Materialisme atau terlalu berlebihan dalam mencintai harta, akan memberikan sejumlah efek negatif. Ia mengatakan bahwa ada dua dampak buruk materialisme. Pertama, memperburuk kesejahteraan individu. Kedua, memperparah efek trauma dan stres terhadap kejadian buruk.
Yang menarik dari riset tersebut adalah pada temuan atau kesimpulan kedua. Rindfleisch menyatakan bahwa orang-orang yang materialistis, ketika berhadapan dengan persoalan kehidupan yang parah, seperti ketidaksesuaian antara rencana dengan hasil yang didapat, maka mereka akan cenderung lebih sulit menerima kenyataan dan mudah stres. Kondisi ini mengakibatkan orang tersebut untuk melakukan “maladaptive consumption”, yaitu ketidakrasionalan pola konsumsi. Misalnya, dengan membeli barang yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan olehnya, maupun mengkonsumsi barang dan jasa yang mengancam kehidupannya. Kesabaran terhadap tekanan hidup menjadi berkurang, dan ia akan memiliki kecenderungan untuk menjadi paranoid, terutama terhadap kematian. Rasa takut akan mati sangat menghantuinya.
Dengan kata lain, perilaku materialisme akan menyebabkan ketidaktenangan hidup. Orang akan lebih mudah gelisah dan resah. Sehingga, pada jangka panjang, kondisi ini akan mengancam tingkat produktivitas seseorang, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan tingkat produktivitas suatu bangsa secara keseluruhan. Jika ini terjadi, maka tingkat kemakmuran akan mengalami penurunan.
Dari hasil studi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa ada dua solusi yang harus dikembangkan, untuk mengatasi problem materialisme dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pertama, peningkatan kualitas pengendalian diri, terutama terkait dengan konsumsi pribadi. Kedua, mendorong semangat berbagi, sebagai antitesa dari sifat serakah terhadap harta.
Terkait poin yang pertama, harus disadari bahwa sumber utama penyakit materialisme adalah ketidakmampuan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Untuk itu, jiwa harus dilatih agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik. Salah satunya adalah melalui momentum ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa tingkat puasa seseorang itu dibagi menjadi tiga, yaitu puasa awam, puasa khusus, dan puasa yang sangat khusus. Pada puasa awam, seseorang hanya mampu menahan diri dari lapar dan haus semata, serta belum mampu mengendalikan diri dari syahwat yang lain. Sedangkan pada puasa jenis kedua, seseorang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu yang lain, selain makan dan minum. Misalnya, mengendalikan nafsu amarah yang berlebihan. Sementara pada tingkatan ketiga, kualitas puasa seseorang sudah mampu menghantarkannya pada kebersihan nurani dan hati, sehingga tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya keinginan untuk bermaksiat dan berbuat keburukan. Jadi memikirkan hal negatif saja tidak, apalagi melakukannya. Berbeda dengan puasa level kedua dimana pada diri seseorang masih mungkin terlintas hal-hal negatif, meski kemudian mampu dicegahnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa puasa pada dasarnya adalah instrumen untuk mengendalikan diri, termasuk pengendalian terhadap konsumsi berlebihan. Ini adalah antitesa dari teori konsumsi konvensional yang berorientasi sepenuhnya pada pencapaian tingkat kepuasan maksimum, dimana kondisi ini bisa dicapai melalui konsumsi barang dan jasa secara maksimal dengan faktor pembatasnya adalah anggaran keuangan yang dimiliki.
Selanjutnya, solusi kedua adalah dengan mendorong semangat berbagi, melalui pelaksanaan ibadah zakat, infak dan shadaqah(ZIS). Ibadah ZIS adalah metode yang efektif dalam mengikis keserakahan. Melalui ibadah ini, seseorang diajarkan untuk tidak mencintai harta secara berlebihan, karena hakekat hidup pada dasarnya adalah untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Ibadah ZIS juga merupakan instrumen “alami” yang diciptakan ajaran Islam untuk mencegah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok, dan mendorong tumbuhnya solidaritas sosial yang kuat. Jika kesenjangan ekstrim bisa dicegah, dan solidaritas sosial dapat diperkuat, maka ketenteraman dan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat bisa menjadi kenyataan.
Materialisme merupakan suatu aliran yang menganggap kebutuhan materi di atas kebutuan spiritual, ideologi, sosial, budaya dan agama. Ideologi materialisme yang berkembang pesat khususnya di Barat pada dasarnya bukanlah aliran yang baru, atau hasil dari zaman modern, namun kepercayaan aliran ini, sudah ada sejak zaman filsafat Yunani kuno. Materialisme merupakan salah satu persoalan masyarakat modem saat ini baik pada dunia Barat maupun pada dunia Timur sendiri.
