This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Ragu untuk Menikah? Inilah 5 Tanda Siap Menikah Dalam Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ragu untuk Menikah? Inilah 5 Tanda Siap Menikah Dalam Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 September 2022

Ragu untuk Menikah? Inilah 5 Tanda Siap Menikah Dalam Islam

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan. 

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

 أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya :

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

QS. AnNuur 032

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ 

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”      “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah      Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah      Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.      Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak. Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.    Referensi : Ragu untuk Menikah? Inilah 5 Tanda Siap Menikah Dalam Islam

“Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”

Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.

1. Bekal ilmu

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab

Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.

3. Kesiapan menerima anak

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.

4. Kesiapan psikis

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.

Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.

Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.

5. Kesiapan Ruhiah

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah      Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.

Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.

Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.

Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.

Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.   Pernikahan menjadi momen yang membahagiakan bagi semua orang dan menjadi pintu untuk memasuki kehidupan yang baru sebagai sepasang suami istri. Pada kenyataannya, jalannya pernikahan tidak mudah dan menuntut kematangan berpikir dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Seperti apakah tanda siap menikah dalam Islam? Berikut dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan.        أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu  Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ  Artinya :  “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”  QS. AnNuur 032  وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (bujangan/perawan) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”  Ada beberapa hal yang harus kita ketahui sebelum memasuki pernikahan yang bisa dijadikan sebagai tanda siap menikah dalam Islam.  1. Bekal ilmu      Mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasehati istri, mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu: ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana melakukan. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkan ilmu agama kepada istri. Nah begitu pentingnya bukan masalah ilmu. Namun, masalahnya ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak mungkin member bekal ilmu yang memadai. Maka kita harus tahu ilmu-ilmunya itu dari sekarang. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab  Banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang sebagian yang sudah menikah sehingga kadang-kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi pakaian kepada istrinya bila ia berpakaian, memberi makan bila ia makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan itu, istri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tidak bisa berikan. Masih ada tanggung jawab lain, misalnya pemenuhan kebutuhan seksual. Banyak persoalan yang timbul akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan ini. Umumnya, masalah yang berkenaan dengan hal ini bersumber dari dua hal : istri selalu mampu, tetapi tidak selalu mau; di sisi lain, suami selalu mau, tetapi tidak selalu mampu. Dan masih banyak lagi tanggung jawab yang harus bisa kita lakukan. Namun itulah sebagian tanggung jawab yang harus kita lakukan, bila masih kurang jelas, carilah buku yang lebih mendetail soal tanggung jawab dalam pernikahan.  3. Kesiapan menerima anak  Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa-gesa. Menyegerakan menikah, insya Allah, akan membuahkan kebaikan sehingga keluarga yang baru terbentuk akan mendapat barakah dan penuh ketengan (sakinah). Sebaliknya, sikap tergesa-gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan. Ada sebagian dari saudara-saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih berstatus makruh untuk menikah. Ia bersikeras untuk menikah tanpa bersabar terlebih dahulu. Setelah menikah, timbul persoalan yang tidak hanya memusingkan dirinya sendiri, melainkan juga teman-temannya, saudara-saudaranya, orang tuanya serta orang-orang lain. Ia bukan saja tidak siap menerima kehadiran anak, berumah tangga saja ia tidak siap. