This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 September 2022

Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?

Pada dasarnya cerai gugat merupakan perbuatan yang dihalalkan, akan tetapi perbuatan ini disenangi oleh Iblis karena cerai gugat berdampak buruk bagi kehidupan. Adapun yang ditimbulkan oleh cerai gugat adalah (1) Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karena  mencium bau surga saja tidak bisa. (2) Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra artinya  suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru.(3) Akibat cerai gugat terhadap  anak yang belum mumayyiz mendapatkan hadhanah dari ibunya sedangkan yang mumayyiz memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih ayah atau ibunya.  Keywords: cerai gugat, akibat hukum       Perkawinan merupakan jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapatkan keturunan dan mengembangkan keturunan tersebut. Selain dari itu perkawinan juga sebagai penyalur dari kebutuhan seksualitas yang ada pada manusia itu sendiri. Dengan itu, perkawinan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ar-Rum Ayat 21:     Artinya:  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat diluar haknya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi apabila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak dapat diatasi lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang salah satunya dengan perceraian.  Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 tercatat 186 perkara yang masuk ditambah sisa perkara yang belum selesai pada tahun 2013 sebanyak 1.354 kasus maka total keseluruhan 1.540 perkara dan yang telah diputus sebanyak 1.362 perkara. Seiring dengan itu pada tahun 2015, sisa perkara tahun 2014 ditambah dengan perkara yang masuk pada tahun 2015 maka total keseluruhan sebanyak 1.282 dan yang telah diputus sebanyak 1.148 perkara. Angka cerai talak pada tahun ini terdiri dari 23 kasus sedangkan cerai gugat 95 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terjadi lonjakan drastis yakni sisa perkara pada tahun 2015 ditambah kasus yang masuk selama tahun 2016 maka total keseluruhannya adalah 1.612 dan perkara yang belum putus sebanyak 186 kasus.  Berdasarkan data yang diproleh di Pengadilan Agama Kota Padang ini, diketahui maraknya isteri menggugat cerai suaminya. Hal ini menarik dibahas apa sebenarnya cerai gugat dan bagaimana dampak atau akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai gugat.                      Pengertian cerai gugat Perkawinan harus dimaknai dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya, menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun realitanya banyak perkawinan yang berakhir atau putus karena perceraian. Agar tidak terjadinya perceraian harus ada beberapa upaya-upaya yang dilakukan yaitu: suami dan isteri harus melakukan usaha damai dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak, jika usaha ini tidak bisa dilakukan maka salah satu pihak boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama.  Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atas putusan Pengadilan. Perceraian dikenal dengan dua bentuk, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Adapun yang dimaksud dengan cerai talak adalah cerai yang berlangsung atas permohonan suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditentukan, kemudian setelah Pengadilan Agama memandang sudah cukup alasan-alasan yang ditentukan, maka pengadilan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.  Seiring dengan itu, cerai gugat dapat terjadi disebabkan adanya suatu gugatan oleh pihak isteri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan. Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan cerai gugat adalah suatu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.  Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka. Pengertian khulu’ menurut para ulama mazhab:  Menurut Hanafiah khulu’ adalah: الخلع هو إزالة ملك النكا ح المتوفقة على قبول المرأة بلفظ الخلع أوما فى معناه.  Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan tergantung kepada  penerimaan istri dengan adanya lafaz khulu’ atau yang semakna dengannya.     Menurut Malikiyah, khulu’ adalah: معناه ان تبذل المرأة أوغيرها لرجل مالا على ان يطلقها أوتسقط عنه حقا لها عليه فتقع بذلك طلقة با ئنة .  Istri atau pihak istri menyerahkan harta kepada suami atas talak yang diminta istri atau jatuh atau gugurnya hak talak dari suami kepada istri maka pada hal yang demikian merupakan talak ba’in.     Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah: هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط.  Lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami dan istri dengan iwadh (ganti rugi), yang harus memenuhi persyaratan tertentu.     Menurut Ahmad bin Hanbal, khulu’ adalah: هو فراق الزوج إمرأته بعوض يأخذه الزوج من إمرأته أو غيرها بألفاظ   مخصوصة  Berpisahnya suami istri dengan adanya iwadh(tebusan) yang diambil suami dari istri atau pihak istri dengan menggunakan lafaz tertentu.        Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan para imam mazhab tersebut dapat dilihat bahwa arti cerai gugat atau khulu’ menurut syara’ hampir sama saja redaksinya, dapat disimpulkan khulu’ adalah permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’. Persamaan cerai gugat dan khulu’ adalah keinginan bercerai sama-sama datang dari pihak istri (baik khulu’ atau cerai gugat).  Landasan Cerai Gugat Adapun yang menjadi landasan cerai gugat adalah al-Qur’an, hadis Nabi dan ijma’ ulama.  Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229     Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.  Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita di dalam Islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun baik umat Islam maupun orang Jahiliyah tidak mempunyai batasan bilangan talak sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami lagi lalu turunlah ayat ini.  Selanjutnya Allah menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak boleh mengambil barang-barang yang telah diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lain-lain, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.  Ibnu Katsir berkata bahwa banyak kalangan salaf dan Imam Khalaf mengatakan, “Susungguhnya tidak diperbolehkan melakukan khulu’ kecuali jika perselisihan dan kedurhakaan itu datangnya dari pihak wanita maka ketika itu si suami berhak menerima tebusan.  Didalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ayat ini merupakan landasan bolehnya khulu’. Menurut jumhur ulama khulu’ (talaq dalam bentuk tebusan) hukumnya jaiz (boleh). Ayat ini tidak ada disebutkan secara jelas bahwa tebusan wajibdalam melakukan khulu’. Hanya istri dibolehkan membayarkan tebusan bila ingin meminta khulu’. Jadi ayat ini menjadi dalil kebolehan melakukan khulu’.  