This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2022

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.    Referensi : Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak, Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.

Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,

فعليك بذات الدين تربت يداك

Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)

Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،

Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)

Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.

Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.

Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).

Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.

Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).

Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).

Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.

Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).

Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.

Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).

Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).

Jika sebelumnya sudah disampaikan tentang hak suami atas istri, maka pada kesempatan ini akan disampaikan tentang hak istri yang wajib untuk di penuhi oleh suami. Di antara hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:  Pertama, memberikan mahar saat pernikahan. Allah ta’ala berfirman,  وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَة  Berikan wanita (yang engkau nikahi) mahar dengan penuh kerelaan (Q.S. Annisa:4)  Kedua, memberikan nafkah yang layak. Perintah memberikan nafkah ini merupakan kewajiban sekaligus keutamaan seorang suami, sebagimana firman Allah ta’ala,  الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم  Lelaki adalah pemimpin bagi wanita dengan keutamaan pada sebagian atas sebagian yang lainnya, dan atas apa yang ia infaqkan dari hartanya (Q.S. Annisa:34)  Di antara nafkah yang harus dipenuhi tersebut adalag makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal yang layak sesuai kemampuan suami. Semua nafkah ini wajib didapatkan oleh suami hanya dari perkara yang halal.  Ketiga, merasa cemburu dengan istri apabila sudah melakukan pelanggaran dari perkara yang disyari’atkan oleh Allah.  Seorang suami jangan sampai menjadi seorang yang dayyuts (tidak punya rasa cemburu) terhadap kemaksiatan yang dilakukan anggota keluarganya terutama istri. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوثُ، الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ  Tiga golongan yang Allah haramkan bagi mereka surga, peminum kho,ar, orang yang durhaka, dan dayyuts, orang yang membiarkan kemaksiatan dalam keluarganya (H.R.Ahmad)  Keempat, bergaul dengan istri secara baik. Allah ta’ala berfirman,  وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  Dan pergauli mereka dengan cara yang baik (Q.S. Annisa: 19)  Perlakukan istri sebagaimana suami ingin diperlakukan, baik dalam ucapan maupun perbuatan.  Kelima, mendidikan istri agar paham islam dan senantiasa meniti jalan ketaatan. Jangan sampai karena kurang ilmu, seorang suami dan anggota keluarganya masuk ke dalam neraka. Allah ta’ala berfirman,  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً  Wahai oranh-orang yang beriman, jaga diri dan keluargamu dari api neraka (Q.S. Attahrim:6)  Berkata Ali bin Abi Thalib, علموا أنفسكم وأهليكم الخير، وأدبّوهم  Ajarkan diri dan keluargamu perkaran yang baik, dan perbaiki adab.  Maknanya adalah jangan sampai anggota keluarga kita tidak tahu perkara-perkara wajib. Baru kemudian ditambah dengan keutamaan lainnya.  Semua setiap suami muslim bisa menunaikan yang menjadi kewajibannya sehingga kebahagiaan senantiasa menghiasi keluarga kita.

Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).

Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.

Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak. Ibu mempunyai posisi sangat penting dalam pendidikan anak. Jika sang ibu adalah wanita sholehah, maka insyaAllah anak yang dilahirkannya juga akan tumbuh dalam suasana yang Islami. Demikian juga jika sebaliknya, maka anak akan jauh dari pemahaman dan nilai-nilai Islam.  Hal inilah mengapa pendidikan anak seharusnya bukan hanya dimulai ketika sudah memiliki anak, melainkan dimulai dari ketika mencari istri yang akan menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anak kita. Inilah salah satu makna hadits,  فعليك بذات الدين تربت يداك  Maka nikahilah karena agamanya, engkau pasti beruntung (HR Muslim)  Beruntung bukan hanya karena sikapnya yang menyejukkan pandangan ketika dilihat, menenangkan ketika ditinggalkan, dan amanah atas posisinya sebagai seorang istri. Namun lebih karena besarnya komitmen sang istri untuk melahirkan dan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.  Seorang istri yang sholehah sadar bahwa pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan pahala mengalir ketika nanti kita sudah tidak ada lagi.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له،  Jika mati anak cucu adam, maka terputus amal perbuatannya kecuali karena tiga perkara, shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang senantiasa mendoakannya (HR. Muslim)  Pemahaman agama inilah yang membuat seorang wanita sholehah akan punya komitmen besar untuk mendidik anak-anaknya. Cita-citanya bukan sekedar menjadikan anaknya hebat dalam urusan dunia, tetapi supaya anaknya bisa membanggakan di hadapan Allah ta’ala.  Wanita sholehah meskipun mungkin ilmu agamanya belum cukup baik, tetapi akan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi ulama. Hal ini misalnya terlihat dalam kisah ibunda Rabi’ah Arroyi bin Abdurrahman.  Abdullah Al Wahab bin A’tho’ al khafaf menceritakan bahwa bahwa di kota Madinah, dulu ada seorang bernama Abdurrahman atau Al Farukh. Kemudian ia pergi berperang ke Khuraizan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Sebelum pergi ia meninggalkan untuk bekal istrinya uang sebanyal 30 ribu dinar.  Namun ternyata ia tidak kunjung pulang sampai 27 tahun dari kepergiannya. Hingga suatu hari ketika ia kembali ke Madinah, maka ia langsung menuju rumahnya dan membuka pintu dan masuk.  Pada saat itu, Rabi’ah melihatnya, tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah bapaknya. Maka ia berujar,  يا عدو الله، أتهجم على منزلي (wahai musuh Allah, kamu ingin menyerang (mencuri) di rumahku?). Maka Al Farukh mengatakan, يا عدو الله، بل أنت الذي دخلت على زوجتي في بيتي! (wahai musuh Allah, engkaulah yang telah mendatangi istriku di rumahku?).  Terjadilah percekcokan antara ayah dan anak yang tidak saling mengenal ini. Keduanya hampir saling memukul dan suara mereka pun bertambah keras, sampai para tetangga pun berdatangan.  Rabi’ah berkata, والله لا فارقتك إلا عند السلطان (demi Allah, tidaklah aku melakukan ini kecuali ada alasannya). Farukh yang tidak lain adalah sang ayah pun mengatakan, والله لا فارقتك إلا بالسلطان، وأنت مع امرأتي!! (Demi Allah, aku pun tidak melakukan ini kecuali padaku ada hujjah, dan engkau bersama istriku!!).  Maka sampailah berita ini kepada Malik bin Anas rahimahullah, dan ia pun datang untuk melihat dan menyelesaikan persoalan. Dan ketika melihat imam Malik keduanya terdiam.  Imam Malik berkata kepada Farukh, أيها الشيخ: لك سمعة في غير هذه الدار!! (Wahai Bapak, mungkin engkau salah masuk ke rumah yang lain?). Namun Farukh mengatakan, هي داري، وأنا فروخ (ini adalah rumahku, aku adalah Farukh).  Mendengar ucapan itu, istri Farukh pun keluar kemudian berkata, هذا زوجي وهذا ابني الذي خلفه وأنا حامل به  (ini adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ditinggalkannya ketika aku mengandung). Maka kedua bapak dan anak itu berpelukan dan menangis.  Farukh pun masih ke dalam rumah mereka, dan ia berkata kepada istrinya,  هذا ابني الذي تركته في بطنك جنينًا؟ (inikah anak yang aku tinggalkan ketika masih janin di kandunganmu?). Istrinya mengatakan,  نعم! (ia).  Kemudian Farukh pun bertanya tentang harta yang pernah ditinggalkannya, dan istrinya menjawab akan aku sampaikan setelah kamu pulang dari masjid. Ia berkata, اخرج فصل في مسجد رسول الله (pergilah dan sholatlah di masjid Rasulullah). Dan Farukh pun pergi ke masjid.  Selepas sholat Farukh mengikuti taklim yang diadakan di sana. Hadir dalam majelis itu para ulama dari berbagai tempat untuk belajar mengelilingi seorang anak muda yang menyampaikan materi, tapi ia belum mengetahui siapa gerangan anak muda itu.  Namun ketika mendengar suara syaikh yang mengajar, maka ia berkata, هذا ربيعة بن أبي عبد الرحمن!!  (ini adalah rabi’ah bin Abi Abdirrahman). قد رفع الله ابني! (Sungguh Allah telah mengangkat derajat anakku).  Ia pun pulang menemui istrinya dan berkata, والله لقد رأيت ولدك على حالة ما رأيت أحدًا من أهل العلم والفقه عليه!! (Demi Allah aku telah melihat anakmu dalam suatu keadaan yang tidak aku lihat seorang pun dari ahli ilmu yang lebih fakih darinya).  Istrinya pun berkata, mana yang lebih engkau cintai, harta yang tiga puluh ribu dinar atau anak seperti yang telah engkau lihat?. Farukh menjawah, tidak demi Allah, ini yang sudah kita miliki tentu lebih utama. Maka istrinya mengatakan, فإني قد أنفقت كل المال الذي تركته عندي عليه!! (sungguh aku telah mengeluarkan semua harta yang engkau tinggalkan untuk (mendidik)nya).  Demikianlah keadaan seorang wanita sholehah dan komitmennya untuk pendidikan anak. Tanpa suami disampingnya sekali pun ia akan berjuang keras untuk menjadikan anaknya seorang yang sholeh/ah dan fakih dalam perkara agama ini.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, menikahlah dengan wanita sholehah. Namun ingat, karena istri hakikatnya adalah cermin dari diri kita, mereka yang sholehah akan sulit menerima lelaki yang tidak takut pada Allah ta’ala. Maka senantiasalah memperbaiki diri dan menjadi lelaki yang sholeh.  Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.

Kita berdoa, semoga kita semua dikaruniakan oleh Allah ta’ala istri-istri yang sholehah yang akan mendidik anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.


Referensi : Istri Sholehah Dan Pendidikan Anak