This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label idak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label idak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 September 2022

idak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya

Orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.  Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,   لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ   “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)  Apalagi di masa pandemi yang membuat semuanya seakan jadi sulit ini. Banyak yang sepertinya sudah kehilangan akal dengan bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup. Banyak yang rela menempuh beragam cara yang salah dan menabrak rambu-rambu syariat agar bisa menyambung hidup. Bahkan sampai muncul ungkapan “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Naudzu billah.  Jelas ungkapan ini tidak tepat bagi seorang muslim. Karena mencari rezeki tidak hanya soal memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi mencari rezeki adalah bagian dari ibadah untuk mencari ketenangan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa salah satu pertanyaan di akhirat kelak yaitu darimana kita mendapatkan harta yang kita punya di dunia dan kemana kita membelanjakannya.  Bagaimanapun keadaannya, carilah rezeki dengan cara yang halal dan bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Karena setiap kita tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum sempurna rezekinya. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,  لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ  "Janganlah menganggap rezeki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram". (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi; dishahihkan syaikh Al Albani)  Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan.   Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”  Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut.   Mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.  Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud).  Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib  Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)  Kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.  Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.  Mengapa Harus Halal?  Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud).   Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.  Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah SWT. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya.  Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah SAW agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.”   Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah SWT.  Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.”  Kemudian Rasulullah SAW menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?”.  Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?   Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah SWT yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut.  Alasan mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT  1. Wujud keimanan kepada Allah Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah SWT.  2. Agar doa tidak terhalang Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.  3. Mencegah api neraka Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.  4. Mencegah timbulnya penyakit Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.  5. Tidak mengikuti langkah setan Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam AS dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah SWT menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.  Doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah  kepada ‘Ali bin Abi Thalib  اللهم اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك  Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu. Orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.  Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,   لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ   “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)  Apalagi di masa pandemi yang membuat semuanya seakan jadi sulit ini. Banyak yang sepertinya sudah kehilangan akal dengan bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup. Banyak yang rela menempuh beragam cara yang salah dan menabrak rambu-rambu syariat agar bisa menyambung hidup. Bahkan sampai muncul ungkapan “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Naudzu billah.  Jelas ungkapan ini tidak tepat bagi seorang muslim. Karena mencari rezeki tidak hanya soal memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi mencari rezeki adalah bagian dari ibadah untuk mencari ketenangan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa salah satu pertanyaan di akhirat kelak yaitu darimana kita mendapatkan harta yang kita punya di dunia dan kemana kita membelanjakannya.  Bagaimanapun keadaannya, carilah rezeki dengan cara yang halal dan bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Karena setiap kita tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum sempurna rezekinya. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,  لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ  "Janganlah menganggap rezeki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram". (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi; dishahihkan syaikh Al Albani)  Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan.   Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”  Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut.   Mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.  Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud).  Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib  Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)  Kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.  Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.  Mengapa Harus Halal?  Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud).   Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.  Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah SWT. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya.  Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah SAW agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.”   Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah SWT.  Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.”  Kemudian Rasulullah SAW menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?”.  Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?   Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah SWT yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut.  Alasan mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT  1. Wujud keimanan kepada Allah Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah SWT.  2. Agar doa tidak terhalang Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.  3. Mencegah api neraka Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.  4. Mencegah timbulnya penyakit Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.  5. Tidak mengikuti langkah setan Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam AS dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah SWT menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.  Doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah  kepada ‘Ali bin Abi Thalib  اللهم اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك  Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu.-Orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.  Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,   لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ   “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)  Apalagi di masa pandemi yang membuat semuanya seakan jadi sulit ini. Banyak yang sepertinya sudah kehilangan akal dengan bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup. Banyak yang rela menempuh beragam cara yang salah dan menabrak rambu-rambu syariat agar bisa menyambung hidup. Bahkan sampai muncul ungkapan “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Naudzu billah.  Jelas ungkapan ini tidak tepat bagi seorang muslim. Karena mencari rezeki tidak hanya soal memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi mencari rezeki adalah bagian dari ibadah untuk mencari ketenangan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa salah satu pertanyaan di akhirat kelak yaitu darimana kita mendapatkan harta yang kita punya di dunia dan kemana kita membelanjakannya.  Bagaimanapun keadaannya, carilah rezeki dengan cara yang halal dan bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Karena setiap kita tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum sempurna rezekinya. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,  لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ  "Janganlah menganggap rezeki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram". (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi; dishahihkan syaikh Al Albani)  Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan.   Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:  “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”  Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut.   Mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.  Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud).  Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib  Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)  Kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.  Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.  Mengapa Harus Halal?  Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud).   Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.  Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah SWT. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya.  Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah SAW agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.”   Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah SWT.  Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.”  Kemudian Rasulullah SAW menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?”.  Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?   Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah SWT yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut.  Alasan mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT  1. Wujud keimanan kepada Allah Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah SWT.  2. Agar doa tidak terhalang Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.  3. Mencegah api neraka Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.  4. Mencegah timbulnya penyakit Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.  5. Tidak mengikuti langkah setan Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam AS dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah SWT menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.  Doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah  kepada ‘Ali bin Abi Thalib  اللهم اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك  Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu.

Orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nikmat dunia yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Tindakan korupsi, perampokan, pembegalan, pengedaran narkoba, pencurian, penipuan merupakan beberapa contoh cara yang tidak halal untuk mendapatkan harta dan marak sekali diberitakan di media dan seringkali meresahkan dan merugikan masyarakat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
 
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
 
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)

Apalagi di masa pandemi yang membuat semuanya seakan jadi sulit ini. Banyak yang sepertinya sudah kehilangan akal dengan bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup. Banyak yang rela menempuh beragam cara yang salah dan menabrak rambu-rambu syariat agar bisa menyambung hidup. Bahkan sampai muncul ungkapan “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”. Naudzu billah.

Jelas ungkapan ini tidak tepat bagi seorang muslim. Karena mencari rezeki tidak hanya soal memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi mencari rezeki adalah bagian dari ibadah untuk mencari ketenangan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa salah satu pertanyaan di akhirat kelak yaitu darimana kita mendapatkan harta yang kita punya di dunia dan kemana kita membelanjakannya.

Bagaimanapun keadaannya, carilah rezeki dengan cara yang halal dan bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Karena setiap kita tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum sempurna rezekinya. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,

لاَ تَسْتَبْطِئُوْاالرِّزْقَ, فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ العَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ رِزْقٍ هُوَ لَهُ, فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ, أَخْذِ الحَلاَلِ وَ تَرْكِ الحَرَامِ

"Janganlah menganggap rezeki kalian lambat turun. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Carilah rezeki dengan cara yang baik (dengan) mengambil yang halal dan meninggalkan perkara yang haram". (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi; dishahihkan syaikh Al Albani)

Berbicara mengenai halal-haram, sesungguhnya halal-haram tidak hanya mencakup makanan dan minuman yang kita konsumsi, akan tetapi lebih dari itu, halal-haram merupakan persoalan kehidupan manusia secara keseluruhan. 

Sebagaimana firman Allah swt. yang tertulis di dalam Q.S. Al Baqarah [2] : 172 yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu beribadah.”

Kata “makanlah” di sini tidak saja berarti harfiah yaitu kegiatan makan dan minum, melainkan termasuk bagaimana cara memperoleh makanan tersebut. 

Mengenai pokok-pokok ajaran Islam tentang halal dan haram, dan salah satu pokok ajaran itu ialah “apa saja yang membawa kepada haram adalah haram”. Sehingga walaupun makanan itu halal, akan tetapi apabila cara pemerolehannya semisal dengan mencuri, maka ia haram untuk dimakan karena makanan tersebut merupakan hasil curian.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memperoleh harta dengan cara dosa, lalu ia menggunakannya untuk menjalin silaturrahmi, bersedekah, atau kepentingan di jalan Allah, niscaya Dia akan menghimpun semua hartanya itu lalu melemparkannya ke dalam neraka” (H.R. Abu Dawud).

Memahami Apa Itu Halal, Haram, dan Thayyib

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kata “halal” dan “haram” merupakan istilah Al Qur’an dan digunakan dalam berbagai hal, sebagiannya berkaitan dengan makanan dan minuman. Halal secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan menurut syariat untuk dilakukan, digunakan, atau diusahakan, dengan disertai perhatian cara memperolehnya, bukan dari hasil muamalah yang dilarang. Sementara thayyib bisa diartikan sebagai sesuatu yang layak bagi jasad atau tubuh, baik dari segi gizi dan kesehatan serta tidak membahayakan badan dan akal.

