Rukun akad nikah ada dua, yaitu: Ijab dan Qabul. Sedangkan syarat sahnya adalah:
1. Adanya izin dari wali
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الْوَلِيُّ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Wanita yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil. Jika sang lelaki telah mencampurinya, maka sang wanita berhak mendapatkan maskawin untuk kehormatan dari apa yang telah menimpanya. Dan jika mereka terlunta-lunta (tidak memiliki wali), maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [1]
2. Hadirnya para saksi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.”[2]
Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya seorang wali, maka merupakan kewajiban juga bagi wali untuk meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya sebelum dilangsungkannya pernikahan. Tidak boleh bagi seorang wali untuk memaksa seorang wanita untuk menikah jika ia tidak ridha dan jika wanita tersebut dinikahkan sedangkan ia tidak ridha, maka ia berhak membatalkan akad tersebut. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ.
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dipinta perintahnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai izinnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya ?” Beliau menjawab, “Bila ia diam.” [3]
وَعَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خَدَّامَ اْلأَنْصَارِيَّة، أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ، فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا.
“Dan dari Khansa binti Khaddam al-Anshariyyah: bahwa bapaknya telah menikahkannya sedangkan ia janda, akan tetapi ia tidak rela, kemudian ia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau membatalkan pernikahannya.” [4]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallah anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa bapaknya telah menikahkannya sedangkan ia tidak rela, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm menyerahkan pilihan kepadanya. [5]
Khutbah Nikah
Disunnahkan khutbah menjelang akad nikah, yaitu yang disebut sebagai Khutbatul Hajah, dan lafazhnya adalah sebagai berikut :
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
“Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran/3: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, serta daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” [An-Nisaa’/4: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Amma ba’du: “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah pe-tunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru dan setiap yang baru (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.” [6]
Sunnahnya Tahni-ah (Ucapan Selamat) Pernikahan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam apabila mendo’akan seseorang yang menikah beliau bersabda:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ، وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.
“Semoga Allah memberkahi kalian dan menetapkan keberkahan atas kalian serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” [7]
Mahar (Maskawin)
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (am-billah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [An-Nisaa’/4: 4]
Mahar atau maskawin adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Maskawin merupakan hak milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik sang ayah maupun selainnya, kecuali jika diambilnya maskawin itu dengan keridhaan hatinya.
Syari’at Islam tidak membatasi nominal sedikit banyaknya maskawin, akan tetapi Islam menganjurkan untuk meringankan maskawin agar mempermudah proses pernikahan dan tidak membuat para pemuda enggan untuk menikah karena mahalnya maskawin.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun…” [An-Nisaa’/4: 20]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya ‘Abdurrahman bin ‘Auf datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan padanya terdapat bekas kekuningan, Rasulullah bertanya tentang hal tersebut, lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan beliau bahwasanya ia telah menikahi seorang wanita dari kalangan Anshar, Rasulullah bertanya, “Berapa engkau membayar maskawinnya?” Ia menjawab, “Satu biji emas.” Kemudian beliau bersabda, “Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.” [8]
Dan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu ia berkata :
إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَامَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا ثُمَّ قَامَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا ثُمَّ قَامَتْ الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ قَالَ: لاَ. قَالَ: اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ.
