This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 September 2022

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.

Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu." 

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.      Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir. 

Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi. 

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.      Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.

Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru. 

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.      Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya. 

Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.

"Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi. 

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.      Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

"Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan. 

Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya...  Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf, "meminta maaf itu sulit, namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah. Tok, tok, tok... "Assalamu' alaikum..." Ucap suara perempuan muda, didepan teras. Lalu, dengan meninggalkan meja komputernya Alvin bangkit menjawab salam, seraya menghampiri tamunya itu.  Betapa kagetnya saat Alvin membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk. "Yani..." Ucapnya terperangah. "Iya, Mas. Minal Aidin ya, Maafin Yani..." Jawab perempuan itu lirih sambil mencium tangan kanan Alvin. Lalu, pria yang disamping mantan istrinya itu kemudian juga mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Bang, Minal Aidin 'Wal Faizin. Mohon saya dimaafkan..." Lanjut pria itu. "Iya, Wan. Sama-sama, saya juga minta maaf sama kamu."   Dengan tersenyum getir dan terlihat dipaksakan Alvin kemudian bersalaman dan memeluk pria itu. Saat melihat didepan pintu, ada seorang bocah berusia delapan tahun, kemudian Alvin memandanginya dengan seksama. "Ia, ia..." Tanyanya kepada Yani, mantan istrinya. "Firman, ayo salaman sama Ayah kamu" Ucap Yani kepada bocah itu. "Jadi, anak ini adalah Firman. Firman anakku..." Gumam Alvin terperangah. "Ayah..." Isak sang bocah bernama Firman sembari memeluk Alvin, ayah kandungnya.      Saat itu Alvin langsung menggendong sang buah hati. Selintas ingatannya melayang pada kejadian masa silam, sewaktu ia dengan terpaksa meninggalkan anak dan istrinya untuk mengadu nasib di negeri seberang. Sempat sukses sebentar, namun karena terlena judi dan perempuan akhirnya menyebabkan sang istri kabur meninggalkannya. Setelah hancur-hancuran, ia kembali ke tanah air. Namun hidup tak kunjung baik, bahkan terkesan lebih susah dari sebelumnya. Karena beban sudah meningkat, ia harus menafkahi istri dan anaknya yang baru lahir.   Sungsang-sumbel mencari kerja di Ibukota tidak mendapatkan hasil yang memadai, membuatnya frustasi. Akhirnya setelah mengetahui keadaanya yang terperosok begitu dalam, Alvin menyadari kesalahannya itu. Lalu dengan tekad bulat meninggalkan Jakarta untuk mengadu nasib ke negeri orang. Bertahun-tahun meninggalkan tanah air, hingga ia melupakan keadaan sang istri yang harus dinafkahi lahir batin. Tiba-tiba setelah menginjak tahun kedua di negeri orang, Alvin mendapatkan telepon dari sang istri yang mengabarkan bahwa ia akan segera menikah dengan seorang pria yang juga pernah memacarinya dahulu. Bak disambar geledek, saat itu Alvin begit kaget. Hampir saja ia emosi dan memutuskan untuk kembali ke tanah air, kalau saja tidak diingatkan oleh kawan-kawan barunya untuk lebih bersabar lagi.   