Ketiga, muamalah. Muamalah berkaitan dengan hubungan seseorang dengan orang lain, atau seseorang dengan lingkungan di sekitarnya. Di antara contoh perkara muamalah adalah jual-beli, al-Qard (utang-piutang), ‘ariyah (pinjam-meminjam), sewa-menyewa, gadai, syirkah (kerja sama/serikat), dan yang lainnya. Di antara contoh-contoh muamalah tersebut ada yang memiliki potensi terjadinya riba. Lalu, apakah riba itu dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan?
Definisi dan Hukum Riba
Secara etimologi riba bermakna az–ziyādah (tambahan) dan al-Faḍl (kelebihan) (Ahmad Warson Munawwir, 1997). Sedangkan secara terminologi riba memiliki dua pengertian; pengertian yang bersifat khusus dan umum. Adapun pengertian secara khusus riba adalah tambahan yang disyaratkan sebagai kompensasi dari pembayaran qarḍ (utang) yang melebihi batas waktunya, yaitu setiap kali adanya penangguhan atau keterlambatan dalam pembayaran, maka akan dikenakan biaya tambahan. Adapun pengertian secara umum riba adalah segala bentuk tambahan yang terjadi dalam transaksi utang-piutang dan jual-beli, yakni jual-beli yang bersifat fāsid dan dilarang oleh syara’. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh as-Sarkhasi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Rusyd, dan selainnya (Nazih Hammad, 2008). Menurut as-Sayyid Sābiq riba adalah tambahan atas harta yang pokok (As-Sayyid Sabiq, 2004).
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwasannya riba adalah biaya tambahan yang disyaratkan saat pengembalian harta pokok dan biaya tambahan yang dibebankan sebab keterlambatan dalam pengembalian atau sebab adanya permintaan penangguhan dalam pembayaran. Jika dilihat secara teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal dengan cara yang batil.
Adapun hukum riba adalah haram. Tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama terkait dengan keharaman riba. Ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis yang melarang perbuatan riba.
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah: 275)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (QS. al-Baqarah: 278-279)
عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Artinya: Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya. Rasulullah SAW mengatakan, ‘mereka itu sama.” (HR. Muslim no. 1598)
Jenis dan Contoh Riba
Riba secara umum terbagi dalam dua jenis, yaitu riba Nasi’ah dan riba Faḍl. Pertama, riba Nasi’ah. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa riba Nasi’ah didefinisikan oleh ulama Hanafiyah sebagai penambahan waktu penyerahan barang, dan penambahan barang pada utang dalam penukaran dua barang berbeda jenis yang ditakar atau ditimbang, atau dua barang sejenis meskipun bukan barang yang ditakar atau ditimbang (Wahbah az-Zuhaili, 1985). Riba Nasi’ah juga berarti tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh orang yang memberi pinjaman dari orang yang meminjam sebagai kompensasi atas adanya penangguhan waktu (As-Sayyid Sabiq, 2004).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ : حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا رِبَا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ
Artinya: Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Usamah ibn Zaid telah bercerita padaku bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada riba kecuali pada riba Nasi’ah.” (HR. al-Bukhari no. 2178, Muslim no. 1596, an-Nasa’i no. 4580, Ibnu Majah no. 2257)
Kedua, riba Faḍl. Para fuqaha Hanafiyah mengartikan riba faḍl sebagai tambahan pada harta dalam akad jual beli sesuai ukuran syariat (yaitu takaran atau timbangan) jika barang yang ditukar sama (Wahbah az-Zuhaili, 1985). Riba Faḍl juga berarti jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan disertai dengan tambahan. Hal ini haram berdasarkan Sunnah Rasulullah saw dan ijma’, karena rnerupakan sarana yang akan mengantarkan pada riba nasi’ah. Dalam hal ini, penggunaan kata riba sebagai bentuk majaz sama halnya dengan penvebutan suatu sebab yang digunakan untuk menunjuk pada akibat (As-Sayyid Sabiq, 2004).
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya: Dari Ubadah ibn Shamit (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus dengan jumlah yang sama dan dari tangan ke tangan (cash). Apabila terdapat perbedaan dalam hal macamnya, maka juallah terlebih dahulu lalu bayarlah (pertukaran tersebut) dengan cash (hasil dari penjualan tersebugt).”(HR. Muslim no. 1587)
Menurut sebagian ulama, riba itu terbagi menjadi empat macam, yaitu riba faḍl, riba Qarḍ, riba Yad, dan riba Nasa’i (Syaikhu, dkk, 2020). Pertama, riba Faḍl, yaitu (menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama jumlahnya), Riba Faḍl terdapat dalam bentuk transaksi yang dilakukan melalui serah-terima secara langsung (dari tangan ke tangan), di sini terjadi kelebihan atau tambahan terhadap nilai tukar salah satu komoditi yang mestinya termasuk dalam jenis yang sama dan keduanya memiliki nilai tukar yang sama.
