This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Zalim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zalim. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 September 2022

Bahaya Zalim

Bahaya Zalim. Zalim dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung makna kejam, tidak adil, aniaya, sewenang-wenang, bengis dan penindasan. Perbuatan tercela ini bisa muncul dari individu, kelompok dan terutama penguasa.  Perbuatan zalim haram di dalam Islam. Pelakunya berdosa besar. Terkutuk di sisi Allah SWT. Allah SWT bahkan telah ‘mengharamkan’ kezaliman atas Diri-Nya. Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman: “Hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi.” (HR Muslim).  Karena itu para pelaku kezaliman akan mendapatkan hukuman (balasan) yang berat di dunia apalagi di akhirat. Di antara bentuk hukuman Allah SWT atas mereka adalah:  Pertama, orang-orang zalim tidak akan pernah beruntung (Lihat: QS al-An’am [6]: 21). Di dunia. Apalagi di akhirat. Walaupun lahiriahnya kelihatan menang, batin mereka tidak akan merasa tenang.  Kedua, orang-orang zalim tidak akan mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah SWT. Karena itu hidupnya akan dibiarkan terus bergelimang dosa dan tenggelam dalam kesesatan (Lihat: QS ash-Shaf [61]: 7).  Ketiga, Allah SWT menimpakan berbagai musibah kepada kaum yang zalim (Lihat: QS al-Hajj [22]: 45).  Keempat, mereka terkutuk dan terlaknat di dunia dan akhirat. Mereka dijauhkan Allah dari rahmat dan kasih-sayang-Nya (Lihat: QS al-Ghafir [40]: 52).  Kelima, para pelaku kezaliman tidak akan ditolong pada Hari Kiamat  (QS al-Ghafir [40]: 18).  Keenam, di akhirat kelak orang-orang zalim akan benar-benar menyesali diri. Namun, penyesalan mereka sudah tidak berguna sama sekali (Lihat: QS Yunus [10]: 54).  Keenam, para pelaku kezaliman akan merasakan azab yang sangat pedih di akhirat (QS Saba’ [34]: 42).  Betapa tragisnya nasib orang-orang yang zalim di dunia dan di akhirat kelak. Mereka sama sekali tak akan lolos dari hukuman Allah SWT. Bisa jadi mereka itu diulur-ulur oleh Allah SWT. Di dunia meeka seperti sangat kuasa dan digdaya. Namun pada akhirnya, mereka akan binasa, terhina dan menderita di akhirat.  Lalu bagaima jika kezaliman itu dilakukan kepada ulama yang notabene pewaris para nabi dan kekasih Allah SWT? Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang memusuhi kekasihku, maka Aku mengumumkan perang kepada dia.” (HR al-Bukhari).  Menzalimi ulama efeknya jauh lebih besar daripada orang biasa. Perhatikan dalam sejarah, para penguasa dan penyokongnya yang menzalimi ulama akan bernasib tragis. Demikian pula orang yang membantu dalam praktik kezaliman. Mereka mendapat ancaman keras dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menolong suatu permusuhan dengan kezaliman, atau menolong kezaliman, dia senantiasa dalam murka Allah, sampai Dia mencabutnya.” (HR Ibnu Majah).  Malik bin Dinar ra. berkata, “Cukuplah seorang disebut pengkhianat ketika dia menjadi orang kepercayaan para pengkhianat.” (Ibnu al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 120).  Suatu ketika, sipir penjara bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLah yang dipenjara karena fitnah kemakhlukan al-Quran, “Apakah aku termasuk penolong kezaliman?”  “Tidak,” jawab Imam Ahmad. “Bahkan kamu adalah bagian dari pelaku kezaliman. Penyokong kezaliman adalah orang yang membantumu dalam suatu perkara zalim.” (Ibnu al-Jauzi, Shayd al-Khathir, hlm. 435).  Ibnu Taimiyah juga berkata, “Lebih dari satu ulama salaf yang berkata bahwa penolong pelaku kezaliman adalah yang menolong dan membantu kezaliman walau sekadar menyiapkan tinta atau pena.” (Ibnu Taimiyah, Al-Majmu’ al-Fatawa, 7/64).  Perkara kezaliman ini bukan masalah kecil. Apalagi kalau dilakukan kepada ulama. Ibnu Taimiyah mengungkap perkataan yang sudah popular, “Daging ulama itu adalah racun.” (Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 165).  Maknanya, siapa pun yang mencela, menghina, memfitnah, menzalimi, bahkan mengkriminalisasi ulama pasti akan tertimpa keburukan. Kalaupun tidak di dunia, kehinaan dan penderitaan pasti akan mereka rasakan di akhirat.  Dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama bukanlah hal baru. Banyak ulama yang demi kebenaran berani mengkritik penguasa. Mereka ini para ulama lurus. Mereka tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar. Yang salah akan dikatakan salah. Hadis Nabi saw. mengenai keutamaan jihad kepada penguasa yang lalim dan tiran dipegang teguh oleh mereka. Akibat dari keteguhan ini, mereka bisa mengalami kriminalisasi dan penyiksaan.  Said bin al-Musayyib ra., misalnya. Karena menentang penyimpangan penguasa, ia pernah menolak untuk berbaiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan. Akibatnya, Hisyam bin Ismail (selaku Gubernur Madinah) memberikan sanksi 60 cambukan kepada beliau dan beliau dipenjara (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubala, 5/130).  Contoh lain Said bin Jubair. Karena menentang kezaliman penguasa, ia dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari Kekhilafaan Umawiyah (Ibnu Khalkan, Wafayât al-A’yân, 2/373).  Malik bin Anas tak jauh berbeda. Beliau pernah dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja’far al-Manshur hanya lantaran tetap meriwayatkan hadis, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” (Ibnu Khalkan, Wafayâtul A’yân, 4/137).  Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang sama. Ia pernah dicambuk dan dipenjara selama 30 bulan oleh Khalifah al-Ma’mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Quran sebagaimana yang diyakini kaum Muktazilah (Ibnu al-Atsir, Al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180).  Demikianlah. Kezaliman merupakan fitnah yang besar. Apalagi kezaliman penguasa. Apalagi jika korbannya para ulama. Efeknya jauh lebih besar.  Namun demikian, kezaliman penguasa yang terbesar sesungguhnya adalah saat mereka enggan menerapkan al-Quran alias tidak mau berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 45). Inilah sebetulnya pangkal segala kezaliman, terutama yang dilakukan oleh penguasa. Semoga segala kezaliman ini segera berakhir.     Referensi : Zalim
Bahaya Zalim. Zalim dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung makna kejam, tidak adil, aniaya, sewenang-wenang, bengis dan penindasan. Perbuatan tercela ini bisa muncul dari individu, kelompok dan terutama penguasa.

