Lama Masa Iddah Perempuan Setelah Suami Meninggal atau Cerai Hidup. Masa iddah merupakan waktu bagi seorang wanita yang telah menikah, untuk menunggu sejenak sebelum menikah kembali. Masa ini biasanya memberi potensi kedua belah pihak untuk rujuk. Berikut ini penjelasan mengenai hak dan kewajiban saat masa iddah.
Apa Itu Masa Iddah?
Iddah dalam buku Fiqih Wanita karangan Muhammad Fuad, ialah penantian (masa menunggu) yang harus (wajib) dilakukan seorang wanita, atau wali anak perempuan yang masih kecil, ketika kehilangan janji perkawinan.
Iddah menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah adalah istilah untuk masa-masa bagi seorang perempuan menunggu dan mencegah dirinya dari menikah setelah wafatnya sang suami atau setelah cerai.
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri.
Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa iddah. Dalam agama Islam seorang wanita yang sedang dalam masa iddah sudah ditentukan larangan-larangan atau ketentuan yang harus dilakukan.
Salah satunya masa iddah berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya, masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa iddah yaitu massa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya atau ditinggal mati suaminya dan tidak boleh menikah dengan orang lain selama menjalani masa iddah.
Kenapa Harus Ada Masa Iddah?
Dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia karangan Sayuti Thalib tertulis beberapa hal yang dikemukakan langsung oleh Tuhan dalam surah mengenai kegunaan adanya masa iddah ini. Yakni sebagai berikut:
1. Menenangkan Kedua Pihak
Memberikan suatu jangka waktu kepada suami isteri yang mungkin masih tersulut emosi menghadapi suatu kekeruhan rumah tangga, sampai terjadi perceraian. Masa iddah berfungsi untuk menenangkan pikiran kedua belah pihak. Maka akan timbul kejernihan pikiran kembali, sehingga mereka mampu membina kembali rumah tangganya.
2. Melihat Kehamilan
Selama masa iddah itu berkisar antara tiga atau empat bulan, sehingga akan dapat diketahui dengan agak kuat apakah sang istri sedang hamil atau tidak. Dengan demikian akan menjadi suatu kepastian hukum mengenai bapak si calon bayi.
Dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dinyatakan bahwa, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Hak Perempuan Selama Masa Iddah
1. Mut'ah
Mut'ah atau harta yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada istri yang telah diceraikannya. Harta tersebut berupa kain, baju, nafkah, pelayanan, atau lainnya. Besar dan kecilnya jumlah tunjangan harta tersebut tergantung kepada kondisi ekonomi suami.
Tunjangan wajib diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah:
"Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa." (Q.S Al-Baqarah:241).
2. Hak Penuh Sebelum Dicerai
Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj'i, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan tempat tinggal.
3. Nafkah
Istri yang cerai dalam bentuk thalaq bain (baik bain sughra atau bain qubra) dan dia sedang hamil. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia menerangkan dalam hal ini ulama sepakat, bahwa istri berhak atas nafkah atau tempat tinggal.
Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surat at-Thalaq: 6:
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (Q.S at-Thalaq: 6).
Kewajiban memberikan nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah, maka istri berkedudukan penerima, nafkah. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan suami.
4. Hadhanah (Hak Mendidik dan Merawat)
Secara terminologis, hadhanah merawat dan mendidik seorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya, karena mereka belum dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam arti yang lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Dasar hukumnya adalah mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istrinya dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah:233:
"...adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya..." (Al-Baqarah: 233).
Kewajiban Perempuan Selama Masa Iddah
Dalam buku Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy dijelaskan kewajiban wanita yang sedang menjalani masa iddah adalah menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual, tidak mengenakan apa saja yang membuat orang lain tertarik melihat kepadanya, dan juga tidak boleh keluar rumah.
Serta dilarang menerima khitbah (pinangan) dan dilarang menikah. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan mantan suami dengan orang lain.
Waktu Masa Iddah dan Konsekuensi Jika Melanggarnya
Dalam jurnal Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan oleh Muhamad Isna Wahyudi diterangkan waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut:
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian suami. Apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, terhitung sejak:
Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus karena cerai talak, atau
Putusan pengadilan
Apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga bulan (90 hari).
Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani iddah tidak haid bukan karena menyusui, maka iddahnya satu tahun, akan tetapi apabila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Rumusan Pasal 124 adalah sebagai berikut:
Apabila suami meninggal dalam waktu iddah talak raj'i sebagaimana dimaksud Pasal 123 ayat 2 huruf b, ayat 3 dan ayat 4, maka iddah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung sejak kematian suami.
Sementara konsekuensi jika melanggar, dilansir laman Kemenag Kalsel, yakni dapat membatalkan keabsahan nikah mengingat ketentuan masa iddah menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan seorang janda.
Para ahli fiqih sepakat, pernikahan di masa iddah tidak sah, sebagaimana ketentuan UU Perkawinan 1/1974 pasal 2 ayat (1):
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu".
Referensi : Lama Masa Iddah Perempuan Setelah Suami Meninggal atau Cerai Hidup