This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Tawakkal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tawakkal. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 September 2022

Definisi Tawakkal Kepada Allah Swt

Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).  Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan, “ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya[1]. Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya[2].    Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya[3]. Al-Azhari mengatakan:    رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ    “Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.[4]”    Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.    Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai[5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”    Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil[6].”    Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.    Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah “اَلتِّكْلاَنُ”[8].    Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri[9]. Dan terkadang keduanya bersatu.    Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya[10].”    Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:    Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.    Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut[11].    Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.    Pengertian Secara Istilah.  Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.    Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal[12].”    Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.    Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.    Baca Juga  Malaikat Mencatat Semua Perbuatan Manusia  Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:    Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah[13]”.  Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk[14]”  Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya”[15].    ‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi[16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah[17]”  Syaqiq bin Ibrahim[18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla[19].”  Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”  Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji[20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu[21].”  Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya[22].”  Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan[23].”  Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’”[24]  Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.”[25]  Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya[26].”
Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).

Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan, “ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya[1]. Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya[2].


Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya[3]. Al-Azhari mengatakan:


رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ


“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.[4]”


Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.


Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai[5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”


Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil[6].”


Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.


Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah “اَلتِّكْلاَنُ”[8].


Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri[9]. Dan terkadang keduanya bersatu.


Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya[10].”


Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:


Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.


Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut[11].


Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.


Pengertian Secara Istilah.

Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.


Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal[12].”


Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.


Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.

Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah[13]”.

Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk[14]”

Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya”[15].


‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi[16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah[17]”

Syaqiq bin Ibrahim[18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla[19].”

Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”

Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji[20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu[21].”

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya[22].”

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan[23].”

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’”[24]

Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.”[25]

Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya[26].”