Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Setiap muslim familiar dan mengerti maksud penggalan bacaan di atas karena sering diucapkan, baik ketika sholat, ketika mau memulai aktivitas, ketika mau memulai segala sesuatu yang disukai Allah, dan lain sebagainya. Aktifitas mengucapkan kalimat itu di awal kegiatan bukanlah komat-kamit semacam mantra ataupun ucapan tanpa makna.
Sebagai seorang yang berserah diri kepada Rabb, Allah Swt. seorang muslim meyakini bahwa mereka menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah Swt sang zat Maha Pengasih Penyayang. Imam Nawawi menyebutkan bahwa setiap perkara baik yang tidak didahului dengan ucapan basmallah maka berkurang berkahnya.
Aktivitas diawali dengan “Dengan menyebut nama Allah Swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” Merupakan bentuk pengejawantahan memadukan jiwa kepada Allah Swt. Ketika mengucap basmalah, makhluk dan Khaliq diafirmasi berada dalam dimensi ruang dan waktu yang sama, sehingga menjadi harapan aktivitas yang dilakukan mendapat berkat dan memberi manfaat yang kekal hingga ke akhirat. Sifat-sifat dan asma Allah Swt yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang merupakan oase kehidupan dunia dan akhirat.
Sebagian mufasir menyebutkan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan dua asma Allah yang diambil dari kata bahasa Arab yang memiliki konsep yang sama, yaitu “Rahm” atau “Rahmat” dengan menekankan pada sifat belas kasih Allah. Rahm sendiri adalah wadah janin yang melekat pada diri seorang ibu.
Dengan kasih sayang seorang Ibu, bayi yang ada dalam perutnya tidak perlu bersusah payah untuk makan, karena sang ibu akan berusaha dengan tulus dan penuh kasih mengupayakan supaya buah hatinya memiliki asupan gizi yang terbaik. Imaji sosok ibu adalah sosok pengasih dan penyayang pada anak-anaknya. Analogi ini menyiratkan bahwa rahmat kasih sayang Allah melebihi kasih sayang sang ibu tersebut.
Menurut Al-Qasimi, makna Ar-Rahman adalah Pemberi nikmat secara umum, sedangkan Ar-Rahim bermakna pemberi nikmat secara khusus, Ar-Rahman menunjukkan curahan cinta yang Allah berikan kepada semua makhluk di alam semesta, dan Ar-Rahim adalah belas kasih yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang beriman. Namun, menurut Asy-Sya’rawi dua lafadz ini memiliki makna dominan dalam sifat, yakni Allah Maha Pengasih di dunia dan Allah Maha Pengasih di akhirat.
Adapun jumlah kata Ar-Rahman di dalam Alquran muncul sebanyak 57 kali, dan kata Ar-Rahim berjumlah 114 kali. Keduanya dalam makna yang hampir sama tetapi memiliki konteks esensi yang beragam. Ar-Rahman secara esensi diarahkan hanya untuk Allah Swt. Sedangkan Ar-Rahim bisa dikiaskan juga diperuntukkan kepada makhluk. Hal ini didukung juga sebagaimana Rasulullah Saw menyebut “Wa kaana bil mu’minina rahimaa”, sebagai bentuk kasih seorang Rasul kepada umatnya.
Lebih dalam lagi dalam interpretasi lain, sebagaimana Ibn ‘Abbas menyebutkan bahwa Ar-Rahman mengacu pada rahmat Allah yang bersifat temporal dunia, dan adapun Ar-Rahim bersifat permanen konstan kualitas jangka panjang. Dalam tafsir Al-Baghowi Ibn Abbas mendeskripsikan Ar-Rahman dan Ar-Rahim menunjukkan kelembutan, namun salah satunya lebih lembut dari yang lainnya.
Ar-Rahim dianalogikan oleh Zaina Casaam laksana seorang bijak yang sedang tertidur tidak perlu mengungkapkan kualitas kebijaksanaannya saat mereka tidur, namun mereka tetap dianggap seorang yang bijaksana. Kesunnahan mengucap basmallah diawal kegiatan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah menurut Azzuhaili memiliki hikmah sebagai ciri sikap seorang muslim dalam memulai pekerjaan dan guna mencari pertolongan/petunjuk Allah dalam berkegiatan, dengan belas kasih-Nya sehingga mendapat rahmat. Sebuah hadits Qudsi mengingatkan kita akan pentingnya menyebar kasih sayang, “mereka yang berbelas kasih akan diberi rahmat dari orang yang penuh belas kasih. Kasihanilah orang-orand di dunia ini dan Yang Maha Esa, maka surga akan mengasihanimu”. Ar-Rahim juga menunjukkan rahmat yang luas, dan Ar-Rahim menunjukkan makna pelimpahan rahmat kepada siapa saja yang dikhendaki-Nya sebagai Sang Pemilik rahmat. Adapun rahmat kasih sayang Allah meliputi segala sesuatu (Q.S. Al-A’raf: 156).
Oleh karenanya, baik secara mazaz maupun hakikat, sudah semestinya nilai-nilai luhur dan kebaikan keluar dari dalam diri manusia dalam keseharian karena cerminan dari hasil penghayatan tentang kelembutan, kebaikan, dan rahmat Allah. Besarnya kasih sayang Allah yang dilimpahkan-Nya kepada seluruh makhluk tidak bisa diukur dan dikomparasikan dengan apapun.