Perbuatan zalim haram di dalam Islam. Pelakunya berdosa besar. Terkutuk di sisi Allah SWT. Allah SWT bahkan telah ‘mengharamkan’ kezaliman atas Diri-Nya. Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman: “Hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi.” (HR Muslim).

Karena itu para pelaku kezaliman akan mendapatkan hukuman (balasan) yang berat di dunia apalagi di akhirat. Di antara bentuk hukuman Allah SWT atas mereka adalah:

Pertama, orang-orang zalim tidak akan pernah beruntung (Lihat: QS al-An’am [6]: 21). Di dunia. Apalagi di akhirat. Walaupun lahiriahnya kelihatan menang, batin mereka tidak akan merasa tenang.

Kedua, orang-orang zalim tidak akan mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah SWT. Karena itu hidupnya akan dibiarkan terus bergelimang dosa dan tenggelam dalam kesesatan (Lihat: QS ash-Shaf [61]: 7).

Ketiga, Allah SWT menimpakan berbagai musibah kepada kaum yang zalim (Lihat: QS al-Hajj [22]: 45).

Keempat, mereka terkutuk dan terlaknat di dunia dan akhirat. Mereka dijauhkan Allah dari rahmat dan kasih-sayang-Nya (Lihat: QS al-Ghafir [40]: 52).

Kelima, para pelaku kezaliman tidak akan ditolong pada Hari Kiamat  (QS al-Ghafir [40]: 18).

Keenam, di akhirat kelak orang-orang zalim akan benar-benar menyesali diri. Namun, penyesalan mereka sudah tidak berguna sama sekali (Lihat: QS Yunus [10]: 54).

Keenam, para pelaku kezaliman akan merasakan azab yang sangat pedih di akhirat (QS Saba’ [34]: 42).