Rasulullah SAW bersabda,  عن ابن عبا س ان امرأة ثا بت بن قيس اتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله، ثابت بن قيس، ماأعتب عليه فى خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر فى الاسلا م، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:أترد ين عليه حديقة؟ نعم، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم:"اقبل الحديقة وطلقها تطليقة" ( رواه النسائ ).   Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).     Hadis ini menjelaskan bahwa istridibolehkan meminta khulu’ dia takut akan kafir dalam Islam. Maksudnya pengingkaran terhadap nikmat bergaul dengan suami dan tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak menunaikan haknya suami sehingga dia dibolehkan menebus dirinya ganti dari talak yang di terimanya.  Hadis diatas menguatkan ayat al-Quran mengenai hujjah kebolehan cerai gugat. Hadis-hadis tersebut menceritakan seorang istri yaitu istri Tsabit bin Qais yang ingin meminta cerai dari suaminya. Penyebab istri Tsabit bin Qais melakukan cerai gugat disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais melakukan hal itu karena ia sangat membenci rupa suaminya. Sehingga ia tidak sanggup lagi dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Cerai gugat istri Tsabit bin Qais merupakan cerai gugat pertama kali dalam Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun istri Tsabit bin Qais bernama Jamilah binti Abdullah bin Salul. Menurut ibnu Majah Jamilah binti Salul sedangkan menurut Abu Daud dan an-Nasa’i ia bernama Habibah binti Sahal.  Terakhir, landasan kebolehan cerai gugat adalah ijma’ para ulama yang sepakat membolehkan khulu’ atau istri meminta cerai dari suami. Cerai gugat ini dapat dilakukan apa bila kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, atau istri membenci suami baik itu rupa ataupun akhlaknya, atau karena di zalimi oleh suaminya.  Akibat Hukum Cerai Gugat cerai gugat dengan cara yang telah ditetapkan Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Adapun akibat hukum cerai gugat adalah:  Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah يما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غير ما بأس فحرم عليها رانحة الجنة Artinya wanita manapun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau sorga.  Cerai gugat termasuk kedalam talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Hal ini dipertegas dalamKompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa:  Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah Talak yang terjadi qabla al dukhul Talak dengan tebusan atau khulu’ Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak ba’in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah.  Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu. Pasal 156 KHI dijelaskan akibat perceraian karena cerai gugat terhadap anak yakni: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh: Wanita-wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dari ibu   Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah Apabila anak sudah mumayyiz maka berhak memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain, yang mempunyai hak hadhanah pula. Biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yakni berusia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (c). Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya dengan menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.     Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan sebagai berikut:  Cerai gugat sama dengan khulu’ yang ada dalam Islam yakni permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’.  Akibat cerai gugat Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karenamencium bau surga saja tidak bisa. Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Saran Berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan sebagai kepada siapun yang hendak menikah hendaknya memahami betul hakikat pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut mampu mengayuh biduk rumah tangga dengan baik agar cobaan dan masalah yang dihadapi dapat diselasaikan dengan cara yang baik dan jauh dari perceraian., Ada beberapa kemungkinan cara orang mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah), sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya. Sebab-sebab tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara pengambilan yang bathil.  Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya. Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’ menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali.    Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka warung di tempat lokasi pelacuran. Jika yang membeli adalah seorang pelacur yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama dari kajian ini.   Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain. Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:  فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.  Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:  1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli   2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram   3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik  Catatan yang diberikan oleh beliau:   Apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat  Namun, apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat. Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat.    Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan).   Berbeda kondisinya bila orang yang menerima tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan” disebabkan profesi rentenir sang penyantun. Inilah yang dimaksudkan sebagai pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut:   أي أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا.   Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)  Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja, melainkan juga sang pemberi.   ولو اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل قاله شيخنا   Artinya:   Seandainya ada seseorang membeli makanan milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si pembeli memakan makanan itu.   Apabila penjual menyerahkan makanan setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli tersebut memakannya.   Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:   بين هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.  Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan: Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci:   Jika si penjual menyerahkan barang dengan kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli).   