Tanda Suami Durhaka pada Istri & Anak, Tugas suami hanya memenuhi kebutuhan rumah tangga, Menjaga kondisi rumah tangga bukan perkara mudah. Tanggung jawab ini tidak hanya dibebankan pada istri, namun suami memiliki porsi lebih besar. Sayangnya, ada suami yang tidak menyadari hal ini. Sampai-sampai mereka melakukan perbuatan yang sudah termasuk durhaka, bukan para orang tua melainkan istri dan anak-anaknya. Para istri, kenali tanda-tanda ini. Jika tanda-tanda ini pada suamimu, maka dia sudah termasuk durhaka.
Pertama, banyak ayah yang berpikir membesarkan dan mendidik anak merupakan investasi. Nantinya, mereka anak membantu orang tua di masa depan. Pemikiran ini jelas salah. Mendidik anak merupakan kewajiban orang tua, termasuk ayah. Jika anak dianggap investasi, biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan dan mendidiknya tidaklah sedikit. Malah, seorang ayah justru akan merugi jika menghitung biaya yang sudah dikeluarkan. Tetapi jika ayah berpikir membesarkan dan mendidik anak adalah kewajiban, maka tidak pernah ada kerugian. Semua bisa didapat, asal dengan keikhlasan untuk mendidiknya.
Kedua, pemikiran bahwa suami adalah pemimpin begitu akad nikah selesai dilaksanakan. Sebagai pemimpin, suami berpikir memiliki tugas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika sudah terpenuhi, maka suami bebas di luar rumah. Sementara tugas mengurus dan mendidik anak diserahkan sepenuhnya pada istri. Padahal, suami juga wajib memperlakukan istri dengan penuh penghargaan. Dan terlarang bagi suami untuk menyakiti istrinya.
Wahai suami kamu tak bisa mengelak kalau dikatakan durhaka pada anak dan istrimu jika 2 hal ini diketahuinya. Jangan sampai kamu termasuk suami yang durhaka, Membangun serta menjaga kerukunan rumah tangga memang sulit. Tak banyak para suami yang bisa melakukannya. Sampai mereka akhirnya melakukan hal yang dapat tergolong sebagai bentuk kedurhakaan. Tapi tenang bagi kamu para istri, suamimu yang durhaka bisa dilihat dari 2 hal ini sebagaimana dikutip kompasiana.com
1. Kesalahan Ayah Pada Anaknya,
Hampir semua Ayah, memiliki pemikiran. Bahwa, membesarkan dan mendidik anaknya sebagai investasi masa depan. Bukan sebagai kewajiban yang memang harus dia kerjakan. Sehingga, ketika orang tua tidak mampu lagi bekerja. Diharapkan, anak akan membantu orang tuanya. Pemikiran demikian, jelas salah. Dimana salahnya? Mari kita hitung secara matematis.
Jika, biaya makan berserta lauk pauknya sekali makan Rp.15.000,- maka, sehari untuk biaya makannya 45 ribu. Pakaian plus biaya cucinya Rp. 5.000,- maka total biaya seorang anak, 50 ribu/hari. Sebulan 1,5 juta, Satu tahun 18 juta. Jika di asumsikan, anak akan mandiri, tanpa biaya dari orang tua, hingga berusia 24 tahun. Maka, untuk kebutuhan makan dan pakaian saja 432 juta.
Jika umur 6 tahun masuk SD, maka untuk biaya pendidikan, uang pendaftaran 5 juta, biaya pendidikan 500 ribu/bulan, ongkos setiap pp sekolah-rumah, 20 ribu/hari. Jajan 20 ribu/hari.
Biaya buku dll 500 ribu/bln. Maka, biaya pendidikan selama SD-SMA sebesar 348 juta.Jika biaya kuliah, hingga selesai S1 sekitar 200 juta. Maka, total jendral, biaya seorang anak, hingga menyelesaikan S1 sekitar 980 juta. Jika asumsi 1 gram emas Rp.500.000.-. Biaya seorang anak hingga S1, setara dengan 1,96 Kg emas.
Jika seorang Ayah, menikah pada usia 26 tahun, maka pada usia 50 tahun, sang Ayah baru menghentikan kegiatan investasi. Jika lama usia seorang Ayah tujuh puluh tahun.
Maka sang Ayah. Mestinya, memetik hasil dari investasi yang dia keluarkan sebanyak 980 juta di bagi 20, yakni sebesar 49 juta pertahun atau 4 juta perbulan. Sungguh sebuah nominal nilai yang sangat kecil jika dibanding investasi yang dia tanamkan sebesar 980 juta.
Kesimpulannya, jika anak dianggap sebagai investasi. Jelas sang Ayah mengalami kerugian. Belum lagi, jika sang anak tak mampu atau lupa memberikan nilai yang mestinya dia berikan pada sang Ayah dengan nominal selayaknya sebesar investasi yang diterimanya.
