlebih dahulu memeriksa relaas, apakah telah telah disampaikan dengan resmi dan patut oleh.

  1.  M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-12 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 213.
  2.  Pasal 1 Rv (Reglement op de Rechtsvordering); Tiap-tiap proses perkara perdata sepanjang tidak dikecualikan secara khusus, dimulai dengan suatu pemberitahuan gugatan yang dilakukan oleh seorang Jurusita yang mempunyai wewenang di tempat pemberitahuan itu, wajib menyampaikan turunan surat pemberitahuan itu kepada orang yang digugat atau menyampaikannya di tempat tinggal orang yang digugat itu. Turunan itu berlaku bagi orang yang menerimanya sebagai surat gugatan asli.
  3.  Jurusita pada Pengadilan Agama Serui saat ini hanya berjumlah dua orang, yakni Sumitro Wally, dan Harmia, A.Md.

Jurusita atau tidak. Jika para pihak menghadiri persidangan tanpa didahului dengan panggilan Relaas, maka perkara dinyatakan batal demi hukum. Atau jika didahului dengan relaas tetapi tidak memenuhi ketentuan resmi dan patut, maka Jurusita dapat dibebankan untuk mengganti biaya perkara pada relaas yang bersangkutan sebagai konsekuensi atas kesalahan atau ketidakprofesionalitasnya. 

Kini, dengan  sistem beracara di pengadilan telah mengalami akselerasi perubahan yang signifikan dan lebih modern, sehingga panggilan persidangan kepada para pihak pun dilakukan secara elektronik, atau yang biasa disebut secara e-court. Praktiknya, panggilan pertama dilakukan secara elektronik (via email) kepada pihak Penggugat/Pemohon, sedangkan bagi Tergugat/Termohon dilakukan secara manual, atau melalui Jurusita dari Pengadilan Agama Serui, sepanjang alamat yang tertera pada surat gugatan masih dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui.  Jika pihak Tergugat atau Termohon berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui, maka pihak Pengadilan Agama Serui akan mengirimkan surat bantuan delegasi kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi domisili Tergugat/Termohon untuk menyampaikan relaas yang dilaksanakan oleh Jurusita.

Selanjutnya, jika ternyata pihak Tergugat/Termohon pada agenda sidang pertama menyepakati persidangan berikutnya dilaksanakan secara elektronik, barulah kemudian relaas disampaikan kepada Tergugat/Termohon dilakukan secara elektronik, atau via email. 

  1.  Lihat pasal 21 Rv (Reglement op de Rechtsvordering); Jika suatu surat panggilan dinyatakan batal karena jurusita te;ah melakukan sesuatu yang menyebabkan batalnya surat penggilan itu, maka ia dapat dihukum untukmengganti biaya panggilan itu danbiaya acara yang batal, demikian pula untuk mengganti segala kerugian dan bunga pihak yang dirugikan dengan memperhatikan keadaaan; semua itu tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam pasal 60 (KUHPerd.1243, 1365, Rv, 8,20, 93, 98)
  2. Wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui meliputi dua Kabupaten, yakni Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Waropen.
  3. Perma Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik  pada Pasal 15 angka (1) berbunyi; Panggilan/pemberitahuan secara elektronik disampaikan kepada: a. Penggugat yang melakukan pendaftaran secara elektronik; dan b.  Tergugat atau pihak lain yang telah menyatakan persetujuannya untuk dipanggil secara elektronik.

  1. Para Pihak Berperkara

Ada perbedaan penyebutan antara yang mengajukan perkara perceraian dari pihak suami, dengan yang mengajukan perkara perceraian dari pihak isteri. Orang atau subjek hukum yang mengajukan perkara perceraian di pengadilan disebut sebagai para pihak atau pihak berperkara. Dalam hal perkara perceraian, jika yang mengajukan perceraian adalah pihak suami, maka sang suami selanjutnya disebutnya sebagai pihak “Pemohon”, sedangkan sang istri disebut sebagai “Termohon”. Sebaliknya, bila yang mengajukan perkara perceraian adalah dari pihak Istri, maka sang istri disebut sebagai “Penggugat”, sedangkan suami disebut sebagai pihak “Tergugat”. Kadang kala, subjek hukum yang berperkara di lembaga peradilan, secara umum disebut sebagai para pencari keadilan, atau biasa juga disebut sebagai para pihak berperkara, atau lebih singkat lagi, para pihak.