Jika pembeli membayarnya setelah makan dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum membayar (ia punya utang).   Namun, bila pembeli membayar harganya dari harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya utang).   Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12). Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya.  Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut:   Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian, gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang diberi, digaji atau pedagang.  Bilamana orang yang diberi, digaji dan penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli, dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual, penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram sehingga haram pula mendayagunakan harta itu. Ada beberapa kemungkinan cara orang mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah), sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya.  Sebab-sebab tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara pengambilan yang bathil.  Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya. Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’ menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali.    Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka warung di tempat lokasi pelacuran.  Jika yang membeli adalah seorang pelacur yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama dari kajian ini.   Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain. Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:  فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.  Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:  1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli   2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram   3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik  Catatan yang diberikan oleh beliau:   Apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat  Namun, apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat. Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat.    Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan).   Berbeda kondisinya bila orang yang menerima tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan” disebabkan profesi rentenir sang penyantun.   Inilah yang dimaksudkan sebagai pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut:   أي أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا.   Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)  Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.  Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja, melainkan juga sang pemberi.   ولو اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل قاله شيخنا   Artinya:   Seandainya ada seseorang membeli makanan milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si pembeli memakan makanan itu.   Apabila penjual menyerahkan makanan setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli tersebut memakannya.   Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:   بين هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.  Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan: Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci:   Jika si penjual menyerahkan barang dengan kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli).   Jika pembeli membayarnya setelah makan dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum membayar (ia punya utang).   Namun, bila pembeli membayar harganya dari harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya utang).   Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12). Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya.    Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut:   Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian, gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang diberi, digaji atau pedagang.  Bilamana orang yang diberi, digaji dan penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli, dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual, penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram sehingga haram pula mendayagunakan harta itu.  Referensi : Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?  , Pada dasarnya cerai gugat merupakan perbuatan yang dihalalkan, akan tetapi perbuatan ini disenangi oleh Iblis karena cerai gugat berdampak buruk bagi kehidupan. Adapun yang ditimbulkan oleh cerai gugat adalah (1) Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karena  mencium bau surga saja tidak bisa. (2) Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra artinya  suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru.(3) Akibat cerai gugat terhadap  anak yang belum mumayyiz mendapatkan hadhanah dari ibunya sedangkan yang mumayyiz memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih ayah atau ibunya.  Keywords: cerai gugat, akibat hukum       Perkawinan merupakan jalan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapatkan keturunan dan mengembangkan keturunan tersebut. Selain dari itu perkawinan juga sebagai penyalur dari kebutuhan seksualitas yang ada pada manusia itu sendiri. Dengan itu, perkawinan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, bahagia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat ar-Rum Ayat 21:     Artinya:  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  Islam telah memberi ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan keluarga sakinah, mawadah dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat diluar haknya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi apabila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak dapat diatasi lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang salah satunya dengan perceraian.  Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014 tercatat 186 perkara yang masuk ditambah sisa perkara yang belum selesai pada tahun 2013 sebanyak 1.354 kasus maka total keseluruhan 1.540 perkara dan yang telah diputus sebanyak 1.362 perkara. Seiring dengan itu pada tahun 2015, sisa perkara tahun 2014 ditambah dengan perkara yang masuk pada tahun 2015 maka total keseluruhan sebanyak 1.282 dan yang telah diputus sebanyak 1.148 perkara. Angka cerai talak pada tahun ini terdiri dari 23 kasus sedangkan cerai gugat 95 kasus. Sementara itu pada tahun 2016 terjadi lonjakan drastis yakni sisa perkara pada tahun 2015 ditambah kasus yang masuk selama tahun 2016 maka total keseluruhannya adalah 1.612 dan perkara yang belum putus sebanyak 186 kasus.  