“Pada suatu waktu aku bersama para Sahabat dan di tengah-tengah kami ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanggapinya, kemudian wanita tersebut berdiri kembali seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Namun Rasulullah tetap belum menanggapinya, maka wanita tersebut kembali berdiri untuk yang ketiga kalinya seraya berkata, ‘Sesungguhnya wanita ini telah menyerahkan dirinya untukmu, maka katakanlah pendapat Anda.’ Sampai kemudian ada salah seorang Sahabat yang berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya!’ Beliau bersabda, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak’ Kemudian beliau bersabda, ‘Pergi dan carilah sesuatu meski hanya sebuah cincin dari besi!’ Maka laki-laki itu pergi dan mencari apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi ia kembali dan berkata, ‘Aku tidak menemukan sesuatu meski hanya sebuah cincin dari besi.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau menghafal sesuatu dari al-Qur-an?’ Ia menjawab, ‘Aku menghafal surat ini dan itu,” beliau bersabda, ‘Pergilah, sesungguhnya aku telah menikahkan dirimu dengannya dengan mahar hafalan al-Qur-an yang ada padamu.’” [9]
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran maskawin ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan atau mendahulukan pembayaran sebagian maskawin dan mengakhirkan sebagian lainnya. Apabila sang suami telah menggauli isteri sedangkan ia belum membayar mas kawin, maka hal itu sah-sah saja, akan tetapi ia wajib membayar mahar mitsil (mahar senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat wanita itu) apabila dalam akad nikah ia tidak menyebut maskawin yang akan ia berikan. Namun jika ia telah menyebutnya, maka ia harus membayar maskawin sebesar apa yang telah ia sebutkan. Dan berhati-hatilah, jangan sampai seseorang tidak memenuhi hak wanita yang telah disyaratkan, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ.
“Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).”[10]
Apabila sang suami meninggal setelah akad dan sebelum menggauli, maka isteri berhak mendapatkan maskawin seluruhnya.
Dari ‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal, ia belum menentukan maskawin dan menggaulinya.” ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih tentang hal tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia menjawab, ‘Aku berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar yang didapat oleh wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan dan ia juga wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i bersaksi bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menetapkan kepada Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud.” [11]
Sumpah Iblis
Alkisah, setelah menciptakan Adam Alaihissallam, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni surga saat itu; Malaikat dan setan untuk bersujud kepadanya. Sujud dalam arti penghormatan bukan penyembahan. Para penghuni surga terbelah menjadi dua. Sekelompok mematuhi perintah tersebut, mereka adalah para Malaikat. Sebagian lagi enggan, dengan dalih dia lebih hebat dibanding Adam Alaihissallam . Makhluk tersebut adalah iblis. Dia bermain logika bukan pada tempatnya, “Aku terbuat dari api, sedangkan Adam hanya terbuat dari tanah” [Al-A’râf/7:12]
Allâh Azza wa Jalla murka dengan pembangkangan tersebut. Akibatnya iblis diusir dari surga. Dalam keadaan hina dina, iblis masih menyempatkan diri untuk bersumpah guna membalas ‘dendam kesumatnya’.
Allâh Azza wa Jalla menceritakan hal itu dalam firman-Nya:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٨٢﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
(Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. [Shâd/38:82-83]
Iblis juga memploklamirkan kegigihannya untuk menyesatkan bani Adam:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿١٦﴾ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
(Iblis) berkata, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. [Al-A’râf/7:16-17]
PERANGKAP SETAN
Guna melancarkan proyek penyesatannya, iblis dan keturunan berikut kroninya menebarkan banyak ranjau untuk menjerat bani Adam.
Menurut Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H), perangkap setan ada enam jenis:
Kekufuran dan kesyirikan. Inilah target utama setan, jika berhasil maka manusia akan menjadi tentara iblis dan pasukannya. Namun bila gagal, maka insan akan dijerat dengan perangkap berikutnya:
Bid’ah. Sebab, kata Imam ats-Tsauri, “Bid’ah lebih disukai iblis dibandingkan maksiat. Karena pelaku maksiat akan bertaubat sedangkan pelaku bid’ah tidak bertaubat”.[1] Jika tidak berhasil maka manusia akan dijerat dengan ranjau ketiga, yaitu:
Dosa besar dengan berbagai macam jenisnya. Setan berusaha keras untuk menjerumuskan seorang hamba ke dalam perbuatan dosa besar. Apalagi jika ia adalah seorang panutan di masyarakat, seperti para Ulama misalnya. Setelah terjerumus, setan bekerjasama dengan kroni-kroninya untuk mem’publikasikan’ ‘kecelakaan’ tersebut di hadapan umat, agar mereka menjauhinya. Jika gagal, setan akan menebar ranjau keempat, yakni:
Dosa kecil. Seorang hamba dijadikan meremehkan dosa kecil, sehingga dilakukannya berkali-kali sampai berbalik menjadi dosa besar. Kalau tidak berhasil, setan memasang perangkap kelima, yaitu dengan:
Menyibukkan manusia dalam hal-hal yang mubah, sehingga terlalaikan dari amalan-amalan yang berpahala. Andaikan target yang diincar adalah orang yang senantiasa menjaga waktunya dan sadar akan keterbatasan masa hidupnya di dunia, maka setan akan menjerumuskannya ke ranjau yang keenam. Yakni:
Menyibukkannya dengan amalan-amalan yang utama, namun dijadikan lupa akan amalan-amalan yang lebih utama, karena keterbatasan ilmu dia. Seperti sebagian kalangan yang tersibukkan dengan dakwah kepada akhlak, sehingga melalaikan dakwah kepada tauhid. Sedemikian halusnya perangkap ini, sehingga banyak orang yang terjerumus ke dalamnya, dan mengira bahwa ia berada di jalan kebenaran.