Kedua, riba Qarḍ (riba jahiliyah/riba Nasi’ah). Maknanya adalah riba yang terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko, dan hasil usaha muncul bersama biaya. Transaksi ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Riba Qarḍ adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtariḍ). Riba Jahiliyah yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang telah ditetapkan.
Ketiga, riba Yad. Bercerai (berpisah) dari tempat akad sebelum dilakukannya proses timbang terima, yaitu menjual dengan pembayaran barang yang sejenis, tetapi tidak secara kontan. Keempat, riba Nasa’i, yaitu pertukaran (barang) yang disyaratkan terlambat (untuk menyerahkan) salah satu dari dua barang (keterlambatan tersebut nanti harus disertai dengan tambahan).
Kemudian, contoh riba Nasi’ah atau riba Qarḍ. Misalnya, seseorang memberi pinjaman uang sebesar Rp. 500.000,00. dengan syarat pengembaliannya kelak ditambahkan 10% dari pokok pinjaman. Tambahan 10% dari pokok adalah riba karena tidak tamāṡul (sama).
Adapun contoh riba Faḍl, misalnya seseorang menukar empat liter beras Dolog/Bulog (jenis lain) dengan dua liter beras Rojolele. Pertukaran tersebut termasuk riba. Sebab, beras dengan beras adalah sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan tengahnya adalah lima liter beras Dolog dijual terlebih dahulu, kemudian hasil penjualannya dibelikan beras Rojolele. Contoh kedua, menukar 10 gram emas 24 karat dengan 5 gram emas 22 karat. Ini termasuk riba, karena nilainya (harganya) berbeda. Atau menukar 10 gram emas 22 karat dengan 20 gram emas 12 karat yang harganya sama. Ini juga termasuk riba, karena ukurannya berbeda.
Bisnis-bisnis yang Mengandung Riba
Di era kontemporer ini praktik riba semakin luas, berkembang, dan mudah untuk dijumpai. Adapun bisnis-bisnis yang di dalamnya memiliki potensi mengandung riba di antaranya adalah pegadaian, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), pinjaman ke bank (terkhusus ke bank konvensional), transaksi jual-beli, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), kartu kredit, serta memberi hadiah dalam pembayaran utang (Sumber: Mentalkaya.com).
Adapun contohnya praktik riba di pegadaian. Seseorang menggadaikan surat berharga atau barang berupa surat tanah, Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), atau yang lainnya. Pihak pegadaian biasanya menambahkan biaya administrasi dan bunga yang wajib dibayarkan ketika menebus barang tersebut kembali. Inilah yang dimaksud dengan contoh riba.
Contoh selanjutnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) termasuk salah satu contoh riba. Sebab seseorang wajib untuk mencicil angsuran berdasarkan harga rumah dan bunganya disertai tambahan biaya administrasi di setiap bulannya. Begitu juga dengan transaksi bisnis lainnya, ketika di dalamnya dikenakan bunga atau biaya tambahan di luar biaya pokok dan biaya administrasi, maka itu termasuk riba. Termasuk juga peminjam memberi hadiah tatkala melakukan pembayaran utang. Hal tersebut bisa dikategorikan riba, sebab mengambil manfaat dari utang. Terkecuali, apabila di antara mereka berdua (peminjam dan pemberi pinjaman) sudah terbiasa saling memberikan hadiah sebelumnya, sehingga pemberian hadiah tersebut bukan disebabkan alasan utang-piutang.
Kemudian, bisnis yang sedang marak terjadi hari ini adalah “pinjaman online (pinjol)”. Pinjaman online tersebut ada yang sifatnya legal dan ada juga yang ilegal. Tidak sedikit masyarakat yang meminjam uang melalui pinjol tersebut. Padahal bunga pinjaman yang dibebankan kepada debitur tidak sedikit. Mayoritas yang menjadi mangsa dari pinjol adalah masyarakat yang perekonomiannya menengah ke bawah. Mengapa mereka mau untuk melakukan pinjaman secara online? Di antara alasannya adalah pinjol lebih mudah syaratnya dan lebih cepat cairnya dibandingkan dengan pinjam ke lembaga-lembaga ekonomi yang legal. Cukup dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tanpa jaminan uang pinjaman dapat diterima.
Pinjaman online (pinjol) yang ilegal marak hadir di tengah masyarakat yang sedang mengalami keterdesakan ekonomi. Masa pandemi Covid-19 banyak melibas berbagai sektor perekonomian masyarakat, sehingga mereka harus mencari cara dengan cepat untuk mendapatkan modal dan biaya untuk bertahan hidup. Solusi yang didapatkan adalah meminjam sejumlah uang dari penyedia jasa layanan pinjol, tanpa memperdulikan apakah penyedia jasa pinjol tersebut legal atau ilegal, apakah aman atau tidak aman, apakah termasuk perkara riba atau tidak, serta apakah kelak mampu membayar utang-utang tersebut atau tidak.