Berdasarkan data yang diproleh di Pengadilan Agama Kota Padang ini, diketahui maraknya isteri menggugat cerai suaminya. Hal ini menarik dibahas apa sebenarnya cerai gugat dan bagaimana dampak atau akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai gugat.                      Pengertian cerai gugat Perkawinan harus dimaknai dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya, menempuh kehidupan bersama sepanjang hidup, membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Namun realitanya banyak perkawinan yang berakhir atau putus karena perceraian. Agar tidak terjadinya perceraian harus ada beberapa upaya-upaya yang dilakukan yaitu: suami dan isteri harus melakukan usaha damai dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak, jika usaha ini tidak bisa dilakukan maka salah satu pihak boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agama.  Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atas putusan Pengadilan. Perceraian dikenal dengan dua bentuk, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Adapun yang dimaksud dengan cerai talak adalah cerai yang berlangsung atas permohonan suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditentukan, kemudian setelah Pengadilan Agama memandang sudah cukup alasan-alasan yang ditentukan, maka pengadilan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.  Seiring dengan itu, cerai gugat dapat terjadi disebabkan adanya suatu gugatan oleh pihak isteri atau kuasa hukumnya kepada pengadilan. Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan cerai gugat adalah suatu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.  Cerai gugat dalam Islam disebut juga khulu’ yang menurut bahasa adalah melepaskan atau menanggalkan. Hal itu karena suami dan istri ibarat pakaian dan bila terjadi khulu’ maka lepasnya ikatan pernikahan diantara mereka. Pengertian khulu’ menurut para ulama mazhab:  Menurut Hanafiah khulu’ adalah: الخلع هو إزالة ملك النكا ح المتوفقة على قبول المرأة بلفظ الخلع أوما فى معناه.  Khulu’ adalah putusnya ikatan perkawinan tergantung kepada  penerimaan istri dengan adanya lafaz khulu’ atau yang semakna dengannya.     Menurut Malikiyah, khulu’ adalah: معناه ان تبذل المرأة أوغيرها لرجل مالا على ان يطلقها أوتسقط عنه حقا لها عليه فتقع بذلك طلقة با ئنة .  Istri atau pihak istri menyerahkan harta kepada suami atas talak yang diminta istri atau jatuh atau gugurnya hak talak dari suami kepada istri maka pada hal yang demikian merupakan talak ba’in.     Menurut Syafi’iyah, khulu’ adalah: هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط.  Lafaz yang menunjukkan perceraian antara suami dan istri dengan iwadh (ganti rugi), yang harus memenuhi persyaratan tertentu.     Menurut Ahmad bin Hanbal, khulu’ adalah: هو فراق الزوج إمرأته بعوض يأخذه الزوج من إمرأته أو غيرها بألفاظ   مخصوصة  Berpisahnya suami istri dengan adanya iwadh(tebusan) yang diambil suami dari istri atau pihak istri dengan menggunakan lafaz tertentu.        Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan para imam mazhab tersebut dapat dilihat bahwa arti cerai gugat atau khulu’ menurut syara’ hampir sama saja redaksinya, dapat disimpulkan khulu’ adalah permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami.  Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’. Persamaan cerai gugat dan khulu’ adalah keinginan bercerai sama-sama datang dari pihak istri (baik khulu’ atau cerai gugat).  Landasan Cerai Gugat Adapun yang menjadi landasan cerai gugat adalah al-Qur’an, hadis Nabi dan ijma’ ulama.  Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229     Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.  Hal ini salah satu perlindungan terhadap wanita di dalam Islam karena dahulunya sebelum ayat ini turun baik umat Islam maupun orang Jahiliyah tidak mempunyai batasan bilangan talak sehingga hal ini justru menganiaya wanita. Mereka ditinggalkan tanpa suami dan tidak boleh pula bersuami lagi lalu turunlah ayat ini.  Selanjutnya Allah menyuruh melepaskan wanita dengan baik dan tidak boleh mengambil barang-barang yang telah diberikan kepada istrinya bila terjadi perceraian, baik berupa maskawin dan lain-lain, tetapi bila dalam suatu perkawinan terdapat hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat lagi melaksanakan ketentuan Allah, maka khulu’ boleh dilakukan dengan memberikan tebusan.  Ibnu Katsir berkata bahwa banyak kalangan salaf dan Imam Khalaf mengatakan, “Susungguhnya tidak diperbolehkan melakukan khulu’ kecuali jika perselisihan dan kedurhakaan itu datangnya dari pihak wanita maka ketika itu si suami berhak menerima tebusan.  Didalam tafsir al-Qurtubi disebutkan bahwa ayat ayat ini merupakan landasan bolehnya khulu’. Menurut jumhur ulama khulu’ (talaq dalam bentuk tebusan) hukumnya jaiz (boleh). Ayat ini tidak ada disebutkan secara jelas bahwa tebusan wajibdalam melakukan khulu’. Hanya istri dibolehkan membayarkan tebusan bila ingin meminta khulu’. Jadi ayat ini menjadi dalil kebolehan melakukan khulu’.  Rasulullah SAW bersabda,  عن ابن عبا س ان امرأة ثا بت بن قيس اتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله، ثابت بن قيس، ماأعتب عليه فى خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر فى الاسلا م، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:أترد ين عليه حديقة؟ نعم، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم:"اقبل الحديقة وطلقها تطليقة" ( رواه النسائ ).   Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).     Hadis ini menjelaskan bahwa istridibolehkan meminta khulu’ dia takut akan kafir dalam Islam. Maksudnya pengingkaran terhadap nikmat bergaul dengan suami dan tidak akan dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak menunaikan haknya suami sehingga dia dibolehkan menebus dirinya ganti dari talak yang di terimanya.  Hadis diatas menguatkan ayat al-Quran mengenai hujjah kebolehan cerai gugat. Hadis-hadis tersebut menceritakan seorang istri yaitu istri Tsabit bin Qais yang ingin meminta cerai dari suaminya. Penyebab istri Tsabit bin Qais melakukan cerai gugat disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais melakukan hal itu karena ia sangat membenci rupa suaminya. Sehingga ia tidak sanggup lagi dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW. Cerai gugat istri Tsabit bin Qais merupakan cerai gugat pertama kali dalam Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun istri Tsabit bin Qais bernama Jamilah binti Abdullah bin Salul. Menurut ibnu Majah Jamilah binti Salul sedangkan menurut Abu Daud dan an-Nasa’i ia bernama Habibah binti Sahal.  Terakhir, landasan kebolehan cerai gugat adalah ijma’ para ulama yang sepakat membolehkan khulu’ atau istri meminta cerai dari suami. Cerai gugat ini dapat dilakukan apa bila kedua belah pihak takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, atau istri membenci suami baik itu rupa ataupun akhlaknya, atau karena di zalimi oleh suaminya.  