Seorang hamba tidak akan selamat dari berbagai perangkap di atas melainkan dengan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla dan dengan terus mempelajari ilmu syar’i yang berisikan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [2]
TERNYATA SETAN PUN PUNYA PRIORITAS
Dari keterangan di atas kita bisa memahami bahwa setan itu punya skala prioritas dalam menjerumuskan bani Adam. Kubangan favorit utama setan adalah kekufuran dan kesyirikan. Atau dengan kata lain akidahlah yang target pertama yang disasar mereka. Sebab akidah merupakan pondasi fundamental seseorang. Bila rusak, maka dijamin akan rusak pula sisi-sisi lain dalam kehidupannya.
Dari sini kita mengetahui mengapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para rasul lainnya memulai dakwah mereka terhadap akidah atau tauhid. Sebab itu merupakan pondasi dasar beragama. Bila kuat, maka bangunan di atasnya pun akan kuat. Sebaliknya bila rapuh, maka niscaya akan lebih rapuh lagi yang di atasnya.
Karena itulah, setan menjadikan akidah seorang Muslim sebagai target utama perusakan. Bila gagal, maka ia akan membidik sisi-sisi lainnya. Seperti amaliah, akhlak atau yang lainnya.
JURUS-JURUS SETAN
Dalam merusak akidah seorang Muslim, setan akan melancarkan berbagai jurus dan trik licik. Terkadang menggunakan pendekatan kultus tokoh. Di lain kesempatan melalui pintu pelestarian budaya nenek moyang. Tidak jarang pula memakai alasan ‘pengobatan’ dan ikhtiar.
Alasan terakhir di atas yang insya Allâh akan kita soroti lebih banyak pada kesempatan kali ini.
Setan tentu merasa senang saat melihat bani Adam tersiksa, karena perasaan dendam yang disimpannya. Sehingga seringkali ia berusaha keras untuk menyakiti manusia dengan berbagai cara. Setelah itu ia datang, bak ‘dewa penyelamat’ yang akan membantu manusia untuk melepaskannya dari rasa sakit yang dialaminya. Padahal sebenarnya dia punya misi untuk menjerumuskan manusia ke dalam lobang hitam yang jauh lebih dalam.
Bila kemarin yang sakit adalah fisiknya dan efeknya duniawi belaka. Maka setelah ‘ditolong’ setan, sekarang yang sakit adalah rohaninya dan efeknya akan terasa hingga alam akhirat kelak.
Sering penulis didatangi orang-orang yang mengeluhkan gangguan yang mereka derita. Entah itu yang bersifat supranatural, seperti sihir dan kesurupan. Atau yang berupa penyakit fisik dan medis. Di antara advis pokok yang selalu kami sampaikan, “Jangan sekali-kali mengambil jalan pintas dengan mendatangi dukun! Sebab derita yang Anda alami saat ini adalah bersifat fisik. Seperti pusing berkepanjangan, sakit perut yang tak kunjung sembuh dan yang semisal. Tapi bila Anda sampai meminta pertolongan kepada dukun, maka derita yang akan Anda alami jauh lebih mengerikan. Sebab akan terbawa hingga akhirat kelak.
