This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 September 2022

Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai

Pertanyaan :  Saya punya teman, ia punya masalah keluarga yang cukup pelik. Ayah kandungnya selama 10 tahun ini telah meninggalkan istri resminya, tetapi ia tetap bertempat tinggal dekat dengan keluarga istrinya itu. Mereka belum bercerai. Yang jadi permasalahan, kewajiban ayah adalah memenuhi kewajiban rumah tangganya, tapi sudah 10 tahun ini ia tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga dari istri sahnya. Sekarang anak-anaknya sangat membutuhkan bantuan untuk menyadarkan ayahnya dan menuntut hak mereka sebagai anak. Bagaimana caranya (setidaknya hanya menggertak sang ayah) untuk tetap mulai memenuhi kewajibannya? Dan apakah akan langsung disetujui jika istri menggugat suami karena berselingkuh tanpa izin? Apa saja pasal-pasal yang berlaku dan akan memberatkan beliau?  Ulasan Lengkap  Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Kewajiban Seorang Ayah Kepada Anak yang dipublikasikan pertama kali pada Senin, 5 Juni 2017.  Sebelum membahas perihal kewajiban ayah sebagai orang tuanya, Anda harus pastikan dahulu, apakah subjek yang ditanyakan masih termasuk dalam kategori “anak” sesuai undang-undang. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1]  Mengapa ini penting? Karena apabila seseorang sudah tidak dikategorikan sebagai anak, maka ia tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua. Atau dengan kata lain, orang tuanya juga sudah tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk merawat anaknya tersebut.  Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau  Mulai Dari  Rp 149.000  Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua  Apabila ternyata teman Anda masih termasuk dalam kategori anak, maka ia dapat meminta orang tuanya memenuhi kewajibannya. Adapun makna dari orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, dan ayah dan/atau ibu angkat.[2]  Tugas ayah atau ibu dan kewajiban ayah atau ibu yang didefinisikan sebagai orang tua, antara lain:[3]  mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.  Dalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.[4]  Selain bertanggung jawab atas anak, melindungi istri adalah tanggung jawab ayah (suami) pula. Tanggung jawab kepala keluarga ini tertuang dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan yang menerangkan suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.  Larangan Orang Tua Menelantarkan Anak  Setiap anak, sejatinya berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan penelantaran, misalnya tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya.[5]  Di samping itu, kewajiban seorang ayah atau bapak juga diatur dalam terdapat dalam UU PKDRT. Dalam UU PKDRT tersebut, dikatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[6]  Anak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya, dalam hal ini adalah ayah. Oleh karena, itu, secara undang-undang, memberikan nafkah bagi anak adalah kewajiban ayah atau tugas seorang ayah yang wajib dilakukan.  Adapun sanksi bagi seorang ayah yang tidak memenuhi kewajiban ayah seperti memberikan nafkah pada anaknya atau melakukan penelantaran terhadap anak adalah pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[7]  Selain itu, UU 35/2014 juga mengatur larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.[8] Setiap orang yang melanggar ketentuan ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.[9]  Baca Juga: Langkah Hukum Jika Ayah Tak Menafkahi Anak dan Istrinya  Jerat Pidana Bagi Suami yang Selingkuh  Menjawab pertanyaan Anda tentang perselingkuhan, jika dalam hal ini istri ingin menggugat suaminya, berarti istri tersebut harus mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.  Namun, jika yang Anda maksud adalah melaporkan perselingkuhan suami kepada polisi, maka dapat digunakan Pasal 284 KUHP mengenai dugaan tindak pidana perzinahan.  Meski demikian, kami tidak bisa memberikan opini lebih jauh soal dapat atau tidaknya Pasal 284 KUHP digunakan dalam masalah ini. Hal ini karena dalam pertanyaan Anda tidak menjelaskan apakah memang terjadi zina sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP.  Selain itu, perlu diingat bahwa penuntutan atas delik perzinahan hanya dilakukan apabila pengaduan tersebut diikuti dengan proses perceraian dari suami-istri tersebut (bagi mereka yang berlaku Pasal 27 KUH Perdata di mana seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja). Bila tidak demikian, penuntutan tidak dapat dilakukan.[10]  Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.  Demikian jawaban dari kami terkait kewajiban ayah dan jerat pidana suami selingkuh sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.  Dasar Hukum:    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pertanyaan : 

Saya punya teman, ia punya masalah keluarga yang cukup pelik. Ayah kandungnya selama 10 tahun ini telah meninggalkan istri resminya, tetapi ia tetap bertempat tinggal dekat dengan keluarga istrinya itu. Mereka belum bercerai. Yang jadi permasalahan, kewajiban ayah adalah memenuhi kewajiban rumah tangganya, tapi sudah 10 tahun ini ia tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga dari istri sahnya. Sekarang anak-anaknya sangat membutuhkan bantuan untuk menyadarkan ayahnya dan menuntut hak mereka sebagai anak. Bagaimana caranya (setidaknya hanya menggertak sang ayah) untuk tetap mulai memenuhi kewajibannya? Dan apakah akan langsung disetujui jika istri menggugat suami karena berselingkuh tanpa izin? Apa saja pasal-pasal yang berlaku dan akan memberatkan beliau?

