Mengonsumsi makanan haram adalah sebuah larangan dalam agama Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam salah satu firman-Nya:
Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).
Dua jenis makanan di atas adalah makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh seorang Muslim dan wajib untuk menghindarinya. Lantas bagaimana jika seorang Muslim terlanjur atau pernah mengonsumsi makanan yang diharamkan oleh syara’? Apa yang semestinya harus ia lakukan atas perbuatan itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baik kiranya kita perhatikan teladan yang dilakukan oleh Sahabat Abu Bakar tatkala ia mengetahui bahwa makanan yang dikonsumsinya merupakan makanan syubhat:
“Terdapat keterangan dari Sahabat Abu Bakar bahwa beliau pernah mengonsumsi makanan syubhat yang tidak ia ketahui. Ketika beliau mengetahui bahwa makanan tersebut syubhat, beliau memasukkan tangan ke dalam mulutnya lalu berusaha memutahkan makanan itu” (Musthafa Bagha dan Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarh Arba’in an-Nawawi, hal. 38). Dari kisah tersebut kiranya dapat diambil pelajaran (ibrah) tentang bahaya mengonsumsi makanan syubhat serta kehati-hatian Sayyidina Abu Bakar dalam menyaring makanan yang masuk ke perutya. Jika pada makanan syubhat saja wujud kehati-hatian beliau sampai demikian, apalagi pada perkara yang haram!
Hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah mengonsumsi makanan haram adalah bertaubat. Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:
Menyudahi perbuatan dosa saat itu juga
Menyesalinya Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
Mengembalikan hak orang lain yang dizalimi,
meminta maaf, atau meminta pembebasan tanggungan akibat kezaliman itu.
Poin nomor pertama hingga ketiga berlaku untuk kasus dosa atau maksiat yang berhubungan dengan Allah (haqqullah), sedangkan poin keempat adalah syarat tambahan ketika doa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia (haq adami). (Lihat Imam An-Nawawi, al-Adzkar An-Nawawiyah, h. 438). Berdasarkan referensi di atas, cara bertaubat antara mengonsumsi makanan haram secara dzatiyah dan makanan haram karena melalui cara yang haram pun berbeda. Yang pertama cukup dengan menerapkan tiga syarat di atas karena menyangkut haqqullah, sementara yang kedua mesti ditambah dengan syarat taubat yang keempat, yakni menyelesaikan urusan sosialnya: mengganti makanan yang telah dikonsumsi, meminta maaf, serta meminta kerelaan pada pemilik makanan.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin memberi penjelasan lebih rinci tentang penyelesaian haq adami ini: Orang yang memperoleh harta haram atau hasil kezaliman (pencurian, korupsi, penipuan, dan semacamnya) wajib bertaubat dengan cara mengembalikan seluruh harta haram itu sesegera mungkin kepada pemilik. Jika si pemilik tidak diketahui, selama masih mungkin ditemukan, wajib baginya berikhtiar secara sungguh-sungguh mencarinya atau ahli warisnya. Disunnahkan mengumumkannya ke khalayak. Barang itu boleh tetap dibawa ketika tidak menemukan qadli terpercaya (institusi berwenang yang dapat diserahi barang tersebut, red). Jika ikhtiar maksimal mencari pemilik tidak berhasil maka harta tersebut tergolong bagian harta baitul mal (kas pemerintah), seperti halnya harta titipan dan harta ghasab yang kecil kemungkinan ditemukan pemiliknya, begitu juga harta warisan (tirkah) yang tidak diketahui ahli warisnya. Harta-harta ini pada akhirnya adalah milik publik, yang mesti dialokasikan untuk kemaslahatan umat Muslim, berdasarkan prioritas kepentingan mereka, seperti membangun masjid, sekiranya tidak ada pengalokasian yang lebih umum lagi. Jika pemakan harta haram itu adalah orang fakir, maka ia boleh mengambil harta tersebut berdasarkan kadar kebutuhan dirinya dan keluarganya yang juga fakir, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj dan lainnya. (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Darul Fikr, hal. 329).
Bagaimana cara menentukan kadar makanan yang harus dikembalikan pada pemiliknya itu ketika kadar tersebut bercampur? Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din dijelaskan bahwa sejauh masih bisa dipilah secara fisik maka wajib dipilah lalu dikembalikan ke pemiliknya. Bila tidak bisa dipilah maka cukup memberikan barang padanannya. Jika tidak ada padanannya maka cukup menggantinya dengan nominal yang senilai dengan barang tersebut. Bagaimana jika tidak diketahui secara pasti jumlahnya? Menurut Imam al-Ghazali, pijakannya ada dua, yakni keyakinan dan dugaan kuat. Artinya, orang yang mengonsumsi hak orang lain itu cukup mengganti senilai jumlah yang diyakini paling valid (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 2, hal. 127).
Walhasil dapat disimpulkan bahwa hal yang wajib dilakukan bagi orang yang terlanjur mengonsumsi makanan haram adalah segera bertaubat kepada Allah dengan melakukan tiga hal. Pertama, segera menyudahi maksiat (mengonsumsi makanan haram) saat itu juga. Kedua, merasa menyesal pernah mengonsumsi makanan yang haram. Ketiga, bertekad untuk tidak mengulang kembali maksiat berupa mengonsumsi makanan haram yang pernah dilakukannya. Sedangkan untuk bertaubat atas mengonsumsi makanan halal yang didapatkan dengan cara yang haram selain harus melakukan tiga syarat di atas, diwajibkan pula untuk mengembalikan makanan yang pernah dikonsumsinya kepada pemiliknya atau memohon kerelaan atas makanan tersebut pada pemiliknya. Jika makanan yang pernah dikonsumsinya ada padanannya, maka wajib mengganti dengan makanan yang sama. Jika tidak ada padanannya maka mengganti dengan nominal seharga makanan tersebut. Sedangkan jika ia sudah lupa kadar makanan milik orang lain yang ia konsumsi, maka ia wajib mengganti dengan kadar makanan atau nominal harga yang sekiranya muncul keyakinan atau dugaan kuat pada dirinya bahwa makanan tersebut mencapai kadar yang pernah ia konsumsi.