Orang masuk neraka bukan karena ia penderita kanker atau tumor atau penyakit fisik lainnya. Namun penyebab utama masuk neraka adalah penyakit rohani. Terutamanya akidah yang rusak.”
KRONI SETAN
Demi melancarkan proyek penyesatan manusia, setan berkolaborasi dengan rekan-rekan seprofesi dari bangsa lain. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Begitulah ketetapan Kami. Setiap nabi, Kami hadapkan dengan musuh dari golongan manusia dan jin. Mereka saling membisikkan kepada yang lain perkataan manis yang penuh tipuan. [Al-An’âm/6: 112]
Dalam Shahih al-Bukhâri disebutkan secara spesifik siapa rekan utama setan tersebut:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها : سَأَلَ أُنَاسٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْءٍ!. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا؟!. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ، فَيَخْلِطُونَ فِيهِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
Aisyah Radhiyallahunahuma bertutur, “Suatu hari ada orang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para dukun.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka tidak ada apa-apanya!”. Para Shahabat menyambung, “Wahai Rasûlullâh, sungguh mereka terkadang menyampaikan suatu berita dan ternyata benar.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Berita benar itu dicuri oleh jin, lalu dibisikkannya ke telinga rekan dekatnya layaknya kotekan ayam. Lalu diramunya dengan lebih dari seratus kedustaan.” [HR. Al-Bukhâri, no. 7561]
Jadi, antara setan dan dukun terjadi ‘simbiosis mutualisme’. Setan merasa memiliki prestise dan perasaan bangga; sebab dukun menyembahnya. Sedangkan dukun kegirangan; karena mendapatkan amunisi bantuan banyak dari setan.
Seringkali para dukun dan tukang sihir bisa melakukan atraksi-atraksi yang mencengangkan. Orang yang beriman tidak mudah termakan; karena ia tahu bahwa sejatinya mereka telah berkolaborasi dengan setan untuk melakukan atraksi tersebut.[3]
Setan tidak mungkin membantu para tukang sihir secara cuma-cuma. Mereka harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama, sebagai bentuk kompensasi bantuan tersebut.[4] Semakin kufur atau syirik perbuatan yang dipersembahkan, maka bantuan yang diberikan setan semakin besar.[5]
Kenyataan ini bukanlah isapan jempol belaka atau fitnah murahan, namun fenomena tersebut diakui oleh para mantan dukun yang telah bertaubat. Mereka bersaksi bahwa untuk menggapai ‘kesaktian’ yang dimiliki, mereka diharuskan untuk melakukan kesyirikan dan kekufuran. Ada yang mengatakan bahwa mereka dulunya memohon bantuan kepada iblis, ada yang tidak menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, ada yang menempelkan lembaran-lembaran mushaf al-Qur’an di tembok WC dan berbagai tindak kekufuran lainnya.[6]
Adanya kolaborasi para dukun dengan setan telah dijelaskan para Ulama Islam sejak dulu kala. Sebagaimana dipaparkan antara lain oleh Imam Syâfi’i t (w. 204 H)[7], al-Baidhawi rahimahullah (w. 685 H)[8] dan Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (w. 852 H)[9]
Pembahasan di atas bukan hanya membidik para dukun yang notabene beraliran hitam. Yang biasanya ditandai dengan blangkon atau iket di kepala dan pakaian serba hitam. Tidak lupa menyelipkan sebilah keris di pinggang serta menyalakan kemenyan dan dupa di depannya. Namun peringatan di atas juga terarah kepada mereka yang menamakan diri dukun putih. Yang kerap berbusana bak seorang wali, dengan sorban di kepala dan jubah putih, serta tidak lupa bersenjatakan seuntai tasbih yang biji-bijinya terkadang mengalahkan besarnya bola pingpong. Mereka semua sama!
Seyogyanya kaum Muslimin bersikap cerdas dalam menilai sesuatu. Tidak mudah terkecoh dengan tipuan penampilan. Justru dia tetap menjadikan substansi sesuatu sebagai tolok ukur penilaian.