Betapa tragisnya nasib orang-orang yang zalim di dunia dan di akhirat kelak. Mereka sama sekali tak akan lolos dari hukuman Allah SWT. Bisa jadi mereka itu diulur-ulur oleh Allah SWT. Di dunia meeka seperti sangat kuasa dan digdaya. Namun pada akhirnya, mereka akan binasa, terhina dan menderita di akhirat.

Lalu bagaima jika kezaliman itu dilakukan kepada ulama yang notabene pewaris para nabi dan kekasih Allah SWT? Dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang memusuhi kekasihku, maka Aku mengumumkan perang kepada dia.” (HR al-Bukhari).

Menzalimi ulama efeknya jauh lebih besar daripada orang biasa. Perhatikan dalam sejarah, para penguasa dan penyokongnya yang menzalimi ulama akan bernasib tragis. Demikian pula orang yang membantu dalam praktik kezaliman. Mereka mendapat ancaman keras dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menolong suatu permusuhan dengan kezaliman, atau menolong kezaliman, dia senantiasa dalam murka Allah, sampai Dia mencabutnya.” (HR Ibnu Majah).

Malik bin Dinar ra. berkata, “Cukuplah seorang disebut pengkhianat ketika dia menjadi orang kepercayaan para pengkhianat.” (Ibnu al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 120).

Suatu ketika, sipir penjara bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLah yang dipenjara karena fitnah kemakhlukan al-Quran, “Apakah aku termasuk penolong kezaliman?”

“Tidak,” jawab Imam Ahmad. “Bahkan kamu adalah bagian dari pelaku kezaliman. Penyokong kezaliman adalah orang yang membantumu dalam suatu perkara zalim.” (Ibnu al-Jauzi, Shayd al-Khathir, hlm. 435).

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Lebih dari satu ulama salaf yang berkata bahwa penolong pelaku kezaliman adalah yang menolong dan membantu kezaliman walau sekadar menyiapkan tinta atau pena.” (Ibnu Taimiyah, Al-Majmu’ al-Fatawa, 7/64).

Perkara kezaliman ini bukan masalah kecil. Apalagi kalau dilakukan kepada ulama. Ibnu Taimiyah mengungkap perkataan yang sudah popular, “Daging ulama itu adalah racun.” (Ash-Sharim al-Maslul, hlm. 165).

Maknanya, siapa pun yang mencela, menghina, memfitnah, menzalimi, bahkan mengkriminalisasi ulama pasti akan tertimpa keburukan. Kalaupun tidak di dunia, kehinaan dan penderitaan pasti akan mereka rasakan di akhirat.

Dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama bukanlah hal baru. Banyak ulama yang demi kebenaran berani mengkritik penguasa. Mereka ini para ulama lurus. Mereka tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar. Yang salah akan dikatakan salah. Hadis Nabi saw. mengenai keutamaan jihad kepada penguasa yang lalim dan tiran dipegang teguh oleh mereka. Akibat dari keteguhan ini, mereka bisa mengalami kriminalisasi dan penyiksaan.

Said bin al-Musayyib ra., misalnya. Karena menentang penyimpangan penguasa, ia pernah menolak untuk berbaiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan. Akibatnya, Hisyam bin Ismail (selaku Gubernur Madinah) memberikan sanksi 60 cambukan kepada beliau dan beliau dipenjara (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubala, 5/130).

Contoh lain Said bin Jubair. Karena menentang kezaliman penguasa, ia dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari Kekhilafaan Umawiyah (Ibnu Khalkan, Wafayât al-A’yân, 2/373).

Malik bin Anas tak jauh berbeda. Beliau pernah dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja’far al-Manshur hanya lantaran tetap meriwayatkan hadis, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” (Ibnu Khalkan, Wafayâtul A’yân, 4/137).

Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang sama. Ia pernah dicambuk dan dipenjara selama 30 bulan oleh Khalifah al-Ma’mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Quran sebagaimana yang diyakini kaum Muktazilah (Ibnu al-Atsir, Al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180).

Demikianlah. Kezaliman merupakan fitnah yang besar. Apalagi kezaliman penguasa. Apalagi jika korbannya para ulama. Efeknya jauh lebih besar.

Namun demikian, kezaliman penguasa yang terbesar sesungguhnya adalah saat mereka enggan menerapkan al-Quran alias tidak mau berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 45). Inilah sebetulnya pangkal segala kezaliman, terutama yang dilakukan oleh penguasa. Semoga segala kezaliman ini segera berakhir. 


Referensi : Zalim