Kita semua sepakat, keharmonisan keluarga sangat dipengaruhi kebahagiaan hati masing-masing anggota keluarga. Umumnya, sebelum terikat tali pernikahan, orang membayangkan kebahagiaan hanya sebatas meluapkan nafsu biologis, setelah terjalin cinta. Ah … yang penting hidup bersama, urusan makan, dipikir nantilah. Yang penting, sudah ada penghasilan … syukur-syukur, disokong mertua.
Namun, biasanya, ini tidak berlangsung lama. Semangat ini akan mulai surut, sejalan dengan banyak persoalan yang muncul. Mari kita rehat sejenak, mencoba merenungkan beberapa nasihat Islam, dalam membina keluarga yang bahagia dan membahagiakan.
Jadikan “cerai” solusi paling terakhir
Mungkin, ini kata pamungkas yang seharusnya ditaruh di akhir tulisan ini. Namun, tidak ada salahnya bila ditaruh di depan. Biar yang keburu menutup halaman ini tetap bisa menangkap salah satu pesan sentral dalam bahasan ini.
Ya, hati-hati dengan kata “cerai”, “pisah”, “talak”, “minta cerai”, dan semacamnya. Jangan bermudah-mudah melontarkan kata-kata ini setiap kali kepala Anda memanas karena masalah rumah tangga. Tahan lidah baik-baik, meskipun perasaan Anda telah berteriak dengan kencang, “Kita ceraa … iiiii ….” Semoga Allah segera menurunkan tensi darah Anda.
Barangkali, hadis berikut bisa membuat Anda sangat menyesal jika harus bercerai. Disebutkan dalam hadis sahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Nabi ‘alaihish shalatu was salam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ – قَالَ – فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya, singgasana iblis berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka, ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian, iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (H.R. Muslim, no. 2813)
Pada dasarnya, talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Betapa banyak anak yang terlantar, tidak merasakan pendidikan yang layak, gara-gara broken home. Bisa jadi, dia akan disiapkan iblis untuk menjadi bala tentaranya. Bahkan, salah satu dampak negatif sihir yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (Q.S. Al-Baqarah:102)
Secara khusus, bagi pihak istri, jangan bermudah-mudah minta cerai gara-gara percikan api kecil yang meletup di tengah-tengah keluarga Anda. Selama itu masih bisa dipadamkan, berupayalah agar jangan dinyalakan. Renungkan hadis berikut; semoga Anda akan sedikit merinding untuk sampai hati mengajukan gugat cerai kepada suami Anda.
Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana pun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau surga.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الـمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الـمُنَافِقَاتُ
“Wanita yang suka meminta cerai (tanpa alasan yang benar), merekalah para wanita munafik.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Akan tetapi, tunggu, jangan salah paham dulu. Hadis di atas bukanlah melegalkan sikap suami untuk tidak memenuhi hak istrinya. Bagi Anda, para istri yang tidak mendapat hak nafkah dari suami, Anda berhak menuntut suami untuk menunaikan kewajibannya. Namun, sekali lagi, itu belum tepat saatnya Anda minta cerai.
Menikah, penyebab diperolehnya penghasilan
Percaya atau tidak percaya, Anda saya paksa untuk percaya. Bukan karena saya diktator, tetapi karena kita harus tunduk pada dalil. Disebutkan dalam hadis sahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ
“Ada tiga orang; telah menjadi kewajiban Allah untuk menolongnya: Orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya, dan budak yang ingin menebus dirinya.” (H.R. Nasa’i dan Turmudzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Barang ali, janji dalam hadis di atas belum kunjung turun di keluarga Anda, tatkala himpitan ekonomi sedang melanda. Namun, Anda tidak boleh keburu berontak. Anda harus yakin, Anda harus berbaik sangka kepada Allah, Anda butuh sabar dan menahan gejolak nafsu. Pasang kuda-kuda tawakal kepada Allah. Insya Allah, Anda akan segera “kejugrukan gunung kembang” (mendapat jalan keluar).
Jadilah keluarga yang kompak
Mungkin, prinsip “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” perlu diterapkan dalam keluarga kita. Samakah visi dan satukan langkah untuk mewujudkan kebahagiaan Anda dan anak Anda.
Kalau pemikiran dan tenaga dua orang yang diikat dengan cinta disatukan, kelihatannya sulit dibayangkan jika keduanya sampai kerepotan mencari solusi terbaik. Namun, sekali lagi, butuh kekompakan.
