This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Tafsir Surat Adh Dhuha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir Surat Adh Dhuha. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 September 2022

Tafsir Surat Adh Dhuha


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالضُّحٰى -وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰى -مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰى -وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰى -وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰى -اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰى -وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰى -وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰى -فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ -وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ


Demi waktu matahari sepenggalahan naik.

Dan demi malam apabila telah sunyi.

Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.

Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.

Dan kelak pasti Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk?

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan?

Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang!

Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya!

Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Surat yang mulia ini adalah makkiyah.[1]

Berkaitan dengan asbab nuzul (sebab turunnya) surat ini, ada beberapa riwayat atau hadits yang shahih, di antaranya hadits Jundub bin Abdillah bin Sufyan al Bajali Radhiyallahu anhu , ia berkata :


اِحْتَبَسَ جِبْرِيْلُ عليه السلام عَلَى النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ: أَبْطَأَ عَلَيْهِ شَيْطَانُهُ. فَنَـزَلَتْ: وَالضُّحَى. وَاللَّـيْلِ إِذاَ سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَ 


Jibril Alaihisssallam  tertahan (tidak kunjung datang) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, , lalu berkata seorang wanita[2] dari Quraisy : “Setannya terlambat datang kepadanya,” maka turunlah :


وَالضُّحٰى -وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰى -مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰى


(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu). [3]


Pada riwayat yang lain dengan sedikit perbedaan lafazh, Jundub bin Abdillah al Bajali Radhiyallahu anhu berkata:


اِشْتَكَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَـتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً، فَجَاءَتْ اِمْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ، إِنِّيْ لأَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ شَيْطَانُكَ قَدْ تَرَكَكَ، لَمْ أَرَهُ قُرْبَكَ مُنْذُ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً. فَأَنْزَلَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadu dan tidak keluar selama dua atau tiga malam. Lalu datang seorang wanita, dan berkata: “Wahai, Muhammad! Sesungguhnya aku sangat berharap agar setanmu benar-benar telah meninggalkanmu. Aku  tidak melihatnya selama dua atau tiga malam,” maka Allah turunkan …” (surat adh Dhuha).[4]


Ada juga beberapa riwayat dan hadits lainnya yang berkaitan dengan (sebab turunnya) surat ini, namun seluruhnya berkisar antara dha’if (lemah), dha’ifun jiddan (lemah sekali), dan munkar (menyelisihi riwayat yang shahih).[5]


Pada ayat pertama surat adh Dhuha ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu dhuha. Yaitu waktu ketika menjelang siang, saat matahari mulai naik dan menerangi dengan cahayanya. Dan di ayat yang kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu malam yang tenang, sunyi dan gelap gulita.[6]


Ayat ketiga pada surat ini, merupakan jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal yang disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Yang maknanya ialah, Allah Subhanahu wa Ta’ala  tidak meninggalkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak (pula) membencinya sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintainya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap bersamanya, membimbingnya, dan meninggikan derajatnya setingkat demi setingkat. Hal ini menunjukkan, bahwa keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari dahulu sampai pada saat turunnya ayat ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan yang sangat baik dan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencintai dan membimbingnya. Sehingga, ayat ini juga merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik dan wanita musyrik tersebut yang berprasangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditinggalkan dan dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.[7]


Pada ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa yang akan datang akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terus selalu mendapatkan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala , hingga beliau benar-benar mendapatkan derajat tertinggi di sisiNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa membelanya, memenangkan agamaNya di atas musuh-musuhnya, senantiasa membimbingnya hingga beliau wafat. Dan sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencapai derajat tersebut. Yaitu sebuah derajat yang tidak akan pernah dicapai oleh siapapun dari orang-orang terdahulu sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang datang sepeninggal beliau, berupa keutamaan-keutamaan dan kenikmatan-kenikmatan yang begitu banyak dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]


Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Maksud ayat ini adalah, akhirat lebih baik bagimu (wahai Muhammad) daripada dunia ini. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud (merasa cukup dan tidak terlalu membutuhkan, pen) di dunia ini. Beliau adalah orang yang paling jauh dari keduniaan, sebagaimana telah diketahui dari seputar sejarah hidup beliau. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) pada akhir usia beliau, (yakni pilihan) antara tetap hidup kekal di dunia ini yang akhirnya mengantarkan beliau ke surga, dan (pilihan berupa) segera pergi menuju Allah Azza wa Jalla, beliaupun memilih apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala , daripada kehidupan di dunia ini”.[9]


Kemudian al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia berkata:


نَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ   عَلَى حَصِيْرٍ، فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: ((مَا لِيْ وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ أَسْتَظِلُّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا)).