Akibat Hukum Cerai Gugat cerai gugat dengan cara yang telah ditetapkan Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Adapun akibat hukum cerai gugat adalah:  Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah يما امرأة سألت زوجها الطلاق فى غير ما بأس فحرم عليها رانحة الجنة Artinya wanita manapun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau sorga.  Cerai gugat termasuk kedalam talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Hal ini dipertegas dalamKompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa:  Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak Ba’in Sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah Talak yang terjadi qabla al dukhul Talak dengan tebusan atau khulu’ Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak ba’in shugra, yaitu talak yang kurang dari 3 kali dan tidak boleh dirujuk tapi boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri meskipun dalam masa iddah.  Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu. Pasal 156 KHI dijelaskan akibat perceraian karena cerai gugat terhadap anak yakni: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh: Wanita-wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dari ibu   Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah Apabila anak sudah mumayyiz maka berhak memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain, yang mempunyai hak hadhanah pula. Biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak dewasa dan dapat mengurus diri sendiri yakni berusia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (c). Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya dengan menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.     Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan sebagai berikut:  Cerai gugat sama dengan khulu’ yang ada dalam Islam yakni permintaan istri kepada suami agar menceraikannya karena takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami menceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu’ atau semakna dengan itu dari suami. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Perbedaanya adalah cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwadh (tebusan) sedangkan khulu’ uang iwadh dijadikan dasar akan terjadinya khulu’.  Akibat cerai gugat Bagi Istri yang meminta cerai pada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ maka tidak dapat masuk surga karenamencium bau surga saja tidak bisa. Dengan adanya cerai gugat mantan istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba’in shugra. Jadi cerai gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepad istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah dari ayah atau ibunya. Saran Berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan sebagai kepada siapun yang hendak menikah hendaknya memahami betul hakikat pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut mampu mengayuh biduk rumah tangga dengan baik agar cobaan dan masalah yang dihadapi dapat diselasaikan dengan cara yang baik dan jauh dari perceraian., Ada beberapa kemungkinan cara orang mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah), sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya. Sebab-sebab tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara pengambilan yang bathil.  Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya. Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’ menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali.    Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka warung di tempat lokasi pelacuran. Jika yang membeli adalah seorang pelacur yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama dari kajian ini.   Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain. Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:  فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.  Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:  1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli   2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram   3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik  Catatan yang diberikan oleh beliau:   Apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat  Namun, apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat. Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat.    Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan).   Berbeda kondisinya bila orang yang menerima tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan” disebabkan profesi rentenir sang penyantun. Inilah yang dimaksudkan sebagai pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut:   أي أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا.   Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)  Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja, melainkan juga sang pemberi.   ولو اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل قاله شيخنا   Artinya:   Seandainya ada seseorang membeli makanan milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si pembeli memakan makanan itu.   Apabila penjual menyerahkan makanan setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli tersebut memakannya.   Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).  Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:   بين هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.  Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan: Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci:   Jika si penjual menyerahkan barang dengan kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli).   Jika pembeli membayarnya setelah makan dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum membayar (ia punya utang).   Namun, bila pembeli membayar harganya dari harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya utang).   Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12). Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya.  Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut:   Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian, gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang diberi, digaji atau pedagang.  Bilamana orang yang diberi, digaji dan penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli, dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual, penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram sehingga haram pula mendayagunakan harta itu.
Ada beberapa kemungkinan cara orang mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah), sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya. 