Lalu setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya reda juga amarahnya. Dengan kepala yang sudah dingin, ia mulai berfikir untuk ikhlas merelakan pernikahan istrinya itu. Tetapi menjadi dilema tersendiri, karena Alvin ingin sekali menghadiri pernikahan sang istri sekaligus mengurus surat perceraian serta membawa anak satu-satunya untuk mengikutnya. Namun saat itu ia sedang memulai usaha di bidang distribusi makanan. Sayang sekali kalau perusahaan yang sudah dirintis dengan beberapa kawannya harus berantakan apabila ia pulang ke tanah air. Akhirnya, ia hanya bisa mengucapkan selamat kepada mantan istrinya via telepon. Dan meminta untuk menjaga Firman, anak semata wayang mereka, sembari berucap kalau sudah besar, anaknya itu bebas memilih tinggal dimana. Entah dengannya atau bersama mantan istrinya.  Tak terasa semua itu, kini sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Dan ia mengingat sudah enam tahun ia merasakan hari raya Idul Fitri hanya ditemani Ibu dan Adik, serta keponakannya yang juga masih kecil. Tipis kemungkinan untuk mengambil Firman, karena sang mantan istri sudah pindah ke pulau Sulawesi untuk mengikuti suaminya yang berbisnis pengolahan timah disana. Alvin sendiri sekarang menjabat sebagai manajer di perusahaan distribusi makanan yang berlokasi di Tanjung Priok. Sebenarnya dalam kesendiriannya itu, banyak relasi dan juga kawan dekat yang menawarinya untuk segera mencari pendamping yang baru.   Namun karena masih trauma atas kegagalan pernikahan dulu yang diakibatkan kesalahannya sendiri. Alvin menjadi dingin terhadap perempuan. Sikapnya sangat dingin, bahkan terhadap Sekretarisnya yang masih muda yang diam-diam juga jatuh hati kepadanya. Kini melihat tatapan mata sang buat hatinya itu, Alvin menjadi sangat sayang dan menyadari arti dari hidup ini. Sebenarnya ia sendiri berat untuk memaafkan Yani yang sudah diam-diam meninggalkan ia disaat terpuruk. Apalagi terhadap Irwan, ada perasaan jealous terhadapnya.   Namun setelah melihat Firman menjadi anak yang tumbuh sehat serta santun, lunturlah prasangka buruknya terhadap keduanya itu. Justru ia sangat berterima kasih karena mereka berdua sudah mengurusi Firman tanpa pilih kasih, dan juga mendidiknya dengan norma agama yang sangat baik. Ia mengharapkan anaknya itu bisa lebih tegar dibandingkan dirinya, dan juga nasibnya jauh lebih baik daripadanya.  "Mas, gimana tadi lebaran disini, ramai" ucap Yani memecah keheningan. "Biasa aja, kamu sendiri bagaimana sudah pergi ke BSD?" Sahutnya menyebutkan nama rumah Ibunya Yani, sekaligus mantan mertuanya yang tinggal didaerah Serpong, Tangerang . "Belum, Mas." Rencananya sih hari ini kerumah Ibu, tapi Bang Irwan sama Firman, maksa minta kesini dulu. Katanya puasa mereka belum afdol kalau belum meminta maaf dan bersalaman dengan Mas..." "Oh..." Alvin berseru. "Memangnya, Firman kuat puasa sebulan penuh" Tanya Alvin lagi.   "Alhamdullilah, untuk tahun ini Firman puasanya Full" Sebelum Yani membuka suara, Tiba-tiba Firman menyeletuk. "Iya, Yah. Kata Ayah Irwan, kalau Firman puasanya ga jebol, ntar Firman bisa ketemu Ayah. Terus katanya lagi, kalau sampai batal malu sama Ayah. Ayah kan puasanya rajin ya, Yah...?" Bagaikan diguyur air dingin, saat Alvin mendengarkan pengakuan sang bocah yang jujur itu. Ia percaya Irwan mendidik Firman sangat telaten, dan juga sangat memperhatikannya. Sirnalah kegalauan hatinya selama ini. Lalu, dengan tatapan bahagia, Alvin menghampiri Iwan.   Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.  Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf

Kemudian memeluknya seraya, berkata. "Wan, maafin saya selama ini berprasangka yang tidak-tidak terhadap kamu. Saya benar-benar sangat berhutang budi atas kebaikan yang kamu lakuakan ini. Dengan hati yang paling dalam, saya kembali mengucapkan Minal Aidin 'Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, ya..." Iwan hanya mengangguk senyum, begitu juga dengan Yani, sorot matanya memancarkan kepuasan. Puas karena di hari nan Fitri ini dapat mengakurkan kembali antara Suami dan Mantan Suaminya.  Namun terlebih sukar lagi adalah memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita dimasa lalu.

Referensi : Ketika Mantan Suami Dan Istrinya Meminta Maaf