Beberapa filosof Barat yang materialis menganggap perkembangan aliran tersebut seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang semakin pesat juga perkembangan materialisme.
Materialisme di Barat tidaklah sama dengan materialisme dalam dunia Timur, baik dari segi sejarahnya maupun konteks doktrin orientasinya, karena aliran tersebut dalam Islam hanya merupakan sentuhan-sentuhan kekuasaan yang sedang berkuasa, sementara di Barat selain aliran ini memiliki sejarah yang jelas, dan juga ada beberapa faktor yang dapat mendukung kemajuan aliran tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah pertama, kelemahan doktrin-doktrin Gereja dan keangkuhan serta kekerasan yang dilakukannya. Kedua, kelemahan ide-ide filsafat Barat, dan yang ketiga adalah kelemahan konsep-konsep sosial politik di Barat. Beberapa alasan tersebut merupakan faktor yang paling dominan dan fundamental dalam penggiringan masyarakat Barat pada materialisme.
Murtadha Muthahhari salah satu tokoh intelektual Islam yang keras mengkritik kepada kaum materialis, apalagi aliran tersebut sudah menunjukkan eksistensinya pada dunia Islam, khususnya Iran, karena dalam sejarahnya, Islam dengan dinasti Abbasiahnya pernah memberi peluang besar pada masyarakatnya dengan aliran tesebut, meskipun kebebasan berpikir di antara para intelektualnya tidak boleh menentang kekuasaan yang sedang berkuasa.
Bahkan ada di antara tokoh intelektual Islam seperti Ali Wardi yang menganggap materialisme sejarah bagian dari doktrin Islam. Namun pendapat ini dibantah oleh Muthahhari, karena menurutnya, orang-orang yang mencari hakikat kebenaran materialisme sejarah terterah dalam kitab suci Al-Qur'an pada dasarnya ia kurang memahami benar tentang ajaran Islam.
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni yang didasarkan pada karya-karya Murtadha Muthahhari sebagai sumber data primer, sementara sumber data sekunder adalah beberapa literatur yang dapat mendukung dalam penelitian ini. Metode yang dipakai dalam penelitian ini yakni metode deskriptif-analitik dan sejarah pemikiran yang berupaya memaparkan pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Islam dan materialisme secara jelas, akurat dan sistematis.
Hasil penelitian ini dapat diperoleh jawabannya, bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kecenderungan materialisme pada dunia Barat, salah satunya adalah otoritas Gereja. Klaim materialisme memiliki relevansi dalam Al-Qur'an pada hakikatnya adalah penafsiran yang keliru, justru Islam menganggap aliran tersebut bukan hanya tidak cocok dengan ajarannya, akan tetapi juga dapat membahayakan baik pada masyarakat Islam sendiri maupun pada doktrin agamanya, dengan muncul kesamaran-kesamaran dalam penafsirannya.
Pemikiran Murtadha Muthahhari tidak hanya dapat meramaikan pergulatan wacana mengenai Islam dan materialisme, dan mengkonter hegomoni pemikiran orang-orang Barat, namun ia juga dapat memberi beberapa penawaran yang dapat memuaskan intelektual. Maka dengan demikian, pemikiran Murtadha Muthahhari ini adalah sangat relevan dan kontekstual dengan perkembangan zaman sekarang.
Materialisme, merupakan suatu pemahaman hanya bersandar pada materi. Paham ini tidak meyakini apa yang ada di balik alam ghaib dan norma di atas manusia, yaitu Tuhan dan wahyu.
Orang-orang yang mengikuti paham ini tidak meyakini adanya kekuatan yang menguasai alam semesta ini, sehingga secara otomatis menafikan adanya Tuhan sebagai pencipta alam, karena menurut paham ini alam beserta isinya berasal dari satu sumber, yaitu materi.
“Pemikiran ini sama halnya dengan atheisme dalam bentuk dan subtansinya yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak,” kata Dr. Tgk. H. Amri Fatmi Anzis Lc, MA (Doktor Aqidah Filsafat dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (21/2) malam. Pengajian dimoderatori oleh Kasi Kurikulum pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Badaruddin SPd MSi.
Tgk Amri Fatmi yang meraih gelar doktor dengan predikat tertinggi “Summa Cumlaude” pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, memaparkan, para penganut paham materialisme ini menolak agama sebagai hukum kehidupan manusia. Mereka lebih mengedepankan akal sebagai sumber segala hukum.