Sebab-sebab tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara pengambilan yang bathil.

Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya. Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’ menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali.  

Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka warung di tempat lokasi pelacuran.

Jika yang membeli adalah seorang pelacur yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama dari kajian ini. 

Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain. Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:

فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.

Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).

Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:

1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli 

2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram 

3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik

Catatan yang diberikan oleh beliau: 

  • Apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat 
  • Namun, apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat.
Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat.  

Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan). 

Berbeda kondisinya bila orang yang menerima tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan” disebabkan profesi rentenir sang penyantun. 

Inilah yang dimaksudkan sebagai pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut: 

أي أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا. 

Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)

Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.

Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja, melainkan juga sang pemberi. 

ولو اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل قاله شيخنا 

Artinya: 

  1. Seandainya ada seseorang membeli makanan milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si pembeli memakan makanan itu.  
  2. Apabila penjual menyerahkan makanan setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli tersebut memakannya.  
  3. Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).

Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:

 بين هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.

Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan: Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci: 

  1. Jika si penjual menyerahkan barang dengan kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli).  
  2. Jika pembeli membayarnya setelah makan dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum membayar (ia punya utang).  
  3. Namun, bila pembeli membayar harganya dari harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya utang).  
  4. Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12).
Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya.  

Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut: 

  1. Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian, gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang diberi, digaji atau pedagang. 
  2. Bilamana orang yang diberi, digaji dan penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli, dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual, penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram sehingga haram pula mendayagunakan harta itu. 
Referensi : Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?