Pertanyaan : Saat ini saya khawatir telah memakan uang haram, baik langsung maupun tidak langsung, padahal saya telah berusaha untuk menghindarinya, namun saya takut tanpa saya sadari telah memakannya.
Saya pernah mendengar dalam suatu Khotbah Jum’at, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa siapa yang memakan barang haram tidak akan diterima ibadahnya selama 40 tahun, tentu saya sangat takut dan pesimis sehingga berfikir akan sia-sia saja untuk memperbanyak ibadah, sementara ini Alhamdulillah saya tetap rajin beribadah meskipun masih khawatir tidak akan diterima (saya takut nanti akan berfikir percuma ibadah kalau tidak diterima).
Pertanyaan saya, Apakah yang harus saya lakukan agar Allah SWT mengampuni saya dari memakan uang haram yang mengakibatkan ibadah saya tidak diterima selama itu ?
Terdapat hadits yang berbunyi,”Barangsiapa yang memakan sesuap saja dari yang haram maka tidaklah diterima shalatnya sebanyak 40 malam dan tidaklah diterima doanya selama 40 pagi dan setiap daging yang tumbuh dari (sesuatu) yang haram maka api neraka menjadi lebih utama baginya. Sesungguhnya sesuap dari yang haram akan menumbuhkan daging.” (HR. ad Dailami dari Ibnu Masud)
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut munkar, tidak dikenal kecuali dari riwayat al Fadhl bin Abdullah. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ (palsu)
Adapun tentang bertaubat dari memakan barang yang diharamkan Allah SWT maka sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka selama nyawa belum sampai di tenggorokan atau matahari belum terbit dari barat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: ” Allah SWT Subhanahu Wa Ta’ala akan senantiasa membuka lebar-lebar tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa pada siang hari dan Allah SWT senantiasa akan membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orng yang berbuat dosa pada malam hari, dan yang demikian terus berlaku hingga matahari terbit dari barat.”
Cukuplah bagi anda melakukan taubat nashuha terhadap perbuatan memakan barang yang diharamkan tersebut dengan memenuhi syarat-syaratnya :
- Menyesali atas apa yang anda lakukan pada masa lalu.
- Meninggalkan kemaksiatan tersebut saat diri anda bertaubat.
- Bersungguh-sungguh untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut selamanya pada masa yang akan datang.
- Jika dalam perbuatan tersebut terdapar penzhaliman terhadap kepemilikan orang lain maka diwajibkan bagi anda untuk mengembalikannya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”
Dan mudah-mudahan dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menggantikan keburukan tersebut dengan kebaikan, dalam surah Al Qur'an Al Furqan : 70 yang artinya,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah SWT dengan kebajikan. dan adalah Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Taubat Orang yang Tidak Dapat Mengembalikan Hak-hak Harta : Orang yang memegang hak harta orang lain, ia harus mengembalikan harta itu kepada mereka, atau kepada ahli warisnya. Jika ia tidak memiliki harta yang cukup untuk itu, hendaklah ia berusaha untuk mencari gantinya, sepanjang hidupnya, sesuai kemampuannya. Tiap kali ia mendapatkan suatu harta, hendaklah ia segera membayarkan sebagian dari kewajibannya itu. Setiap orang sesuai dengan haknya. Barangsiapa yang menanggung hutang harta, kemudian ia bertaubat dan menyesal dari perbuatannya itu, maka ia harus mengembalikannya kepada para pemiliknya, atau kepada ahli warisnya.
Kemudian, jika ia tidak mengetahui mereka, atau mereka telah wafat, atau karena masalah lain, maka taubat dalam kasus seperti ini berbeda aturannya: Satu kelompok ulama berpendapat: tidak ada taubat baginya, kecuali dengan mengembalikan kezaliman ini kepada para pemiliknya. Jika ia tidak dapat melakukan itu maka taubatnya pun tidak dapat ia raih. Dan nantinya pada hari kiamat, menanti balasan dengan diambilnya kebaikannya untuk menebus keburukannya itu. Tidak ada jalan lain.
Mereka berkata: ini adalah hak manusia yang tidak sampai kepadanya. Dan Allah SWT tidak membiarkan satu hak hamba untuk dilanggar oleh orang lain sedikitpun. Dan Dia menyampaikan hak masing-masing orang kepada orang tersebut. Dia sama sekali tidak membiarkan suatu kezaliman manusia kepada manusia lain terjadi tanpa konsekwensi. Maka Dia akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya, meskipuin itu sebuah tamparan, kata-kata atau satu lemparan batu.
Mereka berkata: tindakan yang paling mudah dilakukan untuk menutupi kesalahannya itu adalah dengan memperbanyak kebaikan, sehingga ia dapat membayar kejahatannya pada hari kiamat nanti dengan kebaikannya itu. Dan tindakan yang paling bermanfaat baginya adalah bersabar atas kezaliman dan aniaya yang dilakukan orang lain kepadanya, serta ghibah dan qadzaf (tuduhan zina) yang dilontarkan mereka kepadanya.
Hendaklah ia tidak meminta haknya dari mereka di dunia, serta tidak menemuinya, sehingga musuhnya itu akan menutupi kekurangan timbangannya nanti di akhirat, jika memang kebaikannya telah habis. Karena jika ia akan diambil kebaikannya untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang lain, maka iapun akan dibayarkan dari orang lain atas kezaliman yang dilakukan mereka kepadanya. Sehingga diharapkan itu dapat memenuhi kekurangannya, atau malah akan menambah timbangannya.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang orang yang memegang uang yang didapatkan dari hasil kezaliman. Sekelompok ulama berkata: hendaknya ia tetap menyimpan uang itu, dan tidak boleh menggunakannya sama sekali. Sekelompok ulama yang lain berkata: hendaknya ia berikan uang tersebut kepada imam atau pejabat yang berwenang, karena ia adalah wakil dari rakyatnya, sehingga ia menyimpankannya untuk mereka. Dan hukum harta itu menjadi harta yang ditemukan dijalan (luqathah).
Sementara sekelompok ulama yang lain berkata: pintu taubat masih terbuka bagi orang ini, dan tidak ditutup oleh Allah SWT baginya serta bagi orang yang berdosa. Taubat orang ini adalah dengan mensedekahkan harta itu kepada orang-orang yang berhak, seperti kepada para fakir-miskin, orang-orang yang membutuhkan, lembaga-lembaga sosial, dan untuk kepentingan kaum muslimin.
Di antaranya adalah untuk: pasukan jihad fi sabilillah dan pusat-pusat dakwah. Jika nanti datang hari pembalasan hak-hak, maka para pemilik uang dapat memilih antara memaafkan apa yang diperbuatnya itu, dan pahala sedekah itu untuk mereka. Atau mereka tidak memaafkannya, sehingga mereka mengambil dari kebaikannya menurut jumlah uang mereka, dan pahala sedekah itu untuknya sendiri. Karena Allah SWT tidak membatalkan pahala sadaqahnya itu.
Dan Allah SWT tidak menyatukan antara pengganti dan yang digantikan. Kemudian dimintakan kepadanya, dan Allah SWT menjadikan pahala sedekah itu bagi mereka, atau juga dengan mengambil dari kebaikannya sesuai dengan kadarnya untuk diberikan kepada orang yang pernah dizhaliminya itu.