Kamis, 14 Juli 2022

Perbedaan Yang Terjadi Pada Harta Haram Yang Dimiliki Karena Pekerjaan

Perbedaan Yang Terjadi Pada Harta Haram Yang Dimiliki Karena Pekerjaan

Perbedaan Yang Terjadi Pada Harta Haram Yang Dimiliki Karena Pekerjaannya, Apakah Jika Harta Tersebut Berpindah Kepada Orang Lain Dengan Warisan atau Dengan Hibah Lalu Berubah Menjadi Halal?

Pertanyaan

Ada masalah yang mengganggu fikiran saya, dan kebanyakan orang  selalu bertanya-tanya, hal ini berkaitan dengan hukum transaksi terhadap harta yang haram, baik karena warisan, serah terima, seperti hadiah, hibah, diterima setelah proses barter, hutang piutang, dan bentuk lainnya dalam transaksi yang tidak mungkin banyak orang akan mengalami sebagiannya, saya telah mencari sesuai dengan kemampuan saya, ditengah upaya  tersebut saya mencari petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dikuatkan dengan dalil yang shahih tanpa ada kemungkinan lain dalam memahaminya untuk dijadikan sebagai dalil, atau karena lemah sanadnya, maka saya fokus pada pembagian ulama tentang harta haram yang dibagi menjadi dua bagian: Haram karena dzatnya, gambarannya adalah harta hasil curian, hal ini sudah disepakati –menurut pemahaman saya- akan keharamannya, kaharamannya tidak berubah menjadi halal karena berpindah dari tangan ke tangan lainnya. Meskipun perpindahan harta tersebut pada dasarnya adalah mubah, seperti warisan, hadiah, hibah, barter, atau hutang yang baik. Yang menjadi masalah menurut saya pada uang haram karena pekerjaannya dan bukan dzatnya, maksud saya di sini adalah menentukan uang haram itu semuanya, bukan yang masih bercampur, yang menjadi masalah adalah saya mendapatkan jumhur ulama menyamakan harta ini dengan harta haram karena dzatnya, maka hukumnya tidak berubah karena adanya perpindahan tangan. Saya tidak mendapatkan dalil yang meyakinkan diri saya bersama jumhur, hal itu tidak diragukan lagi karena keterbatasan pencarian saya, minimnya cara ilmiyah dan penelitian saya, pada sisi lain saya mendapatkan beberapa ulama seperti Syeikh Utsaimin yang membolehkan bunga bank konvensional jika sudah berpindah kepada para ahli waris, fatwa tersebut terpercaya yang diunggah pada website terpercaya, dan terkadang saya ingat sikap jumhur dalam masalah tersebut, maka saya hawatir terhadap diri sendiri, hal itu karena kemuliaan jumhur ulama menurut saya. Pada saat yang sama saya tidak mendapatkan dalil setelah keterbahasan penelitian saya yang mendorong saya untuk mengambil pendapat mereka dan menolak petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Barirah. Maka apakah yang menjadi dalil madzhabnya Jumhur ?, apakah masalah khilafiyah tersebut yang termasuk yang dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat apalagi saya yang tidak sependapat dengan madzhabnya jumhur ?

Jawaban Pertama:

Harta haram itu ada dua:

Harta haram karena dzatnya, yaitu harta yang diambil tanpa rasa ridho, seperti; harta curian, harta yang dighasab dan harta perampokan, harta ini diharamkan bagi pelakunya dan bagi siapa yang menerimanya jika ia mengetahui keadaannya; karena keharamannya berkaitan dengan dzat harta tersebut. Harta tersebut adalah dzat harta orang yang terdzolimi dan wajib dikembalikan kepadanya. Memanfaatkannya berarti ikut berkontribusi dalam kedzaliman dan dosa.

Harta haram karena pekerjaannya, adalah harta yang diterima dengan sukarela namun dari hasil pekerjaan yang haram, atau berasal dari transaksi haram, seperti; uang sewa penyanyi dan musik, dan pekerjaan yang haram, seperti; harta dari hasil suap, bunga bank, keuntungan dari khamr, narkotika, dan lain sebagainya.

Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi:

Pertama:

Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?

Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?

Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679

Kedua:

Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pertama: Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.

Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.

Kedua: Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.

Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.

Baca juga: Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?

Beliau menjawab:

“Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.

Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.

Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)

Ini merupakan pendapat jumhur ulama

Ibnu Rusyd berkata:

“Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara  dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)

Ini merupakan pendapat yang kedua.

Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.

Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.

Yang menjadi dalil pendapat kedua:

Interaksi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya dengan orang-orang yahudi dalam hal jual beli, persewaan dan hutang, padahal mereka terkenal dengan mengambil riba dan memakan makanan yang haram.

Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.

Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:

“Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.

Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.

Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.

Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)

Keharaman harta tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pelakunya, bukan dengan dzat harta tersebut, maka tidak menjadi haram setelah berpindah tangan.

Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.

Sungguh perbedaan cara mengambilnya juga berpengaruh, haramnya harta tersebut berada pada pelakunya, tidak serta merta menjadi haram juga bagi orang lain, berdasarkan hadits Barirah “Harta itu menjadi sedekah baginya dan menjadi hadiah bagi kami”.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.

Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.

Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:

 Ù‡Ùˆ لها صدقة ، ولنا منها هدية  انتهى

“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”.

(Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.

Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:

  هو لها صدقة ، ولنا هدية 

“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.

Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.

Kepada mereka pada ikhwah kami katakan:

Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)

Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.

Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.

Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.

Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.

Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.

Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)

Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.

Baca juga untuk tambahan penjelasan:

Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.


Referensi sebagai berikut ini ;