  • Cerai Gugat dan Cerai Talak

Selain subjek hukum yang mengalami perbedaan yang signifikan antara yang mengajukan dari pihak istri dengan yang mengajukan dari pihak suami, maka jenis perkara perceraian yang diajukan pun mengalami perbedaan penyebutan. Perkara perceraian, jika perceraian diajukan oleh pihak istri (Penggugat) maka perkara itu disebutnya sebagai perkara “Cerai Gugat” atau yang disingkat CG.  Sedangkan jika ternyata perkara perceraian itu diajukan oleh pihak Suami (Pemohon), maka perkara demikian disebut sebagai permohonan “Cerai Talak” atau yang biasa disingkat menjadi CT. Jadi, bagi istri yang berstatus sebagai Penggugat, maka surat yang diajukan disebut dengan surat gugatan cerai talak, sebaliknya sang suami yang menyandang status sebagai Pemohon, maka surat yang diajukan disebut sebagai surat permohonan cerai talak.

  • Mediasi

Sebagaimana Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, jika anda mengajukan perkara cerai di pengadilan, dan pasangan anda hadir pada sidang pertama, maka dapat dipastikan anda melewati mediasi terlebih dahulu sebelum melangkah ke pemeriksaan pokok perkara. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.

Perlu adanya kesamaan persepsi mengenai pengertian perdamaian dan mediasi. Perdamaian adalah usaha penyelesaian sengketa melalui hakim, sedang mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara, yang dibantu oleh mediator yang berkedudukan sebagai pihak ketiga yang netral yang tidak memihak atau cenderung kepada salah satu pihak berperkara. Mediator dalam hal ini berfungsi sebagai pembantu atau penolong (helper) dalam mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak. 

Jadi, mediasi dapat dikatakan sebagai perundingan antara para pihak berperkara yang ditengahi oleh seorang Mediator untuk mencapai perdamaian atau kesepakatan-kesepakatan tertentu.

  • Iddah

Iddah adalah masa tunggu yang harus dilalui oleh sang istri untuk menahan diri agar tidak menerima pinangan orang lain atau tidak menikah dengan orang lain setelah terjadinya perceraian, atau setelah wafatnya sang suami. Iddah menurut Imam Syafi’i adalah sebuah masa atau waktu bagi perempuan untuk menahan diri/menunggu untuk mengetahui bebas atau bersihnya rahimnya ia dari mantan suaminya, atau masa yang digunakan oleh istri yang ditalak untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah swt karena kesedihan yang dirundungnya. Dalam Pasal 151 KHI disebutkan bahwa; bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 153 KHI sebagai berikut;

  1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
  2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
  3. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al- dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
  4. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
  5. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
  6. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  7. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
  8. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
  9. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
  10. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154

  • Apabila isteri bertalak raj`’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Jadi, dapat dipahami dalam beberapa poin pasal di atas bahwa masa tunggu atau masa iddah itu bermacam-macam. Jika para pihak hendak mengisi kolom nafkah iddah dalam format yang telah disediakan oleh petugas kami, maka seyogyanya yang diisi adalah jumlah nafkah iddah yang meliputi biaya makan, biaya pakaian, hingga biaya sewa/kontrak tempat tinggal yang diperuntukkan selama masa iddah itu; 90 hari ke depan bila pasangan telah berhubungan badan/punya anak, atau hingga lahirnya sang anak yang dikandung jika ternyata sang istri diceraikan dalam keadaan hamil.

Setidak-tidaknya terdapat 3 poin penting dalam pemenuhan nafkah iddah ini;pertama biaya makan untuk sehari di Serui berapa selama masa iddah, atau berapa biaya makan sehari di Waropen jika Penggugat berdomisili di Waropen. Kedua, biaya pakaian istri dalam masa iddah berapa? Ketiga, biaya sewa rumah/indekos di Serui (tempat kediaman sang istri) selama masa iddah berapa, atau jika ternyata Penggugat berdomisili di Waropen, maka yang dihitung adalah berapa sewa indekos di Waropen.

Total dari ketiga poin tersebut merupakan nafkah iddah yang dituangkan oleh sang istri melalui surat gugatan atau dapat dituntut secara lisan di hadapan majelis hakim di persidangan. Nafkah iddah inilah yang harus dibayarkan oleh sang suami sebelum Akta Cerai yang tertahan miliknya dapat diterima. Maka sangat tidak wajar, jika kemudian nafkah iddah hanya diisi dengan angka 100 ribu rupiah saja, jumlah tersebut tidak sesuai dengan substansi pokok iddah sebagaimana yang dimaksud oleh syariat.