Berbeda halnya, jika saja seorang Ayah beranggapan bahwa membesarkan dan mengasuh anak sebagai kewajiban. Maka, sang Ayah akan bekerja dengan “Nothing to lose”.
Ikhlas dan tidak berharap balas jasa. Itulah kata kuncinya. Ikhlas dan tak berharap balas jasa. Akibatnya, seorang Ayah akan mempersiapkan diri untuk anak dan dirinya sendiri.
Artinya, Ayah akan berusaha mencari nafkah demia anaknya tanpa melupakan persiapan masa depan untuk dirinya sendiri. Sebab, akan datang masa, ketika anak telah dewasa dan meninggalkan orang tua. Ketika itu, orang tua, tetap berkecukupan secara materi. Karena, jauh hari sebelumnya telah mempersiapkan diri.
Lalu, bagaimana dengan sejumlah nominal yang telah diberikan pada sang anak? Bukankah semua itu harus ada perhitungannya? Karena sifatnya ikhlas dan tidak berharap balas jasa.
Maka, seorang Ayah akan percaya, bahwa apa-apa yang telah dia berikan pada anaknya, sesungguhnya bukanlah rezeki milik sang Ayah. Melainkan, memang rezeki sang anak yang diberikan Allah melalui perantaraan tangan sang Ayah. Sebagaimana firman Allah;
ÙˆَÙ„َا تَÙ‚ْتُÙ„ُوا Ø£َÙˆْÙ„َادَÙƒُÙ…ْ Ø®َØ´ْÙŠَØ©َ Ø¥ِÙ…ْÙ„َاقٍ ۖ Ù†َّØْÙ†ُ Ù†َرْزُÙ‚ُÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَØ¥ِÙŠَّاكُÙ…ْ ۚ Ø¥ِÙ†َّ Ù‚َتْÙ„َÙ‡ُÙ…ْ Ùƒَانَ Ø®ِØ·ْئًا Ùƒَبِيرًا
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. al-Israa’: 31)
2. Kesalahan Suami Pada Istrinya
Banyak Suami beranggapan, ketika akad nikah sudah dilaksanakan, maka posisinya adalah pemimpin dalam rumah tangga. Ketika itu, Suami hanya berpikir, bagaimana cara memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sehingga, ketika kebutuhan rumah tangga sudah terpenuhi. Maka, selesailah tugasnya. Suami bebas melakukan apa saja di luar rumah.
Mulai pulang larut malam tanpa alasan yang jelas, tidak membimbing anak-anak dalam proses belajar mereka, tidak menyediakan cukup waktu untuk anak dan istri. Bahkan, kondisi ekstreemnya, nikah lagi tanpa sepengetahuan istri.
Padahal sesungguhnya, selain memenuhi kebutuhan rumah tangga, Suami masih memiliki kewajiban untuk memperlakukan istri dengan sepenuh penghargaan dan kelembutan.
"Seorang pemimpin dalam rumah tangga, bukan hanya memenuhi kebutuhan apa yang mereka pimpin. Tetapi, memastikan bahwa segala proses yang berlangsung dalam area yang dipimpin berjalan sesuai dengan kebijakan yang dibuat sang pemimpin, tanpa ada pihak yang merasa di rugikan atau ditinggalkan."
"Seorang Suami harus ingat, ketika mereka menikahi seorang wanita. Sesungguhnya, dia telah mengambil alih tanggung jawab seorang Ayah dari wanita yang dinikahinya. Artinya, bagaimana sang Ayah berusaha untuk membahagiakan anaknya seumur hidup sang Ayah, demikian pula yang harus dilakukan seorang Suami. Bagaimana seorang Ayah berusaha agar anak wanitanya tak tersakiti dan tersia-sia dalam kondisi apapun, itu pula yang harus dilakukan oleh seorang Suami pada istrinya."
Sehingga, ketika seorang Suami akan menyakiti atau menyia-nyiakan istrinya, seharusnya sang Suami bertanya, apakah hal demikian, mungkin dilakukan oleh Ayah dari wanita yang dinikahinya itu? Jika jawabannya tidak mungkin, maka jangan lakukan itu.
Menjamin kebahagiaan seumur hidup terhadap wanita yang dinikahi, akan melahirkan pola pikir bagaimana menjamin kepastian terpenuhinya kebutuhan Jasmani dan rohani dari wanita yang dinikahi Suami. Suami hendaknya memastikan kebahagian yang dia usahakan ketika muda dulu, tetap dapat dia saksikan hingga akhir hayatnya.
Pengingkaran terhadap kewajiban seorang Ayah pada anaknya, pengingkaran kewajiban seorang Suami terhadap istrinya, akan berakhir pada pengingkaran kehadiran seorang Ayah dan Suami terhadap anak dan dan istrinya.
Referensi sebagai berikut ini ;