Ulasan Lengkap

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Kewajiban Seorang Ayah Kepada Anak yang dipublikasikan pertama kali pada Senin, 5 Juni 2017.

Sebelum membahas perihal kewajiban ayah sebagai orang tuanya, Anda harus pastikan dahulu, apakah subjek yang ditanyakan masih termasuk dalam kategori “anak” sesuai undang-undang. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1]

Mengapa ini penting? Karena apabila seseorang sudah tidak dikategorikan sebagai anak, maka ia tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua. Atau dengan kata lain, orang tuanya juga sudah tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk merawat anaknya tersebut.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau

Mulai Dari

Rp 149.000

Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua

Apabila ternyata teman Anda masih termasuk dalam kategori anak, maka ia dapat meminta orang tuanya memenuhi kewajibannya. Adapun makna dari orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, dan ayah dan/atau ibu angkat.[2]

Tugas ayah atau ibu dan kewajiban ayah atau ibu yang didefinisikan sebagai orang tua, antara lain:[3]

  • mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
  • menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  • mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
  • memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Dalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.[4]

Selain bertanggung jawab atas anak, melindungi istri adalah tanggung jawab ayah (suami) pula. Tanggung jawab kepala keluarga ini tertuang dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan yang menerangkan suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Larangan Orang Tua Menelantarkan Anak

Setiap anak, sejatinya berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan penelantaran, misalnya tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya.[5]

Di samping itu, kewajiban seorang ayah atau bapak juga diatur dalam terdapat dalam UU PKDRT. Dalam UU PKDRT tersebut, dikatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[6]

Anak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya, dalam hal ini adalah ayah. Oleh karena, itu, secara undang-undang, memberikan nafkah bagi anak adalah kewajiban ayah atau tugas seorang ayah yang wajib dilakukan.

Adapun sanksi bagi seorang ayah yang tidak memenuhi kewajiban ayah seperti memberikan nafkah pada anaknya atau melakukan penelantaran terhadap anak adalah pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[7]

Selain itu, UU 35/2014 juga mengatur larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.[8] Setiap orang yang melanggar ketentuan ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.[9]

Baca Juga: Langkah Hukum Jika Ayah Tak Menafkahi Anak dan Istrinya

Jerat Pidana Bagi Suami yang Selingkuh

Menjawab pertanyaan Anda tentang perselingkuhan, jika dalam hal ini istri ingin menggugat suaminya, berarti istri tersebut harus mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

Namun, jika yang Anda maksud adalah melaporkan perselingkuhan suami kepada polisi, maka dapat digunakan Pasal 284 KUHP mengenai dugaan tindak pidana perzinahan.

Meski demikian, kami tidak bisa memberikan opini lebih jauh soal dapat atau tidaknya Pasal 284 KUHP digunakan dalam masalah ini. Hal ini karena dalam pertanyaan Anda tidak menjelaskan apakah memang terjadi zina sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP.

Selain itu, perlu diingat bahwa penuntutan atas delik perzinahan hanya dilakukan apabila pengaduan tersebut diikuti dengan proses perceraian dari suami-istri tersebut (bagi mereka yang berlaku Pasal 27 KUH Perdata di mana seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja). Bila tidak demikian, penuntutan tidak dapat dilakukan.[10]

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami terkait kewajiban ayah dan jerat pidana suami selingkuh sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Referensi : Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai


Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai

Pendidikan anak pasca cerai. Tanggung jawab orang tua dalam membesarkan buah hatinya adalah sebuah kewajiban. Kewajiban secara umumnya ialah mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Kewajiban terbesar tersebut ada di tangan ayah selaku kepala keluarga. Sayangnya masih banyak yang abai dalam perkara ini, terutama ketika perceraian terjadi dalam sebuah keluarga. Kewajiban mantan suami/ayah memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dari bunyi pasal di atas, sudah dapat diketahui bahwa kewajiban menafkahi semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan anak pasca perceraian ada pada ayah. Apabila pihak ayah tidak dapat memenuhi kewajiban itu, atas putusan pengadilan maka pihak ibu yang ikut menanggung biaya tersebut.  Ditegaskan Kembali dalam Pasal 149 huruf jo Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pihak ayah tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri. Usia  di sini adalah 21 tahun atau masuk usia dewasa.  Jika terdapat perkara harta gono gini, maka ini harus dibagi dan diselesaikan dengan baik. Namun adanya harta gono gini tidak mempengaruhi tanggung jawab pihak ayah dalam membiayai anaknya, walaupun urusannya dengan mantan isteri sudah selesai.  Selanjutnya, jika pihak ayah tidak dapat menanggung biaya untuk anak sendirian, maka bicarakan dengan mantan pasangan. Jadi di sini biaya ditanggung oleh kedua orang tua anak secara patungan. Hal ini harus disepakati bersama. Bukan hanya persoalan jumlah biaya, namun bagaimana kelanjutan Pendidikan anak, mengenai kebutuhan, biaya hidup dan tempat tinggalnya (apabila harus keluar kota), dan lain sebagainya.  Pendidikan Anak Pasca Cerai Dalam Pandangan Islam ? Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 33 menyebutkan:  “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”  Ini menjelaskan bahwa seorang pria dianugerahi kekuatan untuk dapat memimpin, dan hal ini juga akan dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia tetapi juga kelak di akhirat.  Kemudian Allah Subhanahuwata’ala berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 34:  “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”  Sudah jelas di sini bagaimana tanggung jawab seorang laki-laki. Maka diwajibkan atas mereka memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Dan tanggung jawab kepada anak juga tetap wajib dilaksanakan walaupun sudah bercerai dengan pasangannya.  Tanggung jawab menafkahi anak dapat berhenti ketika anak sudah masuk usia dewasa dan dapat merawat dirinya sendiri. Dilansir dari NU Online yaitu kitab Hasyiyah Al-Baijuri:  “Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya.”  “Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)  Lalu Bagaimana Pandangan Negara? Negara juga mengatur hal larangan menelantarkan anak dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan menelantarkan. Setiap Orang yang melanggar, dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.    Referensi : Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai

Pendidikan anak pasca cerai. Tanggung jawab orang tua dalam membesarkan buah hatinya adalah sebuah kewajiban. Kewajiban secara umumnya ialah mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Kewajiban terbesar tersebut ada di tangan ayah selaku kepala keluarga.

Sayangnya masih banyak yang abai dalam perkara ini, terutama ketika perceraian terjadi dalam sebuah keluarga. Kewajiban mantan suami/ayah memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari bunyi pasal di atas, sudah dapat diketahui bahwa kewajiban menafkahi semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan anak pasca perceraian ada pada ayah. Apabila pihak ayah tidak dapat memenuhi kewajiban itu, atas putusan pengadilan maka pihak ibu yang ikut menanggung biaya tersebut.

Ditegaskan Kembali dalam Pasal 149 huruf jo Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pihak ayah tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri. Usia  di sini adalah 21 tahun atau masuk usia dewasa.

Jika terdapat perkara harta gono gini, maka ini harus dibagi dan diselesaikan dengan baik. Namun adanya harta gono gini tidak mempengaruhi tanggung jawab pihak ayah dalam membiayai anaknya, walaupun urusannya dengan mantan isteri sudah selesai.

Selanjutnya, jika pihak ayah tidak dapat menanggung biaya untuk anak sendirian, maka bicarakan dengan mantan pasangan. Jadi di sini biaya ditanggung oleh kedua orang tua anak secara patungan. Hal ini harus disepakati bersama. Bukan hanya persoalan jumlah biaya, namun bagaimana kelanjutan Pendidikan anak, mengenai kebutuhan, biaya hidup dan tempat tinggalnya (apabila harus keluar kota), dan lain sebagainya.

Pendidikan Anak Pasca Cerai Dalam Pandangan Islam ?

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 33 menyebutkan:

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”

Ini menjelaskan bahwa seorang pria dianugerahi kekuatan untuk dapat memimpin, dan hal ini juga akan dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia tetapi juga kelak di akhirat.

Kemudian Allah Subhanahuwata’ala berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

Sudah jelas di sini bagaimana tanggung jawab seorang laki-laki. Maka diwajibkan atas mereka memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Dan tanggung jawab kepada anak juga tetap wajib dilaksanakan walaupun sudah bercerai dengan pasangannya.

Tanggung jawab menafkahi anak dapat berhenti ketika anak sudah masuk usia dewasa dan dapat merawat dirinya sendiri. Dilansir dari NU Online yaitu kitab Hasyiyah Al-Baijuri:

“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya.”

“Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)

Lalu Bagaimana Pandangan Negara?

Negara juga mengatur hal larangan menelantarkan anak dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan menelantarkan. Setiap Orang yang melanggar, dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.


Referensi : Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Anak Pasca Cerai