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar, kemudian beliau bangun, sedangkan di tubuh beliau terdapat bekas tikar, kamipun berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya (tadi) kami siapkan untukmu alas pelapis (tikar),”  beliaupun bersabda : “Apalah (artinya) untukku semua yang ada di dunia ini? Tidaklah diriku berada di dunia ini, melainkan bagai pengendara yang berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya?” [10]


Berkaitan dengan penjelasan al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di atas, juga ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata :


كَانَ النَِّبيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  يَقُوْلُ وَهُوَ صَحِيْحٌ: ((إِنَّهُ لَمْ يُقْبَضْ نَبِيٌّ قَطُّ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، ثُمَّ يُخَيَّرُ))، فَلَمَّا نُزِلَ بِهِ وَرَأْسُهُ عَلَى فَخِذِيْ، غُشِيَ عَلَيْهِ سَاعَةً، ثُمَّ أَفَاقَ، فَأَشْخَصَ بَصَرَهُ إِلَى السَّقْفِ، ثُمَّ قَالَ: ((اَللَّهُمَّ الرَّفِيْقَ الأَعْلَى))، قُلْتُ: إِذاً، لاَ يَخْتَارُنَا، وَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ كَانَ يُحَدِّثُنَا بِهِ، قَالَتْ: فَكَانَتْ تِلْكَ آخِرَ كَلِمَةٍ تَكَلَّمَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ   قَوْلَهُ: ((اَللَّهُمَّ الرَّفِيْقَ الأَعْلَى)).


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tatkala masih dalam keadaan sehat : “Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun yang diwafatkan (oleh Allah) hingga ia melihat tempatnya di surga, kemudian ia diberi pilihan,” maka tatkala beliau sakit dan kepalanya berada di atas pahaku, beliau pingsan sejenak, kemudian beliau sadarkan diri dan membelalakkan matanya ke langit-langit, kemudian berkata: “Ya, Allah. (Aku memilih derajat di sisiMu) Yang Maha Tinggi”, aku berkata: “Kalau begitu, beliau tidak lagi memilih kami. Akupun mengetahui bahwa itu adalah hadits yang dahulu pernah beliau sampaikan kepada kami. Itulah kata terakhir yang beliau ucapkan, yaitu: “Ya, Allah. (Aku memilih derajat di sisiMu) Yang Maha Tinggi”.[11]


Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada ayat yang ke lima:


وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ


“Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”.


Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dan menegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan diberi karunia dan pemberianNya sampai beliau ridha.


Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata,”Ayat ini merupakan sebuah ungkapan (atas karunia dan pemberian Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang tidak mungkin ada ungkapan lainnya yang lebih umum dan gamblang dari ungkapan ini.”[12]


Berkenaan dengan ayat ini, terdapat sebuah riwayat dari Ali bin Abdillah bin ‘Abbas, dari ayahnya (Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma), ia berkata:


أُرِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ   مَا يُفْتَحُ عَلَى أُمَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ، فَسُرَّ بِذَلِكَ فَأَنْزَلَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى، إِلَى قَوْلِهِ: وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى، قَالَ: فَأَعْطَاهُ أَلْفَ قَصْرٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ لُؤْلُؤٍ تُرَابُهُ الْمِسْكُ، فِي كُلِّ قَصْرٍ مِنْهَا مَا يَنْبَغِيْ لَهُ.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan hal-hal yang akan dibukakan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk umatnya sepeninggalnya. Beliaupun merasa gembira dengannya, maka Allah turunkan:


وَالضُّحٰىۙ -وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ


(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi), sampai firmanNya:


وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ


(Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas).