Kemudian haram, secara terminologi diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Allah dengan larangan yang tegas. Keharaman ada 2 macam yaitu karena disebabkan zatnya atau karena yang ditampakkannya.

Mengapa Harus Halal?

Rasulullah saw. bersabda, “Mencari sesuatu yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (H.R. Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud). 

Kewajiban ini di era sekarang pada akhirnya telah dicemari oleh beberapa syubhat dan transaksi-transaksi yang tidak sesuai syariat. Sehingga sebagian dari kita yang tidak mau benar-benar berfikir dan berusaha selalu beranggapan bahwa mencari sesuatu yang murni halal adalah suatu hal yang sulit, dan akhirnya mereka menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawi.

Padahal jika kita mengetahui, halal-haramnya makanan yang masuk ke tubuh kita akan berpengaruh terhadap kedekatan kita dengan Allah SWT. Kedekatan ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap doa-doa yang kita panjatkan kepadaNya. 
Diriwayatkan di dalam hadits Al-Thabarani bahwa salah satu sahabat yang bernama Sa’ad pernah memohon Rasulullah SAW agar mendoakan dirinya menjadi orang yang diijabah doanya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Baguskanlah makananmu, niscaya Allah menerima doamu.” 

Demikianlah kuatnya pengaruh makanan dan rezeki yang halal terhadap hubungan kita dengan Allah SWT.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari pun diceritakan bahwa dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah memerintahkan orang mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para rasul dalam firman,” Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan lakukanlah kesalehan.” Dan Allah berfirman, “Wahai orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang kami berikan yang baik-baik.” 
Kemudian Rasulullah SAW menyebut seseorang yang melakukan perjalanan panjang hingga rambutnya kusut dan berdebu, sambil menadahkan tangannya ke langit menyeru, “Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?”.

Dari dua hadits yang dikemukakan sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa halal-haramnya rezeki yang kita peroleh dan kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT. Dari sini pula kita bisa melakukan introspeksi. Apakah permasalahan halal hanya berada pada tataran kewajiban yang harus kita penuhi, atau kebutuhan yang tanpanya kita tidak bisa meraih hakikat hidup sebagai ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT?

Jika kita pahami lebih lanjut, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada pencipta kita, Allah SWT yang mana jika diuraikan menjadi sebagai berikut.

Alasan mengapa gaya hidup halal merupakan sarana untuk memelihara diri dan jiwa kita, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT

1. Wujud keimanan kepada Allah
Bagi mereka yang memahami ajaran Islam dengan baik, apapun yang masuk ke dalam  perutnya harus seizin sang pencipta, Allah SWT.

2. Agar doa tidak terhalang
Banyak orang pergi haji atau umrah ke tanah suci, dengan mengeluarkan harta yang tidak sedikit, agar bisa berdoa di tempat yang mustajabah. Akan tetapi, kesucian tempat berdoa tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diiringi dengan kesucian makanan yang masuk ke dalam perut.

3. Mencegah api neraka
Alasan lain bagi kita untuk menghindari makanan haram adalah untuk menjauhkan diri kita dari api neraka, karena daging yang tumbuh dari asupan makanan haram akan menjadi sasaran api neraka di akhirat nanti. Wal ‘iyaadzu billah.

4. Mencegah timbulnya penyakit
Salah satu hikmah dari menghindari makanan yang haram adalah terhindarnya diri kita dari penyakit. Apalagi jika makanan yang kita makan adalah makanan yang thayyib, yang jelas nilai gizinya dan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.

5. Tidak mengikuti langkah setan
Pelajaran mengenai halal-haram sebetulnya sudah dikisahkan melalui kisah Adam as., Hawa, dan larangan memakan buah khuldi. Setan menggoda Adam AS dan Hawa untuk memakannya sehingga Allah SWT menghukum mereka. Maka demikian pula akibatnya jika seseorang mengikuti langkah setan dan memakan apa yang dilarang dan diharamkan Allah. Na’uudzu billaahi mindzalik.

Doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah  kepada ‘Ali bin Abi Thalib

اللهم اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك

Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu.