Sabtu, 16 Juli 2022

Hukum Berkurban dengan Uang Haram (Mencuri/Maling/Korupsi) atau Mencicil saat Idul Adha Menurut Penjelasan Ulama

Hukum Berkurban dengan Uang Haram atau Mencicil saat Idul Adha Menurut Penjelasan Ulama. Berkurban di Hari Raya Idul Adha memiliki keutamaan luar biasa. Sehingga tak sedikit umat Muslim rela menabung sejak jauh-jauh hari, untuk bisa berkurban di Hari Raya Idul Adha. Namun bagaimana hukum berkurban dengan uang haram di Hari Raya Idul Adha. Quraish Shihab menjelaskan bahwa berkurban menggunakan uang haram, hukumnya adalah haram.

"Oke. Ada yang bertanya, kalau kita berkurban dengan rezeki haram, itu hukumnya bagaimana, Abi?," tanya Najwa Shihab, dikutip dari buku Shihab & Shihab : Bincang-Bincang Seputar Tema Populer Terkait Ajaran Islam By M Quraish Shihab & Najwa Shihab. "Ya, haram, jadi haram juga," jawab Quraish Shihab. Dijelaskan Quraish Shihab, apapun yang haram sekalipun membaca bismillah tetap haram. "Jangan korupsi dengan membaca bismillah," jelas Quraish Shihab dalam buku tersebut.

Dalam buku tersebut, Quraish Shibah juga menjelaskan tentang perkara berkurban di Hari Raya Idul Fitri dengan cara mencicil. "Bagaiamana hukumnya jika keinginan untuk berkurban, tapi uangnya belum (ada) akhirnya meminjam uang dulu, membayar pinjaman uang terzebut dengan mencicilnya?," tanya Najwa Shihab. "Agama ini mudah. Tidak mau memaksa orang dengan sesuatu menyulitkan. Jangan paksa diri," jawab Quraish Shihab. Adapun keutamaan berjurban dijelaskan dalam hadist:

Aisyah menuturkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi).

Hukum Berqurban dengan Uang Hasil Korupsi.

Umat Islam Indonesia akan merayakan Idul Adha pada Jumat (31/7) pekan ini. Pada hari itu, umat Islam yang mampu secara ekonomi sangat disunahkan menyembelih hewan qurban, yang kemudian dagingnya dibagikan kepada masyarakat. Sangat banyak keutamaan berqurban. Dalam sebuah hadits dijelaskan tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada Hari Raya Haji selain berqurban. Namun, bagaimana hukumnya jika ada orang yang berqurban dengan uang hasil korupsi.

Orang yang berqurban dengan uang hasil korupsi atau uang haram tidak akan mendapatkan pahala. Hukumnya tidak mendapat pahala karena sesuatu ibadah dengan menggunakan barang haram, maka dia tak akan mendapatkan pahala apa-apa.

Manfaat memuasakan hewan qurban, Menurut Kiai Cholil, uang yang dipakai berqurban haruslah berasal dari uang yang halal hasil kerja sendiri. Jika berqurban dengan uang haram, maka amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT dan pahalanya terbuang. 

"Sama dengan membuangnya. Artinya, tidak ada yang kembali dalam bentuk keagamaannya," ucap Kiai Cholil. Dengan demikian, telah jelas hukum berqurban dengan uang hasil korupsi dilarang karena tidak akan diterima amalannya. Karena itu, hendaklah kita mencari rezeki dengan cara yang halal agar semua harta yang dibelanjakan menjadi halal dan diridhai oleh Allah SWT.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد

Masyarakat kita bisa dibilang kreatif dalam hal membuat jargon atau slogan, mulai dari nama komunitas, postingan media sosial, sampai tulisan di balik truk. Kalau untuk urusan dunia mungkin kita bisa tersenyum sambil geleng-geleng, tetapi kalau urusan akhirat kita harus hati-hati dan tidak mudah terpengaruh.

Ironisnya, tidak sedikit ada jargon atau slogan yang mengiringi momen-momen sakral dalam syariat. Misalnya jargon unik yang muncul menjelang musim haji; ‘ini waktu yang ditunggu bagi para koruptor, haji untuk menghilangkan dosa korupsi’, juga jargon menjelang hari raya kurban; ‘ini saat yang pas buat para bangkir, gunakan harta riba untuk qurban’, dan semisalnya. Benarkah jargon-jargon di atas? Bolehkah kaum muslimin melakukannya?