Sebagai manifestasi kasih dan sayang dari Allah, segala perbuatan manusia pada dasarnya haruslah didasari pada cinta dan perdamaian. Cinta dan damai adalah esensi jalan Islam sebagai pengejawantahan dari ketundukan. Ajaran Islam dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memahamkan diri manusia agar selalu berbuat baik, belas kasih, rendah hati, lembut dan pemaaf. Dengan akal dan mata hati (basirah), maka sifat dan metamood seorang muslim adalah suasana hati yang cinta perdamaian dan cinta Kearifan (Wisdom).
Stabilitas emosi dan reflektif dari seorang muslim melahirkan jiwa sufi, yakni condong kepada Hubb, yang merupakan landasan dalam melakukan perbuatan secara indah, damai, dan santun. Dengan sikap itu, kapanpun dan dimanapun Islam selalu compatible dengan manusia di segala zaman, yakni menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai aktualisasi bentuk menyayangi manusia. Menyayangi manusia, maka Allah akan menyayangi. Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Turmudzi menyebutkan, Man laa yarhaminnaasa laa yarhamhullaah.
Menyelami makna sifat ismul ‘adham Ar-Rahman dan Ar-Rahim juga akan menunjukkan pengalaman emosi yang positif dan sikap hidup inklusif (teologi inklusivis) bagi seorang muslim, yakni adaptif terhadap perbedaan dan memiliki respon kognitif yang positif dalam interaksi sosial. Hal ini karena kasih sayang merupakan aktualisasi sosial dari saling mengenal (Q.S Al-Hujurat: 13).
Hal tersebut juga menjadi perbincangan yang menarik di kalangan para pemikir barat tentang Islam dan isu sosial dan kultur global. Di dalam buku Islam in Transition: Muslim Perspectives oleh John J. Donohue dan John L. Esposito menyebutkan bahwa dinamika dan politik muslim yang berubah telah memunculkan banyak warna tentang imaji Islam. Imaji ini juga menghadirkan banyak pertanyaan kritis tentang Islam. Tragedi 9/11, kekerasan, aksi terorisme, dan bom bunuh diri banyak disandingkan dengan diksi Islam dalam bersosial, namun dengan menghadirkan banyak sudut pandang dari para ahli dan cendekiawan muslim maka misinterpretasi dan miskonsepsi tentang Islam terjawab. Meskipun buku ini didominasi dari sisi politik, namun sisi modernitas, identitas, hak asasi manusia, demokrasi, nasionalisme, dan interpretasi agama hadir dengan respon moral yang komprehensif dari kepada diri sendiri hingga di tengah masyarakat.
Norma-norma seorang muslim atas nama kasih sayang di tengah masyarakat adalah pada prinsip Ummatan Wasathan, umat yang seimbang, pertengahan dan terbaik. Posisi Ummatan Wasathan memiliki nilai “adl” yang mengarah pada keharmonisan di antara masyarakat. Keseimbangan dalam Ummatan Wasathan disebut Quraish Shihab sebagai komunitas masyarakat moderat yang tidak larut dalam ekstrim materialisme dan tidak terjerumus dalam tarahhub spiritualisme yang berlebihan. Oleh karena itu, keharmonisan hidup diwarnai secara proporsional antara ilmu dan amal, baik dalam ber-Aqidah, beribadah, ber-akhlakul karimah, dan berinteraksi dalam muamalah.
Selain itu, ketika menetapkan hati didasar pada kasih sayang, maka sikap hidup yang muncul adalah membangun persaudaraan, saling kenal mengenal, saling membangun ukhuwah, menghargai pluralitas, menghargai keragaman, yakni dengan cara mendorong dialog kreatif dan santun antar budaya dan visi moral yang berbeda. Pada dasarnya umat manusia mempunyai rasa belas kasih, ketika atas dasar kasih sayang mendominasi maka segala aktivitas dilaksanakan dengan rasa kecintaan dan penuh kebaikan. Setiap individu memiliki tanggungjawab bersama untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial, mengakui adanya perbedaan, dan meyakini bahwa keragaman itu bagian dari sunnatullah, berperan aktif dalam membangun kehidupan yang damai, tentram, harmoni atas dasar kasih sayang.
Arkian, sebagai bahan kontemplasi, Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan bagian dalam Asma’ul Husna, dan sifat kasih sayang juga merupakan salah satu sifat yang melekat pada diri manusia. Kasih sayang tidak hanya ditunjukan hanya pada tanggal tertentu dan dikultuskan pada bulan tertentu, namun diimplementasikan setiap saat sepanjang waktu. Kasih sayang juga tidak hanya ditunjukkan pada satu orang tertentu, namun kasih sayang disebarkan terhadap seluruh manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai bentuk perwujudan kasih sayang kita sebagai hamba kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang.
Dengan kasih sayang Allah lah kita berada di bumi ini. Dengan kasih sayang Allah lah kita bisa menghirup udara secara leluasa. Dengan kasih sayang-Nya lah kita selalu diberi kesempatan untuk bertaubat. Lalu, bismillah, dengan merefleksikan atas nama Sang Maha Pengasih dan Maha penyayang siapkah kita untuk selalu saling berpesan untuk berkasih sayang? (Q.S Al-Balad: 17).
Referensi : Allah Swt Sang Zat Maha Pengasih Penyayang