Sungguh sangat menyedihkan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama, namun sampai dengan saat ini Indonesia masih menyandang jawara dalam hal korupsi. Korupsi dilarang dalam ajaran agama apa pun termasuk agama Islam. Meskipun terjadinya praktek korupsi di berbagai sektor tidak serta merta berdampak langsung kepada kehidupan kita, namun jika kita semua tidak peduli dan turut serta pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka lambat laun kita semua akan hancur berantakan. Hal ini diibaratkan sebagai sebuah kapal besar yang bernama Indonesia, berlayar menyeberangi samudera nan luas dan mengangkut sarat penumpang dengan berbagai kepentingan. Agar tujuan dapat dicapai dengan selamat maka kapten kapal harus menegakkan aturan main seperti yang telah mereka sepakati.
Peristiwa demikian telah di jelaskan dalam salah satu hadist sebagai berikut:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya’ berkata, aku mendengar ‘Amir berkata, aku mendengar An-Nu’man bin Basyir radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata;
“Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya.”(HR. Bukhari).
Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Jinayah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.
Menggelapkan uang Negara dalam Syari’at Islam disebut Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya seutas benang dan jarum.
Adapun dasar hukum dari Al-ghulul, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadits sebagai berikut:
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.(QS. Ali-Imran ayat 161)
Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara) dan zakat dari kaum muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah maka yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:
a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,”Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak”. Beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.
b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak
Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri.
c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak
Bersumber dari Mu’adz bin Jabal yang berkata, “Rasulullah Saw telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. At-Tirmidzi).
d. Pada hari kiamat orang akan memikul terhadap barang yang diambil secara tidak sah
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul, menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. “ Ia berkata, “Wahai Rasulullah tolonglah aku. “Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kambing yang mengembik-embik. “Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘ Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kain dan baju-baju yang berkibar-kibar.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barang-barang yang berharga.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu.’” (HR. Bukhari)
e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah
Hadits ini menunjukkan bahwa pengertian ghulul tidak terbatas pada lingkup korupsi harta rampasan perang saja, melainkan mencakup semua kekayaan publik, yang diambil seorang pejabat secara tidak sah. Seperti tertuang dalam peringatan Rasulullah Saw kepada Mu’adz yang diangkat menjadi Gubernur Yaman, agar tidak mengambil sesuatu apa pun dari kekayaan negara yang ada di bawah kekuasaannya tanpa izin Rasulullah. Jika hal ini tetap dilakukan maka ia melakukan tindakan korupsi.
Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As Sa’idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata;
‘Ini adalah hartamu dan ini hadiah.’
Spontan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berujar: “kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur.”
Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: “Amma ba’d. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; ‘ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ‘ kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”
Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?” (HR. Bukhari)
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat).
Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)
Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain:
فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)
وَإِبۡرَٰهِيمَ إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱتَّقُوهُۖ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٦
“Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepadaNya’.” (Al-Ankabut: 16)
Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam :
قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama’.” (Az-Zumar: 11)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sendiri bersabda:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), serta mengamalkannya. Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ ١٩
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disem-bah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…”. (Muhammad: 19)
Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam ada- lah mengikrarkan dua kalimah syahadat. Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah). Juga disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena keter-gantungan mereka kepadanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikias-kan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi di antara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar.
Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah yang tiada Tuhan selainNya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di mana pun ia berada maka Dia selalu bersamanya.”
Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa mereali-sasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (An-Nisa’: 48, 116)
ۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٨٨
“…seandainya mereka mempersekutukan Alah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak …”. (An-Nisa’: 36)
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya …” (Al-Isra’: 23)
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu dari Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan kamu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak …’.” (Al-An’am: 151)
Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan.DI antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl . Al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. (Baca juga: Korupsi Pembangunan Jembatan di Kampar, KPK Telisik Penggunaan VWSG ) Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat. وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161). Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar.
Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi). Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’ Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya. Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain. Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram. Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya. Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.
Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok. Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.
Referensi sebagai Berikut ini ;