This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Istri menceraikan suami ketika suami masuk penjara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Istri menceraikan suami ketika suami masuk penjara. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2022

Istri menceraikan suami ketika suami masuk penjara

Istri menceraikan suami  ketika suami masuk penjara . Apakah seorang istri bisa menggugat cerai suaminya yang ketika itu terkenan kasus hukum dan masuk penjara? apakah bisa seorang itri mengurus surat cerai secara sepihak tanpa pernah sekalipun meminta tanda tangan suaminya? dan apakah hasil surat/sertifikat cerai tersebut sah dimata hukum? terima kasih  Dijawab Oleh   Dijawab oleh: Rahmad Syafaat Habibi, S.H. (Penyuluh Hukum Pertama) Sebelumnya kami Penyuluh Hukum pada Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN Kemenkumham mengucapkan terimakasih karena Anda telah menggunakan layanan konsultasi hukum di website/app www.lsc.bphn.go.id. Mengenai pertanyaan Anda Apakah seorang istri bisa menggugat cerai suaminya padahal suaminya sedang berada di penjara, dan apakah seorang istri tersebut bisa mengurus surat cerai tersebut secara sepihak serta apakah surat cerai tersebut sah secara hukum. Sebelum Saya menjawab pertanyaan Anda maka terlebih dahulu Saya akan menjelaskan apa yang dimaksud perceraian.   Saya akan menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Perceraian atau Cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Pisah atau Putus hubungan sebagai suami istri. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 38 perkawinan dapat putus karena :a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki bini.   Perceraian sebagai jalan terakhir dari penyelesaian problematika keluarga di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 34 ayat (3) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 77 ayat (5) Komplikasi Hukum Islam dinyatakan bahwa “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Dalam undang-undang perkawinan, antara suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan kedudukannya masing-masing.   Oleh karna itu jika salah satu pasangan melanggar hak dan kewajiban mereka, maka masing-masing memiliki hak yang sama untuk mengajukan gugatan perceraian. Pasal 114 KHI menyebutkan adanya dua istilah cerai, yaitu cerai talak dan cerai gugat. a. Cerai talak adalah putusnya hubungan perkawinan dari pihak suami. b. Cerai gugat adalah putusnya hubungan perkawinan atas gugatan cerai dari pihak istri. Dalam cerai talak, petitum perkaranya mengijinkan penggugat untuk menjatuhkan talak kepada tergugat, implikasi hukumnya bahwa sepanjang mantan istri tidak nusyuz maka suami masih memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah iddah dan nafkah muth’ah kepada mantan istri, sedangkan dalam cerai gugat, petitum perkaranya adalah tergugat menjatuhkan talak satu ba’in sughra kepada penggugat. Untuk implikasi cerai gugat, istri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah maupun nafkah muth’ah. Berdasarkan pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 115 KHI, perkawinan dianggap putus apabila telah diikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama, setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip mempersulit perceraian, maka tata cara perceraian diatur dengan ketat dalam pasal 39-nya, yaitu:   1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.   2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian dimuat dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI sebagai berikut:   1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang susah disembuhkan.   2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.   3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung   4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain.   5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.   6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga   Jadi mengenai pertanyaan Anda apakah bisa seorang suami digugat cerai oleh istri ketika suami sedang dipenjara, maka menurut Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI adalah bisa. Kemudian mengenai pertanyaan Anda apakah surat/sertifikat/akta cerai tersebut sah secara hukum, maka jika surat tersebut ditetapkan atau dikeluarkan oleh Pengadilan Agama berdasarkan sidang yang telah inkrah maka hal itu sah secara hukum islam dan hukum positif.   Demikian jawaban yang dapat saya berikan, semoga bermanfaat dalam menambah wawasan hukum saudara dan juga dapat menjadikan kita bersama untuk lebih taat dan sadar hukum, terimakasih. Disclaimer : Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai pendapat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.

Istri menceraikan suami  ketika suami masuk penjara . 
Apakah seorang istri bisa menggugat cerai suaminya yang ketika itu terkenan kasus hukum dan masuk penjara? apakah bisa seorang itri mengurus surat cerai secara sepihak tanpa pernah sekalipun meminta tanda tangan suaminya? dan apakah hasil surat/sertifikat cerai tersebut sah dimata hukum? terima kasih

Dijawab Oleh 

Dijawab oleh: Rahmad Syafaat Habibi, S.H. (Penyuluh Hukum Pertama) Sebelumnya kami Penyuluh Hukum pada Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN Kemenkumham mengucapkan terimakasih karena Anda telah menggunakan layanan konsultasi hukum di website/app www.lsc.bphn.go.id. Mengenai pertanyaan Anda Apakah seorang istri bisa menggugat cerai suaminya padahal suaminya sedang berada di penjara, dan apakah seorang istri tersebut bisa mengurus surat cerai tersebut secara sepihak serta apakah surat cerai tersebut sah secara hukum. Sebelum Saya menjawab pertanyaan Anda maka terlebih dahulu Saya akan menjelaskan apa yang dimaksud perceraian. 

Saya akan menjelaskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Perceraian atau Cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Pisah atau Putus hubungan sebagai suami istri. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 38 perkawinan dapat putus karena :a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki bini. 

Perceraian sebagai jalan terakhir dari penyelesaian problematika keluarga di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 34 ayat (3) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 77 ayat (5) Komplikasi Hukum Islam dinyatakan bahwa “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Dalam undang-undang perkawinan, antara suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan kedudukannya masing-masing. 

Oleh karna itu jika salah satu pasangan melanggar hak dan kewajiban mereka, maka masing-masing memiliki hak yang sama untuk mengajukan gugatan perceraian. Pasal 114 KHI menyebutkan adanya dua istilah cerai, yaitu cerai talak dan cerai gugat. a. Cerai talak adalah putusnya hubungan perkawinan dari pihak suami. b. Cerai gugat adalah putusnya hubungan perkawinan atas gugatan cerai dari pihak istri. Dalam cerai talak, petitum perkaranya mengijinkan penggugat untuk menjatuhkan talak kepada tergugat, implikasi hukumnya bahwa sepanjang mantan istri tidak nusyuz maka suami masih memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah iddah dan nafkah muth’ah kepada mantan istri, sedangkan dalam cerai gugat, petitum perkaranya adalah tergugat menjatuhkan talak satu ba’in sughra kepada penggugat. Untuk implikasi cerai gugat, istri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah maupun nafkah muth’ah. Berdasarkan pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 115 KHI, perkawinan dianggap putus apabila telah diikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama, setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip mempersulit perceraian, maka tata cara perceraian diatur dengan ketat dalam pasal 39-nya, yaitu: 

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. 

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian dimuat dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI sebagai berikut: 

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang susah disembuhkan. 

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung 

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain. 

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri. 

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga 

Jadi mengenai pertanyaan Anda apakah bisa seorang suami digugat cerai oleh istri ketika suami sedang dipenjara, maka menurut Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI adalah bisa. Kemudian mengenai pertanyaan Anda apakah surat/sertifikat/akta cerai tersebut sah secara hukum, maka jika surat tersebut ditetapkan atau dikeluarkan oleh Pengadilan Agama berdasarkan sidang yang telah inkrah maka hal itu sah secara hukum islam dan hukum positif. 

Demikian jawaban yang dapat saya berikan, semoga bermanfaat dalam menambah wawasan hukum saudara dan juga dapat menjadikan kita bersama untuk lebih taat dan sadar hukum, terimakasih. Disclaimer : Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai pendapat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.


Referensi : Istri menceraikan suami  ketika suami masuk penjara