Alquran dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah[2]: 188).
Meski demikian, adakalanya seorang pelaku tindak pidana korupsi diberi kesempatan kedua setelah melewati masa hukumannya. Dia pun ingin bertobat ke jalan yang benar dan memutihkan harta kekayaan yang diperolehnya lewat perilaku korupsi. Dia sadar jika hanya harta halal yang mampu menyelamatkannya dari neraka.
Meski kebanyakan pelaku tindak pidana korupsi diwajibkan untuk membayar uang kerugian negara sesuai kejahatan yang dilakukan, hanya dia sendiri yang mengetahui mana harta yang benar-benar dikategorikan sebagai harta halal setelah adanya praktik tersebut.
"Alquran dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil".
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah ayat 168).
Imam Al Ghazali dalam Rahasia Halal-Haram (Al Halal wa Al Haram) mengungkapkan, ada dua kondisi harta seseorang yang bercampur dengan harta haram. Pertama, jumlah barang yang haram diketahui. Semisal jika setengah dari hartanya haram maka dia harus memisahkan setengah hartanya. Caranya yakni menurut apa yang diyakini dan dugaan yang kuat.
Al Ghazali berpendapat, dua cara tersebut dikemukakan para ulama terkait dengan keraguan dalam jumlah rakaat shalat. Dalam shalat ketika terlupa maka seseorang hanya dibolehkan mengambil jumlah rakaat yang diyakini. Sebab, yang pokok adalah melaksanakan tanggungan lalu menempuh istishhab nggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Meski demikian, tidak mungkin dikatakan jika harta pokok orang tersebut merupakan harta yang haram. Karena itu, ia boleh mengambil menurut dugaan kuat sebagai ijtihad.
"Jika orang tersebut ingin bersifat wara’, maka dia hanya menyisakan kadar yang diyakini kehalalannya dari harta yang telah bercampur".
Pertama, harta haram itu merupakan kepunyaan seseorang sehingga wajib diserahkan kepadanya atau kepada pemiliknya. Kedua, harta haram itu dimiliki seseorang yang tidak diketahui. Tidak pula diketahui apakah sudah meninggal atau belum serta apakah ada ahli warisnya. Dalam hal ini tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya.
Akan tetapi, hendaknya ditangguhkan hingga persoalan menjadi jelas. Terkadang, harta tersebut tidak mungkin dikembalikan karena pemiliknya banyak. Contoh harta rampasan perang yang dicuri. Dalam hal ini, Al Ghazali menyarankan untuk menyedekahkan harta tersebut.
Terakhir, harta tersebut merupakan harta negara yang tidak bergerak. Karena itu, harta itu hendaknya digunakan untuk membangun jembatan, masjid, hingga fasilitas publik seperti jalan sehingga dapat bermanfaat bagi kaum Muslimin.
Referensi sebagai berikut ini ;