RAMBU-RAMBU IKHTIAR
Di antara potret keindahan ajaran Islam, selain mengajarkan tawakkal, agama kita juga memotivasi umatnya agar berikhtiar, berdaya upaya dan berusaha untuk menggapai keinginan serta cita-citanya.
Guna mendulang rezeki misalnya, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ، فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ
Seseorang mencari seikat kayu bakar lalu dipanggul di atas pundaknya dan dijual, lebih mulia dibandingankan dia meminta-minta kepada orang lain, diberi atau tidak. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan redaksi Muslim]
Orang yang sakit dan menginginkan kesembuhan, diperintahkan oleh Islam untuk berobat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ؛ الْهَرَمُ
Berobatlah! Sesungguhnya Allâh l tidaklah menurunkan penyakit melainkan menciptakan obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu penyakit tua. [HR. Abu Dawud (IV/125 no. 3855) dari Usamah bin Syarik z dan dinilai hasan sahih oleh at-Tirmidzi, hlm. 461, no. 2039]
Namun demikian, dalam hal ikhtiar, Islam tidak membebaskan umatnya berlaku sekehendaknya tanpa aturan. Justru agama kita membuat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Yang pada hakikatnya bertujuan untuk kemaslahatan insan, dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.
Di antara rambu-rambu ikhtiar, yang amat disayangkan masih sering dilanggar, termasuk di negeri kita, larangan Islam untuk memanfaatkan ‘jasa’ dukun, paranormal, tukang sihir dan yang semisal.
Padahal sejak empat belas abad lalu, panutan kita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan tegas,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ؛ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa mendatangi peramal, lalu ia bertanya tentang sesuatu padanya; maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. [HR. Muslim (IV/1751 no. 2230] dari sebagian istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits lain memberikan statemen yang lebih keras lagi,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai apa yang dikatakannya; maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [HR. Al-Bazzar (V/315 no. 1931) dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai sahih oleh Ibn Katsir][10]
Barangkali ada sebagian kalangan yang bertanya-tanya, mengapa Islam begitu ‘keras’ dalam hal ini? Bukankah para dukun itu hanya ingin berbuat baik kepada sesama, dengan memberdayakan ‘daya linuwih’ yang dimiliki. Lantas apa salahnya?
Satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam melarang suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut memuat kerusakan fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada apa-apanya.
PENGOBATAN ISLAMI UNTUK KORBAN SIHIR
Disamping mempelajari tata cara pencegahan dari sihir, perlu kiranya kita mempelajari pula cara pengobatan jika seseorang telah terkena sihir. Sebab banyak orang yang keliru dalam hal ini. Mereka memilih jalan pintas dengan mendatangi dukun atau ‘orang pintar’. Sehingga yang terjadi adalah fenomena ‘jeruk makan jeruk’!
Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala ditanya tentang nusyrah (pengobatan orang yang terkena sihir), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
Itu adalah perbuatan setan. [HR. Abu Dawud (IV/201 no. 3868) dari Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhu dan isnadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah][11]
Yang dikategorikan termasuk perbuatan setan adalah jenis pengobatan sihir orang-orang jahiliyah.[12] Di antaranya adalah pengobatan sihir dengan sihir serupa. Sebab hal tersebut sama saja melariskan tukang sihir dan membenarkan perilaku mereka yang berkolaborasi dengan setan dalam menjalankan pekerjaannya.[13]
Apalagi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pengobatan sihir dengan sihir serupa hanya akan mengakibatkan terjadinya silsilah yang tidak ada putusnya. Sebab manakala tukang sihir tersebut kalah, maka pelaku akan mencari tukang sihir lain yang lebih ‘sakti’. Tatkala korban terdesak ia akan mencari tukang sihir lain yang lebih kuat, begitu seterusnya. Ia berpindah dari satu tukang sihir ke tukang sihir lainnya. Bahkan ada korban yang selama delapan tahun menyambangi lebih dari seratus dukun! Sampai akhirnya alhamdulillâh ia mendapat petunjuk untuk menempuh pengobatan islami.[14]
Andaikan sejak awal ia berlindung kepada Dzat Yang Maha Kuat; yakni Allâh Azza wa Jalla , jangankan satu dukun, sejuta dukun yang paling kuatpun tidak akan berdaya!
