Sebelumnya, maksud harta haram di sini adalah harta yang didapatkan dari transaksi yang tidak dibenarkan oleh Syari’at Islam. Sehingga, harta yang didapatkan tersebut haram untuk digunakan.
Status keharaman harta tipe ini bukan ‘dzati’ alias haram secara dzat atau materi hartanya, tapi ‘aridhi’ alias mendatang, akibat dari cara mendapatkannya yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Misal harta haram tipe ini adalah harta hasil curian, rampasan, tipu menipu, korupsi, dan semacamnya.
Nah, bagaimana cara bertaubat dari harta haram ini? As Sayyid Abdurrahman Ba ‘Alawi dalam kitab Bughyah Al Mustarsyidin menjelaskan, mengutip fatwa Al Imam Al Habib Abdullah bin Husein bin Abdullah Bal Faqih dan Al Allamah As Syeikh Muhammad bin Abi Bakr Al Asykhar Al Yamani yang artinya sebagai berikut ini;
Ada harta haram atau hasil kezaliman pada diri seseorang dan ia ingin bertaubat darinya, maka jalannya adalah dengan mengembalikan semua harta tersebut kepada pemiliknya dengan segera. Bila ia tidak kenal siapa pemiliknya, dan ia masih berharap bisa mengenalinya, maka wajib untuk berusaha mencari tahu siapa pemiliknya dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Dan mengenalkan padanya hukumnya sunnah. Dan (bila belum menemukan pemiliknya) berniat untuk mengembalikan harta tersebut kapan pun bertemu pemiliknya ataupun ahli warisnya. Dan (sebelum menemukan pemiliknya atau ahli warisnya) tidak berdosa menahan harta tersebut bila tidak menemukan seorang hakim yang terpercaya sebagaimana umumnya terjadi di zaman ini.
Al Imam Al Ghazali dalam Minhaj Al ‘Abidin memberikan solusi berikut: Bahwa dosa yang terjadi antar sesama hamba Allah terkadang pada masalah harta. Maka wajib mengembalikan harta tersebut ketika mungkin. Bila tidak mungkin, misal karena kondisi fakir, maka wajib meminta halal. Bila tidak bisa meminta halal karena ketiadaan pemiliknya atau ia telah wafat, dan memungkinkan baginya untuk bersedekah (dengan atas nama pemilik harta tersebut), maka hendaklah ia melakukannya. Bila tidak mampu juga, maka hendaklah ia memperbanyak berbuat kebaikan dan menyerahkan urusannya kepada Allah dan merendahkan diri kepadaNya berharap Allah Swt membuat pemiliknya merelakannya di hari kiamat kelak.
Dan bila tidak bisa diharapkan mengenal pemiliknya, dengan -misalnya- keberadaan pemiliknya jauh (dan tidak bisa ditemukan), maka jadilah harta tersebut termasuk harta Baitul Mal (kas kaum Muslimin). Sebagaimana harta titipan dan harta rampasan yang tidak bisa diharapkan lagi mengenali siapa pemiliknya, dan harta peninggalan orang yang tidak dikenal siapa pewarisnya. Dalam kondisi seperti itu, maka harta digunakan untuk kepentingan kemaslahatan kaum Muslimin sesuai prioritasnya, mana yang lebih penting, seperti untuk membina masjid sekira tidak ada keperluan yang lebih umum dari itu. Bila orang, yang harta tersebut di bawah tanggungjawabnya, dalam kondisi fakir, maka ia boleh mengambil sekedar keperluannya, dan keperluan tanggungannya yang juga fakir. Ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab At Tuhfah dan lainnya.
Dari penjelasan beberapa ulama diatas kita simpulkan bahwa bila seseorang ingin bertaubat dari harta yang didapatkan secara haram, maka cara bertaubatnya adalah berusaha mengembalikannya dengan bersungguh sungguh mencari pemiliknya. Bila ternyata pemiliknya sudah wafat, maka serahkan kepada ahli warisnya. Ini bila hartanya masih ada.
Bila hartanya sudah tidak ada alias sudah terlanjur habis digunakan, maka yang dikembalikan adalah nilainya atau bila tidak mampu mengakui dan meminta maaf atasnya.
Harta haram tidak boleh langsung disedekahkan selama pemiliknya masih mungkin untuk ditemukan. Hal ini sebagaimana jawaban Syekh Ibn Hajar yang dimuat dalam kitab kompilasi fatwa fatwanya yang berjudul Al Fatawa Al Kubra:
Syekh Ibn Hajar ditanya tentang harta rampasan yang jelas tidak tidak diketahuisiapa pemiliknya, apakah haram ataukah syubhat? Apakah menggunakannya, sebagaimana harta temuan, ataukah seperti selain harta temuan? Maka beliau -rahimahullah- menjawab dengan katanya: Tidak halal menggunakannya selama pemiliknya masih diharapkan adanya.
Namun, bila sudah tidak mungkin lagi menemukan pemiliknya atau tidak ada ahli warisnya, hendaklah harta tersebut atau nilainya diserahkan ke Baitul Mal atau disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemilik harta. Dan bila hartanya sudah tidak ada dan tidak punya harta untuk mengganti nilainya, maka hendaklah memperbanyak berbuat kebaikan, seraya memasrahkan urusannya kepada Allah Swt
Referensi sebagai berikut ini ;
.