RINGKASAN PENTING TENTANG RUKUN, SYARAT NIKAH DAN SYARAT WALI : Apa rukun akad nikah dan syarat-syaratnya ?
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Rukun akad 
    nikah dalam Islam ada tiga: 
1. Adanya kedua mempelai yang tidak memiliki 
    penghalang keabsahan nikah seperti adanya hubungan mahram dari keturunan, 
    sepersusuan atau semisalnya. Atau pihak laki-laki adalah orang kafir 
    sementara wanitanya muslimah atau semacamnya. 
2. Adanya penyerahan (ijab), yang diucapkan 
    wali atau orang yang menggantikan posisinya dengan mengatakan kepada (calon) 
    suami,
Contoh ;
(Saya nikahkan engkau, Heri Syaifudin bin Slamet Santoso dengan ananda Miswari Budi Prahesti binti Budiyono, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tujuh dollar empat puluh dua ribu tiga belas rupiah)
Contoh ;
(Saya nikahkan engkau, Heri Syaifudin bin Slamet Santoso dengan ananda Miswari Budi Prahesti binti Budiyono, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tujuh dollar empat puluh dua ribu tiga belas rupiah)
3. Adanya penerimaan (qabul), yaitu kata yang 
    diucapkan suami atau ada orang yang menggantikan posisinya dengan 
    mengatakan,  Contoh ;
(Saya terima nikah dan mas kawinnya Miswari Budi Prahesti binti Budiyono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tujuh dollar empat puluh dua ribu tiga belas rupiah)
(Saya terima nikah dan mas kawinnya Miswari Budi Prahesti binti Budiyono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar tujuh dollar empat puluh dua ribu tiga belas rupiah)
Adapun syarat-syarat sahnya nikah adalah:
    
1. Masing-masing kedua mempelai telah 
    ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat atau semacamnya. 
    
2. Kerelaan kedua mempelai. Berdasarkan sabda 
    Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
لا تُنْكَحُ 
    الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ 
    قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا، قَالَ أَنْ تَسْكُتَ (رواه 
    البخاري، رقم 4741)
“Al-Ayyimu (wanita yang pisah dengan suaminya 
    karena meninggal atau cerai) tidak dinikahkan mendapatkan perintah darinya 
    (harus diungkapkan dengan jelas persetujuannya). Dan gadis tidak dinikahkan 
    sebelum diminta persetujuannya (baik dengan perkataan atau diam). Para 
    shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana persetujuannya?' Beliau 
    menjawab, 'Dia diam (sudah dianggap setuju)." (HR. Bukhori, no. 4741) 
    
3. Yang 
    melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah 
    Allah mengarahkan perintahnya kepada para wali. 
FirmanNya, 
    ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang 
    sendirian di antara kamu" (QS. An-Nur: 32) 
Juga 
    berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ 
    إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا 
    بَاطِلٌ (رواه الترمذي، رقم 1021 وغيره وهو حديث صحيح) 
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin 
    dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya 
    batal." (HR. Tirmizi, no. 1021) Dan hadits lainnya yang shahih.
4. Ada saksi dalam akad nikah. 
    
Berdasarkan sabda Nabi sallahu’alaihi wa 
    sallam,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ 
    وَشَاهِدَيْنِ  (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558)
“Tidak 
    (sah) nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. 
    Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558) 
    
Sangat 
    dianjurkan mengumumkan pernikahan. Berdasarkan sabda Rasulullah 
    sallallahu’alaihi wa sallam, "Umumkanlah pernikahan kalian’ (HR. Imam Ahmad. 
    Dihasankan dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 1072). 
Adapun 
    syarat untuk wali, sebagai berikut: 
1.     
    Berakal.
2.     
    Baligh.
3.     
    Merdeka (bukan 
    budak).
4.     
    Kesamaan 
    agama. Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan. 
    Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki atau 
    perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir adalah, 
    meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama (murtad) tidak 
    bisa menjadi wali bagi siapapun.
5.   Adil, bukan 
    fasik. Sebagian ulama menjadikan hal ini sebagai syarat, tapi sebagian lain 
    mencukupkan dengan syarat sebelumnya. Sebagian lagi mencukupkan syarat 
    dengan kemaslahatan bagi yang diwalikan untuk menikahkannya.
6.     
    Laki-laki.
    
Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa 
    sallam, 
لا تُزَوِّجُ 
    الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ 
    الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا (رواه ابن ماجة، رقم 1782 وهو 
    في صحيح الجامع 7298) 
“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita 
    lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita 
    pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri."  (HR. Ibnu Majah,  no. 1782. 
    Hadits ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298) 
7.     
    Bijak, yaitu 
    orang yang mampu mengetahui kesetaraan (antara kedua pasangan) dan 
    kemaslahatan pernikahan. 
    
Para wali harus berurutan menurut ahli fiqih. 
    Maka tidak dibolehkan melewati wali terdekat, kecuali jika wali terdekat 
    tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Wali seorang wanita adalah bapaknya, 
    kemudian orang yang diwasiatkannya untuk menjadi walinya, lalu kakek dari 
    bapak sampai ke atas, lalu  anak laki-lakinya, lalu cucu sampai ke bawah. 
    Kemudian saudara laki-laki sekandung,  berikutnya saudara laki-laki seayah, 
    kemudian anak dari keduanya.  Kemudian paman sekandung, lalu paman sebapak, 
    kemudian anak dari keduanya. Kemudian yang terdekat dari sisi keturunan dari 
    asobah seperti dalam waris. Kemudian penguasa muslim (dan orang yang 
    menggantikannya seperti Hakim) sebagai wali bagi yang tidak mempunyai 
    perwalian. 
Wallahu’alam 
      
      . 
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.