Berikut sebagian kiat pengobatan sihir yang Allâh Azza wa Jalla ajarkan dalam al-Qur’ân maupun lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnah:
1. Ruqyah Syar’iyyah
Atau pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ân dan dzikir-dzikir yang diajarkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
Kami turunkan al-Qur’an sebagai penyembuh. [Al-Isrâ’/17:82][15]
Al-Qur’ân merupakan obat penyakit jasmani maupun rohani.[16]
Adapun dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain: kisah ruqyah Jibril q atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disihir oleh Labid bin al-A’sham. Di mana saat itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diruqyah dengan dibacakan surat al-Falaq dan an-Nâs. Hadits yang menceritakan kejadian tersebut akan kami sebutkan di akhir makalah ini.
Seluruh ayat al-Qur’an bisa dipakai untuk ruqyah, tidak harus dipilih ayat-ayat tertentu. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap surat-surat yang pernah dipakai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruqyah atau surat yang dijelaskan secara spesifik berkhasiat mengusir setan. Semisal surat al-Fâtihah, al-Baqarah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nâs.
Kemudian ditambahkan dengan bacaan-bacaan yang disebutkan dalam hadits sahih. Semisal:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Allâhumma Rabbannâs mudzhibal ba’s, isyfi Antasy Syâfî lâ syâfiya illâ Anta syifâ’an lâ yughâdiru saqaman (Ya Allâh, Rabb para manusia, Yang menghilangkan penyakit. Sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha penyembuh. Tidak ada penyembuh selain engkau. Berilah kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit. [HR. Al-Bukhâri dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]
بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ، بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ
Bismillâhi arqîk, min kulli syai’in yu’dzîk, min syarri kulli nafsin au ‘ainin hâsidin, Allâhu yasyfîk, bismillâhi arqîk
Dengan nama Allâh aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu. Berupa kejahatan setiap jiwa atau mata yang dengki. Semoga Allâh menyembuhkanmu. Dengan nama Allâh aku meruqyahmu. [HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu]
Metode ruqyah yang dibawa Islam tentu berbeda dengan metode ruqyah ‘gadungan’. Ia memiliki karakteristik yang jelas. Di antaranya yang paling menonjol: ia bersih dari praktek kesyirikan
Hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang syirik. Masih ditambah larangan spesifik memasukkan praktek syirik dalam ruqyah. Sebagaimana termaktub dalam hadits ‘Auf bin Malik al-Asyja’i Radhiyallahu anhu :
اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama di dalamnya tidak bermuatan syirik. [HR. Muslim]
Tidak ada perselisihan pendapat di antara para Ulama mengenai haramnya berobat dengan cara syirik.
Contoh ruqyah syirkiyyah adalah ruqyah yang bermuatan permintaan tolong kepada selain Allâh Azza wa Jalla .
Semisal permintaan tolong kepada Nabiyullah Adam Alaihissallam atau Hawa’ agar menyembuhkan penyakit.[17] Begitu pula permohonan bantuan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Ahmad ar-Rifâ’i,[18] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,[19] para Malaikat,[20] bahkan ada pula yang meminta tolong kepada iblis raja diraja setan. [21]
SIAPA YANG BOLEH MERUQYAH?