Ia (Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma) berkata: “Maka Allah pun memberinya seribu istana yang terbuat dari mutiara di surga. Tanahnya adalah misik (minyak wangi). Dan  di setiap istana tersebut (tersedia) apa-apa yang sudah selayaknya untuknya”. [13]


Al Hafizh Ibnu Katsir berkata,”(Hadits ini) diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (ath Thabari) dari jalannya. Dan sanad (hadits ini) shahih sampai Ibnu ‘Abbas. Dan perkara seperti ini tidak mungkin dikatakan, keculi dengan persaksian (pembenaran) (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[14]


Ada juga hadits shahih lainnya yang berkaitan dengan ayat ini, yaitu hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata:


أَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  تَلاَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ: رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَإِنَّهُ مِنِّيْ، وَقَالَ عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ: إِنْ تُعَذَِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: ((اَللَّهُمَّ أُمَّتِيْ أُمَّتِيْ))، وَبَكَى، فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا جِبْرِيْلُ، اِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ، فَسَلْهُ مَا يُبْكِيْكَ؟ فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَسَأَلَهُ، فَأَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  بِمَا قَالَ وَهُوَ أَعْلَمُ، فَقَالَ اللهُ: يَا جِبْرِيْلُ، اِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ فَقُلْ: إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِيْ أُمَّتِكَ وَلاَ نَسُوْءُكَ.


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah (atas lisan) Ibrahim Alaihissallam :

رَبِّ اِنَّهُنَّ اَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِۚ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّهٗ مِنِّيْۚ وَمَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


(Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku –Ibrahim/14 ayat 36).


Dan berkata ‘Isa Alaihissallam :


اِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَاِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۚوَاِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَاِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ


(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana – al Maidah/5 ayat 118).


Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengangkat ke dua tangannya dan berkata: “Ya Allah, umatku…umatku,”  dan menangis. Maka Allah Azza wa Jalla berkata: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad, dan Rabb-mu lebih mengetahui. Dan tanyalah (kepadanya), apa yang membuatmu menangis?” Lalu Jibril u pun mendatanginya dan bertanya kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukannya, dan Allah lebih mengetahuinya, kemudian Allah berkata: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad, dan katakana,’Sesungguhnya Kami akan membuatmu ridha dan (Kami) tidak akan berbuat buruk kepadamu’.”[15]


Adapun ayat yang keenam, al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan: “Kemudian Allah menyebutkan beberapa kenikmatan yang telah Ia karuniakan kepada hamba dan RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ


(Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?).


Hal itu, karena ayah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, sedangkan ia masih berada di dalam rahim ibunya. Ada yang mengatakan, (ayahnya meninggal) setelah beliau dilahirkan. Kemudian, ibunya (yang bernama) Aminah bintu Wahb meninggal, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berusia enam tahun. Kemudian beliau diasuh kakeknya Abdul Muththalib, dan akhirnya meninggal pula pada saat usia beliau delapan tahun. Lalu diasuh pamannya. Maka, paman beliaulah yang benar-benar melindunginya, membelanya, meninggikan derajatnya, menghormatinya, dan terus menolong dan melindunginya dari gangguan kaumnya, sampai akhirnya Allah mengutus beliau sebagai seorang Rasulullah, dan usia beliau ketika itu sudah empat puluh tahun. Demikianlah, namun Abu Thalib tetap memeluk agama kaumnya, (berupa) penyembahan berhala. Semuanya itu terjadi dengan taqdir Allah dan bimbinganNya. Hingga akhirnya Abu Thalib pun meninggal beberapa saat sebelum beliau hijrah. Pada saat itu, orang-orang kuffar Quraisy mulai berani mengganggu dan menyakiti beliau. Maka Allah memerintahkan RasulNya agar berhijrah dan pindah menuju sebuah tempat kaum al Anshar dari kalangan al Aus dan Al Khajraj. Maka terjadilah sunnatullah (ketentuan Allah) ini dengan sangat baik dan sempurna. Tatkala beliau sampai kepada mereka, mereka menyambutnya, membelanya, melindunginya, dan (bahkan) merekapun berperang bersamanya. Semoga Allah meridhai mereka seluruhnya. Semuanya ini terjadi dengan penjagaan Allah terhadapnya dan bimbinganNya selalu kepadanya”. [16]


Pada ayat ketujuh Allah berfirman:


وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ


(Dan (bukankah) Dia (pula yang) mendapatimu sebagai seorang yang bingung (tersesat), lalu Dia memberikan petunjuk?).


Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (ayat ini) seperti firman Allah :


وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ


(Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa al Kitab (al Qur`an), dan tidak pula mengetahui apa iman itu? Tetapi Kami menjadikan al Qur`an itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. – asy Syura/42 ayat 52).[17]


Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata,”(Maksud ayat ini adalah), Allah mendapati dirimu (wahai Muhammad) dalam keadaan kamu tidak mengetahui apa itu al Qur`an dan apa itu iman, lalu Allah mengajarkan kepadamu apa-apa yang belum kamu ketahui, dan Dia pula yang mendidik dan membimbingmu agar amal perbuatan dan akhlakmu semakin baik.”[18]


Pada ayat yang kedelapan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ 


(Dan (bukankan) Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?).


Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”(Maksudnya adalah), bukankah dahulu kamu (wahai Muhammad) fakir dan miskin? Lalu Allah membuatmu cukup dari apa-apa selain Allah? Sehingga Allah menggabungkan dua sifat (terpuji). (Yaitu) seorang fakir yang bersabar dan seorang kaya (berkecukupan) yang bersyukur.”[19]


Ada sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:


عَنِ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  قَالَ: ((لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرْضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ)).


Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kekayaan bukanlah kekayaan harta, akan tetapi kaya itu adalah kekayaan (kecukupan) jiwa”. [20]


Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  قَالَ: ((قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافاً، وَقَنَعَهُ الله ُبِمَا آتاَهُ)).


Sesunguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh beruntung orang yang berserah diri, lalu diberi rezki dengan cukup, dan Allah telah membuatnya berkecukupan (menerima) dengan apa-apa yang Ia berikan”.[21]


Adapun tiga ayat terakhir dalam surat yang mulia ini adalah:


فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرۗ – وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ – وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang! Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya! Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).


Makna ketiga ayat di atas adalah :

Sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) seorang yatim yang tidak memiliki ayah, lalu Allah melindungimu dengan penjagaanNya, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang atau menzhalimi anak yatim. Jangan pula kamu merasa sempit dadamu dengan kehadirannya. Dan jangan pula kamu menghardik atau membentaknya. Bahkan sudah seharusnya kamu memuliakannya. Berilah sesuatu yang mudah untuk kamu berikan kepadanya. Dan bermu’amalahlah kepadanya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana kamu bermu’amalah dengan anak-anakmu.[22]


Dan sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) tersesat dan tidak memahami apapun, lalu Allah menunjukkanmu, maka janganlah kamu menghardik dan menolak dengan keras orang yang meminta-minta. Bahkan berilah sesuatu yang mudah untuk kamu berikan kepadanya. Atau jika tidak, maka tolaklah dengan baik, lemah-lembut, dan dengan akhlak yang baik. Hal ini, mencakup orang yang meminta harta ataupun ilmu. Oleh karenanya, seorang guru dituntut untuk berperangai mulia dan berakhlak baik terhadap anak didiknya. Ia dituntut untuk memuliakan dan mengasihi muridnya.


Dan sebagaimana dahulu dirimu (wahai Muhammad) fakir dan membutuhkan pertolongan orang lain, lalu Allah pun mencukupkanmu, maka bersyukurlah kepadaNya dengan menyebut-nyebut kenikmatan-kenikmatan Rabb-mu yang mencakup kenikmatan di dunia maupun kenikmatan di akhirat, yang telah Ia karuniakan kepadamu jika terdapat padanya kemaslahatan. Dan jika tidak ada maslahatnya, maka hendaknya kamu sebutkan kenikmatan-kenikmatan Rabb-mu secara mutlak. Karena menyebut-nyebut kenikmatan-kenikmatan Allah akan mengundang rasa syukur seorang mu’min, dan membuahkan bertambahnya rasa cinta dalam hatinya kepada Rabb-nya yang telah memberinya kenikmatan tersebut. Karena hati seseorang terfitrahkan mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.[23]


Berikut ini beberapa hadits shahih atau hasan yang berkaitan dengan ke tiga ayat di atas.