Banyak kasus masyarakat mengalami gagal bayar karena bunga yang mencekik dan tidak masuk akal. Dalam proses penagihan pun, mereka sering menerima teror, intimidasi, dan berbagai ancaman penuh dengan caci-maki yang berdatangan melalui telepon, pesan singkat, dan pesan WhatsApp. Bahkan, ada pula keluarga yang hingga memutuskan untuk menutup rapat rumahnya dan mengurung diri karena tak kuasa menghadapi teror-teror itu (Sumber: Kompas.com). Lebih mengkhawatirkan, ketika ada seseorang rela mengakhiri hidupnya hanya untuk menghindari dan melepaskan dirinya dari dari para penagih utang pinjol tersebut.
Hadis-hadis tentang Implikasi Riba dalam Kehidupan
Sejak empat belas abad yang lalu, Rasulullah saw telah memberikan himbauan kepada umatnya untuk menjauhi riba dan telah menjelaskan dampak negatif (bahaya) riba terhadap kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, banyak di antara kaum Muslimin belum mengetahui himbauan Rasulullah saw terkait dengan riba. Mereka menyangka riba adalah perbuatan yang normal dan lazim terjadi di masyarakat, sehingga para ustaz, ‘alim, muballig, dan siapa pun yang mengetahui bahaya dan dampak riba senantiasa menyampaikan dan mensosialisasikan himbauan tersebut kepada masyarakat kaum Muslimin. Tentu, dengan cara yang makruf dan lemah-lembut. Adapun himbauan dan penjelasan Rasulullah saw terkait dengan implikasi riba terhadap kehidupan adalah sebagai berikut:
Pertama, pelaku riba akan mendapatkan dosa dan dosa riba yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dari ‘Abdullah, Rasulullah saw bersabda:
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2275)
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda:
الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2274)
Dalam riwayat al-Hakim disebutkan:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al-Hakim no. 2259).
Kedua, memakan harta hasil riba lebih parah dari 33 kali berzina. Jeleknya perbuatan riba disebutkan oleh seorang tabi’in yang bernama Ka’ab al-Ahbar, seorang mantan pendeta Yahudi yang paham akan kitab-kitab Yahudi, bahkan bisa mengetahui secara umum mana bagian yang sahih dan batil dari kitab tersebut (Aż-Żahabi, Siyar A’lām An-Nubāla’, 1981). Ka’ab ra. menyatakan:
لأَنْ أَزْنِىَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ آكُلَ دِرْهَمَ رِباً يَعْلَمُ اللَّهُ أَنِّى أَكَلْتُهُ حِينَ أَكَلْتُهُ رِباً
“Aku berzina sebanyak 33 kali lebih aku suka daripada memakan satu dirham riba yang Allah tahu aku memakannya ketika aku memakan riba.” (HR. Ahmad, 5: 225. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ketiga, masyarakat pelaku riba berhak mendapat azab dari Allah swt. Jika riba sudah merajalela di masyarakat, maka masyarakat tersebut layak untuk mendapatkan azab. Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka menghendaki dan layak untuk mendapatkan azab dari Allah swt. Dari Ibnu ‘Abbas ra. Rasulullah saw bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktik ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diazab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim no. 2261)
Keempat, doa orang pemakan riba sulit terkabul. Dalam hadis Abu Hurairah ra. Nabi saw menceritakan, “Ada seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Lalu, orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa:
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim, no. 1014)
Kelima, tubuh (jasmani) yang tumbuh dari harta yang haram kelak berhak untuk disentuh api neraka. Suatu waktu Ka’ab pernah dinasihati oleh Rasulullah saw:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. at-Tirmidzi, no. 614).
Penyelesaian dan penanganan riba ini tidaklah mudah. Cara terbaik untuk menyelesaikannya tidak cukup hanya dengan menyampaikan ancaman dan bahaya riba terhadap kehidupan, tetapi diperlukan juga ada lembaga-lembaga dan jasa-jasa yang berbasis syari’ah yang siap untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan modal bisnis atau pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang membutuhan. Lembaga dan jasa pelayanan tersebut murni berprinsip ta’awun (tolong-menolong) tidak ada unsur untuk meraih laba sedikit pun dari memberikan pinjaman (utang) kepada masyarakat.
Demikianlah penjabaran singkat terkait dengan riba. Dimulai dari definisi, jenis-jenis dan contoh-contohnya dalam kehidupan, serta hadis-hadis mengenai implikasi (ancaman dan bahaya) riba terhadap kehidupan. Di antara cara untuk mengatasi riba selain dengan menyampaikan hadis-hadis di atas, perlu juga memberikan himbauan kepada masyarakat agar meminjam modal (uang) ke lembaga-lembaga keuangan syari’ah, seperti bank syari’ah dan koperasi syari’ah, sehingga sedikit demi sedikit praktik riba bisa berkurang.