Ruqyah bukanlah monopoli ustadz ataupun kyai. Siapapun orang yang beriman dan bisa membaca al-Qur’an boleh meruqyah. Namun seyogyanya ia khusyu’ saat meruqyah, berusaha memahami bacaan ruqyah dan mengiringinya dengan keyakinan penuh akan khasiat dan kemujaraban ruqyah tersebut. Baik dalam diri peruqyah maupun yang diruqyah. Tidak cukup jika niatnya hanya coba-coba.[22]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Mohonlah kepada Allâh dalam keadaan kalian yakin dikabulkan. Ketahuilah Allâh tidak mengabulkan permohonan yang muncul dari hati yang lalai. [HR. Tirmidzi (hlm. 790 no. 3479) dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani][23]
Sebagian orang tatkala berobat kepada dokter terkenal dan diberi resep mahal begitu yakin akan sembuh dari penyakitnya. Padahal ilmu kedokteran bersumber dari eksperimen yang yang bisa jadi benar dan bisa jadi pula keliru. Mengapa ia tidak bisa menumbuhkan keyakinan akan khasiat obat al-Qur’ân, yang mana itu bukanlah hasil eksperimen, namun wahyu dari Rabbul ‘alamin, yang pasti benarnya?![24]
Penulis bukan sedang menghalangi orang untuk berikhtiar melalui jalur medis, namun penulis hanya ingin mengajak kaum Muslimin bersikap proposional dalam keyakinan di atas.
2. Memusnahkan Media Sihir
Di awal ayat keempat surat al-Falaq dijelaskan bahwa dalam rangka mengerjakan sihirnya para tukang sihir memakai media buhul. Nah, salah satu cara tuntas pengobatan sihir adalah dengan memusnahkan media sihir, baik itu buhul ataupun yang lainnya.[25]
Dalilnya, antara lain peristiwa disihirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penguraian media sihirnya oleh Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Zaid bin Arqam z mengisahkan kejadian tersebut:
سَحَرَ النَّبِيَّ n رَجُلٌ مِنَ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَاشْتَكَى فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَنَزَلَ عَلَيْهِ بِالْمُعَوِّذَتَيْنِ، وَقَالَ: إِنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ سَحَرَكَ، وَالسِّحْرُ فِي بِئْرِ فُلاَنٍ، قَالَ: فَأَرْسَلَ عَلِيًّا فَجَاءَ بِهِ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يُحَلَّ الْعُقَد، وَتُقْرَأَ آيَة، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَيَحُلَّ حَتَّى قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا أَنْشَطَ مِنْ عِقَالٍ، قَالَ: فَمَا ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ الْيَهُوْدِيِّ شَيْئاً مِمَّا صَنَعَ بِهِ، قَالَ: وَلاَ أَرَاهُ فِي وَجْهِهِ
Seorang Yahudi menyihir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau menderita. Jibrilpun mendatanginya dan menurunkan pada Beliau surat al-Falaq dan an-Nas. Malaikat Jibril berkata, “Seorang Yahudi telah menyihirmu. (Buhul) sihirnya ada di sumur si fulan”. Kemudian Ali diutus untuk mengambilnya dan menguraikan buhul tersebut sambil dibacakan ayat. Ali pun membaca sambil menguraikannya, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit kembali seperti orang yang baru lepas dari belenggu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengomentari perbuatan Yahudi tersebut. Hanya saja Beliau berpesan, “Aku tidak mau melihat wajahnya”. (HR. ‘Abd bin Humaid (I/228 no. 271) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh Salîm al-Hilâli dan Syaikh Muhammad Alu Nashr.[26]
Cara menemukan media sihir tersebut adalah dengan pengakuan tukang sihir, atau jin yang merasuk dalam diri korban sihir. Namun perlu waspada dan tidak gampang percaya dengan omongannya; sebab tabiat asli mereka adalah pendusta.[27]
Jika langkah tersebut tidak memungkinkan, maka seyogyanya korban menghiba dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar ditunjukkan tempat disembunyikannya media sihir tersebut. Jika ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya, seringkali petunjuk tersebut datang dalam mimpi, digambarkan di manakah ‘persembunyian’ media tersebut.[28]
Setelah media tersebut ditemukan, jika berupa buhul, maka buhul tersebut diuraikan satu persatu dengan dibacakan surat al-Falaq dan an-Nas, sebagaimana dalam hadits di atas. Lalu dipendam dalam tanah, sebagaimana dalam hadits berikut:
فَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ
lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar buhul itu dipendam. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma])
Referensi : Sumpah Iblis