1. Hadits Sahl bin Sa’ad as Sa’idi Radhiyallahu anhu, beliau berkata :


عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  قَالَ: ((أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا))، وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّـبَّابَةِ وَالْوُسْطَى.


Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Aku dan orang yang menanggung (mengasuh) anak yatim seperti ini di surga”, dan beliau mengisyaratkan dengan ke dua jarinya, jari telunjuk dan jari tengahnya.[24]


2. Hadits Abu ad Darda’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata:


أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ قَلْبِهِ، قَالَ: ((أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ وَتُدْرِكَ حَاجَتَكَ؟ اِرْحَمْ الْيَتِيْمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ)).


Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan tentang kekerasan hatinya. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu ingin agar hatimu lunak (lembut) dan mendapatkan kebutuhanmu? Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, berilah ia makan dari makananmu, (maka) hatimu akan lunak (lembut) dan kamu akan mendapatkan kebutuhanmu”.[25]


3. Hadits Mu’awiyah bin al Hakam as Sulami Radhiyallahu anhu yang cukup panjang, tentang diharamkannya berbicara ketika seseorang sedang shalat. Beliau berkata tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan dan membimbingnya :


…مَا رَأَيْتُ مُعَلِّماً قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيْماً مِنْهُ، فَوَاللهِ مَا كَهَرَنِيْ وَلاَ ضَرَبَنِيْ وَلاَ شَتَمَنِيْ، قَالَ: ((إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ))…


…Aku belum pernah melihat seorang pendidikpun sebelumnya maupun setelahnya yang lebih baik darinya. Demi Allah, ia tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. (Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: “Sesungguhnya shalat ini tidak baik, (jika) di dalamnya terdapat pembicaraan orang. Akan tetapi shalat itu adalah tasbih, takbir, dan bacaan al Qur`an”…[26]


4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:


عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  قَالَ: ((لاَ يَشْكُرُ الله َمَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ)).


Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia”.[27]


5. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :


عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  قَالَ: ((مَنْ أُبْلِيَ بَلاَءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ)).


Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa yang diberi kenikmatan (pemberian), kemudian dia menyebutnya, sungguh ia telah bersyukur. Dan jika ia menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya”.[28]


6. Juga hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhuma (dengan sedikit perbedaan lafazh dengan hadits di atas), beliau berkata :


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ  : ((مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ، فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ)).


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang diberi sebuah pemberian lalu ia dapatkan (apa yang ia inginkan), maka hendaknya ia membalasnya (dengan kebaikan pula). Apabila ia tidak mendapatkannya, maka hendaknya ia memujinya. (Karena) barangsiapa yang memujinya, sungguh ia telah bersyukur. Dan (barangsiapa) yang menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya”.[29]


Demikian tafsir singkat surat adh Dhuha ini. Mudah-mudahan kita senantiasa diberi taufikNya untuk menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tauladan, baik dari sisi aqidah, ibadah dan akhlak beliau yang mulia. Dan mudah-mudahan pula menambah iman, ilmu dan amal shalih kita.

Wallahu a’lam bish Shawab.


Maraji’ & Mashadir :


Al Qur`an dan terjemahnya, Cet Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.

Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.

Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.

Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.

Jami’ at Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa at Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.

Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy Syaibani (164-241), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.

Al Mustadrak ‘ala ash Shahihain, Muhammad bin Abdillah al Hakim an Naisaburi (321-405 H), tahqiq Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Dar al Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, Th. 1411 H/1990 M.

Fathul Bari, Ibnu Hajar al Asqalani (773-852 H), tahqiq Muhibbuddin al Khatib, Daar al Ma’rifah, Beirut.

Tafsir ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari (224-310 H), tahqiq Mahmud Syakir, Daar Ihya at Turats, Beirut, Cet. I, Th. 1421 H/ 2001 M.

