This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Kiat Menghadapi Musibah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kiat Menghadapi Musibah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2022

Kiat Menghadapi Musibah

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.
Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.
Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.     Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.

Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.     Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.     Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).

Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.

Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada., “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya’/21:35). Makna ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa”.  Tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah. Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.  Tingkatan kedua adalah sabar, ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah. Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan.  Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.  Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.  Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada. Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.     Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.  Dalam setiap fase kehidupan manusia, masalah akan selalu ada. Apabila diibaratkan, masalah itu seperti air dan manusia adalah ikannya, tanpa air ikan akan mati, seperti itulah kita tanpa masalah. Karena jika masalah itu sudah tidak ada maka berarti kita sudah pergi dari dunia ini. Lalu bagaimana kita bisa menjadikan masalah sebagai suatu keberkahan? Jawabannya adalah sabar dan bersyukur. Ketika kita bersabar dalam setiap masalah, terutama musibah yang sedang kita alami maka kita akan diberikan oleh Allah pahala tanpa batas.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. “(QS. Az-Zumar :10).  Sabar dalam menghadapi masalah menjadi salah satu pengukur keimanan kita kepada Allah. Lihat saja di dunia ini! Orang yang tak bisa bersabar dalam masalahnya, kebanyakan mereka tak memiliki keimanan kepada Allah sehingga mereka melakukan jalan-jalan yang dilarang, bahkan dari mereka ada yang melakukan bunuh diri.  Saat kita bersabar maka Allah juga akan mengangkat derajat keimanan dari diri kita. Jadi, keberkahan apa yang lebih besar ketimbang diangkat derajatnya dan diberikan pahala tanpa batas  oleh Allah ‘Azza wa Jalla?  Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

Dalam menghadapi masalah tidak hanya kesabaran yang diperlukan tetapi juga rasa syukur. Jika kita hanya menggunakan sabar saja sebagai senjata maka kita tidak akan merasakan kebahagian dalam masalah kita. Lain halnya jika kita bersyukur, dengan syukur kita dapat melihat kenikmatan dari setiap masalah yang ada.

Referensi : Kiat Menghadapi Musibah