Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari V pada bulan Juli 2021 dan dari pengaduan tersebut didapatkan informasi bahwa Sdri V adalah korban KDRT berulang dan berlapis. Setelah menikah pada tahun 2011 dan mengikuti suaminya ke Taiwan, korban baru mengetahui bahwa Sdr. CYC, telah berbohong tentang status perkawinannya. V juga menjadi pihak pencari nafkah utama sementara CYC kerap pulang dalam kondisi mabuk. V juga menghadapi kekerasan ekonomi akibat hutang CYC, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya. Hal ini menyebabkan V memilih kembali ke Indonesia, mengembangkan usahanya dan bahkan menjadi sponsor bagi CYC untuk mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia. Namun, tabiat CYC yang kerap mabuk dan berhutang terus berlanjut. Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang serta dalam kurun waktu yang lama, V kemudian menggugat cerai. Gugatan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Januari 2020 dengan memberikan hak asuh anak kepada ibu dan pihak CYC harus memberikan nafkah dan biaya pendidikan per bulannya bagi kedua anaknya.
Menyikapi hasil putusan tentang perceraiannya, pada Juli 2020, Sdr. CYC telah mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata. Pengadilan Tinggi Bandung telah memeriksa dan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama. Atas putusan banding, CYC kemudian mengajukan permohonan kasasi yang kemudian ia cabut pada Maret 2021, sehingga putusan pengadilan tingkat pertama itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada bulan Juli 2020, CYC sebagai mantan suami melaporkan V atas tindak pidana KDRT psikis (pasal 45 UU Penghapusan KDRT) karena V telah mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak.
CYC beranggapan bahwa mereka terikat perkawinan karena proses banding putusan cerai masih berjalan. Atas pelaporan ini, V juga melaporkan CYC di bulan September 2020 atas tindak pidana KDRT dan penelantaran anak. Sementara kasus KDRT yng dilaporkan oleh Sdri V tertunda proses hukumnya, kasus yang memposisikannya sebagai terlapor oleh mantan suaminya justru berlanjut. V ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT. Atas pengaduan tersebut, Komnas Perempuan sesuai mandatnya telah menerbitkan Surat Rekomendasi No.: 062/KNAKTP/Pemantauan/Surat Rekomendasi/VIII/2021 pada 18 Agustus 2021 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepala Kepolisian Resor Karawang, Kepala Kepolisian Sektor Karawan dan Kepala Kepolisian Sektor Teluk Jambe Timur.
Komnas merekomendasikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat melakukan gelar perkara pada Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR, yang mendudukan korban sebagai tersangka. Komnas Perempuan berpendapat bahwa Korban V tidak boleh diposisikan sebagai terlapor tindak pidana KDRT berdasarkan fakta serangkaian kekerasan yang dialami oleh korban dalam relasi perkawinannya dengan pelaku. Komnas Perempuan juga menyarankan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas laporan CYC terhadap V. SP3 juga merupakan upaya mencegah hukum digunakan sebagai impunitas terhadap pelaku dan menegaskan perlindungan hukum bagi korban KDRT yang sesungguhnya yakni V dan kedua anaknya.
Namun tidak ada tanggapan atas rekomendasi tersebut, dan kasus kini justru disidangkan di Pengadilan Negeri Karawang. Selain kasus V, Komnas Perempuan juga telah menerima sejumlah pengaduan dimana perempuan korban kekerasan dikriminalkan dan harus berhadapan dengan hukum. Kriminalisasi dilakukan akibat upaya perempuan menggugat cerai untuk memutus mata rantai KDRT, mendapatkan haknya sebagai istri/mantan istri, atau mendapatkan hak atas anaknya. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, 36 % dari 120 lembaga layanan menyampaikan bahwa terjadi kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT. Dalam banyak kasus, laporan yang mengkriminalkan perempuan korban KDRT justru lebih cepat diproses daripada laporan KDRT dari pihak perempuan, dan kedua laporan tersebut kerap diperlakukan sebagai kasus yang terpisah. Kriminalisasi ini dimungkinkan karena pemahaman aparat penegak hukum yang belum utuh mengenai persoalan ketimpangan relasi berbasis gender dalam perkawinan antara suami dan istri.
UU PKDRT bersifat netral gender karena cakupan pengaturannya adalah untuk melindungi semua, tidak terbatas pada perempuan. Dengan pemahaman terbatas mengenai relasi gender yang tidak seimbang, maka cakupan pengaturan UU PKDRT yang tidak hanya ditujukan bagi perempuan kemudian menjadi celah hukum untuk justru menyalahkan perempuan yang berupaya keluar dari jeratan KDRT yang dihadapnya. UU PKDRT digunakan oleh para suami untuk melaporkan atau memperkarakan secara hukum istrinya, yang awalnya adalah korban KDRT. Kerap juga pelaporan terhadap perempuan korban KDRT didukung dengan penggunaan landasan hukum lainnya, seperti UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Pornografi dan KUHP dengan tuduhan penelantaran keluarga, pemalsuan dokumen, pencemaran nama baik, pencurian dalam keluarga atau memasuki perkarangan rumah orang lain. (baca: Lembar Fakta Pelaksanaan UU PKDRT https://komnasperempuan.go.id/pencarian?cari=lembar+fakta+) Komnas Perempuan berpendapat bahwa penggunaan UU PKDRT untuk mengriminaliasi perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum. Meski tidak hanya melindungi perempuan, UU PKDRT mengenali kerentanan khas perempuan sebagaimana tampak pada: • Huruf c pertimbangan UU PKDRT menyatakan bahwa: korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. • Pasal 1 angka 1 memberikan definisi bahwa: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. • Mukadimah penjelasan UU PKDRT menjelaskan bahwa: pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan. Dengan demikian, UU PKDRT merupakan pengaturan yang memiliki kekhasan spesifik yang mensyaratkan pemeriksaan pada konteks relasi kuasa antara pelaku dan korban. Penerapan UU PDKRT tanpa memperhatikan relasi timpang berbasis gender akan menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan dalam relasi suami-istri yang berimplikasi pada bungkamnya perempuan korban dan mengaburkan makna keadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, atas kasus kriminalisasi V, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:
1. Ketua Pengadilan Negeri Karawang c.q. Majelis Hakim yang Memeriksa Perkara PBH V untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, menggunakan putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG. yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya dan relasi kuasa diantara terlapor dan pelapor dan memutus bebas sebagai presenden untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT;
2. Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan panduan penanganan kasus KDRT dimana kedua belah pihak saling melaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU PKDRT untuk satu peristiwa yang sama;
3. Kepolisian Resort Karawang melanjutkan proses hukum atas laporan V dengan nomor Laporan Polisi No. LP/B.92/II/2020/Jbr/Res Krw/Sek Krw tentang tindak pidana pemalsuan tanda tangan dan Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR dengan dugaan tindak pidana KDRT dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh V;
4. Pihak Kejaksaan Agung untuk mengoptimalkan pengawasan dalam menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana;
5. Komisi Yudisial untuk memantau persidangan kasus V untuk memastikan pelaksanaan PERMA 3 Tahun 2017 demi tegaknya keadilan;
6. Komisi Kepolisian dan Komisi Yudisial memeriksa ulang penanganan kasus V sebagai langkah koreksi berulangnya kejadian kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, khususnya korban KDRT;
7. Media massa dan masyarakat memberikan dukungan terhadap upaya V dalam memutus rantai kekerasan dan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.