Tafsir al Qurthubi (al Jami’ li Ahkamil Qur`an), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq al Mahdi, Daar al Kitab al ‘Arabi, Cet. II, Th. 1421 H/1999 M.

Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al Qur`an al ‘Azhim), Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayyibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/2002 M.

Ad Durr al Mantsur, Aburrahman bin al Kamal Jalaluddin as Suyuthi (911H), Daar al Fikr, Beirut, th 1993 M.

Adhwa’ al Bayan, Muhammad al Amin Asy Syinqithi (1393H), tahqiq Maktab ad Durus wa ad Dirasat, Daar al Fikr, Beirut, Th. 1415 H/ 1995M.

Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Daar as Salam, Cet. I, Th. 1422 H/2001 M.

An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, al Imam Majd ad Diin Abi as Sa’adat al Mubarak bin Muhammad al Jazari Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001 M.

Shahih Sunan abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

Shahih Sunan Ibnu Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami.

As Silsilah ash Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

Shahih at Targhib wa at Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.

Ash shahih al Musnad min Asbaab an Nuzul, Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi al Wadi’i, Maktabah Shan’a al Atsariyah, Yaman, Cet. II, Th. 1425 H/2004 M.

Al Isti’aab Fi Bayan al Asbaab, Salim bin ‘Id al Hilali dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, Daar Ibn al Jauzi, KSA, Cet I, Th. 1425 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


[1] Lihat Tafsir ath Thabari (30/277), al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/82), Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/423), ad Durr al Mantsur (8/539), Taisir al Karim ar Rahman (2/1176). Dan al Imam al Qurthubi di dalam tafsirnya (20/82) berkata: “(Surat ini) makkiyah menurut kesepakatan (ulama)”. Lihat pula al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/520).

[2] Ia adalah Ummu Jamil al ‘Auraa’ binti Harb bin Umayah bin Abdisyams bin Abdi ’Manaf, saudari kandung Abu Sufyan bin Harb, istri Abu Lahab. Lihat Fathul Bari (3/8) dan penjelasan muhaqqiq kitab al Jami’ li Ahkam al Qur`an, Abdurrazzaq al Mahdi (20/83).

[3] HR al Bukhari (1/378 no. 1073, 4/1892 no. 4667, 4/1906 no. 4698), Muslim (3/1421-1422 no. 1797), dan lain-lain. Lihat pula ash Shahih al Musnad min Asbab an Nuzul, hlm 267 dan al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/520).

[4] Lihat footnote sebelumnya.

[5] Lihat al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/520-526).

[6] Lihat Tafsir ath Thabari (30/277), al Jami’ li Ahkam al Qur’an (20/82), Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/425), ad Durr al Mantsur (8/541), Adhwa’ al Bayan (8/536 dan 554), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/1176).

[7] Lihat footnote sebelumnya. Lihat pula al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/520-521).

[8] Lihat Taisir al Karim ar Rahman (2/1176).

[9] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/425).

[10] HR at Tirmidzi (4/588 no. 2377), Ibnu Majah (2/1376 no. 4109), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah di dalam Shahih at Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah, Shahih al Jami’ (5668), as Silsilah ash Shahihah (1/800), dan kitab-kitab beliau lainnya.

[11] HR al Bukhari (5/2387 no. 5144, 5/2337 no. 5988, 4/1620 no. 4194, 4/1613 no. 4173), Muslim (4/1894 no. 2444), dan lain-lain.

[12] Lihat Taisir al Karim ar Rahman (2/1177).

[13] HR ath Thabari di dalam tafsirnya (30/281), al Hakim di dalam al Mustadrak (2/573), dan lain-lain. Al Hakim berkata: “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh al Bukhari dan Muslim”.

Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah di dalam as Silsilah ash Shahihah (6/687). Dan dishahihkan pula oleh asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan asy Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr di dalam kitab mereka al Isti’aab fii Bayan al Asbaab (3/521-522). Demikian pula asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah di dalam kitabnya ash Shahih al Musnad min Asbab an Nuzul, hlm 267-268.

[14] Lihat Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/426).

