Halalan yang dimaksud dalam ayat di atas menurut tafsir Ibnu Katsir adalah sesuatu yang dihalalkan syariat dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, sedangkan thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis, seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang sejenisnya.
Lantas, muncul pertanyaan di benak kita, apa itu harta haram, apa urgensinya memahami harta haram dan apa konsekuensi dampaknya dalam kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat?
Harta haram menurut Dr Erwandi Tarmizi, MA dalam bukunya Harta Haram dalam muamalat kontemporer adalah setiap harta yang didapatkan dari jalan atau cara yang dilarang syariat, seperti merampas, merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan berbagai macam mu’âmalah haram lain.
Urgensi memahami harta haram
Kemaslahatan harta dalam urusan dunia sangat jelas yaitu untuk menopang kebutuhan hidup manusia. Begitupun kemaslahatannya dalam urusan agama, maka ia juga sangat banyak. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam beribadah.
Seorang muslim harus memperhatikan dan memahami harta haram, sehingga ia selamat dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Dalam proses mendapatkan harta, manusia secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
Pertama, kelompok manusia yang tidak memperdulikan kaidah Rabbani (syariat) dalam mencari dan mengumpulkan harta, sehingga menjadikan harta sebagai tuhan mereka. Manusia seperti inilah yang didoakan Rasulullah saw dengan kehancuran, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian….” (HR Bukhari)
Kedua, kelompok orang yang mesih memiliki hati nurani yang peka, namun karena tidak pernah tahu dan tidak pernah diajarkan sejak kecil tentang fikih muamalat, menyebabkan mereka melanggar syariat Allah Swt dalam mengumpulkan harta, sehingga terjerumus dalam hal yang haram. Manusia seperti inilah yang dimaksud oleh dua khalifah Umar Bin Khattab r.a dan Ali Bin Abi Thalib r.a.
Dampak harta haram
Harta haram yang dihasilkan oleh dua kelompok di atas akan berdampak buruk terhadap pribadi pelakunya secara khusus dan umat manusia secara umum. Dampak buruk tersebut adalah:
Pertama, memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah syaitan. Dr Erwandi Tarmizi, MA menjelaskan, bahwa melanggar perintah Allah Swt dalam surat Al Baqarah ayat 168 adalah salah satu bentuk perbuatan durhaka kepada Allah Swt sekaligus menempuh jalan (cara) yang dirintis oleh syaitan.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’Al-Fawaid (3:381-385), mengatakan, ada beberapa langkah syaitan dalam menyesatkan manusia yaitu, mengajak kepada kekafiran, kesyirikan, dan memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya, mengajak kepada amalan yang tidak ada tuntunan (bid’ah), mengajak kepada dosa besar (al-kabair), mengajak kepada dosa-dosa kecil (ash-shaghair), menyibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan, menyibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua, kurang semangat dalam beramal saleh. Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Mu’minun ayat 51, “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Menjelaskan bahwa makan yang thayyib di sini adalah makanan yang halal dan Allah Swt pada ayat ini memerintahkan para rasul untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal akan memberikan dampak positif, yaitu semangat dalam melakukan amal saleh.
Ketiga, memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi. Ibnu Katsir menjelaskan ketika menafsirkan surat An-Nisaa’ ayat 160-161 yang membicarakan kebiasaan orang Yahudi dalam praktek riba, “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ibnu Katsir mengatakan, Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan terus melakukan riba tersebut, bahkan mereka melakukan pengelabuan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal.
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi saw: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR Bukhari)
Keempat, daging yang tumbuh dari harta haram tempatnya api neraka. Seorang sahabat dinasihati oleh Nabi saw Ka’ab bin ‘Ujroh dengan sebuah sabda beliau, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi)
Kelima, doa tidak dikabulkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Ibnu Rajab Alhambali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ketika mensyarah hadist di atas, menjelaskan beberapa kondisi terkabulnya doa dengan cepat, yaitu keadaan dalam perjalanan jauh (safar), meminta dalam keadaan sangat butuh (genting), menengadahkan tangan ke langit, memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Ketika orang sudah memenuhi kondisi di atas, semetara dia memakan dan memiliki harta yang haram, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah Swt. Di samping itu, karena doa adalah inti dari ibadah shalat, maka bila doa tertolak dikhawatirkan shalat pemakan harta haram juga tertolak. Hal ini didukung oleh ungkapan sahabat Ibnu Abbas r.a, “Allah Swt tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada makan yang haram.”
Keenam, harta haram akan menenempatkan kaum muslimin dalam kemunduran dan kehinanaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud)
Ketujuh, karena harta haram mengundang musibah dan bencana di muka bumi. Dari Ibnu ‘Abbas r.a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim)
Orang yang memiliki harta halal dengan mata pencaharian yang halal adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya. Kehormatan dan harga dirinya bersih dan terjaga, rezekinya penuh berkah dan citranya di masyarakat selalu indah. Semoga Allah Swt mengaruniakan kepada kita rezeki yang halal dan menerima amalan-amalan kita.
Referensi : Dampak Harta Haram dalam Kehidupan