Prinsip ini melahirkan suatu ideologi, hukum hanyalah apa yang bisa diterima oleh akal manusia, tidak perlu agama, dan menjadikan kecondongan dan kesenangan manusia sebagai hak yang harus diakui. Meskipun itu bertentangan dengan dengan agama dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Pemikiran materialisme ini membawa pada kehidupan konsumerisme, hedonisme, dan cinta dunia berlebihan (wahn). Ini sangat berbahaya bagi kehidupan kita sebagai seorang muslim, karena dalam kehidupan materialisme ini, tidak ada akhlak. Semua berburu pada materi tanpa peduli halal atau haram.
Dijelaskannya, salah satu fitnah zaman modern dewasa ini adalah merebaknya ideologi materialisme. Bahwa materi, harta kekayaan atau jabatan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia dipandang sebagai orang yang mulia, dan semakin sedikit materi atau harta yang dimilikinya berarti ia dipandang sebagai orang yang hina dan tidak patut dihormati.
Dalam sebuah masyarakat yang berideologi materialisme, seseorang menjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang yang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka. Maka di dalam masyarakat yang telah diwarnai materialisme, setiap anggota masyarakat akan berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu dengan cara yang halal, syubhat, maupun haram.
Solusi terhadap paham materialisme yang harus dijauhi oleh setiap umat Islam, yaitu dengan kembali kepada ajaran agama Islam. Kemudian tidak mencintai dan mengejar materi dunia secara berlebihan, sehingga lupa pada kepentingan akhirat.
Andaikan setiap kita berpegang teguh kepada prinsip dan ajaran agama kita, niscaya akan terhindar dari ideologi materialisme. Tidak mungkin akan muncul suatu anggapan bahwa harta merupakan tolok ukur kemuliaan seseorang. Setiap orang akan senantiasa rajin mensyukuri segenap karunia Allah yang telah diterimanya dengan sifat zuhud dan qanaah. Islam mengajarkan tolok ukur kemuliaan sejati ialah taqwa seseorang kepada Allah Swt.
Munculnya fenomena masyarakat yang begitu mudah mempercayai kemampuan seseorang yang bisa mendatangkan kekayaan secara instan meski irasional dinilai merupakan gejala semakin kuatnya nilai materialisme. Masyarakat yang terjangkit materialisme cenderung memiliki sikap hidup yang menghargai materi secara berlebihan. Materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai kesuksesan seseorang. Sayangnya, sikap yang mengukur segala sesuatunya dengan materi ini erat kaitannya dengan merosotnya nilai-nilai sosial yang menjadi ciri khas bangsa, seperti gotong royong, sukarela, dan tanpa pamrih.
Sebagaimana disampaikan Rektor UII, Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc ketika memberi sambutan dalam acara Sumpah Profesi Psikolog ke-32 yang digelar oleh Magister Profesi Psikologi UII di Ruang Auditorium FPSB UII, Sabtu (22/10). Acara tersebut diikuti oleh empat orang lulusan Magister Profesi Psikolog.
Kondisi ini tidak dipungkiri semakin nyata adanya di tengah masyarakat kita. Di mana tidak hanya menjangkiti golongan masyarakat di akar rumput, namun juga kaum menengah atas, dan bahkan sebagian kaum intelektual.
Rektor menilai sebagai kalangan intelektual, lebih-lebih yang membawa nilai Islam, para psikolog juga memiliki kewajiban untuk kembali menyehatkan kondisi psikologis masyarakat. Keunikan psikolog UII yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu saintifik namun juga mengamalkan akhlak-akhlak Islami dalam berprofesi bisa menjadi celah untuk terlibat dalam hal itu.
Di sisi lain, Ketua HIMPSI Wilayah DIY, Drs. Helly P. Soetjipto, MA mengatakan salah satu tantangan menjadi psikolog adalah selama ini psikolog dianggap sebagai sosok yang dapat memulihkan kesehatan jiwa individu. “Namun apakah psikolog bisa menterapi dirinya sendiri manakala dia memiliki masalah kejiwaan?. Ini belum dapat dipastika.
Menanggapi fenomena di masyarakat yang mudah tergiur hal-hal berbau irasional, Helly P. Soetjipto berpendapat sebenarnya masyarakat cukup mempraktekkan tiga hal untuk menghindarinya. Selalu utamakan berperilaku jujur, ikhlas, dan saling membantu sesama manusia. Insyaallah hal ini dapat menjaga kesehatan mental kita.
Referensi sebagai berikut ini ;