[15] HR Muslim (1/191 no 202), dan lain-lain. Lihat pula al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/86-87).

[16] Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/426). Lihat pula Tafsir ath Thabari (30/281), al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/87), Adhwa’ al Bayan (8/571), dan Taisir al Karim ar Rahman (2/1177).

[17] Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/426).

[18] Taisir al Karim ar Rahman (2/1177).

Al Imam al Qurthubi di dalam tafsirnya, al Jami’ li Ahkam al Qur`an (20/87-90) membawakan kurang lebih sekitar lima belas perkataan ulama ketika menafsirkan makna ayat yang ketujuh surat adh Dhuha ini. Di antaranya :

Pertama, kamu (wahai Muhammad) lalai dan belum memahami apa yang dialami olehmu tentang perkara kenabian, kemudian Allah memberimu petunjuk.

Kedua, kamu (wahai Muhammad) belum mengetahui al Qur`an dan syariat-syariat, kemudian Allah menunjukkanmu kepada al Qur`an dan syariat-syariat Islam.

Ketiga, kamu (wahai Muhammad) tidak memahami hijrah, lalu Allah menunjukkanmu kepadanya. Keempat, kamu (wahai Muhammad) lupa terhadap perkataan “insya Allah” tatkala kamu ditanya tentang perkara ashhabul kahfi (para penghuni gua) dan tentang Dzulqarnain dan roh, kemudian Allah mengingatkanmu tentang semua itu.

Kelima, kamu (wahai Muhammad) meminta petunjuk arah kiblat, lalu Allah menunjukkanmu kepadanya.

Dan masih banyak lagi penafsiran ayat ini, yang tidak perlu dibawakan di sini seluruhnya, karena semuanya tidak berdasarkan dalil yang shahih, atau bahkan tidak berdasarkan dalil sama sekali.

Pentahqiq kitab al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Abdurrazzaq al Mahdi berkata: “Seluruh perkataan ini tidak shahih, dan hal ini adalah salah satu bid’ah dalam menafsirkan (ayat al Qur’an)”. Lihat al Jami’ li Ahkam Al Qur’an (20/89). Kecuali apa yang telah ditafsirkan oleh al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di atas, karena beliau menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya dalam surat asy Syura ayat 52. Demikian halnya penafsiran asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah di atas. Wallahu a’lam.

[19] Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/427).

[20] HR al Bukhari (5/2368 no 6081), Muslim (2/726 no 1051), dan lain-lain.

[21] HR Muslim (2/730 no 1054), dan lain-lain.

[22] Lihat Tafsir al Qur`an al ‘Azhim (8/427) dan Taisir al Karim ar Rahman (2/1178).

[23] Lihat footnote sebelumnya.

[24] HR al Bukhari (5/2237 no 5659), dan Muslim (4/2287 no 2983) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan lain-lain.

[25] Lihat Shahih at Targhib wa at Tarhib (2/676 no 2544). Dan asy Syaikh al Albani rahimahullah menghasankan hadits ini.

[26] HR Muslim (1/381 no 537), dan lain-lain.

[27] HR Abu Dawud (4/255 no 4811), at Tirmidzi (4/339 no 1954), Ahmad (2/295 no 7926), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih at Tirmidzi, Shahih al Jami’ (6601 dan 7719), as Silsilah ash Shahihah (1/776), dan kitab-kitab beliau lainnya.

[28] HR Abu Dawud (4/256 no 4814) dan lain-lain. Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih al Jami’ (5933), as Silsilah ash Shahihah (2/182), dan kitab-kitab beliau lainnya.

Berkaitan dengan hadits ini, al Imam Ibnu al Atsir berkata di dalam kitabnya an Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/159) : “(Makna) Al iblaa’ (الإِبْلاَءُ) yaitu al in’aam  (الإِنْعاَمُ) pemberian nikmat, dan al ihsaan (الإِحْسَانُ), perbuatan baik”.

[29] HR Abu Dawud (4/255 no 4813) dan lain-lain. Dan hadits ini dihasankan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah di dalam Shahih Abu Dawud, Shahih al Jami’ (6056), dan kitab-kitab beliau lainnya.