  • Mut’ah

Mut’ah dapat diistilahkan sebagai “kenang-kenangan” yang diserahkan oleh suami saat menceraikan istrinya. Dalam al-Qur’an ayat 236 surat al-Baqarah, Allah menjelaskan tentang mut’ah yang berbunyi;

وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

Terjemahnya;

Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.

Tidak ada patokan yang terperinci tentang besaran atau jumlah mut’ah yang diberikan oleh sang suami kepada sang istri yang telah diceraikannya. Begitu pula bila seandainya mut’ah yang akan diberikan ternyata dalam bentuk barang seperti emas, kendaraan, bangunan, atau yang semacamnya. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa mut’ah itu dibebankan “bagi yang mampu menurut kemampuannya”, tetapi kemudian penggalan ayat tersebut dilengkapi dengan kata bil ma’ru>f,  atau dengan cara yang layak/patut. Artinya, hendaknya pemberian mut’ah itu disesuaikan dengan kemampuan, tanpa harus menciderai rasa patut atau kelayakan. Kemampuan dan kepatutan adalah dua indikator penakar yang tidak bisa dipisahkan.

Sebuah misal, jika pernikahan suami isteri telah berumur 15 tahun, lalu keduanya bercerai dan ternyata sang suami diketahui bekerja sebagai pelaut yang berpenghasilan dengan rata-rata 10 juta perbulan, maka sangat tidak layak jika mut’ah nya “hanya” sejumlah 100 ribu rupiah saja. Bagaimana mungkin pernikahan yang dibina selama 15 tahun kemudian “dihargai” dengan angka 100 ribu yang didukung dengan gaji 10 juta perbulan? Demikian sama halnya setiap tahun pernikahan “dihargai” dengan angka yang kurang dari 7 ribu rupiah setiap tahunnya. Sungguh tidak layak, atau jauh dari kepatutan. Tapi sekali lagi, di sini penulis tidak ingin membuat sebuah “patron” dalam menentukan jumlah besaran mut’ah, karena bagaimana pun juga, besaran mut’ah itu bukan hanya bergantung pada kekuatan finansial sang suami, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh nusyuz (membangkang) atau tidaknya sang istri selama perkawinan.

  • Nafkah Madhiyah (Lampau)

Jika anda menemukan kolom kosong dalam format surat gugatan cerai talak yang harus diisi dengan jumlah nafkah madhiyah, maka yang dimaksud adalah seberapa lama suami anda tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Kepala Rumah Tangga dalam hal memberi nafkah. Jika ternyata suami anda tidak menafkahi anda selama 10 bulan, maka yang anda hitung adalah nafkah yang seharusnya anda terima dari suami anda selama 10 bulan itu. Sebuah misal, jika nafkah anda selama hidup di Serui dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah, dan anda tidak dinafkahi selama 10 bulan, maka anda dapat menuntut sang suami untuk membayar nafkah terutang sebesar 20 juta rupiah.

Jika nafkah hidup anda di Waropen sebesar 4 juta rupiah perbulan, dan anda ditinggal pergi oleh suami anda tanpa adanya nafkah selama 10 bulan itu, maka anda dapat mengisi kolom tersebut untuk dijadikan sebagai tuntutan nafkah madhiyah kepada Tergugat sebesar 40 juta rupiah, dan seterusnya! Nafkah inilah yang dimaksud dengan madhiyah, atau lampau. Nafkah lampau tersebut dapat dituntut oleh sang istri di muka persidangan, yang jumlahnya dapat dituangkan  terlebih dahulu dalam surat gugatan cerai talak, atau berupa lisan di muka persidangan.

  • HADHANAH

Hadhanah dapat diartikan sebagai pengasuhan anak. Dalam format gugatan yang ditetapkan oleh Badilag, dalam kaitannya dengan hadhanah, maka terdapat dua tuntutan, pertama; pihak berperkara meminta kepada Majelis Hakim untuk menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak hadhanahKedua; meminta Majelis Hakim agar Tergugat memenuhi nafkah terkait pengasuhan anak. Anak yang dapat dimintakan Hak Asuh terhadapnya adalah anak yang dibawah umur 21 tahun atau belum menikah.  Sedangkan pemenuhan terhadap nafkah anak adalah biaya hidup sang anak yang dimintakan hak asuh anak.

