Kamis, 14 Juli 2022

Transakasi yang di larang dalam islam


Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :

1. Haram zatnya (objek transaksinya)

Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.

2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)

Jenis ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

Tadlis, yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.Taghrir (Gharar), yaitu menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.

Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:

Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)

Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).

Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi

Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.

Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 :

1. Gharar dalam Kuantitas

Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.

2. Gharar dalam Kualitas

Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.

3. Gharar dalam Harga

Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.

4. Gharar menyangkut waktu penyerahan

Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.

Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya pengganti (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).


Referensi sebagai berikut ini ;