Rabu, 27 Juli 2022

Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi

Ilustrasi : Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi

Pahala/Amalan Sebesar Gunung Hancur Akibat Bermaksiat Disaat Sendiri/Sepi. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyampaikan kepada sahabat tentang kaum yang tampak alim ketika berkumpul, namun dzalim pada diri sendiri tatkala sendirian dan sepi. Kaum ini muncul pada akhir zaman, menjelang hari kiamat. Mereka melakukan maksiat yang dianggap sepele, namun faktanya justru menghancurkan pahala dari amalan yang sudah dilakukan. Bahkan, meskipun amalan yang dimiliki sudah setinggi gunung Tihamah, namun pahalanya tetap akan musnah.

Tindakan maksiat ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan berani serta menganggap remeh dosa. Lalu, apakah kita termasuk dalam kaum yang dikatakan Sang Nabi? Berikut ulasannya.

Manusia kerap kali menganggap remeh dosa, sehingga mengabaikan tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan orang lain. Padahal, meskipun tidak terhitung menyakiti orang lain, namun apa saja yang melanggar larangan Allah SWT tetap saja berbuah dosa.

Termasuk melakukan maksiat dikala sepi. Di era kini, saat-saat sepi justru memiliki potensi yang besar bagi diri untuk melakukan tindakan melanggar perintah Ilahi. Misalnya dengan kecanggihan teknologi, manusia bisa searching hal-hal yang yang sangat dilarang agama.

Seperti menonton film p*rn*, melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, membaca artikel yang menimbulkan syahwat dan lain sebagainya. Ini hanya beberapa contoh tindakan yang melanggar tersebut. Masih banyak tindakan lain yang juga bisa menghancurkan pahala yang sudah dikumpulkan selama ini.

Keadaan seperti ini disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari.

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah SAW lalu menjawab. “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Bagaimana, apakah kita termasuk dalam kaum yang menggunakan sepi untuk bermaksiat. Tidak hanya tindakan, bermaksiat dengan pikiran-pikiran yang melanggar aturan juga mampu memusnahkan pahala. Karena faktanya, sesama manusia memang tidak mengetahuinya, namun Allah SWT senantiasa mengawasi kita. Seperti dalam  QS. An-Nisa’: 108 yang artinya:

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108).

Semoga setiap waktu  dan segala kondisi, kita tetap meneguhkan iman untuk setia hanya mengingat Allah SWT. Sehingga niat bertindak untuk bermaksiat dikala sepi dapat terhindari. Aamiin.


Dalam sebuah acara kajian ilmu, Ustadz Ahmad Zainuddin menjelaskan tentang salah satu dosa yang dapat menghapuskan pahala.

Beliau bahkan mengatakan, maksiat yang dikerjakan pada waktu ini membuat pahala sebesar gunung Tihamah pun akan hangus.

Allah akan membuat pahala yang sebesar gunung Tihamah tersebut beterbangan layaknya debu karena perbuatan maksiat yang dilakukan.

kapan waktu bermaksiat yang dimaksud Ustadz Ahmad Zainuddin yang dapat menghapuskan pahala tersebut?

Ustadz Ahmad Zainuddin menerangkan materi ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist dari Tsauban radhiyallah hu anhu.

"Aku sangat mengetahui orang-orang dari umatku datang pada hari kiamat, dengan pahala bergunung-gunung pahala Tihamah," kata Ustadz Ahmad Zainuddin.

"Kenapa disebutkan gunung Tihamah? Karena gunungnya sangat terkenal tinggi dan besarnya, di Negeri Yaman," ujar beliau menerangkan.

"Kemudian Allah menjadikan pahala bergunung-gunung tersebut seperti debu-debu yang beterbangan," kata beliau melanjutkan.

Apa alasannya Allah menjadikan pahala yang begitu besar seakan tidak berarti layaknya debu kecil yang hempas diterpa angin?

Lebih jelasnya, Ustadz Ahmad Zainuddin mengatakan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabat.

Bahwa ciri orang yang pahalanya sebesar gunung Tihamah dihapuskan oleh Allah SWT adalah orang yang bermaksiat tatkala ia sedang sendirian.

Rasulullah SAW mengatakan, mereka orang Islam sama seperti kalian (para sahabat), mereka bangun malam sebagaimana para sahabat menjalankan ibadah malam.

"Tetapi, mereka jika sudah sendirian dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mereka langgar, mereka libas semua larangan tersebut," kata Ustadz Ahmad Zainuddin.

"Maksiat tatkala sendirian penghapus pahala, hati-hati. Iman yang jujur, Allah maha melihat," ujar beliau menegaskan


Seseorang yang ketika di hadapan orang banyak terlihat alim dan shalih. Namun kala sendirian, saat sepi, ia menjadi orang yang menerjang larangan Allah.

Inilah yang dapat dilihat dari para penggiat dunia maya. Ketika di keramaian atau dari komentar ia di dunia maya, ia bisa berlaku sebagai seorang alim dan shalih. Namun bukan berarti ketika dalam kesepian, ia seperti itu pula. Ketika sendirian browsing internet, ia sering bermaksiat. Pandangan dan pendengarannya tidak bisa ia jaga.

Keadaan semacam itu telah disinggung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari. Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan disebutkan,

عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا »

Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat Dosa”.

Hadits di atas semakna dengan ayat,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108). Walaupun dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.

Ada beberapa makna dari hadits Tsauban yang kami sebutkan di atas:

Pertama:

Hadits tersebut menunjukkan keadaan orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan). Sedangkan hadits Abu Hurairah berikut dimaksudkan pada kaum muslimin.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas di pagi harinya ia berkata bahwa ia telah berbuat dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam harinya, Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990)

Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair (2: 764) mengenai dosa besar no. 356, “Termasuk dosa besar adalah dosa yang dilakukan oleh orang yang menampakkan keshalihan, lantas ia menerjang larangan Allah. Walau dosa yang diterjang adalah dosa kecil dan dilakukan di kesepian. Ada hadits dari Ibnu Majah dengan sanad berisi perawi tsiqah (kredibel) dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan …” Karena kebiasaan orang shalih adalah menampakkan lahiriyah. Kalau maksiat dilakukan oleh orang shalih walaupun sembunyi-sembunyi, tentu mudharatnya besar dan akan mengelabui kaum muslimin. Maksiat yang orang shalih terjang tersebut adalah tanda hilangnya ketakwaan dan rasa takutnya pada Allah.”

Kedua:

Yang dimaksud dalam hadits Tsauban dengan bersendirian dalam maksiat pada Allah tidak berarti maksiat tersebut dilakukan di rumah seorang diri, tanpa ada yang melihat. Bahkan boleh jadi maksiat tersebut dilakukan dengan jama’ahnya atau orang yang setipe dengannya.

Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits bukanlah melakukan maksiat sembunyi-sembunyi. Namun ketika ada kesempatan baginya untuk bermaksiat, ia menerjangnya. (Silsilah Al-Huda wa An-Nuur no. 226)

Ketiga:

Makna hadits Tsauban adalah bagi orang yang menghalalkan dosa atau menganggap remeh dosa tersebut.

Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi berkata, ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya. Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani (menganggap remeh dosa, pen.). Itulah yang membuat amalannya terhapus. (Syarh Zaad Al-Mustaqni) Semoga kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Jadikan, nasihat ini terutama untuk setiap diri kita pribadi.

Referensi sebagai Berikut ini ;