Sebaliknya, jangan sampai Anda menjadi musuh bagi pasangan Anda. Terkadang, salah satu pihak lebih memerhatikan kepentingan dirinya dan kepentingan kerabatnya, dibandingkan mengutamakan keluarga. “Yang penting, saya senang, orang tua saya juga senang, meskipun harus merugikan pihak suami atau istri.” Disadari maupun tidak, bisa jadi, prinsip semacam ini akan semakin memperkeruh masalah Anda.
Bukan dalam rangka menuduh pihak yang mana, tetapi umumnya, kesadaran pihak wanita terkadang harus lebih banyak dipupuk. Persoalannya, kesempitan ekonomi identik dengan gugat cerai dari pihak istri. Karena itu, jauh-jauh hari, Allah ingatkan agar para suami senantiasa waspada akan kondisi istrinya. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang mukmin, sesungguhnya, di antara istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan, tidak memarahi, serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghabun:14)
Ayat ini bukan ngajari Anda untuk su’uzhan pada keluarga Anda, karena tidak semua istri memiliki sifat demikian. Ini bisa disimpulkan dari kata “di antara istri ….” Untuk itu, jangan keburu pasang kuda-kuda marah dan marah. Perhatikan lanjutan ayat, “… Jika kamu memaafkan, tidak memarahi, serta mengampuni (mereka) ….” Ini yang harusnya Anda ingat-ingat.
Balasannya, “… Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ….” Artinya, dengan kasih sayang Allah yang sangat luas, Allah akan memberikan jalan terbaik bagi Anda. Bisa jadi, Allah akan mengubah tabiat istri Anda atau Allah akan melapangkan rezeki Anda.
Suami berkewajiban memberi nafkah semampunya
Anda jangan keburu protes kepada suami ketika posisi Anda dan keluarga “kelihatannya belum semapan tetangga”; uang belanja masih kurang, belum sempat beli baju baru, enggak bisa jalan-jalan ke shopping center, enggak ada rekreasi, belum dapat perawatan kulit, belum ngasih kiriman ke orang tua, dan seabrek keinginan Anda untuk menuju bahagia. Sayangnya, gaji suami Anda sebulan tidak cukup. Kalau dipakai untuk itu semua, paling-paling, cuma seminggu sudah habis.
Jangan buru-buru, sikapi itu dengan hati dingin dan pasrah kepada yang Kuasa. Suami Anda tidak dibebani tanggung jawab yang lebih dari batas kemampuannya. Semoga Allah akan segera memberikan kemudahan bagi keluarga Anda. Allah berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuan yang Allah berikan kepadanya. Allah, kelak, akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S. Ath-Thalaq:7)
Sebenarnya, permasalahannya bisa kita paksa untuk disederhanakan. Ketika kita menyadari bahwa penghasilan Suami belum cukup untuk mewujudkan konsep “hidup bahagia” yang ideal menurut Anda, segera ambil tindakan skala prioritas. Tidak semua keinginan Anda bisa terpenuhi dengan gaji Suami. Dahulukan yang paling penting, kemudian yang penting. Kebutuhan yang sekiranya bisa ditahan, mungkin belum saatnya diwujudkan sekarang. Bersabarlah, perbanyak memohon–kepada Allah–kemudahan hidup, sambil sedikit mencoba menabung untuk mewujudkan cita yang Anda harapkan.
Potret rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagai pemungkas, mari kita simak kemesraan kelurga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah himpitan ekonomi yang mereka alami. Berikut ini kesaksian sejarah dari mereka yang pernah sezaman dengan manusia paling mulia di dunia ini.
1. Aisyah radhiallahu ‘anha, istri tercinta beliau, mengatakan,
ما شبع آل محمد صلى الله عليه و سلم من خبز بر مأدوم ثلاثة أيام حتى لحق بالله
“Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu belum pernah kenyang dengan roti gandum yang berlauk selama tiga hari berturut-turut, sampai beliau diwafatkan oleh Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Al-Hasan Al-Bashri, salah satu ulama tabi’in yang sewaktu kecilnya diasuh oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menggambarkan kesederhanaan rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,
كنت أدخل بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في خلافة عثمان بن عفان فأتناول سقفها بيدي
“Aku pernah masuk ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman pemerintahan Utsman, dan aku bisa memegang atap rumah beliau dengan tanganku.” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, 1:501, Ibnu Sa’d)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللهم اجعل رزق آل محمد قوتا
“Ya Allah, jadikanlah rezeki untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (H.R. Muslim dan Turmudzi)
Yang mengagumkan, tidak ditemukan riwayat yang menyebutkan kasus perceraian beliau dengan para istri beliau, disebabkan himpitan ekonomi dan kemiskinan yang beliau alami.
Referensi : Cerai Karena Masalah Ekonomi