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah dalam arti kesiapan untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis.  4. Kesiapan psikis  Umumnya mereka yang bangkit semangat keagamaannya setelah kuliah, kurang memiliki latar belakang agama yang memadai. Di satu sisi lain, para akhwat kebanyakan berasal dari latar belakang social ekonomi menengah keatas, sedangkan para ikhwan sebaliknya, banyak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi mengenah kebawah. Perbedaan latar belakang ini dapat menimbulkan problem penyesuaian diri, terutama apabila akhwat tidak memiliki kesiapan psikis untuk berumah tangga dengan pola kehidupan yang benar-benar berbeda dari keluarganya.  Mereka membayangkan indahnya pernikahan, kadang tanpa belajar untuk siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak akan menikah dengannya. Mereka membayangkan tentang istri atau suami tentang suami atau istri yang ideal. Mereka mempelajari kemanjaan Aisyah radhiallahu ‘anha tanpa dibarengi dengan kesiapan bahwa Aisyah adalah seorang pencemburu berat. Betapa banyak yang mendambakan memiliki istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Kesiapan psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Ini tidak berarti kita kemudian bisa leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan-kekurangan kita, sekalipun sebagian diantara kekurangan tersebut memang sepatutnya dimaklumi dari pada dituntut untuk diperbaiki. Selain itu, kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja, berbeda dari orang tuanya. Upaya perbaikan bisa dilakukan dengan menyemangati, mendorong, dan menopang suami di kala membutuhkan perhatian dan penerimaan yang tulus. Ini akan melahirkan kecintaan yang besar pada diri seorang suami.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Persoalan lain yang kadang menjadi benih yang kurang baik bagi persiapan psikis adalah angan-angan naif dari sebagian saudara kita—dan kadang mendapat peneguhan dari sebagian ustadz. Mereka membayangkan bahwa dengan menikah akan ada yang mencucikan setiap saat, memijatnya disaat letih, mengusapkah di saat suntuk, dan seterusnya. Bayangan tentang pernikahan dipenuhi oleh impian-impian seperti itu.  Cara berpikir kekanak-kanakan semacam itu berpengaruh terhadap cara mereka mempersiapkan apa yang mereka dapatkan dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana rumah tangga sehingga begitu memasukinya, banyak keluh kesah yang terucap dan kekesalan yang terlontarkan. Ini bukan karena mereka menikah di usia muda, tetapi karena kesiapan psikis mereka yang belum tertawa saat memasukinya.  5. Kesiapan Ruhiah      Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.  Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.  Sebenarnya, hanya dengan berbekal kesiapan ruhian, telah cukup bagi kita memasuki jenjang pernikahan. Jika seseorang benar-benar bagus agamanya, hatinya akan halus sehingga mudah menerima peringatan dan nasihat. Ia akan mudah tersentuh oleh kebaikan-kebaikan serta anjuran-anjuran agama. Insya Allah, ia juga akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang terimanya sekecil apapun nilainya.  Sekalipun bekal ilmu masih sangat kurang, jika memiliki ruhiah yang benar-benar matang, itu telah mencukupi. Kesiapan ruhian yang baik menjadikan seseorang mudah menerima targhib wa tarhib. Seseorang yang hatinya telah terbuka terhadap kebenaran risalah-Nya, akan mendahulukan naqli daripada aqli, mendahulukan dalil yang jelas daripada rakyu atau zhan ‘persangkaan’ sekalipun terhadap masalah yang tampaknya muskhil.  Apabila ia marah, ia tidak sampai terjerumus kepada pengabaian kewajiban-kewajiban, karena yang ia lihat bukan orang yang menjadi pendampingnya, melainkan Rabb yang menciptakan pendampingnya; Rabb yang menghalalkan hubungan mereka dengan perjanjian yang amat berat. Lalu, apa yang dimaksud dengan kesiapan ruhiah? Sederhana saja. Istilah ini merujuk kepada kondisi seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh oleh kesadaran agama. Mereka yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, mudah menerima nasihat, teguran maupun pemberitahuan mengenai tuntutan agama, sekalipun ilmu mereka masih sangat kurang.  Sebaliknya, seseorang yang banyak memiliki pengetahuan berkenaan dengan ilmu-ilmu agama, belum tentu hati mereka mudah menerima nasihat agama. Jadi, kesiapan hati inilah yang membedakan bukan kadar pengetahuannya tentang agama.      Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.

Demikianlah tanda siap menikah dalam Islam. Jadi, jika anda sudah merasa gelisah jika pada malam-malam yang sepi yang mencekam tidak ada teman yang mendampingi, inilah saatnya bagi anda untuk menikah. Disaat anda sudah mulai tidak tenang saat sendirian menjalani hidup, itulah saatnya anda perlu hidup berdua. Jika anda begitu resah saat melihat akhwat di perjalanan, itulah saatnya anda menguatkan hati untuk datang meminang. Hanya dua kalimat saja yang perlu anda persiapkan untuk meminang: alhamdullah bila diterima dan Allahu Akbar bila ditolak.


Referensi : Ragu untuk Menikah? Inilah 5 Tanda Siap Menikah Dalam Islam