Senin, 20 Juni 2022

Mensyukuri nikmat Allah SWT


Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut.

Berikut beberapa cara bersyukur yang dapat kita lakukan :

  1. Bersyukur dengan hati : dapat dilakukan dengan menjaga hati agar senantiasa mengingat Allah SWT dan mencegah untuk memiliki sifat penyakit hati seperti iri dan dengki.
  2. Bersyukur dengan lisan atau perkataan: dapat dilakukan dengam selalu berkata dengan baik dan sopan. Selain iti juga dapat ditambah dengan selalu berzikir kepada Allah SWT dengan lisannya
  3. Bersyukur dengan perbuatan : dapat dilakukan dengan cara selalu melakukan apa-apa yang Allah SWT perintahkan seperti melakukan shalat. Bersyukur dengan perbuatan juga dapat dilakukan dengan cara melakukan sujud syukur kepada Allah SWT.

Sujud syukur adalah sujud kepada Allah yang dilakukan oleh umat muslim di luar shalat yang bertujuan untuk menyukuri nikmat yang Allah berikan. Sujud syukur juga dapat dilakukan apabila kita baru terhindar dari suatu musibah.

Hukum sujud syukur adalah sunnah. Dimana apabila dikerjakan maka seseorang akan mendapat pahala dan apabila ia meninggalkan atau tidak menggerjakan perbuatan tersebut maka ia tidak akan berdosa.
Allah Subhanahu wa ta'ala memberikan rezeki kepada manusia dengan segala apa yang ada di bumi. Setiap makhluk dapat makan dan minum. 

Allah SWT juga mengaruniakan kepada pakaian yang dengannya manusia dapat menutup aurat dan berhias. Allah juga menganugerahkan tempat tinggal yang di dalamnya manusia dapat beristirahat dengan nyaman. Allah SWT juga memberikan kendaraan yang dengannya setiap orang dapat bepergian. Bahkan, 

Allah SWT juga mengaruniakan kepada setiap orang jasad yang sehat yang dengannya kita dapat beraktifitas. Allah SWT juga menempatkan kita di negeri yang aman, damai dan sentosa Semuanya itu adalah kenikmatan yang Allah SWT karuniakan untuk kita. Tidak ada satu pun, dan sekecil apapun nikmat melainkan itu datang dari Allah SWT.

1. Penjelasan Syukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Allah SWT, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat Allah SWT.

Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetaka pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur –seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip di atas– diartikan oleh orang yang bersyukur dengan “untung” (merasa lega, karena yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).

Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah SWT. Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah SWT. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan di hadapan si penderita itu).

Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki –seperti melakukan sujud dalam shalat. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudhu, karena sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudhu.

2. Penjelasan Syukur dengan lidah/lisan :
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah SWT sambil memuji-Nya. Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah SWT disampaikan dengan redaksi “al-hamdulillah.”

Pujian (al-hamdulillah) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata “al” pada “al-hamdulillah” oleh pakar-pakar bahasa disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti “keseluruhan”. Sehingga kata “al-hamdu” yang ditujukan kepada Allah SWT mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.

Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah SWT, maka itu berarti pada saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah SWT. Di sisi lain kalau pada akhirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur dengan lidah adalah “al- hamdulillah” (segala puji bagi Allah SWT).

3. Penjelasan Syukur dengan perbuatan/tingkah laku/Akhak Manusia
Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah SWT berpesan,

“Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!” (QS. Saba)  34: 13.

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahan kepada Allah SWT.

Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah SWT. Ambillah sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah SWT. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Allah SWT:

“Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu) agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur” (QS. An-Nahl)16: 14.

Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh kalimat “mencari karunia Allah SWT”.

Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah SWT, “Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)” (QS. Ibrahim) 14: 7.

Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia. Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa “Kalau kamu kufur (tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.”

Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan bersumber dari-Nya langsung (QS. Ibrahim) 14 : 7. Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti akan menimpa yang tidak bersyukur (QS. Ibrahim) 14 : 7. 

Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut. “Allah SWT telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah SWT (yang terpendam). Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan” (QS. An-Nahl) 16: 112.

Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah SWT ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba –satu suku bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya.

Negeri merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi dan transportasi antar-kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja. Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman,

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur (QS. Saba) 34: 17.

Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer: “Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih” (QS. Ibrahim) 14:7. Semoga artikelnya bermanfaat bagi semuanya khususnya saya pribadi, sebagai pengingat dan ibroh bagi contoh untuk semuanya. Dari Abu Sa'id al-Khudriy RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Bagaimana aku bisa bersenang-senang, padahal malaikat peniup sangkakala telah memasukkannya ke dalam mulut dan ia hanya menunggu izin, kapan ia diperintah untuk meniup sangkakalanya. "Berita ini sangat berat sekali didengar oleh para sahabat. Kemudian beliau bersabda, "Ucapkanlah, 'Hasbunallaahu wani'mal wakil' (Allah SWT yang mencukupi kami dan Ia sebaik-baik yang menjamin)," (HR Tirmidzi)