This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Hukum Zakat Atas Harta yang Haram. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Zakat Atas Harta yang Haram. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 September 2022

Hukum Zakat Atas Harta yang Haram

Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi.   Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 188).  Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).  Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).  Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).  Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.  Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris–jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan—harta haram tersebut—dan tidak boleh sebagian saja.  Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.  Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.
Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi. 

Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 188).

Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).

Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).

Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.

Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris–jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan—harta haram tersebut—dan tidak boleh sebagian saja.

Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.  


Rabu, 24 Agustus 2022

Hukum Zakat Atas Harta yang Haram

Ilustrasi : Hukum Zakat Atas Harta yang Haram

Hukum Zakat Atas Harta yang Haram. Sebagai pembersih harta, ada anggapan bahwa zakat bisa juga menjadi pembersih harta yang haram. Harta hasil korupsi, mencuri, judi, hingga riba dikatakan bisa dicuci lewat mesin zakat. Cukup membayar sebesar 2,5 persen kepada amil zakat dari total pendapatan yang sudah meraih nisab maka seorang koruptor, misalnya, bisa merasa bebas dari dosa akibat korupsi.

Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 188).
Sebaliknya, zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan karena bersifat wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebutkan perintah zakat beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. Ini menunjukkan posisi penting zakat dalam fondasi agama ini. Sebagai contoh, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS al-Baqarah: 43).

Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kewajiban zakat demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta. Tak hanya itu, zakat pun berfungsi sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS at-Taubah:103).

Meski zakat berfungsi untuk menyucikan harta seseorang, bukan berarti zakat seseorang sah saat dikeluarkan dari harta yang haram, baik dari sifatnya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah SAW pun mengatakan, sedekah yang bersumber dari harta haram tidak menjadikan pahala. "Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut." (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).

Pendapat Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu Al Baari menjelaskan bahwa sedekah atau zakat dari harta haram tidak diterima. Alasannya, karena harta haram pada hakikatnya bukan merupakan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang menasarufkan harta tersebut dalam bentuk apa pun. Sementara, bersedekah adalah bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi hal mustahil.

Menarik jika melihat pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab. Menurut dia, seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan—harta haram tersebut dan tidak boleh sebagian saja.

Mengambil zakat dari harta yang haram pun menjadi bahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan, zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya. Harta haram tidak menjadi objek wajib pajak. Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut. MUI merilis, cara bertaubat. Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Menurut MUI, bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya maka harta itu harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Tapi, jika pemiliknya tidak ditemukan maka digunakan untuk kemaslahatan umum. MUI kembali menjelaskan, bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara kesuluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.  

Referensi : Hukum Zakat Atas Harta yang Haram