Jadi, jika penggugat memiliki dua anak yang masih di bawah umur, dan kedua-duanya dimintakan nafkah anak, maka yang dituntut oleh sang Penggugat adalah berapa biaya hidup sang anak yang harus dibayarkan oleh Tergugat hingga anak tersebut menikah atau mencapai usia 21 tahun. Andai kata kedua anak tersebut memerlukan biaya sebesar 3 juta rupiah dalam sebulan di Kota Serui, maka anda dapat menuntut sang suami untuk membayarkan nafkah anak sejumlah 3 juta rupiah perbulan, dengan kenaikan 10 hingga 20% pertahunnya, hingga kedua anak tersebut menikah atau berusia 21 tahun. Biaya tersebut boleh anda tuntut di luar biaya pendidikan dan kesehatan, atau dapat pula biaya tersebut sudah termasuk biaya pendidikan dan kesehatan.

  • Verstek

Istilah verstek sering dijumpai dalam putusan manakala salah satu pihak berperkara tidak pernah hadir sepanjang proses persidangan dilaksanakan. Jadi, bila anda menemukan kalimat dalam diktum putusan, atau anda dengar oembacaan putusan yang dibacakanoleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan yang berbunyi “Mengabulkan gugatan Penggugat/Pemohon seluruhnya/sebagiannya dengan verstek”, berarti suami/istri anda tidak pernah hadir di persidangan, meski telah dipanggil secara resmi dan patut.

  1. Talak satu Raj’i

Jika anda adalah seorang suami yang mengajukan perkara cerai di Pengadilan Agama, maka anda dapat menemukan kalimat tuntutan yang berbunyi “menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon (Nama anda) kepada Termohon (Nama Istri Anda)” pada surat permohonan cerai talak yang anda sodorkan di pengadilan. Yang dimaksud “satu” dalam kalimat tersebut, adalah perceraian yang terjadi untuk pertama kalinya dengan istri anda. Jika ternyata sebelumnya anda telah bercerai dengan istri anda, kemudian rujuk, lalu anda mengajukan perceraian yang kedua kalinya, maka kalimat yang sebelumnya “talak satu raj’i” tersebut berubah menjadi “talak dua raj’i”.

Adapun kata “raj’i” adalah kata untuk menunjukkan bahwa anda dapat rujuk/kembali dengan istri anda walau tanpa dengan akad nikah yang baru dengan 3 syarat berikut ini, pertama; istri anda masih dalam masa iddah. Kedua; jumlah istri anda tidak melebihi dari 4 orang, Ketiga; talak itu belum melebihi dua kali, atau belum dijatuhkan untuk ketiga kalinya. Firman Allah swt dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 229 menjelaskan;

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ

Terjemahnya;

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Adapun jika setelah dua kali rujuk ternyata sang suami kembali ingin bercerai yang ketiga kalinya, maka pada saat itulah talak ketiganya dijatuhkan oleh Majelis Hakim di persidangan dengan amar yang berbunyi  “Menjatuhkan talak bain kubra Pemohon (nama suami) terhadap Termohon (nama istri)”. Yang artinya, talak sang suami telah dijatuhkan oleh pengadilan untuk yang ketiga kalinya, dengan ini tidak ada lagi peluang bagi keduanya untuk rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi, kecuali bila sang istri yang telah ditalak tiga tadi telah menikah dengan seorang lelaki lain dan ba’da dukhul kemudian bercerai, setelah masa iddahnya habis kembali menikah dengan suami pertamanya. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi;

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Terjemahnya;

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.

Sekiranya, penjelasan singkat ini dapat mencerahkan salah satu mantan suami yang pernah berperkara di Pengadilan Agama Serui yang ternyata keheranan dan bertanya-tanya setelah mendengar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis di persidangan “Menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon kepada Termohon”. Setelah putusan tersebut dibacakan, Pemohon kemudian bingung seraya bertanya;  “Kok bukan talak 3 sekalian ya, pak? saya kan tidak mau rujuk lagi dengan istri saya” Tanya sang Pemohon kebingungan.

  • Talak Satu Bain Sughra

Jika anda adalah seorang istri yang hendak mengajukan perceraian di pengadilan agama, maka anda dapat menemukan dalam surat gugatan atau mendengar Majelis Hakim yang membacakan putusan yang berbunyi “menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (nama suami anda) kepada Penggugat (nama anda)”. Sama dengan penjelasan sebelumnya pada talak satu raj’i di atas, bahwa yang dimaksud “satu” dalam kalimat tersebut, adalah perceraian anda yang terjadi untuk pertama kalinya dengan suami anda. Jika ternyata sebelumnya anda telah bercerai dengan suami anda, kemudian anda sepakat rujuk, lalu terjadi konflik (lagi) dan anda mengajukan gugatan perceraian yang kedua kalinya, maka kalimat yang sebelumnya “talak satu bain sughra” tersebut berubah menjadi “talak dua bain sughra”.