Allah Hanya Menerima Yang Baik

Miskinnya ilmu tentang konsekuensi harta haram membuat banyak masyarakat bermudahan-mudahan dalam mencari penghasilan tanpa melihat koridor syariat. Padahal wajib bagi seorang muslim untuk berupaya mencari penghasilan yang halal dan diperkenankan oleh syariat, sungguh lazim baginya untuk menjauhi sumber-sumber penghasilan yang haram.

Terlebih lagi jika dia hendak melakukan ibadah yang membutuhkan materi, salah satu syarat agar ibadahnya diterima oleh Allah ta’ala adalah dengan membelanjakan harta yang halal untuk mendirikan ibadah tersebut, oleh karenanya Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (halal)”.(Al-baqarah: 267)

Sebagaimana Rasul shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا”، وَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ” ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟

“Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan berfirman (yang artinya), “Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah.”

Dia juga berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian.”

Kemudian beliau (Rasulullah ﷺ) menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Robbku, Ya Robbku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya kenyang dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.” (H.R Muslim no:1015)

Pemaparan dua dalil di atas menunjukkan bahwa syarat ibadah materi bisa diterima oleh Allah ta’ala adalah harus dengan menggunakan harta yang halal, ini sebagaimana juga disampaikan oleh Dr. Abbas Ahmad al-Baz berikut:

العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام

“Ibadah maliyah (yang berkaitan dengan materi) tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diperbolehkan syariat. Karena buah dari perkara yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram”.

(Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).

Kemudian, jika harta yang digunakan adalah harta haram, apakah ibadahnya sah?

Adapun hal yang terkait dengan sah atau tidaknya ibadah tersebut, mayoritas ulama mengatakan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, sebagaimana yang disampaikan oleh imam Al-qarrafi –rahimahullah– berikut:

لَّذِي يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَتَوَضَّأُ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَحُجُّ بِمَالٍ حَرَامٍ كُلُّ هَذِهِ الْمَسَائِلِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ فِي الصِّحَّةِ خِلَافًا لِأَحْمَدَ


“Orang yang solat dengan mengenakkan baju rampasan, ataukah berwudhu dengan air rampasan, atau berhaji dengan harta yang haram, semua masalah ini menurut kami hukumnya sama pada sisi keabsahannya, berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh imam Ahmad –rohimahullah-(beliau menganggap tidak sah)“.

(Anwaru al-buruq fi Anwai al-furuq, juz: 2 hal:85)

Mungkin dalam nash perkataan Imam Al-Qarrafi di atas tidak disebutkan secara langsung perihal kurban, tetapi beliau memberikan gambaran dengan contoh ibadah-ibadah lain yang dilakukan dengan harta yang tidak halal, seperti solat dengan baju rampasan, wudhu dengan air rampasan, maupun haji dengan harta haram, ini semua adalah cara-cara yang menjadikan status harta menjadi tidak halal, namun beliau menyampaikan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, dan perkara kurban dengan harta haram pun masuk kategori yang sama, hal tersebut (sahnya ibadah) kemungkinan dimaknai jika syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah tersebut telah terpenuhi, dengan dibarengi dengan tidak adanya penghalang yang menghalangi keabsahan ibadah.

Hal ini disebutkan pula dalam fatwa dari Al-syabakah Al-islamiyah berikut:

أما أن ينفق المال الحرام في عمل يتقرب به إلى الله كالصدقة أو الأضحية أو العقيقة فلا أجر له على ذلك، فإن الله لا يقبل إلا ما كان من مال حلال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: … إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا.. أما إجزاؤها عن العقيقة فهي مجزئة عند الجمهور.

“Adapun seseorang menginfakkan harta haram untuk amalan yang ditujukan untuk bertaqorrub kepada Allah seperti sedekah, atau kurban, atau aqiqah, tidak ada pahalanya dalam amalan tersebut, karena Allah tidak akan menerima kecuali dari perkara yang halal, sebagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah maha baik, dan tidak akan menerima kecuali dari sesuatu yang baik……adapun kecukupan/sahnya harta haram untuk aqiqah (dan yang semisal dengannya) maka sah dan cukup menurut jumhur ulama”.

Referensi sebagai berikut ini ;