Anak tiri adalah anak yang didapat dari suami atau isteri yang bukan anak kandungnya. Anak tiri berarti anak bawaan suami atau anak bawaan istri yang bukan hasil perkawinan dengan istri atau suami yang sekarang. Jadi anak tiri itu ada dua macam. Yang pertama adalah anak suami dari hasil pernikahannya dengan isteri yang lain dan yang kedua adalah anak isteri dari hasil pernikahannya dengan suami yang lain.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kumpulan hukum-hukum terapan dalam bidang ahwalussahsiyah (hukum keluarga) yang terdiri dari 3 buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Dalam hukum perkawinan, KHI tidak mengatur secara tuntas tentang kedudukan anak tiri. KHI tidak memberikan definisi atau pengertian terhadap anak tiri. Apa dan siapa anak tiri tidak dijelaskan oleh KHI.
Dalam hukum perkawinan KHI hanya mengatur sedikit tentang anak tiri, yaitu hanya pada dua tempat. Pertama dalam Bab VI ketika KHI membicarakan tentang larangan perkawinan dan kedua dalam Bab XI ketika KHI membicarakan tentang batalnya perkawinan.
Yang pertama yaitu dalam Bab VI Larangan Kawin. KHI dalam pasal 39 angka (2) huruf c. menyatakan; “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla dukhul”. Dalam pasal ini KHI tidak secara tegas mengatur larangan kawin dengan anak tiri, hanya disebut larangan kawin antara seorang pria dengan wanita keturunan isteri atau bekas isteri. Yang dimaksud seorang wanita keturunan isteri atau bekas isteri dalam pasal ini tidak lain adalah anak tiri. Sebab tidak ada pengertian lain dari wanita keturunan isteri atau keturunan bekas isteri kecuali anak perempuan kandung dan anak perempuan tiri. Sedang larangan kawin dengan anak perempuan kandung sudah diatur dalam pasal 39 angka (1) huruf a. yaitu dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria “dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya”. Dalam pasal ini tidak diatur larangan kawin antara seorang perempuan dengan laki-laki anak suaminya atau bekas suaminya dengan isteri yang lain, anak tiri macam yang pertama.
Pasal 39 angka (2) huruf c. ini mengambil alih dari firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 23 "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur larangan pernikahan seseorang (perempuan) dengan anak suami dari hasil pernikahannya dengan isteri yang lain. Ini namanya kan juga pernikahan dengan anak tiri, tetapi ketika KHI membicarakan batalnya perkawinan, maka perkawinan seorang perempuan dengan anak suami dari pernikahannya dengan isteri yang lain (anak tiri) dikatakan oleh KHI sebagai perkawinan yang batal, sebagaimana diatur dalam pasal 70 KHI..
Yang kedua dalam Bab XI ketika KHI membicarakan tentang batalnya perkawinan. Dalam Bab XI tentang batalnya Perkawinan, dalam pasal 70 huruf (d) angka 3 dinyatakan perkawinan batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai “hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri”. Walaupun KHI tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan anak tiri, sudah pasti yang dimaksudkan adalah batalnya perkawinan antara seseorang dengan anak suami dari hasil pernikahannya dengan isteri yang lain dan batalnya perkawinan antara seseorang dengan anak isteri dari hasil pernikahannya dengan suami yang lain.
Batalnya suatu perkawinan menurut ketentuan pasal 22 Undang Undang Perkawinan tahun 1974 adalah apabila perkawinan itu dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan adalah bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 39 KHI, antara lain larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya”.
Ketika membicarakan larangan perkawinan, KHI dalam pasal 39 angka (1) huruf c. hanya mengatur larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, anak tiri macam kedua dan tidak mengatur larangan perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria keturunan ayah atau bekas ayahnya, anak tiri macam pertama. Tetapi ketika membicarakan batalnya perkawinan KHI berlebihan, dalam pasal 70 huruf (d) angka 3, menyatakan perkawinan batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai “hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri”. Dengan demikian ketika KHI mengatur tentang batalnya perkawinan, KHI mengatur tentang larangan perkawinan dengan semua macam anak tiri, baik anak tiri macam yang pertama maupun anak tiri macam yang kedua. Yakni batal pernikahan seseorang dengan anak suami dari hasil pernikahannya dengan isteri yang lain dan batal pernikahan seseorang dengan anak isteri dari hasil pernikahannya dengan suami yang lain.
Dalam pasal 70 huruf (d) angka 3 KHI seharusnya tidak perlu mengatur batalnya perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda dengan menyebut ibu atau ayah tiri, cukup menyebut mertua dan anak tiri, sebab batalnya perkawinan antara seorang anak dengan orang tua tirinya sudah tercakup dalam pengertian batalnya perkawinan antara mertua dengan anak tirinya, yaitu batal perkawinan seorang pria (anak tiri) dengan ibu tirinya dan batal perkawinan seorang wanita (anak tiri) dengan ayah tirinya. Dalam hukum perkawinan KHI hanya mengatur tentang kedudukan anak tiri dalam 2 hal, yaitu dalam larangan perkawinan dan dalam batalnya perkawinan.