Perbedaan yang mencolok antara antara talak satu bain sughra dengan talak satu raj’i selain dari pihak siapa yang mengajukan, adalah jika talak satu raj’i dapat rujuk kepada istri selama istri masih berada dalam masa iddah meskipun tanpa akad nikah yang baru, tetapi talak satu bain sughra ini, meskipun sang istri masih dalam masa iddah, bila sang suami ingin rujuk maka harus dinikahkan lagi dengan akad yang baru. Hal ini dipertegas dalam Pasal 119 KHI yang berbunyi; Pasal 119; talak Ba`in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Bagi pasangan yang hendak rujuk atau kembali menjadi pasangan suami istri yang sah setelah adanya perceraian, dapat memedomani isi Pasal 167 KHI yang berbunyi sebagai berikut;

  1. Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
  2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
  3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi  syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
  4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
  5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
  6. Berkekuatan Hukum Tetap

Istilah “Berkekuatan Hukum Tetap” atau yang disebut sebagai  inkracht sering disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim di persidangan untuk menjelaskan kepada para pihak berperkara, bahwa ketika putusan telah dibacakan dan dihadiri oleh para pihak berperkara di persidangan, maka dibutuhkan waktu sebanyak 14 hari setelah putusan itu dibacakan agar putusan dapat berstatus berkekuatan hukum tetap, dengan syarat sepanjang lawan anda tidak melakukan upaya hukum apapun seperti banding atau verzet,maka dengan ini putusan dapat dikatakan “Berkeuatan Hukum tetap” dan Akta Cerai dapat diterbitkan oleh pihak pengadilan.

 Adapun jika pada persidangan ternyata salah satu pasangan/lawan tidak hadir, maka yang dihitung adalah 14 hari setelah putusan itu disampaikan kepada pihak lawan, baik lawan anda berada dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Serui (Kabupaten Kepualauan Yapen dan Kabupaten Waropen), maupun yang berada di luar wilayah yursdiksi tersebut, seperti pulau Jawa, Sulawesi, dan seterusnya. Apabila putusan tersebut setelah disampaikan kepada Tergugat/Termohon telah melewati 14 hari dan tidak ada upaya hukum, maka Akta Cerai Penggugat atau Termohon, telah dapat diambil pada petugas yang bersangkutan di Ruang PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu).

  Untuk Akta Cerai Pemohon, baru dapat diserahkan oleh pihak pengadilan ketika Pemohon telah mengucapkan
“Ikrar Talak” di muka persidangan, dan kewajiban yang dibebankan kepada Pemohon sebagaimana yang termuat dalam diktum putusan telah dilunasi/diselesaikan.  

  • IKRAR TALAK

Ikrar talak hanya terdapat pada perkara cerai talak yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap,yang ditujukan kepada Pemohon yang harus mengucapkan kalimat talak di hadapan majelis hakim di muka sidang. Dalam praktiknya, maka terlebih dahulu Pemohon berdiri di hadapan Majelis Hakim, lalu mengucapkan basmalah, disusul dengan kalimat istighfar sebanyak 3x, kemudian Pemohon melafadzkan ikrar talak di hadapan Majelis Hakim yang berbunyi; Saya (nama Pemohon) pada hari ini, (hari pengucapan ikrar talak, tanggal, dan tahun disebutkan) menjatuhkan talak satu raj’i terhadap istri saya (Nama termohon).

Apabila Pemohon telah dipanggil ke muka sidang untuk mengucapkan ikara talak, maka Pemohon hanya diberi waktu dan kesempatan paling banyak selama 6 bulan untuk mengikrarkan talak di muka sidang, apabila ternyata Pemohon telah dipanggil untuk menghadap ke persidangan untuk mengucapkan ikrar talak dan Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut setelah 6 bulan lamanya, maka perkara permohonan cerai talak dinyatakan gugur dan pernikahan Pemohon dan Termohon tetap dianggap sebagai suami istri yang sah di mata negara dan agama.

Demikian, sederet istilah-istilah tertentu yang sering dijumpai dalam proses berperkara di pengadilan agama, khususnya pada perkara perceraian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi amal kebajikan, serta dapat mencerahkan bagi masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.